Beranda / Fantasi / JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR / Bab 2. Bertemu Pendekar Wanita

Share

Bab 2. Bertemu Pendekar Wanita

Penulis: Aray Fu
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-21 16:44:21

“Siapa kau?!”

“Tuan muda…”

“Jawab aku!”

Mo Tian merasa kepalanya berputar, dia seperti melihat kunang-kunang. Gambaran aneh tiba-tiba muncul dalam pikirannya, gambar sabit hitam, lautan jiwa yang meratap memohon belas kasih, dan takhta megah yang gelap.  

"Apa yang terjadi? Siapa aku sebenarnya?" tanya Mo Tian sebelum akhirnya pingsan.

Pandangannya menjadi gelap, dan di dalam pingsannya Mo Tian seperti berada di tengah-tengah lautan, tapi bukan air. Melainkan lautan jiwa manusia, mereka memanggilnya.

Beberapa saat kemudian, Mo Tian sadar, tapi desa tempat dia tumbuh telah menjadi abu. Tidak ada yang tersisa, hanya reruntuhan dan bau hangus.

Rumahnya, telah musnah. Juga orang tuanya telah tiada. Mo Tian merasa percuma dia hidup, dia ingin mati, mengikuti orang tuanya.

“Apa ini? Darimana aku mendapatkannya?” tanya Mo Tian memandang pedang yang berada di tangannya.

Meskipun bingung, dia tidak melepaskan pedang itu. Dia merasa ada jiwanya disana, meskipun tidak tahu, apa sebenarnya hubungannya dengan pedang itu.

Disaat dia menggenggam pedang tua di tangannya, merasa ada sesuatu yang memanggilnya ke tempat yang lebih jauh. 

“Auuu!”

Tanda di pundaknya kembali bersinar samar, Mo Tian bingung, ada apa dengan dirinya dan tanda sabit hitam itu.

“Aku akan pergi,” ujar Mo Tian memutuskan.

Dia bersumpah untuk mencari jawaban tentang siapa dirinya sebenarnya dan membalas dendam pada Sekte Langit Berdarah yang telah membunuh kedua orang tuanya dan menghancurkan segala yang berharga baginya.

 

Keesokan harinya…

Uhuk! Uhuk!

Angin pagi membawa aroma kesedihan dan abu dan membuat Mo Tian terbatuk-batuk. 

Mo Tian berdiri di atas bukit kecil di tepi desanya yang kini rata dengan tanah, kenangan masa kecilnya hilang dalam semalam. 

Puing-puing rumah berserakan, dan nyala api masih membara di beberapa tempat.

Tubuh-tubuh penduduk desa, termasuk kedua orang tuanya, ikut terbakar bersama api yang membara. Mereka hilang tanpa bekas.

"Tuan Muda, pergilah. Dunia ini terlalu luas untuk dikuasai rasa takut. Desa ini tidak ada artinya lagi. Carilah jawaban atas takdirmu," ujar suara parau itu di benaknya yang terus berdengung hingga sekarang. 

Suara yang tidak dikenal namun terasa begitu akrab, tapi cukup mengganggu pikirannya.

Dengan pedang tua berkarat di tangannya, yang entah dari mana datangnya, Mo Tian mengalihkan pandangannya dari desa. 

Dia tahu, masa kecilnya yang sederhana telah berakhir hari ini. Kini ia harus meninggalkan segalanya, mencari jawaban atas pertanyaan yang terus membebani pikirannya. 

“Ayah, Ibu… aku pergi,” pamit Mo Tian sambil membungkukkan badannya. 

Whuss!

Angin sejuk berembus menerpa wajahnya, seolah itu adalah jawaban dari kedua orang tuanya yang merelakan anaknya mengembara di dunia fana ini.

Langkah Mo Tian membawa dirinya ke Hutan Luanyang, sebuah tempat yang terkenal penuh dengan bahaya. 

Pohon-pohon raksasa menjulang tinggi dengan akar yang menjalar liar, menciptakan bayangan menyeramkan meski siang hari. Aroma lembab begitu terasa. Disetiap desiran angin terasa seperti bisikan misterius membangkitkan bulu kuduk. Tapi, Mo Tian tak punya pilihan lain. Jalan menuju kota terdekat melewati hutan ini.  

Kretak!

Baru saja Mo Tian melangkah masuk, suara patahan ranting membuatnya berjaga. Insting tajamnya, yang dia tak pahami sepenuhnya, memperingatkan bahwa dia tidak sendirian.

