Sudah sebulan berlalu sejak kepindahan Andreas dan hubungan kami pun semakin dekat.Jujur, sejak kehadirannya, aku merasa seperti remaja yang kembali jatuh cinta. Di setiap detik dalam hidupku, wajah brondong itu selalu memenuhi otakku.Aku tahu ini salah, tapi toh tindakanku tidak kelewat batas. Semua khayalan liarku hanya tersimpan rapi di benakku. Aku tetap menjaga kesetiaanku pada keluarga kecilku. Jadi, kunikmati saja semua ini karena hal itu malah membuatku bahagia.Malam ini, Andreas mengundangku hadir di pameran lukisan tunggalnya. Tadinya, aku hendak datang bersama Pras–sekalian mengenalkan suamiku padanya–tapi seperti biasa Pras selalu sibuk dengan pekerjaannya. Jadi, aku datang dengan Jihan.Evan dan Rico juga sudah kutitipkan di rumah orangtuaku s
Aku langsung menahan leher gelas itu agar tidak menyentuh lantai dan menimbulkan kehebohan.Andreas memang tidak pernah bilang kalau dia masih lajang. Tapi seharusnya dia memberitahuku kalau dia sudah punya pacar! Pantas, dia tidak pernah membahas lukisan itu denganku.Entah kenapa aku jadi merasa seperti ditipu. Tapi kalau kupikir-pikir, perasaan ini sungguh konyol. Andreas bahkan tidak tahu kalau aku menyukainya. Kami juga tidak punya hubungan apa-apa, selain bertetangga.Kini kepalaku terasa panas begitu mereka saling bertukar pandang penuh cinta. Tidak tahan dengan semua ini, aku langsung memutar tubuhku.“Eh, tunggu,” Jihan nampak kaget dan mengikutiku dari belakang. “Kamu mau kemana, Ndin?”
Aku menelan ludah dalam-dalam. Setiap lipatan di tubuhku terasa basah karena di dalam sini ternyata cukup panas dan pengap juga.Namun, adrenalinku berpacu cepat. Pelan-pelan, aku menjulurkan leherku, mengintip mereka dari sela-sela pintu lemari. Melihat mereka bergumul di atas ranjang membuat sekujur tubuhku merinding.Kini Andreas mengangkat tubuh Bianca dan membiarkan perempuan itu duduk di atas pangkuannya.Tubuh Bianca, yang bak model itu, menjulang sempurna. Siluetnya begitu indah apalagi dengan bias cahaya temaram kamar ini.Rambut panjang Bianca tergerai sementara gaunnya setengah melorot. Remasan tangan Andreas pada kedua dada Bianca membuat leher wanita itu menghentak ke belakang.“Ough, Andreas…s
Tubuhku berguncang hebat saat tatapan kami akhirnya beradu. Cahaya lampu dari luar menembus masuk, menyinariku yang mematung di depan lemari pakaian.“A-Andini?” Andreas tergagap.“Maafkan aku…” ucapku lirih. “A-aku salah kamar. Jadi, aku sengaja sembunyi di lemari supaya enggak ketahuan.”Tubuh Andreas mendekat seiring dengan ritme jantungku yang semakin cepat. “Ka-Kamu melihat semuanya?”“Ma-maaf…sebenarnya aku mau keluar saja tapi–”Bola mataku sontak melebar begitu Andreas menghambur dan mendaratkan ciuman di bibirku.“Andreas?!” Aku langsung melepas ciuman itu dan mendorongnya. “
Sumpah, setiap kamar di resort ini terlihat sama. Begitu pula dengan jalannya yang seperti labirin. Sedari tadi, aku merasa seperti berputar-putar di tempat yang sama.Aku lalu mengikuti suara deburan ombak dari kejauhan, karena pemandangan kamarku yang langsung menuju ke pantai.Sampai akhirnya aku memasuki area bermain dan seseorang meneriaki namaku. Aku menoleh. Jihan melambaikan tangannya dari pinggir restoran. Tampangnya nampak cemas.Lalu tidak jauh dari sana, aku melihat kedua anakku sedang asyik bermain pasir.Sekarang masalahnya, alasan apa yang harus kukatakan pada mereka? Masa aku harus bilang aku habis bercinta dengan Andreas, si brondong tampan yang tinggal di depan rumahku?!*
