“Siapa kau?!”
“Tuan muda…” “Jawab aku!” Mo Tian merasa kepalanya berputar, dia seperti melihat kunang-kunang. Gambaran aneh tiba-tiba muncul dalam pikirannya, gambar sabit hitam, lautan jiwa yang meratap memohon belas kasih, dan takhta megah yang gelap. "Apa yang terjadi? Siapa aku sebenarnya?" tanya Mo Tian sebelum akhirnya pingsan. Pandangannya menjadi gelap, dan di dalam pingsannya Mo Tian seperti berada di tengah-tengah lautan, tapi bukan air. Melainkan lautan jiwa manusia, mereka memanggilnya. Beberapa saat kemudian, Mo Tian sadar, tapi desa tempat dia tumbuh telah menjadi abu. Tidak ada yang tersisa, hanya reruntuhan dan bau hangus. Rumahnya, telah musnah. Juga orang tuanya telah tiada. Mo Tian merasa percuma dia hidup, dia ingin mati, mengikuti orang tuanya. “Apa ini? Darimana aku mendapatkannya?” tanya Mo Tian memandang pedang yang berada di tangannya. Meskipun bingung, dia tidak melepaskan pedang itu. Dia merasa ada jiwanya disana, meskipun tidak tahu, apa sebenarnya hubungannya dengan pedang itu. Disaat dia menggenggam pedang tua di tangannya, merasa ada sesuatu yang memanggilnya ke tempat yang lebih jauh. “Auuu!” Tanda di pundaknya kembali bersinar samar, Mo Tian bingung, ada apa dengan dirinya dan tanda sabit hitam itu. “Aku akan pergi,” ujar Mo Tian memutuskan. Dia bersumpah untuk mencari jawaban tentang siapa dirinya sebenarnya dan membalas dendam pada Sekte Langit Berdarah yang telah membunuh kedua orang tuanya dan menghancurkan segala yang berharga baginya. Keesokan harinya… Uhuk! Uhuk! Angin pagi membawa aroma kesedihan dan abu dan membuat Mo Tian terbatuk-batuk. Mo Tian berdiri di atas bukit kecil di tepi desanya yang kini rata dengan tanah, kenangan masa kecilnya hilang dalam semalam. Puing-puing rumah berserakan, dan nyala api masih membara di beberapa tempat. Tubuh-tubuh penduduk desa, termasuk kedua orang tuanya, ikut terbakar bersama api yang membara. Mereka hilang tanpa bekas. "Tuan Muda, pergilah. Dunia ini terlalu luas untuk dikuasai rasa takut. Desa ini tidak ada artinya lagi. Carilah jawaban atas takdirmu," ujar suara parau itu di benaknya yang terus berdengung hingga sekarang. Suara yang tidak dikenal namun terasa begitu akrab, tapi cukup mengganggu pikirannya. Dengan pedang tua berkarat di tangannya, yang entah dari mana datangnya, Mo Tian mengalihkan pandangannya dari desa. Dia tahu, masa kecilnya yang sederhana telah berakhir hari ini. Kini ia harus meninggalkan segalanya, mencari jawaban atas pertanyaan yang terus membebani pikirannya. “Ayah, Ibu… aku pergi,” pamit Mo Tian sambil membungkukkan badannya. Whuss! Angin sejuk berembus menerpa wajahnya, seolah itu adalah jawaban dari kedua orang tuanya yang merelakan anaknya mengembara di dunia fana ini. Langkah Mo Tian membawa dirinya ke Hutan Luanyang, sebuah tempat yang terkenal penuh dengan bahaya. Pohon-pohon raksasa menjulang tinggi dengan akar yang menjalar liar, menciptakan bayangan menyeramkan meski siang hari. Aroma lembab begitu terasa. Disetiap desiran angin terasa seperti bisikan misterius membangkitkan bulu kuduk. Tapi, Mo Tian tak punya pilihan lain. Jalan menuju kota terdekat melewati hutan ini. Kretak! Baru saja Mo Tian melangkah