Akhirnya, aku bisa duduk berdampingan dengan brondong tampan ini di teras belakang rumahku. Segelas kopi panas dan keik coklat–hasil dari kursus baking tempo lalu–kuhidangkan di meja yang menjadi jarak di antara kami.
Aku memperhatikan wajah Andreas lekat-lekat. Kulit coklatnya nampak eksotis tertimpa sinar matahari dari luar. Lesung pipinya yang timbul tenggelam saat dia berbicara yang semakin menambah ketampanan wajahnya.
Helaian-helaian rambut ikalnya terkadang jatuh berantakan yang membuat Andreas berkali-kali menyugar rambutnya. Gerakan tangan saat menyusuri rambut tebalnya itu malah membuatnya terlihat begitu cool di mataku.
“Kurasa banyak perempuan yang tergila-gila padamu,” ucapku tiba-tiba.
Tawa Andreas berderai mendengarnya. “Begitu ya?”
“Aku bisa tebak,” mataku menyipit. “Kamu pasti playboy. Pacarmu ada dimana-mana.”
“Aku enggak menyangka kamu ternyata judgemental juga, Andini,” balas Andreas lalu melahap sepotong keik. Aku hanya mengedikkan bahu. Mata abu Andreas yang seksi itu memandangku. Huft, tatapannya sukses membuat jantungku jumpalitan.
“Asal kamu tahu,” tukas Andreas setelah menelan keik-nya. “Aku menyukai wanita yang lebih tua. Seperti dirimu, Andini.”
Aku hampir tersedak ludahku sendiri mendengar pernyataan itu. “Kamu sedang menggodaku ya? Ingat, aku ini lebih cocok jadi tantemu.”
“Sudah kubilang, aku suka kok tante-tante, apalagi modelan sepertimu. Kurasa wanita yang lebih tua itu pasti lebih berpengalaman. Iya kan?” Andreas mencondongkan tubuhnya ke arahku sambil menaikkan satu alis tebal miliknya.
Aku menarik napas pelan untuk mengatur degup jantungku yang berdentum cepat. Lantas, tawaku pecah–aku tidak tahu harus berbuat apa, jadi aku tertawa saja.
“Saat kamu berumur lima belas tahun, aku bahkan sudah menikah, Andreas,” terangku.
“Waktu melintasi ruang tengah, aku melihat foto keluargamu. Anak-anakmu sungguh lucu dan suamimu…sepertinya dia orang yang bijaksana,” Andreas menukas setelah menyeruput kopi.
“Umur suamiku hanya beda setahun lebih tua dariku.”
“Well, entah kamu yang terlihat lebih muda atau memang suamimu yang nampak lebih tua.”
“Andreas, aku akan adukan ucapanmu tadi pada suamiku lho,” ucapku dengan nada bercanda.
“Suamimu pasti senang bisa menikahi wanita cantik sepertimu, Andini. Pasti kehidupan pernikahan kalian bahagia kan?”
“Yah, begitulah.”
Lantas, obrolan kami mengalir begitu saja. Beberapa kali, aku mengalihkan topik soal kehidupan pribadiku. Aku lebih senang mendengar cerita kehidupan Andreas. Jujur, aku ingin mengetahui lebih dalam lagi tentang dirinya.
Tiba-tiba Andreas melirik pergelangan tangannya. “Aku harus pergi sekarang.”
“Kenapa?” aku terdengar begitu kecewa. Jarang-jarang aku bisa punya teman mengobrol seperti ini.
“Aku harus mengajar.”
“Mengajar?”
“Iya, aku punya studio melukis, Ndin.”
Sepertinya semesta memang sudah merencanakan semua ini!
“Kebetulan. Sejak dulu aku ingin sekali ikut kursus melukis. Tapi aku belum menemukan tempat yang cocok,” aku memberi alasan.
“Well, kalau begitu kamu bisa datang ke tempatku. Dengan senang hati aku akan mengajarimu. Boleh aku minta nomormu? Nanti aku akan share lokasi studioku,” balas Andreas.
Rasanya aku ingin berteriak senang, tapi sekuat tenaga aku menahannya dengan tetap bersikap tenang.
“Tentu saja,” jawabku sok santai sambil menyebutkan nomor ponselku.