Sontak bola mataku membulat kaget.“Andreas?! Ngapain kamu di sini?!” Bisikku.Sebelum Andreas nekat menghampiriku ke depan pintu, aku duluan yang menyambanginya di samping tembok kamar.Halaman belakang dari kamar-kamar di resort ini memang hanya dibatasi oleh tumbuhan yang cukup lebat. Lagi pula, siapa sih yang mau masuk ke halaman belakang kamar orang lain, kecuali si Andreas ini!“Kalau ketahuan orang bisa gawat!” Desisku cemas.“Aku enggak peduli. Aku merindukanmu, Andini,” Andreas berusaha merangkulku tapi aku langsung menepisnya.“Kamu menguntitku!” ucapku tajam.&ldquo
Andreas menatapku dengan sorot menantang begitu kepalaku muncul dari balik tembok pembatas antara ruang tengah dengan ruang tamu.Pras ikutan menoleh. “Ndin, kebetulan tadi aku ketemu Andreas.”Aku berpura-pura cuek dan tersenyum tipis. “Perlu kubuatkan minum?”“Enggak usah, Tante.” Tolak Andreas.Oh, dia pintar berpura-pura dengan memanggilku tante.“Aku sudah bilang padanya soal rencanaku membuat lukisan keluarga kita. Andreas setuju,” ungkap Pras antusias.“Jadi kapan kalian bisa dilukis olehku?” tanyanya.“Aku enggak punya waktu. Sebaiknya Andreas meniru
Pintu gudang itu menutup perlahan.Dengan gerakan cepat, Andreas mendesakku ke arah dinding. Kami pun terus berciuman sampai-sampai aku kehabisan napas. Tangan Andreas tetap menggerayangi tubuhku.Kini, dia memutar tubuhku. Aku berpegangan pada tangga besi yang bersandar di tembok. Andreas memukul bokongku pelan.Napasku sudah menggebu dan begitu juga dengan Andreas yang sepertinya sudah tidak sabaran. Kemudian dia mulai menaikkan ujung blus milikku hingga ke atas pinggang. Tak bisa kutahan, desahanku melesat begitu saja.Astaga, aku benar-benar merindukannya, merindukan malam panas di Bali waktu itu.“Andreas…” desisku sambil dia terus menghentak dari belakang. “Ugh…iya, begitu. Terus, S
“Mas Pras?!”“Ratih?!” Pras melonjak kaget ketika melihat sosok Ratih yang muncul dari balik pundaknya. “Se-sedang apa kamu di sini?!”Pandangan Ratih melirik sekilas ke arah Andini serta Andreas yang tertawan di tengah pondok. Matanya terbelalak kaget. Apalagi Ratih bisa mencium bau bensin yang menyengat.“Mas, jangan bertindak gila. Ayo, kita pulang sekarang,” Ratih bergerak mendekat, memandang Pras dengan memohon. Kedua tangan dingin wanita itu meraih tangan Pras.Namun Pras langsung menepisnya. “Pulang? Sudah kubilang, aku akan menghabisi mereka dulu, Tih. Setelah itu, baru kita bisa berbahagia.”“Tidak, Mas,” sergah Ratih cepat, menghalau gerakan tangan Pras yang hendak menyalakan korek. “A-Aku enggak ingin memiliki suami seorang pembunuh. Lagian, kita juga salah.”“Halah, persetan! Jangan ikut campur urusanku atau aku akan membunuhmu juga,” Pras memicingkan matanya yang sontak membuat Ratih bergidik ngeri.“Aku mencintaimu, Mas…sungguh…jadi, tolong jangan lakukan ini. Lepaskan me
Telinga Andreas berdengung begitu keras saat dia kembali mendapatkan kesadarannya. Penglihatannya yang kabur kini berangsur pulih.“A-Andini?” Pria itu menoleh dan mendapati Andini yang tergolek lemah di sampingnya. Andreas berusaha menggerak-gerakkan bagian-bagian tubuhnya yang terikat erat. “Andini?” bisiknya lagi.Kedua kelopak mata wanita itu perlahan membuka. Ada sedikit kelegaan di hati Andreas melihat Andini yang menggeliat pelan.“Andreas!” Wanita itu terkesiap lemah. “Syukurlah…kamu masih hidup. Dia akan membunuh kita…”“Tidak. Kita akan keluar dari sini,” Andreas berusaha meyakinkan Andini, walau dia sendiri sebenarnya sangsi.Mata Andreas menjelajahi pondok tempat mereka disekap. Dari jendela itu, terlihat hari sudah malam. Embusan angin kencang membawa dedaunan yang jatuh menghantam permukaan jendela.Tubuh Andreas terikat erat di kursi kayu. Usahanya melonggarkan ikatan di kaki dan kedua tangannya sepertinya gagal.Di dekatnya tidak ada alat-alat tajam yang bisa dia raih.