Mo Tian bersiap dengan kuda-kuda beladiri, yang membuatnya beberapa saat tersadar, dari mana dia belajar beladiri. Selama ini dia hanya tumbuh di desa, tidak pernah belajar ilmu apapun.

“Kau!”

Dari balik pepohonan besar, sesosok wanita muncul dengan pedang terhunus. Rambut panjangnya diikat rapi, dan matanya tajam menatap Mo Tian seperti elang mengawasi mangsa. 

Pakaiannya sederhana, namun penuh dengan bekas robekan dan noda darah, menandakan pengalaman bertarung yang tidak sedikit.

“Iya, ada apa?” tanya Mo Tian sambil melanjutkan perjalannya.  

“Hentikan langkahmu,” perintah wanita itu dingin.

“Aku harus bergegas,” jawab Mo Tian.

“Kau siapa, dan apa tujuanmu di sini?” tanya wanita itu.

Mo Tian memandang wanita itu, bingung. “Aku hanya seorang pengembara. Aku harus melewati Hutan Luanyang sebelum gelap,” jawabnya jujur.  

“Aku tidak percaya!”

“Kau bisa mengikutiku kalau tidak percaya.”

“Pedang itu…”

“Ini hanyalah pedang tua,” jawab Mo Tian.

Namun, wanita itu tidak terpengaruh. “Bohong! Itu bukanlah pedang biasa. Apa kau anggota Sekte Langit Berdarah?”  

“Sekte Langit Berdarah?” Mo Tian terkejut, beberapa saat kemudian dia menggeleng. “Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan.”  

“Kau berbohong!” teriak wanita itu sambil menyerang dengan kecepatan luar biasa.  

Mo Tian refleks mengangkat pedangnya untuk menangkis. 

Traang!

Suara logam bertemu logam memenuhi udara. Mo Tian tersentak. Serangan itu begitu kuat, meski pedang wanita itu hanya pedang baja biasa.  

“Berhenti! Aku bukan musuhmu!” seru Mo Tian sambil mundur.  

Wanita itu tidak peduli. Dia terus menyerang dengan serangkaian gerakan cepat dan mematikan. 

Setiap tebasan dan tusukan terasa seperti angin tajam yang hampir tidak bisa dihindari.  

Mo Tian, yang belum pernah dilatih ilmu bela diri, hanya bisa bertahan dengan mengandalkan insting. Anehnya, tubuhnya bergerak seolah-olah dia sudah berlatih selama bertahun-tahun. Pedang tua di tangannya terasa ringan, hampir seperti bagian dari dirinya.  

“Aku sudah muak dengan tipu daya kalian,” desis wanita itu di antara serangannya. 

“Aku tidak mengerti,” jawab Mo Tian.

“Setelah sekian banyak nyawa yang kau hancurkan, apa kau pikir aku akan membiarkanmu hidup?”  

“Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan!” balas Mo Tian dengan nafas tersengal.  

Setelah beberapa menit bertarung sengit, keduanya terpisah oleh jarak. Mo Tian memegang pedangnya dengan erat, sementara wanita itu menatapnya tajam, mencari celah.  

“Cara kau bertarung, kau tidak seperti anggota Sekte Langit Berdarah lainnya...” gumam wanita itu, mulai merasa ragu.  

“Aku bahkan tidak tahu siapa mereka!” seru Mo Tian, frustasi.  

Wanita itu akhirnya menurunkan pedangnya, meski tatapannya tetap penuh kecurigaan. “Kalau begitu, siapa kau sebenarnya?”  

Mo Tian menghela nafas, mencoba menenangkan dirinya. “Namaku Mo Tian. Aku berasal dari sebuah desa kecil di lembah yang baru saja dihancurkan oleh orang-orang yang tidak kuketahui, tapi ada yang bilang kalau mereka adalah Sekte Langit Berdarah.”  

Mendengar itu, wajah wanita itu melunak sedikit, namun ia tetap waspada. “Aku Liu Qingxue,” katanya singkat. “Aku seorang pemburu hadiah.”

Setelah ketegangan mereda, sekarang sudah mulai gelap, keduanya duduk di dekat api unggun kecil yang dibuat Liu Qingxue. Cahaya api menerangi wajah mereka, menciptakan bayangan samar di pepohonan sekitar.  

“Apa yang kau tahu tentang Sekte Langit Berdarah?” tanya Mo Tian, memecah kesunyian.  