*
Aku menekan tombol remote AC di kamar. Kini, embusan anginnya sudah kembali dingin dan tidak mengeluarkan suara lagi. Ternyata freon AC ini bocor jadi tukang servis AC-nya menyarankanku untuk menggantinya dengan yang baru.
Lantas, aku berdiri di depan kaca sambil menanggalkan satu per satu pakaian yang melekat di tubuhku.
Dalam sekejap, tubuhku polos tanpa sehelai benang. Lalu aku berbaring dan mulai membayangkan wajah Andreas lagi sambil meraba tubuhku dengan tangan sendiri.
Ini gila. Aku benar-benar terobsesi dengan brondong itu! Seketika khayalanku bergerak semakin liar.
“Enak, Sayang?” Tiba-tiba aku seperti mendengar suara Andreas yang mendesir di telingaku.
“Hm…”
Aku membayangkan Andreas membelai pipiku, menciumku dengan ganas. Tubuhnya yang kekar itu menindihku, membuatku sulit bernapas.
Hawa dingin yang mengisi setiap sudut kamar ini tidak lagi berguna karena tubuhku berkeringat. Jantungku mulai berdegup cepat. Sekujur tubuhku menegang dan aku memekik.
Aliran kenikmatan itu menghampiriku, membuatku seperti terlempar ke atas dan melayang-layang. Aku terus melenguh, menikmatinya selagi bisa.
Perlahan rasa itu mulai menghilang, meninggalkanku dengan napas yang terpatah-patah.
“Astaga…” desisku sambil menatap langit-langit. Seharusnya aku lebih sering melakukan ini.
Lalu aku memalingkan pandanganku ke arah jendela. Dari sini aku bisa melihat jendela kamar Andreas.
Aku menyeringai. Aku mau memanjakan diriku sekali lagi, dan tentu saja sambil terus membayangkan sosok brondong tampan itu.
*
“Jihan, sorry…” aku mengatupkan kedua tanganku di ambang pintu ruangan VIP di sebuah restoran sushi.
Jihan nampak menghela napas pendek sambil memutar kedua bola matanya. Di hadapannya ada mangkuk ramen yang kosong.
“Kamu telat satu jam,” dia menukas kesal.
Aku melangkah masuk dan duduk di hadapannya. “Itu karena…” aku berpikir sejenak. Tidak mungkin kan aku bilang yang sebenarnya? “Aku harus menunggu tukang servis AC. Mereka telat datang,” dustaku pada akhirnya.
Setelah itu pelayan masuk dan aku memesan sushi tambahan, sepiring sashimi juga ramen berkuah pedas.
Lantas, aku memperhatikan raut wajah Jihan yang nampak muram. Garis bibirnya melengkung ke bawah.
“Ayolah, jangan kesal begitu. Lagian, ini kali pertama aku telat,” desakku.
“Bukan soal itu. Sebenarnya aku mau bercerai.”
“Apa?”
“Suamiku yang brengsek itu selingkuh dengan sekretarisnya yang binal,” dia mendengus kesal.
“Edo selingkuh?” ulangku tidak percaya. Memang sih tampang Edo seperti playboy, tapi kurasa dia pria yang baik. Beberapa kali aku bertemu dengan Edo dan sepertinya dia mencintai Jihan.
Yah, tapi itu sih hanya pengamatan sekilas saja.
“Aku mendapati mereka berciuman di ruang tengah rumah kami, saat aku sedang mengurus bisnis butik baruku di Singapura. Hah! Dia lupa kalau aku memasang CCTV di ruangan itu. Awalnya untuk mengawasi baby sitter yang mengurus anakku. Tapi malah menangkap perselingkuhan suamiku.”
Aku mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Jihan. “Aku turut bersedih.”
Namun kini Jihan malah menyeringai tipis sambil mendengus pelan. “Tapi aku untung, Ndin.”
“Maksudmu?”
“Kami memiliki perjanjian pranikah. Di situ tertera pihak yang berselingkuh akan memberikan seratus persen harta kekayaannya selama pernikahan. Itu artinya, harta yang Edo kumpulan setelah menikah denganku, akan jadi milikku. Biar tahu rasa! Mana bukti perselingkuhannya jelas lagi.”
“Wow, kurasa perceraian ini enggak buruk-buruk amat,” timpalku.