Andini mengerang pelan. Begitu kedua kelopak matanya membuka, perlahan dia mendapati penglihatannya kembali. Kepalanya terasa begitu sakit, seperti ada ribuan paku yang memukul dari dalam.“Ugh…” Dia coba menggerak-gerakkan tubuhnya yang diikat dengan tali di atas kursi kayu. Namun, sekuat apapun usahanya, ikatan yang melilit di sekujur tubuhnya itu sangat kuat.Napas Andini terengah. Udara dingin masuk melalui celah-celah kayu. Dia memandangi sekitar, begitu senyap dengan perabotan-perabotan usang. Lampu bohlam kuning memendar, mengedarkan cahaya temaram.“Tolong! Tolong!” Andini berusaha berteriak, walau suara yang keluar dari mulutnya terdengar lemah. Seketika pintu dihadapannya berderit terbuka. Napas Andini tertahan. Jantungnya kembali berdebar kencang begitu sosok Pras muncul di depannya.Pras mengendus keras, sambil menyipitkan matanya ke arah Andini. Tawanya berderai, memantul ke setiap sudut ruangan di pondok kayu yang kecil ini.“Andini…” Pras berkacak pinggang, menatap bol
Andreas menyusuri selasar kamar hotel dengan jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya. Wajar pria itu gugup karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan calon istrinya, lalu menuntunnya hingga ke tempat acara dan pada akhirnya hubungan mereka disahkan di mata negara.Membayangkannya saja sudah membuat perut Andreas bergejolak. Dia tidak menyangka hubungannya dengan Andini akan berakhir manis seperti ini.Andreas menekan bel kamar Andini, setelah menghela napas pendek. Sesekali dia membenarkan posisi dasi kupu-kupunya serta jas yang dikenakannya.Namun, Andini belum juga membukakan pintu untuknya. Setelah menekan bel yang terakhir dan pintu tetap bergeming, tangan Andreas menarik turun gagang pintu kamar. Dahinya mengernyit karena ternyata kamar itu tidak terkunci.“Ndin?” Andreas mendorong pintu perlahan. “Sayang?” Andreas mengetuk pintu kamar mandi, tapi tidak ada jawaban.Dia lantas melempar pandangannya ke sekitar kamar. Mata Andreas pun tertuju ke ponsel Andini yang ada di
“Argh…” Andini merintih begitu tubuhnya menghantam lantai kamarnya yang keras dan dingin. Napasnya menderu dengan kencang disertai dengan jantungnya yang berdetak begitu cepat.Andini beringsut, menyandarkan dirinya di pinggiran ranjang. Tangannya langsung meraba lehernya. “Astaga, semuanya terasa begitu nyata…” pikir Andini. Pras hadir dalam mimpinya, berusaha mencekiknya dan menyeretnya ke dalam neraka. Benar-benar mimpi yang buruk.Petir kembali menggelegar di luar sana. Andini bergidik dan seketika lampu kamarnya padam. Mimpi buruk itu belum sirna dari benaknya dan sekarang dia malah dikungkung kegelapan.Seketika, ketakutan merayapi dirinya. “Tidak,” Andini menggeleng. “Tidak mungkin pria itu muncul. Dia sudah mati. Lagian itu cuma mimpi.” Lantas, Andini mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Cepat-cepat dia menyalakan senter lalu bangkit. Dia melangkah sedikit tertatih, mengecek keadaan Eva yang tidur di boks bayi. Bayi itu terlelap dengan damai.Saat Andini menyibakkan t