masuk, suara patahan ranting membuatnya berjaga. Insting tajamnya, yang dia tak pahami sepenuhnya, memperingatkan bahwa dia tidak sendirian. Mo Tian bersiap dengan kuda-kuda beladiri, yang membuatnya beberapa saat tersadar, dari mana dia belajar beladiri. Selama ini dia hanya tumbuh di desa, tidak pernah belajar ilmu apapun. “Kau!” Dari balik pepohonan besar, sesosok wanita muncul dengan pedang terhunus. Rambut panjangnya diikat rapi, dan matanya tajam menatap Mo Tian seperti elang mengawasi mangsa. Pakaiannya sederhana, namun penuh dengan bekas robekan dan noda darah, menandakan pengalaman bertarung yang tidak sedikit. “Iya, ada apa?” tanya Mo Tian sambil melanjutkan perjalannya. “Hentikan langkahmu,” perintah wanita itu dingin. “Aku harus bergegas,” jawab Mo Tian. “Kau siapa, dan apa tujuanmu di sini?” tanya wanita itu. Mo Tian memandang wanita itu, bingung. “Aku hanya seorang pengembara. Aku harus melewati Hutan Luanyang sebelum gelap,” jawabnya jujur. “Aku tidak percaya!” “Kau bisa mengikutiku kalau tidak percaya.” “Pedang itu…” “Ini hanyalah pedang tua,” jawab Mo Tian. Namun, wanita itu tidak terpengaruh. “Bohong! Itu bukanlah pedang biasa. Apa kau anggota Sekte Langit Berdarah?” “Sekte Langit Berdarah?” Mo Tian terkejut, beberapa saat kemudian dia menggeleng. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan.” “Kau berbohong!” teriak wanita itu sambil menyerang dengan kecepatan luar biasa. Mo Tian refleks mengangkat pedangnya untuk menangkis. Traang! Suara logam bertemu logam memenuhi udara. Mo Tian tersentak. Serangan itu begitu kuat, meski pedang wanita itu hanya pedang baja biasa. “Berhenti! Aku bukan musuhmu!” seru Mo Tian sambil mundur. Wanita itu tidak peduli. Dia terus menyerang dengan serangkaian gerakan cepat dan mematikan. Setiap tebasan dan tusukan terasa seperti angin tajam yang hampir tidak bisa dihindari. Mo Tian, yang belum pernah dilatih ilmu bela diri, hanya bisa bertahan dengan mengandalkan insting. Anehnya, tubuhnya bergerak seolah-olah dia sudah berlatih selama bertahun-tahun. Pedang tua di tangannya terasa ringan, hampir seperti bagian dari dirinya. “Aku sudah muak dengan tipu daya kalian,” desis wanita itu di antara serangannya. “Aku tidak mengerti,” jawab Mo Tian. “Setelah sekian banyak nyawa yang kau hancurkan, apa kau pikir aku akan membiarkanmu hidup?” “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan!” balas Mo Tian dengan nafas tersengal. Setelah beberapa menit bertarung sengit, keduanya terpisah oleh jarak. Mo Tian memegang pedangnya dengan erat, sementara wanita itu menatapnya tajam, mencari celah. “Cara kau bertarung, kau tidak seperti anggota Sekte Langit Berdarah lainnya...” gumam wanita itu, mulai merasa ragu. “Aku bahkan tidak tahu siapa mereka!” seru Mo Tian, frustasi. Wanita itu akhirnya menurunkan pedangnya, meski tatapannya tetap penuh kecurigaan. “Kalau begitu, siapa kau sebenarnya?” Mo Tian menghela nafas, mencoba menenangkan dirinya. “Namaku Mo Tian. Aku berasal dari sebuah desa kecil di lembah yang baru saja dihancurkan oleh orang-orang yang tidak kuketahui, tapi ada yang bilang kalau mereka adalah Sekte Langit Berdarah.” Mendengar itu, wajah wanita itu melunak