“Yeah, aku bakalan jadi janda kaya! Pokoknya setelah ketuk palu, aku bakalan traktir geng kita liburan ke Bali! Aku mau melepas penat dan melupakan si brengsek itu.” Jihan mengepalkan satu tangannya ke udara.
Lantas, pintu geser ruangan kembali terbuka. Pelayan menghidangkan pesananku.
Dengan cepat Jihan melahap selembar sashimi.
“Laki-laki memang brengsek,” lanjut Jihan sambil mengunyah sashimi dengan kasar. “Tapi enggak semua laki-laki sih. Buktinya, suamimu itu setia. Pernikahan yang paling harmonis di geng kita adalah pernikahanmu, Ndin.”
Aku hanya tersenyum tipis menanggapinya.
“Kira-kira kamu pernah curiga enggak sih kalau Pras kemungkinan selingkuh?” Tanya Jihan penasaran. “Apalagi suamimu itu kan sering lembur dan dinas ke luar kota?”
Aku hanya mengedikkan bahuku. “Prinsip pernikahan 10 tahun kami hanyalah kepercayaan.”
“Hebat banget,” ucap Jihan. “Kalau aku jadi kamu, aku bakalan pasang pelacak di HP-nya. Jaga-jaga kalau dia ke kelab malam pas lagi dinas atau lembur.”
Aku terkekeh pelan. “Aku bukan tipe pencemburu seperti itu.”
“Ngomong-ngomong, aku penasaran sama kisah cinta kalian. Kamu termasuk tertutup dalam menceritakan hubunganmu dengan Pras,” tukas Jihan setelah melahap sepotong unagi bakar.
“Kurasa kisah kami enggak terlalu menarik,” balasku.
“Masa sih? Siapa yang naksir duluan? Aku yakin pasti Pras kan?” Tiba-tiba, ponsel Jihan berdering. “Telepon dari pengacaraku. Sebentar ya.”
Dia langsung beranjak dan meninggalkanku sendirian.
Aku menyesap ocha dingin. Desakan Jihan untuk menceritakan kisahku dengan Pras, membuatku kembali mengingat lembaran masa lalu–masa lalu yang sebenarnya kusesali.
Daguku menengadah ke atas, memperhatikan plang studio lukis milik Jonathan. Ruang Karya namanya.Dengan perasaan sedikit gugup, aku melangkah masuk. Lonceng bergemerincing pelan begitu aku mendorong pintunya. Tidak ada orang di sana. Hanya ada beberapa kursi kayu panjang dan lukisan-lukisan yang menggantung di dinding.Di sudut ruangan aku melihat meja antik yang di atasnya terdapat humidifier. Uapnya membumbung tinggi, mengeluarkan wangi yang menenangkan–semacam wangi sereh dicampur dengan lemon.Aku merasa seperti berada di sebuah galeri seni yang antik. Lalu aku bergegas naik ke lantai dua–Andreas bilang kelas melukisnya ada di lantai dua. Setelah mendapat izin dari Pras, tentu saja aku langsung menghubungi Andreas dan mendaftar kursusnya. Walau sebenarnya dia baru buka pendaftaran murid baru sebulan lagi, tapi khusus untukku, Andreas membiarkanku masuk ke kelas yang sedang berlangsung.Entah kenapa dadaku selalu berdebar kalau mau bertemu Andreas. Jadi, aku menghabiskan waktu cu
