Pesona Sang Brondong

Malamnya, aku mengenakan gaun tidur satin yang menerawang. Bukannya aku mau menggoda suamiku, tapi karena AC di kamar tidur kami sepertinya rusak–hanya mengeluarkan angin panas dan sedikit bersuara.

Aku menepuk-nepukkan kedua telapak tangan di area wajah supaya serum dan pelembab yang kupakai menyerap dengan sempurna. Aku harus ekstra merawat wajah agar tidak cepat keriput. Setelah selesai dengan urusan skincare, aku beranjak dan menuju ke ranjang.

Pras sepertinya masih berkutat di ruang kerjanya. Dia memang suka membawa pekerjaan ke rumah–sebagai Head of Department perusahaan penyedia layanan televisi berlangganan, pekerjaannya memang menyita waktu.

Sementara itu, kedua anakku sudah tertidur di kamarnya masing-masing.

Saat aku hendak menghempaskan tubuhku, tiba-tiba saja pandanganku tertuju ke rumah seberang, yang kini jadi milik Andreas. Mengingat kembali wajah brondong tampan itu, membuatku jadi senyum-senyum sendiri.

Astaga, kenapa sih dengan diriku? Lantas, aku menyibakkan tirai kamar.

Dan dari atas sini aku bisa melihat pekarangan depan rumah itu serta lampu-lampu yang menyala terang–setelah berminggu-minggu gelap gulita.

Di lantai dua, ada dua ruangan yang langsung berhadapan dengan kamarku ini. Dua ruangan itu belum dipasangi tirai, jadi pandanganku bisa menerobos masuk ke dalamnya.

Satu ruangan nampak gelap dan hanya ada secercah cahaya yang menerangi dari lorong luar. Sementara satu ruangan di sebelahnya nampak terang dengan cahaya kuning yang berpendar.

Aku bisa melihat ada ranjang di sana. Sepertinya itu kamar tidur. Selama bertahun-tahun bertetangga dengan Risa dan Rudi aku tidak pernah memperhatikan rumah mereka seperti ini.

Bisa jadi itu kamar tidurnya Andreas, pikirku dengan penuh semangat.

Begitu aku hendak memutar tubuhku, seketika aku melihat sesosok pria bertelanjang dada memasuki kamar itu.

Mataku sontak menyipit. Itu Andreas! Batinku memekik girang.

Dari kejauhan saja, sosoknya berhasil membuat dadaku kembang kempis. Tubuhnya begitu seksi dengan dada yang bidang dan otot-otot tangan yang terukir indah. Sayangnya, mataku agak rabun jadi aku tidak bisa melihat jelas bagian perutnya.

Sepertinya bagian bawah tubuhnya dililit oleh handuk. Tapi entahlah, bisa jadi dia telanjang bulat.

Tidak. Aku menelan ludah membayangkan kalau Andreas tidak mengenakan apa-apa pada bagian bawah tubuhnya.

Astaga, Andini. Hentikan! Aku bertitah pada diri sendiri begitu aku mulai membayangkan seberapa besar miliknya dan apakah lebih besar dari punya suamiku?

“Ndin?”

“Whoa!” aku memekik seperti orang yang habis melihat hantu begitu mendengar suara serak dari balik punggungku. Tubuhku langsung menjauh dari jendela kamar. Aku menoleh dan mendapati Pras yang mengernyit heran.

“Kamu lagi ngapain sih?” Leher suamiku lantas menjulur ke arah jendela.

Sial. Bisa-bisa dia menyadari aku sedang mengintip tetangga seberang yang sedang bertelanjang dada! Tapi untungnya, saat aku ikutan menoleh ke seberang, sosok Andreas menghilang.

Hah…aku menarik napas lega.

“Oh, kita punya tetangga baru ya?” Pras memperhatikan rumah itu dengan seksama.

“Iya. Kebetulan tadi pagi aku sudah kenalan sama penghuninya. Namanya Andreas. Umurnya baru 25 tahun dan dia seorang seniman.”

“Seniman?” Ulang Pras.

Aku mengangguk. “Dia bilang karya lukisannya laris manis, makanya dia bisa beli rumah itu.”

“Aku belum pernah dengar nama Andreas sebagai seniman terkenal,” gumamnya.

“Kamu kan enggak pernah tertarik dengan karya seni,” sahutku.

Lantas, Pras tiba-tiba merangkulku dari belakang. “Kamu pakai baju seksi begini karena lagi pengin ya?”

