Hasrat Liar

Aku bagai tersihir pesonanya. Jantungku terus bertalu cepat sembari aku mengekor Andreas memasuki rumahnya yang lebih besar dari kediamanku.

“Aaa!” Aku memekik pelan saat Andreas menarik tubuhku sehingga kepalaku bersandar di dadanya yang bidang.

Tidak. Dadaku mulai berdebar lagi. Kalau begini terus, bisa-bisa aku kena serangan jantung mendadak.

Di ruang tamu rumahnya yang temaram, Andreas meraih daguku hingga tatapan kami bersirobok dalam.

Aku bisa melihat pancaran manik abu matanya yang bergairah, begitu juga aku. Percikan hasrat mengalir ke sekujur tubuhku saat kulit kami saling bersentuhan.

Perlahan, ibu jari Andreas menyapu bibirku. Lalu dia menyeringai menggoda. Ciuman itu lantas terjadi begitu saja. Tubuhku tidak berdaya saat berada dalam dekapannya–dekapan hangat brondong tampan yang menggairahkan lebih tepatnya.

Deru napasnya menerpa wajahku yang berkeringat, meningkatkan adrenalin dalam tubuhku. Jarang sekali aku merasakan hal seperti ini. Ternyata, rasanya begitu menyenangkan!

“You’re so hot, baby…” bisiknya dengan mesra di kupingku. Huft, sepertinya aku mau meleleh mendengarnya. Apalagi Andreas semakin mempererat pelukannya, sampai-sampai aku bisa merasakan detak jantungnya, hangat tubuhnya serta wanginya yang terasa sensual bagiku.

Kini tangannya mulai bergerak menggerayangi tubuhku, membuatku menggeliat dan mendesah manja.

“Kamu menyukainya, Sayang?” desis Andreas.

“Hm…” Aku mengangguk sambil memejamkan mata.

Lalu aku membuka mataku dan pandangan kami kembali beradu. Satu sentuhan jarinya membuat tali gaun tidurku turun dan dengan cepat gaun itu melorot begitu saja ke lantai.

“Ups, sorry, baby…” Andreas berujar nakal.

Napasku mulai memburu. Aku merasakan gelombang kenikmatan yang datang saat Andreas kembali melumat bibirku.

Punggungku sontak meliuk ke belakang. Dengan sigap, kedua tangan kekar pria itu menahanku agar aku tidak terhempas.

Aku hampir kehabisan napas dengan ciuman ini. Sampai akhirnya, dia membaringkan tubuh polosku di atas sofa.

Aku menelan ludah dalam-dalam melihat tubuh Andreas yang sempurna menjulang di atasku. Sekarang, pikiranku benar-benar kacau! Haruskah aku melakukannya dengan brondong tampan ini? Namun apakah aku tega mengkhianati keluargaku?

Tapi jujur, sentuhan Andreas begitu memabukkan. Akal sehatku langsung lenyap seketika begitu dia mulai menghimpit tubuhku.

Aku melenguh, meliuk-liukkan tubuh seperti cacing kepanasan. Namun saat Andreas hendak memulai permainan panasnya, aku mendengar pintu ruang tamunya terbuka. Sontak, aku menoleh. 

Mataku membelalak lebar begitu melihat Pras berdiri di ambang pintu, memperhatikan Andreas yang menindih tubuhku polosku.

Badanku membeku. Namun Andreas belum menyadari keberadaan suamiku. Dia masih menciumi leherku dengan penuh nafsu.

Mata Pras berkilat-kilat penuh amarah dan di tangannya aku melihat sebilah pisau yang digenggamnya dengan erat.

“ANDINI! Dasar perempuan sialan!!”

Pras menghambur ke arah kami sambil mengangkat pisau itu tinggi-tinggi.

“TIDAK!” Aku berteriak lantang dan mendorong tubuh Andreas.

Lalu aku terbangun dengan napas yang terengah-engah dan tubuh yang bersimbah keringat.

“Andini? Kamu mimpi apa sih?” Pras menatapku heran. “Sampai mengigau gitu. Berisik tahu.”

“A-aku…aku mimpi buruk, Mas,” balasku pada akhirnya.

“Makanya kalau tidur berdoa,” Pras turun dari ranjang. “Terus, jangan lupa kamu panggil tukang servis AC hari ini. Aku ternyata enggak tahan tidur dengan kamar yang panas kayak begini. Tidurku jadi enggak nyenyak, Ndin.”

“Iya, Mas.”

“Oh ya, malam ini aku lembur. Jadi, jangan tunggu aku makan makan malam, oke?” Pras menyampirkan handuk di pundaknya dan masuk ke kamar mandi, meninggalkanku yang masih syok karena mimpi tadi.