Andreas berdiri di tengah kelas tanpa sehelai benang yang menempel di tubuhnya.Hal ini sungguh membuatku syok!Aku menelan ludah dalam-dalam. Setengah mati, aku mencoba untuk bersikap biasa saja–seperti peserta lainnya. Tapi aku tidak bisa! Sebenarnya, aku selalu membayangkan sebesar apa milik Andreas, dan sekarang semuanya terjawab sudah.Yah…miliknya lebih besar dari pada punya suamiku sih. Astaga, Andini! Fokus!Lalu aku mengedarkan pandanganku ke sekitar. Semua orang terlihat sibuk di depan kanvas mereka. Oke, oke. Aku harus mengendalikan diriku.Aku memegang pensil erat-erat dan mulai menggambar. Namun semakin aku berusaha untuk berkonsentrasi, pikiranku malah semakin kacau.Bola mataku bolak-balik mengarah ke kanvas dan tubuh Andreas. Terkadang tanganku gemetar begitu menggambar bagian bawah tubuhnya.Fokus, Andini! Namun sialnya, aku mulai gelisah sambil merapatkan kedua kakiku.Kini ujung pensilku mulai mengarsir bagian pinggul Andreas. Hah, rasanya pasti menyenangkan kalau t
Udara pagi yang segar menyapu dahiku yang berkeringat. Suasana komplek perumahan ini memang sepi kalau pagi-pagi begini. Lampu-lampu jalan bahkan masih menyala karena hari masih gelap.Suara cicitan burung mengiringi setiap langkahku yang stabil. Aku terus mengatur ritme napasku seraya mengayunkan kedua kaki. Sudah lima kilometer aku berlari dari target sepuluh kilometer yang kutentukan.Saat aku berbelok, tiba-tiba aku mendengar derap kaki dari belakang punggungku. Kupikir hanya orang asing yang lewat. Namun saat langkah kami sejajar, aku bisa mencium aroma yang familiar.“Pagi, Andini.”Sontak, aku terkesiap. Mendengar sapaan itu membuat hatiku membuncah riang.“Andreas?!”“Hai,” balasnya.Aku pun memperlambat langkahku. “Well, aku enggak tahu kalau kamu ternyata suka lari. Tahu begitu kita bisa janjian lari bareng.”“Kadang aku suka bangun kesiangan,” Andreas terkekeh pelan.Aku memperhatikan otot tangan Andreas yang nampak jelas karena dia hanya mengenakan kaos tanpa lengan.“Send
Sudah sebulan berlalu sejak kepindahan Andreas dan hubungan kami pun semakin dekat.Jujur, sejak kehadirannya, aku merasa seperti remaja yang kembali jatuh cinta. Di setiap detik dalam hidupku, wajah brondong itu selalu memenuhi otakku.Aku tahu ini salah, tapi toh tindakanku tidak kelewat batas. Semua khayalan liarku hanya tersimpan rapi di benakku. Aku tetap menjaga kesetiaanku pada keluarga kecilku. Jadi, kunikmati saja semua ini karena hal itu malah membuatku bahagia.Malam ini, Andreas mengundangku hadir di pameran lukisan tunggalnya. Tadinya, aku hendak datang bersama Pras–sekalian mengenalkan suamiku padanya–tapi seperti biasa Pras selalu sibuk dengan pekerjaannya. Jadi, aku datang dengan Jihan.Evan dan Rico juga sudah kutitipkan di rumah orangtuaku s
Aku langsung menahan leher gelas itu agar tidak menyentuh lantai dan menimbulkan kehebohan.Andreas memang tidak pernah bilang kalau dia masih lajang. Tapi seharusnya dia memberitahuku kalau dia sudah punya pacar! Pantas, dia tidak pernah membahas lukisan itu denganku.Entah kenapa aku jadi merasa seperti ditipu. Tapi kalau kupikir-pikir, perasaan ini sungguh konyol. Andreas bahkan tidak tahu kalau aku menyukainya. Kami juga tidak punya hubungan apa-apa, selain bertetangga.Kini kepalaku terasa panas begitu mereka saling bertukar pandang penuh cinta. Tidak tahan dengan semua ini, aku langsung memutar tubuhku.“Eh, tunggu,” Jihan nampak kaget dan mengikutiku dari belakang. “Kamu mau kemana, Ndin?”