sedikit, namun ia tetap waspada. “Aku Liu Qingxue,” katanya singkat. “Aku seorang pemburu hadiah.” Setelah ketegangan mereda, sekarang sudah mulai gelap, keduanya duduk di dekat api unggun kecil yang dibuat Liu Qingxue. Cahaya api menerangi wajah mereka, menciptakan bayangan samar di pepohonan sekitar. “Apa yang kau tahu tentang Sekte Langit Berdarah?” tanya Mo Tian, memecah kesunyian. Liu Qingxue menghela nafas panjang. “Mereka adalah sekte jahat yang terkenal di dunia persilatan. Mereka membantai desa-desa kecil, menculik anak-anak, dan merampas sumber daya. Aku kehilangan keluargaku karena mereka.” Mo Tian terdiam. Ia merasa rasa sakit Liu Qingxue mencerminkan perasaannya sendiri. “Mereka mengejar sesuatu,” lanjut Liu Qingxue. “Apa yang mereka kejar?” “Sebuah kekuatan besar yang katanya mampu mengubah tatanan dunia.” “Tapi, mengapa mereka menghancurkan desa?” “Darimana kau mendapatkan pedang itu?” tanya Liu Qingxue mengabaikan pertanyaan Mo Tian. “Aku tidak tahu dari mana pedang ini datang. Tiba-tiba saja, dia muncul di tanganku saat orang tuaku dibunuh.” Mata Liu Qingxue menyipit. “Pedang yang muncul begitu saja? Kau pasti pembohong ulung.” “Aku tidak berbohong dan aku tidak tahu apa-apa,” jawab Mo Tian, suaranya melemah. “Kemana tujuanmu?” “Aku tidak ada tujuan pasti, hanya saja aku ingin tahu siapa diriku. Apa arti tanda ini.” Mo Tian menunjuk ke pundaknya, di mana tanda hitam berbentuk sabit bersinar samar di bawah cahaya api. Liu Qingxue memandang tanda itu dengan serius. “Aku pernah mendengar cerita tentang tanda lahir. Sebagian orang percaya itu adalah tanda dari dunia roh. Mungkin kau terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari sekadar dunia fana.” Mo Tian menatap Liu Qingxue dengan tatapan bingung, namun penuh harap. “Apa kau tahu di mana aku bisa menemukan jawaban?” “Ada seorang tetua di Kota Jingbei. Dia dikenal sebagai Tabib Langit. Katanya, dia tahu banyak tentang rahasia dunia ini. Cobalah kesana, kalau beruntung kau bisa bertemu dengannya.” “Kalau tidak beruntung?” “Kau akan mati di tangannya, karena dia tidak sembarangan menolong dan juga tidak sembarangan membunuh.”“Kalau mati itu takdir.” “Kau tetap mau ke sana?” “Iya.” Liu Qingxue hanya tersenyum melihat kegigihan Mo Tian. “Ikutlah denganku,” ajak Mo Tian akhirnya. “Aku?” “Iya.” “Kenapa harus ikut?” “Aku tidak pernah bepergian keluar desa. Kau bisa jadi penunjuk jalanku. Dan juga, selama perjalanan, siapa tahu kau bisa menemukan apa yang kau cari,” jawab Mo Tian. Setelah beberapa saat diam, Liu akhirnya setuju untuk ikut mengembara bersama Mo Tian. Di tengah perjalanan mereka keluar dari hutan, keduanya dihadang oleh sekelompok bandit bersenjata. Ada sekitar sepuluh orang, masing-masing membawa pedang atau tombak. “Serahkan barang-barang kalian, atau nyawa kalian yang jadi taruhannya!” seru salah satu bandit, pria kekar dengan bekas luka di wajahnya. Liu Qingxue melangkah maju tanpa rasa takut. “Kalian tidak tahu siapa yang kalian hadapi.” “Kami tidak peduli siapa kalian!” balas bandit itu sambil menyerang. Pertarungan pun dimulai. Liu Qingxue, dengan gerakan yang c