Kepalanya mulai menempel di leherku. Aku sedikit mengelak dan melepaskan tangan Pras yang melingkar di pinggulku. “Enggak, Mas. Panas aja. Sepertinya AC kamar kita mesti diservis deh.”

Pras garuk-garuk kepala. “Bener juga. Pas masuk ke sini aku juga kegerahan. Sebaiknya besok pagi kamu segera telepon tukang servis langganan.”

“Rencanaku begitu,” balasku cepat sambil naik ke atas ranjang. Aku pun bergegas memejamkan mataku sambil memunggungi Pras.

*

Kedua kelopak mataku membuka perlahan. Tubuhku terasa begitu lengket karena bersimbah keringat. Dan aku langsung menyadari kalau AC kamar kami sekarang mati total.

Sambil menyeka dahiku yang basah, aku melirik ke samping. Pras nampak mendengkur pelan. Sepertinya dia tidak terganggu dengan suasana kamar yang pengap ini.

Aku melirik jam dinding yang menggantung. Ternyata sudah pukul dua dini hari.

Aku berdecak pelan dan segera keluar dari kamar. Tadinya, aku mau tidur di kamar Evan atau Rico, tapi aku takut malah membangunkan mereka.

Akhirnya aku memutuskan untuk membuat minuman dingin lalu mencari angin segar di teras depan.

Aku duduk santai sambil menyesap minuman bersoda. Di atas sana masih ada bulan yang bersinar dengan sedikit awan hitam yang menutupinya.

Suara jangkrik dan daun-daun yang bergemerisik tertiup angin menjadi melodi yang menenangkan. Seketika aku mendengar derap langkah seseorang yang mondar-mandir di depan rumahku.

Penasaran, aku membuka pagar rumah dan aku begitu terkejut mendapati Andreas yang bertelanjang dada sedang jogging kecil.

“A-Andreas?” Aku tergagap.

Dia memutar tubuhnya. Cahaya lampu jalan yang terang membuatku bisa menangkap jelas bulir keringat yang mengalir di pelipisnya.

“Lho, Andini?” Nampaknya dia sama terkejutnya denganku.

“Ngapain kamu olahraga di tengah malam begini?”

Andreas menghampiriku dengan napas yang sedikit memburu. Sementara aku terpaku menatap tubuhnya yang ideal. Otot perutnya kini terpampang jelas di depan mataku!

“Aku enggak bisa tidur. Makanya aku olahraga aja. Kamu sendiri ngapain?” Andreas menatapku dengan heran.

Angin malam bertiup, membuat gaun tidurku yang mini sedikit tersingkap. Astaga, aku lupa kalau memakai gaun tidur yang seksi! Tiba-tiba aku jadi canggung sendiri.

“Sama, aku juga enggak bisa tidur,” balasku sambil bersedekap untuk menutupi dadaku yang tidak dilapisi dalaman.

Selama beberapa detik kami hanya bertukar pandang. Ada sedikit kecanggungan yang menguar di udara.

Dan aku tidak bisa menahan diriku untuk menatap ke balik celana olahraganya yang pendek. Ada sesuatu yang menonjol dari dalam sana.

Aku menelan ludah. Sementara, bulu-bulu di tubuhku mulai meremang.

Entah apa yang merasuki pikiranku, tiba-tiba saja aku menjulurkan satu tanganku untuk menyentuh ke area sana.

Oh, tidak. Aku benar-benar kelewatan!

Andreas langsung menangkap pergelangan tanganku. Aku terkesiap, seolah sadar dari tindakan tololku tadi.

“Ma-maafkan aku, Andreas…” Pipiku kini terasa panas. Rasanya aku ingin tenggelam saja di lautan!

Namun bukannya menghempaskan tanganku, Andreas malah mencengkram pergelangan tanganku lebih erat. Keningku pun mengernyit heran.

“Kamu penasaran, Andini?” suaranya yang berat itu membuat jantungku bertalu cepat. Apalagi sekarang dia menjilati bibirnya sambil menatapku dengan menantang.

“Pe-penasaran?” Aku tergagap.

Andreas menyeringai nakal. “Aku tahu kamu menginginkannya.”

Dadaku seakan mau pecah mendengar ucapannya! Rasanya pipiku memerah karena malu, tapi dengan bodohnya aku malah mengangguk.

“Ikutlah bersamaku,” Andreas tiba-tiba menarik tanganku, menggiringku memasuki rumahnya.

“A-apa?” Mulutku menganga lebar sambil mengikuti langkah Andreas.

I-ini bukan mimpi kan?