Aku menelan ludah dalam-dalam. Setiap lipatan di tubuhku terasa basah karena di dalam sini ternyata cukup panas dan pengap juga.Namun, adrenalinku berpacu cepat. Pelan-pelan, aku menjulurkan leherku, mengintip mereka dari sela-sela pintu lemari. Melihat mereka bergumul di atas ranjang membuat sekujur tubuhku merinding.Kini Andreas mengangkat tubuh Bianca dan membiarkan perempuan itu duduk di atas pangkuannya.Tubuh Bianca, yang bak model itu, menjulang sempurna. Siluetnya begitu indah apalagi dengan bias cahaya temaram kamar ini.Rambut panjang Bianca tergerai sementara gaunnya setengah melorot. Remasan tangan Andreas pada kedua dada Bianca membuat leher wanita itu menghentak ke belakang.“Ough, Andreas…s
Tubuhku berguncang hebat saat tatapan kami akhirnya beradu. Cahaya lampu dari luar menembus masuk, menyinariku yang mematung di depan lemari pakaian.“A-Andini?” Andreas tergagap.“Maafkan aku…” ucapku lirih. “A-aku salah kamar. Jadi, aku sengaja sembunyi di lemari supaya enggak ketahuan.”Tubuh Andreas mendekat seiring dengan ritme jantungku yang semakin cepat. “Ka-Kamu melihat semuanya?”“Ma-maaf…sebenarnya aku mau keluar saja tapi–”Bola mataku sontak melebar begitu Andreas menghambur dan mendaratkan ciuman di bibirku.“Andreas?!” Aku langsung melepas ciuman itu dan mendorongnya. “
Sumpah, setiap kamar di resort ini terlihat sama. Begitu pula dengan jalannya yang seperti labirin. Sedari tadi, aku merasa seperti berputar-putar di tempat yang sama.Aku lalu mengikuti suara deburan ombak dari kejauhan, karena pemandangan kamarku yang langsung menuju ke pantai.Sampai akhirnya aku memasuki area bermain dan seseorang meneriaki namaku. Aku menoleh. Jihan melambaikan tangannya dari pinggir restoran. Tampangnya nampak cemas.Lalu tidak jauh dari sana, aku melihat kedua anakku sedang asyik bermain pasir.Sekarang masalahnya, alasan apa yang harus kukatakan pada mereka? Masa aku harus bilang aku habis bercinta dengan Andreas, si brondong tampan yang tinggal di depan rumahku?!*
“Mas Pras?!”“Ratih?!” Pras melonjak kaget ketika melihat sosok Ratih yang muncul dari balik pundaknya. “Se-sedang apa kamu di sini?!”Pandangan Ratih melirik sekilas ke arah Andini serta Andreas yang tertawan di tengah pondok. Matanya terbelalak kaget. Apalagi Ratih bisa mencium bau bensin yang menyengat.“Mas, jangan bertindak gila. Ayo, kita pulang sekarang,” Ratih bergerak mendekat, memandang Pras dengan memohon. Kedua tangan dingin wanita itu meraih tangan Pras.Namun Pras langsung menepisnya. “Pulang? Sudah kubilang, aku akan menghabisi mereka dulu, Tih. Setelah itu, baru kita bisa berbahagia.”“Tidak, Mas,” sergah Ratih cepat, menghalau gerakan tangan Pras yang hendak menyalakan korek. “A-Aku enggak ingin memiliki suami seorang pembunuh. Lagian, kita juga salah.”“Halah, persetan! Jangan ikut campur urusanku atau aku akan membunuhmu juga,” Pras memicingkan matanya yang sontak membuat Ratih bergidik ngeri.“Aku mencintaimu, Mas…sungguh…jadi, tolong jangan lakukan ini. Lepaskan me
Telinga Andreas berdengung begitu keras saat dia kembali mendapatkan kesadarannya. Penglihatannya yang kabur kini berangsur pulih.“A-Andini?” Pria itu menoleh dan mendapati Andini yang tergolek lemah di sampingnya. Andreas berusaha menggerak-gerakkan bagian-bagian tubuhnya yang terikat erat. “Andini?” bisiknya lagi.Kedua kelopak mata wanita itu perlahan membuka. Ada sedikit kelegaan di hati Andreas melihat Andini yang menggeliat pelan.“Andreas!” Wanita itu terkesiap lemah. “Syukurlah…kamu masih hidup. Dia akan membunuh kita…”“Tidak. Kita akan keluar dari sini,” Andreas berusaha meyakinkan Andini, walau dia sendiri sebenarnya sangsi.Mata Andreas menjelajahi pondok tempat mereka disekap. Dari jendela itu, terlihat hari sudah malam. Embusan angin kencang membawa dedaunan yang jatuh menghantam permukaan jendela.Tubuh Andreas terikat erat di kursi kayu. Usahanya melonggarkan ikatan di kaki dan kedua tangannya sepertinya gagal.Di dekatnya tidak ada alat-alat tajam yang bisa dia raih.