*

Setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah tangga, aku menghempaskan diri di sofa yang empuk.

Lalu, aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Rumah ini begitu hening–biasanya jam segini aku ikut kelas pilates. Tidak ada ART, atau pun anak-anakku.

Dalam diam, mimpi liar tadi kembali menyergap pikiranku. Yah, mimpi itu berakhir dengan menyeramkan sih, tapi awalnya begitu menggairahkan yang membuat tubuhku meremang saat memikirkannya lagi.

Tidak, tidak. Aku harus menghempaskan bayangan Andreas dari kepalaku. Lantas, aku mengecek ponsel untuk melihat jadwalku hari ini.

Setelah tukang servis AC datang dan membetulkan AC kamar, aku ada janji makan siang dengan Jihan, salah satu teman dekatku.

Kemudian aku harus menjemput kedua anakku dan kami akan belanja, sekalian beli makan malam. Lanjut, aku masih harus mengantar mereka les kumon. Ah, aku juga harus mengambil cucian sprei di laundry.

Dalam hitungan ketiga, aku memaksa diriku bangkit. Sebaiknya aku mandi karena badanku lengket dan berkeringat. 

*

Aku bersenandung pelan di bawah kucuran air yang dingin. Busa-busa sabun menutupi sebagian tubuhku. Begitu aku membasuh pangkal pahaku, tiba-tiba wajah tampan Andreas berkelebat.

Jantungku berdetak-detak cepat. Aku mulai membayangkan pria itu sambil meraba seluruh tubuhku. Bulu-bulu kudukku meremang. Aku pun tidak kuasa mendesah pelan.

“Hm, Andreas…” desisku. Punggungku pun bersandar pada dinding kamar mandi yang dingin. Aku tahu ini gila. Seorang istri yang membayangkan sosok lain selain suaminya.

Ting, tong.

Pikiranku terusik. Ah, biarlah. Aku ingin menikmati khayalan ini.

Ting, tong. Ting, tong.

Sial! Kesenanganku rusak. Buyar sudah konsentrasiku. Tukang servis AC sialan itu ternyata datang lebih cepat dari perkiraanku. Aku pun bergegas membasuh tubuhku lalu berpakaian.

*

Ting, tong.

Bel pintu terus berbunyi dan hal itu membuatku kesal setengah mati. Bisa tidak sih tukang servis itu sabar sebentar?! 

Ujung-ujung rambutku meneteskan air yang membuat lantai jadi basah. Huh, capek-capek aku mengepel pagi tadi dan sekarang aku harus mengepelnya lagi!

Dengan jengkel aku membanting pintu depan. Aku menyeret langkah kasar dan sengaja menghentakkan kaki di setiap langkahku.

Bunyi slot pagar yang karatan terdengar jelas karena aku menggesernya dengan kencang.

“Bisa sabar sebentar enggak sih?!” Semprotku. Lalu aku terkesiap. Andreas berdiri di depanku. Jantungku rasanya mau copot! “Andreas? Kupikir tukang servis AC.”

“Sorry, Andini. Kucingku…” Andreas menjulurkan lehernya ke pekarangan rumahku. “Dia tadi nyelonong masuk lewat bawah pagar rumahmu.”

“Oh, kalau begitu masuklah. Cari kucingmu itu,” aku membuka pintu gerbangku sedikit lebih lebar. Lantas, Andreas mendahuluiku. Wangi tubuhnya yang manis dan bercampur sedikit keringat membangkitkan gairahku.

Aku memperhatikan punggungnya yang bidang, berkhayal suatu saat aku bisa merebahkan kepalaku di sana. Hah, yang benar saja!

Akhirnya, kucingnya ketemu. Ternyata Andreas memiliki kucing anggora abu-abu yang menggemaskan.

Sambil menggendong kucingnya dalam dekapan, dia pamit. “Flo memang suka menghilang, Ndin. Trims ya. Sorry sudah mengganggu.”

“Eh, tunggu,” selaku. Andreas memutar tubuhnya. “Kamu mau mampir? Aku bisa buatkan teh atau kopi. Yah, sekalian mengakrabkan diri sebagai tetangga baru.”

Andreas nampak menimbang-nimbang sejenak tawaranku itu. Dalam hati, aku benar-benar berharap dia mau menerima undanganku ini. Plis…

“Sepertinya menyenangkan,” jawab Andreas pada akhirnya. “Tapi aku kasih makan Flo dulu ya. Nanti aku ke sini lagi.”

Senyumku mengembang. Aku memperhatikan punggungnya yang menghilang dari balik pagar rumahnya.

Jantungku lantas berdegup-degup kencang lagi, membayangkan seandainya mimpi liar itu jadi kenyataan.