“Tidak ada yang tahu pasti,” jawab Tabib Langit. “Namun, banyak yang percaya bahwa kitab itu tersembunyi di sebuah tempat bernama Gunung Kelam, tapi itu hanyalah sebuah dugaan. Sekte Langit Berdarah sudah mulai mengirim pasukan ke sana,” sambung Tabib Langit. “Gunung Kelam?” “Iya, tempat yang cukup jauh. Bahkan sangat sulit di jangkau, hampir tidak pernah ada orang yang pernah kesana. Termasuk ketua sekte Langit Berdarah.” Mo Tian merasakan ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya saat mendengar nama Gunung Kelam. Ia tidak tahu kenapa, tapi tempat itu sepertinya memiliki hubungan dengan dirinya. Tapi, dia tidak yakin. Karena sejak lahir, dia tumbuh dan besar di desa. Dia tidak pernah kemana-mana. “Kalau begitu, kita harus menghentikan Yan Wuxi sebelum dia menemukan kitab itu,” ujar Liu Qingxue dengan penuh tekad. Tabib Langit mengangguk sambil tersenyum. “Semangatmu terlalu tinggi, Anak Muda. Kalian bukan lawannya. Yan Wuxi bukan hanya pendekar sakti. Ia juga seorang manipula
“Kita harus melapor ke Yan Wuxi,” ujar pria itu. “Tidak. Yan Wuxi memerintahkan kita untuk memastikan mereka tidak sampai menemukan Kitab Kematian. Kita bisa menghabisi mereka di sini, sebelum menjadi ancaman.” Wanita itu mengangguk, dan keduanya mulai bergerak perlahan, mendekati Mo Tian dan Liu Qingxue yang sedang beristirahat. “Aku masih tidak mengerti kenapa kau harus memancing masalah seperti tadi,” ujar Mo Tian sambil meregangkan tubuhnya. “Masalah adalah bagian dari hidup, anak muda,” jawab Liu Qingxue dengan nada menggoda. Sebelum Mo Tian sempat membalas, ia tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh. “Ada yang tidak beres.” Baru beberapa hari dalam perjalanan, sekarang Mo Tian sudah bisa merasakan sesuatu dengan instingnya. Dan ternyata bukan hanya Mo Tian, melainkan Liu Qingxue juga merasakan hal yang sama. “Kita sedang diawasi,” bisiknya. “Apa yang harus kita lakukan?” tanya Mo Tian. “Perjalanan ini akan seru,” kekeh Liu Qingxue. Sebelum mereka sempat berge
“Kenapa?” tanya Jiang Yi bingung melihat keraguan di mata Liu Qingxue.“Kami memiliki tujuan yang sangat penting,” jawab Liu Qingxue.Jiang Yi menatap Liu Qingxue penuh selidik. “Maksudnya, kakak seperguruan tidak bisa kembali ke Sekte Awan Putih?”“Kondisi kita sekarang sedang kacau, guru sedang sekarat dan setiap hari bertanya tentang Kakak Seperguruan. Sekarang, kamu malah tidak mau kembali,” sambung Jiang Yi.Mo Tian, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. “Kau harus pergi, Liu Qingxue. Sekte Awan Putih adalah keluargamu, dan Guru adalah orang yang penting bagimu. Aku tidak bisa memaksamu untuk meninggalkan mereka demi aku. Pergilah.”“Bagaimana denganmu?” tanya Liu Qingxue.“Aku akan melanjutkan perjalanan ini.”“Tapi aku sudah berjanji untuk membantumu,” balas Liu Qingxue dengan suara bergetar.“Janji itu bisa menunggu,” ujar Mo Tian dengan tenang. “Aku masih belum tahu kemana tujuan kita selanjutnya, dan perjalanan ini adalah tentang aku menemukan diriku sendiri. Kau harus m