Liu Qingxue menghela nafas panjang. “Mereka adalah sekte jahat yang terkenal di dunia persilatan. Mereka membantai desa-desa kecil, menculik anak-anak, dan merampas sumber daya. Aku kehilangan keluargaku karena mereka.”  

Mo Tian terdiam. Ia merasa rasa sakit Liu Qingxue mencerminkan perasaannya sendiri.  

“Mereka mengejar sesuatu,” lanjut Liu Qingxue.

“Apa yang mereka kejar?”

“Sebuah kekuatan besar yang katanya mampu mengubah tatanan dunia.”

“Tapi, mengapa mereka menghancurkan desa?”

“Darimana kau mendapatkan pedang itu?” tanya Liu Qingxue mengabaikan pertanyaan Mo Tian.

“Aku tidak tahu dari mana pedang ini datang. Tiba-tiba saja, dia muncul di tanganku saat orang tuaku dibunuh.”  

Mata Liu Qingxue menyipit. “Pedang yang muncul begitu saja? Kau pasti pembohong ulung.”  

“Aku tidak berbohong dan aku tidak tahu apa-apa,” jawab Mo Tian, suaranya melemah.

“Kemana tujuanmu?”

“Aku tidak ada tujuan pasti, hanya saja aku ingin tahu siapa diriku. Apa arti tanda ini.” Mo Tian menunjuk ke pundaknya, di mana tanda hitam berbentuk sabit bersinar samar di bawah cahaya api.  

Liu Qingxue memandang tanda itu dengan serius. “Aku pernah mendengar cerita tentang tanda lahir. Sebagian orang percaya itu adalah tanda dari dunia roh. Mungkin kau terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari sekadar dunia fana.”  

Mo Tian menatap Liu Qingxue dengan tatapan bingung, namun penuh harap. “Apa kau tahu di mana aku bisa menemukan jawaban?”  

“Ada seorang tetua di Kota Jingbei. Dia dikenal sebagai Tabib Langit. Katanya, dia tahu banyak tentang rahasia dunia ini. Cobalah kesana, kalau beruntung kau bisa bertemu dengannya.”

“Kalau tidak beruntung?”

“Kau akan mati di tangannya, karena dia tidak sembarangan menolong dan juga tidak sembarangan membunuh.”

Bab terkait

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 3. Tabib Langit

    “Kalau mati itu takdir.” “Kau tetap mau ke sana?” “Iya.” Liu Qingxue hanya tersenyum melihat kegigihan Mo Tian. “Ikutlah denganku,” ajak Mo Tian akhirnya. “Aku?” “Iya.” “Kenapa harus ikut?” “Aku tidak pernah bepergian keluar desa. Kau bisa jadi penunjuk jalanku. Dan juga, selama perjalanan, siapa tahu kau bisa menemukan apa yang kau cari,” jawab Mo Tian. Setelah beberapa saat diam, Liu akhirnya setuju untuk ikut mengembara bersama Mo Tian. Di tengah perjalanan mereka keluar dari hutan, keduanya dihadang oleh sekelompok bandit bersenjata. Ada sekitar sepuluh orang, masing-masing membawa pedang atau tombak. “Serahkan barang-barang kalian, atau nyawa kalian yang jadi taruhannya!” seru salah satu bandit, pria kekar dengan bekas luka di wajahnya. Liu Qingxue melangkah maju tanpa rasa takut. “Kalian tidak tahu siapa yang kalian hadapi.” “Kami tidak peduli siapa kalian!” balas bandit itu sambil menyerang. Pertarungan pun dimulai. Liu Qingxue, dengan gerakan yang c

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 4. Meninggalkan Jingbei

    “Tidak ada yang tahu pasti,” jawab Tabib Langit. “Namun, banyak yang percaya bahwa kitab itu tersembunyi di sebuah tempat bernama Gunung Kelam, tapi itu hanyalah sebuah dugaan. Sekte Langit Berdarah sudah mulai mengirim pasukan ke sana,” sambung Tabib Langit. “Gunung Kelam?” “Iya, tempat yang cukup jauh. Bahkan sangat sulit di jangkau, hampir tidak pernah ada orang yang pernah kesana. Termasuk ketua sekte Langit Berdarah.” Mo Tian merasakan ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya saat mendengar nama Gunung Kelam. Ia tidak tahu kenapa, tapi tempat itu sepertinya memiliki hubungan dengan dirinya. Tapi, dia tidak yakin. Karena sejak lahir, dia tumbuh dan besar di desa. Dia tidak pernah kemana-mana. “Kalau begitu, kita harus menghentikan Yan Wuxi sebelum dia menemukan kitab itu,” ujar Liu Qingxue dengan penuh tekad. Tabib Langit mengangguk sambil tersenyum. “Semangatmu terlalu tinggi, Anak Muda. Kalian bukan lawannya. Yan Wuxi bukan hanya pendekar sakti. Ia juga seorang manipula