Senja perlahan menelan langit biru, menggantinya dengan semburat jingga yang menyerbak di atas sana. Angin sore yang sepoi-sepoi menyapu dahi Andini, menggerakkan helaian poninya.Sambil mendesah pelan, Andini menatap rumah tingkat dua di hadapannya. Rumah yang sudah ditempatinya selama sepuluh tahun, yang banyak memberinya kenangan indah maupun buruk.Truk pengangkut barang yang terakhir belum lama pergi. Sekarang giliran dirinya serta ketiga anaknya yang akan meninggalkan rumah ini.Pandangan Andini beralih ke spanduk yang terbentang di depan pagar rumahnya. Tulisan ‘Dikontrakan’ terpampang jelas.Akhirnya, Andini memutuskan untuk keluar dari rumah itu dan mengontrak untuk sementara waktu, sebelum akhirnya pindah ke Bali tahun depan.Andreas tidak ingin menempati rumah yang dibeli oleh Pras, begitupula Andini. Lagi pula, itu adalah rumah anak-anaknya.“Yuk,” Andreas menepuk pundak Andini. “Sudah sore, kita masih harus merapikan barang-barang di rumah baru.”Andini mengangguk, mening
Ratih dihantam syok yang luar biasa sehingga membuat wanita itu pingsan selama beberapa saat.Seketika Ratih mengerang, membuka kedua kelopak matanya. Dadanya masih berdebar begitu melihat Pras yang ada di samping ranjang.“Ma-Mas Pras?” Dirinya masih belum bisa mencerna semua ini. Bagaimana bisa Pras hidup kembali? Jelas-jelas dia dinyatakan tewas dalam kecelakaan pesawat tempo lalu.“Akhirnya kamu sadar juga,” raut wajah Pras terlihat sedikit cemas. “Tenang, Tih. Aku bukan hantu.”Ratih beringsut, menyandarkan punggungnya di sandaran ranjang. “Ta-tapi, bagaimana bisa? Mas Pras sudah mati…”Pras mendengus. “Kenyataannya aku masih hidup.”Ratih menjulurkan tangannya, meraba lengan Pras yang kini lebih berotot. “Astaga, jadi ini bukan mimpi?”Pras bangkit dari kursinya. Dia berjalan ke arah jendela, memandangi langit biru yang membentang di luar.“Selama ini, aku memalsukan kematianku,” tandas Pras.“Tapi, untuk apa, Mas?” Ratih terdengar penasaran.Kedua tangan Pras tenggelam di saku
Tubuh Ratih seakan membeku. Degupan jantungnya kini berdebar begitu hebat.‘Tidak. Ini enggak mungkin! Mas Pras sudah tewas dalam kecelakaan pesawat itu!’ Pekik Ratih dalam hati.Namun, sebesar apapun usahanya untuk mengindahkan pikiran itu, tetap saja Pras berdiri di depannya, dengan tubuh yang jauh berbeda seperti sebelumnya.Otot-otot tangan Pras menonjol dengan dada yang lebar.“Hai, Ratih,” Suara itu jelas suara Pras. Dia tidak meragukannya sedikit pun! Mata Ratih mengerjap cepat, berharap semua ini mimpi.Namun, wangi aroma bunga yang menyebar di tokonya terasa begitu nyata. Bayangan Pras yang mendekat pun juga nyata.Tubuh Ratih gemetar hebat dan sentuhan tangan besar di bahunya semakin menekankan bahwa Pras belum mati. Tapi bagaimana mungkin?!“Ma-Mas Pras?” Suara Ratih terdengar parau kali ini. Bola mata Pras menatapnya tajam. “Kenapa kamu terlihat begitu ketakutan, hah? Aku bukan hantu.”“Ta-Tapi…bu-bukanya Mas…”“Tewas dalam kecelakaan pesawat itu?” Pras melanjutkan kalima
“Tinggalkan putraku,” ucap Brenda saat mereka duduk berhadapan di ruang tengah.Kedua bola mata Andini langsung membelalak lebar. “A-Apa?” Bibirnya bergetar dengan pernyataan Brenda yang bagai petir di siang bolong itu.Brenda menghela napas pelan, seiring dengan kedua bahunya yang merosot. “Itu mungkin ucapan dari orangtua yang egois,” tukas Brenda lagi. “Tapi aku bukan tipe orangtua yang egois, Andini.”Kedua alis Andini bertautan. Dia masih belum menangkap maksud ucapan Brenda.“Aku enggak mungkin menyuruh Andreas untuk meninggalkanmu. Aku tahu, dari tatapan dia melihat dirimu, Andreas pasti sangat mencintaimu,” pandangan Brenda beralih ke Andini yang masih nampak tegang.Brenda lantas menggeleng. “Tidak, aku enggak akan menyuruhmu untuk meninggalkan putraku. Dan soal perbincangan semalam…”“Maafkan aku,” sela Andini cepat. “Enggak seharusnya aku mencuri dengar percakapan kalian. Aku tahu aku kelewatan, Tante.”Brenda bersedekap. “Semalam kami agak dipengaruhi alkohol. Jadi, perasa