Beberapa hari setelah kedatangannya, ternyata Guru sekaligus Ketua Sekte Awan Putih akhirnya wafat. Luka yang dialaminya cukup parah, merusak seluruh bagian organ dalamnya.Liu Qingxue berdiri di depan aula utama Sekte Awan Putih, wajahnya dipenuhi kesedihan yang sulit disembunyikan. Hatinya berat, bukan hanya karena kehilangan sang guru, tetapi juga karena beban tanggung jawab yang ditawarkan kepadanya.Ketua Sekte Awan Putih, meninggal dunia setelah bertahan cukup lama hanya dengan kekuatan roh dan tenaga dalamnya. Ia telah menunggu Qingxue kembali untuk menyampaikan pesan terakhirnya.Saat itu, di ranjang sederhana, guru yang telah mendidiknya sejak kecil memegang tangan Qingxue dengan lemah. “Qingxue... aku tahu hatimu. Kau adalah murid terbaik yang pernah aku miliki, tapi jalurmu berbeda. Jangan biarkan dendam mengaburkan nuranimu. Dunia ini butuh orang sepertimu...” Itulah kata-kata terakhir yang terucap sebelum sang guru mengembuskan nafas terakhir.Tangisan para murid dan tetu
Di tepi sungai yang tenang, Mo Tian dan Liu Qingxue duduk bersandar pada pohon besar. Meski malam sudah larut, keduanya tidak dapat memejamkan mata. Pikiran mereka terus dipenuhi dengan pesan dari pendekar Sekte Langit Berdarah. Benteng Langit Merah—nama itu tidak asing bagi Liu Qingxue.“Benteng Langit Merah...” gumam Liu Qingxue sambil memandang air sungai yang mengalir perlahan. “Itu bukan tempat biasa, Mo Tian. Banyak pendekar hebat yang kehilangan nyawa di sana. Tempat itu lebih mirip arena pembantaian daripada pertandingan.”Mo Tian menatapnya penuh perhatian. “Aku mendengar tempat itu adalah arena duel yang terkenal di kalangan pendekar. Tapi apa yang membuatnya begitu berbahaya?”“Di sana, tidak ada duel biasa,” jelas Liu Qingxue. “Setiap pertarungan adalah pertaruhan hidup dan mati. Yang kalah harus menyerahkan nyawanya. Yan Wuxi pasti tahu itu, dan dia sengaja mengarahkan kita ke sana. Ini jebakan.”Mo Tian merenung sejenak. “Kalau begitu, mengapa dia mengarahkan kita ke san
Arena Benteng Langit Merah menggema oleh sorakan penonton. Suara dering senjata yang bertemu memekakkan telinga. Mo Tian, yang berada di tengah arena, sudah kehabisan tenaga setelah menghadapi tiga lawan berturut-turut. Keringat bercucuran di wajahnya, dan luka di lengan kirinya membuat gerakannya melambat.Lawan terakhirnya adalah seorang pendekar berbaju merah dengan dua pedang pendek. Gerakan pria itu lincah, serangannya cepat dan tak kenal ampun. Meski Mo Tian mencoba bertahan, setiap detik memperlihatkan bahwa ia semakin terdesak.Liu Qingxue, yang berdiri di antara penonton, mencengkram tepi lengan bajunya dengan gelisah. “Dia tidak bisa terus seperti ini... Dia bisa mati,” gumamnya, nyaris berbisik. Namun ia tahu, tidak ada yang bisa ia lakukan. Peraturan arena melarang siapapun untuk turun tangan membantu.Satu serangan tajam dari pendekar berbaju merah berhasil memukul pedang Mo Tian hingga terlepas dari genggamannya. Senjata tua itu terjatuh, terpental beberapa meter ke samp