Andini mengerang pelan. Begitu kedua kelopak matanya membuka, perlahan dia mendapati penglihatannya kembali. Kepalanya terasa begitu sakit, seperti ada ribuan paku yang memukul dari dalam.“Ugh…” Dia coba menggerak-gerakkan tubuhnya yang diikat dengan tali di atas kursi kayu. Namun, sekuat apapun usahanya, ikatan yang melilit di sekujur tubuhnya itu sangat kuat.Napas Andini terengah. Udara dingin masuk melalui celah-celah kayu. Dia memandangi sekitar, begitu senyap dengan perabotan-perabotan usang. Lampu bohlam kuning memendar, mengedarkan cahaya temaram.“Tolong! Tolong!” Andini berusaha berteriak, walau suara yang keluar dari mulutnya terdengar lemah. Seketika pintu dihadapannya berderit terbuka. Napas Andini tertahan. Jantungnya kembali berdebar kencang begitu sosok Pras muncul di depannya.Pras mengendus keras, sambil menyipitkan matanya ke arah Andini. Tawanya berderai, memantul ke setiap sudut ruangan di pondok kayu yang kecil ini.“Andini…” Pras berkacak pinggang, menatap bol
Andreas menyusuri selasar kamar hotel dengan jantung yang berdegup lebih cepat dari biasanya. Wajar pria itu gugup karena sebentar lagi dia akan bertemu dengan calon istrinya, lalu menuntunnya hingga ke tempat acara dan pada akhirnya hubungan mereka disahkan di mata negara.Membayangkannya saja sudah membuat perut Andreas bergejolak. Dia tidak menyangka hubungannya dengan Andini akan berakhir manis seperti ini.Andreas menekan bel kamar Andini, setelah menghela napas pendek. Sesekali dia membenarkan posisi dasi kupu-kupunya serta jas yang dikenakannya.Namun, Andini belum juga membukakan pintu untuknya. Setelah menekan bel yang terakhir dan pintu tetap bergeming, tangan Andreas menarik turun gagang pintu kamar. Dahinya mengernyit karena ternyata kamar itu tidak terkunci.“Ndin?” Andreas mendorong pintu perlahan. “Sayang?” Andreas mengetuk pintu kamar mandi, tapi tidak ada jawaban.Dia lantas melempar pandangannya ke sekitar kamar. Mata Andreas pun tertuju ke ponsel Andini yang ada di
“Argh…” Andini merintih begitu tubuhnya menghantam lantai kamarnya yang keras dan dingin. Napasnya menderu dengan kencang disertai dengan jantungnya yang berdetak begitu cepat.Andini beringsut, menyandarkan dirinya di pinggiran ranjang. Tangannya langsung meraba lehernya. “Astaga, semuanya terasa begitu nyata…” pikir Andini. Pras hadir dalam mimpinya, berusaha mencekiknya dan menyeretnya ke dalam neraka. Benar-benar mimpi yang buruk.Petir kembali menggelegar di luar sana. Andini bergidik dan seketika lampu kamarnya padam. Mimpi buruk itu belum sirna dari benaknya dan sekarang dia malah dikungkung kegelapan.Seketika, ketakutan merayapi dirinya. “Tidak,” Andini menggeleng. “Tidak mungkin pria itu muncul. Dia sudah mati. Lagian itu cuma mimpi.” Lantas, Andini mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Cepat-cepat dia menyalakan senter lalu bangkit. Dia melangkah sedikit tertatih, mengecek keadaan Eva yang tidur di boks bayi. Bayi itu terlelap dengan damai.Saat Andini menyibakkan t