Udara di hutan itu semakin pekat. Liu Qingxue dan Mo Tian merasakan sesuatu yang aneh. Angin membawa aroma asing, seperti campuran ramuan pahit dan tanah basah yang terlalu lama terendam. Liu Qingxue berhenti, mengerutkan kening.“Mo Tian, kau merasakannya?” tanyanya sambil menatap sekitar.Mo Tian mengangguk, wajahnya mulai pucat. “Ada sesuatu di udara ini. Aku merasa berat… seperti tidak bisa bernapas dengan benar.”Langkah mereka melambat. Kepala Mo Tian mulai terasa ringan, sementara Liu Qingxue merasakan pusing yang tak tertahankan. Pandangan mereka kabur, dan tubuh mereka seperti kehilangan tenaga.“Kita harus keluar dari sini,” kata Liu Qingxue dengan nada tegas. Ia meraih lengan Mo Tian, berusaha menariknya untuk kembali ke jalur sebelumnya. Namun, langkah mereka terhenti oleh suara dingin dari balik kabut.“Tidak ada yang bisa keluar dari tempat ini hidup-hidup.”Dari balik bayangan pepohonan, seorang pria berpakaian serba hitam muncul. Wajahnya tersembunyi di balik topeng, h
Langkah Mo Tian, Liu Qingxue, dan Fang Zhi terasa berat saat mereka memasuki gua di tengah Lembah Tujuh Bintang. Udara di dalamnya dingin dan lembab, diselimuti aura yang mencekam. Cahaya biru yang semula memandu mereka mulai memudar, digantikan oleh kegelapan pekat.Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari atas mereka. Tanah bergetar, dan batu-batu besar mulai berjatuhan. Mo Tian berteriak, “Hati-hati! Gua ini runtuh!”Ketiganya mencoba berlari kembali ke pintu masuk, tetapi pintu gua tiba-tiba tertutup oleh batu besar yang jatuh dengan cepat. Gua itu kini benar-benar tertutup.“Tidak!” seru Liu Qingxue, memukul batu yang menghalangi jalan keluar mereka. Namun, tidak ada yang bisa mereka lakukan.Suara gemuruh semakin keras, disusul dengan jeritan yang menusuk telinga. Jeritan itu bukan berasal dari manusia, melainkan dari jiwa-jiwa yang tampaknya terjebak di dalam gua. Suara itu menggema di seluruh ruangan, membuat mereka semua merasa seperti tenggelam dalam penderitaan yang tak terl
Pagi itu, desa yang porak poranda oleh serangan Yan Wuxi dan Bai Zhen telah mulai bangkit kembali. Penduduknya, meskipun masih dalam suasana duka dan keletihan, berusaha menata kehidupan baru. Namun, Mo Tian, Liu Qingxue, dan Fang Zhi tahu bahwa kehadiran mereka di desa hanya akan membawa bahaya lebih lanjut.Dengan berat hati, mereka memutuskan untuk pergi. Para penduduk desa berkumpul di gerbang untuk melepas kepergian mereka. Wu Zhan, tetua desa, memberikan doa dan harapan terbaiknya.“Mo Tian, Liu Qingxue, Fang Zhi,” katanya sambil menggenggam tangan mereka satu per satu. “Kami berhutang nyawa kepada kalian. Dunia ini mungkin keras, tetapi kalian membawa secercah harapan bagi kami. Hati-hati di perjalanan kalian. Kami akan berdoa agar kalian berhasil.”Liu Qingxue tersenyum lembut, menahan air mata. “Kami berjanji akan kembali suatu hari nanti, ketika semuanya telah selesai.”Mo Tian, yang jarang menunjukkan emosinya, hanya membungkuk dalam-dalam. Di dalam hatinya, ia merasa berat
Hari-hari berlalu dengan perlahan di desa itu. Mo Tian dan Liu Qingxue memutuskan untuk tinggal sementara waktu, tidak hanya untuk memulihkan kekuatan Mo Tian tetapi juga untuk membantu penduduk desa membangun kembali kehidupan mereka. Serangan brutal Yan Wuxi dan Bai Zhen telah meninggalkan luka yang mendalam, baik pada bangunan maupun jiwa para penduduk.Mo Tian, meskipun belum sepenuhnya pulih, bersikeras membantu. Dia bersama para penduduk memindahkan puing-puing rumah yang hancur, mendirikan tenda sementara, dan menggali kuburan bagi mereka yang menjadi korban. Liu Qingxue juga tidak kalah sibuk, membantu para wanita desa memasak makanan untuk mereka yang bekerja keras dan merawat anak-anak yang kehilangan orang tua mereka.“Setidaknya aku bisa melakukan sesuatu untuk mereka,” kata Mo Tian suatu pagi saat dia dan Liu Qingxue sedang menata kayu untuk membangun kembali balai desa. “Aku tidak bisa membiarkan mereka menanggung ini sendirian.”Liu Qingxue memandangnya dengan kagum. “K
Selama beberapa hari, Mo Tian terbaring di rumah tabib. Tubuhnya perlahan pulih, tetapi setiap gerakan terasa berat seperti memikul beban dunia. Liu Qingxue tetap berada di sampingnya, memastikan dia mendapatkan perawatan terbaik. Dia memerhatikan Mo Tian dengan cermat, bahkan di saat dia tidak sadar.Mo Tian sering terbangun di malam hari, memandangi Liu Qingxue yang tertidur di kursi dekat ranjangnya. Dalam kesunyian malam, dia menyadari sesuatu yang selama ini dia abaikan—perasaan yang lebih dari sekadar persahabatan atau ikatan keluarga. Liu Qingxue adalah seseorang yang penting baginya, lebih dari apa pun yang pernah dia miliki.Namun, Mo Tian memilih menyimpan perasaan itu dalam hatinya. Dia tahu perjalanan mereka masih panjang, dan ancaman yang mengintai terlalu besar. Baginya, menyatakan perasaan hanya akan menjadi beban tambahan untuk Liu Qingxue, yang sudah banyak berkorban untuknya.Pagi ini, saat matahari menyembul di balik bukit, Liu Qingxue duduk di tepi ranjang Mo Tian,
Tubuh Mo Tian berdiri tegak, meskipun setiap serat ototnya tampak bergetar hebat. Tanda hitam di pundaknya memancarkan cahaya gelap yang berdenyut seperti jantung yang hidup. Wajahnya berubah dingin, matanya yang biasanya penuh tekad kini memancarkan kegelapan yang tak berujung. Liu Qingxue berdiri beberapa meter di belakangnya, terdiam membeku melihat perubahan yang terjadi pada Mo Tian.Mo Tian melangkah maju, tubuhnya dipenuhi aura mengerikan yang membuat udara di sekitarnya terasa berat. Anak buah Yan Wuxi dan Bai Zhen, yang sebelumnya menyerang dengan percaya diri, kini terlihat gemetar. Mereka mundur dengan wajah pucat, namun tidak sempat untuk melarikan diri.Dalam satu gerakan cepat, Mo Tian melesat seperti bayangan. Serangannya begitu cepat dan kuat hingga pedang-pedang anak buah Yan Wuxi terlempar tanpa perlawanan. Satu per satu mereka tersungkur, tidak sanggup melawan kekuatan yang luar biasa itu.Yan Wuxi dan Bai Zhen mencoba melancarkan serangan balik, menggabungkan seran
Mo Tian dan Liu Qingxue kembali ke desa, mereka menatap ke arah kediaman Master Jian Xun dari kejauhan. Tempat itu tampak sunyi, jauh berbeda dari biasanya. Tidak ada suara percakapan, denting pedang, atau bahkan aktivitas para murid yang biasa mereka lihat. Asap tipis mengepul dari beberapa atap rumah di desa sekitar, memberikan kesan yang ganjil.“Ada yang tidak beres,” kata Liu Qingxue dengan nada waspada.Mo Tian mengangguk setuju. Mereka mempercepat langkah, melintasi jalan setapak yang penuh dedaunan kering. Ketika mereka tiba di desa, pemandangan yang mereka lihat membuat napas mereka tercekat.Desa itu porak-poranda. Rumah-rumah terbakar atau runtuh, jalanan dipenuhi puing-puing, dan udara dipenuhi aroma hangus bercampur dengan bau darah. Penduduk yang tersisa tampak lemah, beberapa menangis, dan lainnya hanya duduk terpaku dalam ketakutan.Seorang wanita tua, yang sedang membersihkan pecahan kayu di depan rumahnya yang hangus, menatap mereka dengan mata penuh kesedihan. “Kali