Senja perlahan menelan langit biru, menggantinya dengan semburat jingga yang menyerbak di atas sana. Angin sore yang sepoi-sepoi menyapu dahi Andini, menggerakkan helaian poninya.Sambil mendesah pelan, Andini menatap rumah tingkat dua di hadapannya. Rumah yang sudah ditempatinya selama sepuluh tahun, yang banyak memberinya kenangan indah maupun buruk.Truk pengangkut barang yang terakhir belum lama pergi. Sekarang giliran dirinya serta ketiga anaknya yang akan meninggalkan rumah ini.Pandangan Andini beralih ke spanduk yang terbentang di depan pagar rumahnya. Tulisan ‘Dikontrakan’ terpampang jelas.Akhirnya, Andini memutuskan untuk keluar dari rumah itu dan mengontrak untuk sementara waktu, sebelum akhirnya pindah ke Bali tahun depan.Andreas tidak ingin menempati rumah yang dibeli oleh Pras, begitupula Andini. Lagi pula, itu adalah rumah anak-anaknya.“Yuk,” Andreas menepuk pundak Andini. “Sudah sore, kita masih harus merapikan barang-barang di rumah baru.”Andini mengangguk, mening
Ratih dihantam syok yang luar biasa sehingga membuat wanita itu pingsan selama beberapa saat.Seketika Ratih mengerang, membuka kedua kelopak matanya. Dadanya masih berdebar begitu melihat Pras yang ada di samping ranjang.“Ma-Mas Pras?” Dirinya masih belum bisa mencerna semua ini. Bagaimana bisa Pras hidup kembali? Jelas-jelas dia dinyatakan tewas dalam kecelakaan pesawat tempo lalu.“Akhirnya kamu sadar juga,” raut wajah Pras terlihat sedikit cemas. “Tenang, Tih. Aku bukan hantu.”Ratih beringsut, menyandarkan punggungnya di sandaran ranjang. “Ta-tapi, bagaimana bisa? Mas Pras sudah mati…”Pras mendengus. “Kenyataannya aku masih hidup.”Ratih menjulurkan tangannya, meraba lengan Pras yang kini lebih berotot. “Astaga, jadi ini bukan mimpi?”Pras bangkit dari kursinya. Dia berjalan ke arah jendela, memandangi langit biru yang membentang di luar.“Selama ini, aku memalsukan kematianku,” tandas Pras.“Tapi, untuk apa, Mas?” Ratih terdengar penasaran.Kedua tangan Pras tenggelam di saku
Tubuh Ratih seakan membeku. Degupan jantungnya kini berdebar begitu hebat.‘Tidak. Ini enggak mungkin! Mas Pras sudah tewas dalam kecelakaan pesawat itu!’ Pekik Ratih dalam hati.Namun, sebesar apapun usahanya untuk mengindahkan pikiran itu, tetap saja Pras berdiri di depannya, dengan tubuh yang jauh berbeda seperti sebelumnya.Otot-otot tangan Pras menonjol dengan dada yang lebar.“Hai, Ratih,” Suara itu jelas suara Pras. Dia tidak meragukannya sedikit pun! Mata Ratih mengerjap cepat, berharap semua ini mimpi.Namun, wangi aroma bunga yang menyebar di tokonya terasa begitu nyata. Bayangan Pras yang mendekat pun juga nyata.Tubuh Ratih gemetar hebat dan sentuhan tangan besar di bahunya semakin menekankan bahwa Pras belum mati. Tapi bagaimana mungkin?!“Ma-Mas Pras?” Suara Ratih terdengar parau kali ini. Bola mata Pras menatapnya tajam. “Kenapa kamu terlihat begitu ketakutan, hah? Aku bukan hantu.”“Ta-Tapi…bu-bukanya Mas…”“Tewas dalam kecelakaan pesawat itu?” Pras melanjutkan kalima
“Tinggalkan putraku,” ucap Brenda saat mereka duduk berhadapan di ruang tengah.Kedua bola mata Andini langsung membelalak lebar. “A-Apa?” Bibirnya bergetar dengan pernyataan Brenda yang bagai petir di siang bolong itu.Brenda menghela napas pelan, seiring dengan kedua bahunya yang merosot. “Itu mungkin ucapan dari orangtua yang egois,” tukas Brenda lagi. “Tapi aku bukan tipe orangtua yang egois, Andini.”Kedua alis Andini bertautan. Dia masih belum menangkap maksud ucapan Brenda.“Aku enggak mungkin menyuruh Andreas untuk meninggalkanmu. Aku tahu, dari tatapan dia melihat dirimu, Andreas pasti sangat mencintaimu,” pandangan Brenda beralih ke Andini yang masih nampak tegang.Brenda lantas menggeleng. “Tidak, aku enggak akan menyuruhmu untuk meninggalkan putraku. Dan soal perbincangan semalam…”“Maafkan aku,” sela Andini cepat. “Enggak seharusnya aku mencuri dengar percakapan kalian. Aku tahu aku kelewatan, Tante.”Brenda bersedekap. “Semalam kami agak dipengaruhi alkohol. Jadi, perasa