Mo Tian dan Liu Qingxue berdiri terpaku, menatap ke arah gelap tempat pria tua berjubah hitam itu menghilang. Napas keduanya masih tersengal setelah perjuangan berat mereka mendekati bangunan itu.“Dia... dia menghilang begitu saja,” ujar Liu Qingxue, suaranya bercampur antara bingung dan frustasi.Mo Tian menggenggam erat pedangnya, wajahnya tegang. “Dia pasti tahu sesuatu. Kita tidak boleh membiarkannya pergi begitu saja!”Tanpa membuang waktu, Mo Tian segera berlari ke arah pria itu sebelumnya berdiri. Liu Qingxue mengikutinya, meski tubuhnya masih terasa berat setelah bertarung melawan serangan-serangan tak terlihat tadi. Mereka berdua keluar dari bangunan tua itu, kembali ke kabut pekat yang menyelimuti Tanah Bayangan Jiwa.Namun, tidak ada tanda-tanda pria itu. Tidak ada jejak kaki di tanah, tidak ada suara langkah, bahkan tidak ada bekas keberadaannya.“Bagaimana mungkin dia menghilang begitu saja?” tanya Liu Qingxue, matanya menyapu sekeliling dengan waspada.Mo Tian menggelen
Kabut di sekitar Tanah Bayangan Jiwa semakin tebal, seolah menelan setiap cahaya yang mencoba menembusnya. Mo Tian dan Liu Qingxue terus berjalan, dengan setiap langkah terasa semakin berat. Energi gelap yang mengelilingi mereka seakan menyerap kekuatan dan semangat mereka, tetapi tekad untuk mencapai bangunan itu tetap menguatkan langkah mereka.“Bangunan itu sudah dekat,” ujar Mo Tian dengan suara yang bergetar. Ia menghapus keringat dari dahinya dan menggenggam erat pedangnya. “Kita tidak boleh menyerah sekarang.”Liu Qingxue menatap Mo Tian, napasnya tersengal-sengal. “Kita sudah sampai sejauh ini. Kita harus terus maju.”Namun, mendekati bangunan itu tidak semudah yang mereka bayangkan. Tiba-tiba, suara-suara berbisik mulai terdengar di sekitar mereka. Suara itu begitu lembut, seperti angin yang menyelinap ke dalam pikiran mereka, tetapi setiap kata membawa rasa takut dan keraguan.“Kenapa kalian terus maju?” bisik suara itu. “Tidak ada yang menunggu kalian di sana. Kalian hanya
Di ruang meditasi utama, cahaya lilin yang temaram menari di permukaan dinding kayu. Mo Tian dan Liu Qingxue duduk di hadapan Master Jian Xun, yang tampak serius dan penuh kehati-hatian. Sebuah peta tua terbentang di hadapan mereka, dipenuhi simbol-simbol kuno dan garis-garis yang sulit dipahami.“Tanah Bayangan Jiwa,” ujar Jian Xun, suaranya berat dan dalam, “bukanlah tempat biasa. Tempat itu dikenal sebagai perbatasan antara dunia manusia dan dunia akhirat. Sebuah tanah yang penuh ilusi, dimana batas antara kenyataan dan khayalan hampir tidak ada.”Liu Qingxue menatap peta itu dengan cemas. “Apa maksud Master dengan ilusi?”Jian Xun menghela napas. “Di Tanah Bayangan Jiwa, tidak ada manusia yang sebenarnya. Yang kalian temui di sana hanyalah jiwa-jiwa yang telah kehilangan harapan. Mereka adalah bayangan dari kehidupan masa lalu mereka, terjebak dalam kesedihan dan penderitaan tanpa akhir.”Mo Tian merasakan bulu kuduknya berdiri. “Jadi, setiap orang yang kita lihat di sana... hanya