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-23
  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 5. Sekte Awan Putih Diserang

    “Kita harus melapor ke Yan Wuxi,” ujar pria itu. “Tidak. Yan Wuxi memerintahkan kita untuk memastikan mereka tidak sampai menemukan Kitab Kematian. Kita bisa menghabisi mereka di sini, sebelum menjadi ancaman.” Wanita itu mengangguk, dan keduanya mulai bergerak perlahan, mendekati Mo Tian dan Liu Qingxue yang sedang beristirahat. “Aku masih tidak mengerti kenapa kau harus memancing masalah seperti tadi,” ujar Mo Tian sambil meregangkan tubuhnya. “Masalah adalah bagian dari hidup, anak muda,” jawab Liu Qingxue dengan nada menggoda. Sebelum Mo Tian sempat membalas, ia tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh. “Ada yang tidak beres.” Baru beberapa hari dalam perjalanan, sekarang Mo Tian sudah bisa merasakan sesuatu dengan instingnya. Dan ternyata bukan hanya Mo Tian, melainkan Liu Qingxue juga merasakan hal yang sama. “Kita sedang diawasi,” bisiknya. “Apa yang harus kita lakukan?” tanya Mo Tian. “Perjalanan ini akan seru,” kekeh Liu Qingxue. Sebelum mereka sempat berge

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-25
  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 1. Reinkarnasi Dewa Kematian

    “Semua manusia harus mati! Dunia fana ini tidak layak lagi dihuni!” Baaam! Seketika, dunia hancur berantakan. Manusia lari tunggang-langgang menyelamatkan diri. “Berlindung! Berlindung!” “Tidak akan ada tempat bagi kalian untuk berlindung. Aku akan menghancurkannya!” teriak Dewa Kematian dengan mata merah menyala. Dialah Heiming Shen atau Dewa Kematian. Dia juga Dewa yang ditakuti oleh para dewa dan manusia. Dengan sabit hitam yang tak tertandingi, ia mengatur arus kehidupan dan kematian dengan tangan besi. Jika dia tidak menginginkannya, maka semuanya akan dihancurkan.Kekuasaannya yang mutlak memicu ketakutan di kalangan para dewa lainnya. Mereka merasa bahwa Dewa Kematian telah melampaui batas, menggunakan kekuatan kematian untuk menghukum makhluk fana yang menurutnya tidak layak hidup, bahkan tanpa persetujuan Dewan Langit. Hingga akhirnya Dewan Langit menggelar pengadilan ilahi. Para dewa utama—Dewa Kehidupan, Dewa Keseimbangan, dan Dewa Waktu—memutuskan bahwa Heiming

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-20

Bab terbaru

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 5. Sekte Awan Putih Diserang

    “Kita harus melapor ke Yan Wuxi,” ujar pria itu. “Tidak. Yan Wuxi memerintahkan kita untuk memastikan mereka tidak sampai menemukan Kitab Kematian. Kita bisa menghabisi mereka di sini, sebelum menjadi ancaman.” Wanita itu mengangguk, dan keduanya mulai bergerak perlahan, mendekati Mo Tian dan Liu Qingxue yang sedang beristirahat. “Aku masih tidak mengerti kenapa kau harus memancing masalah seperti tadi,” ujar Mo Tian sambil meregangkan tubuhnya. “Masalah adalah bagian dari hidup, anak muda,” jawab Liu Qingxue dengan nada menggoda. Sebelum Mo Tian sempat membalas, ia tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh. “Ada yang tidak beres.” Baru beberapa hari dalam perjalanan, sekarang Mo Tian sudah bisa merasakan sesuatu dengan instingnya. Dan ternyata bukan hanya Mo Tian, melainkan Liu Qingxue juga merasakan hal yang sama. “Kita sedang diawasi,” bisiknya. “Apa yang harus kita lakukan?” tanya Mo Tian. “Perjalanan ini akan seru,” kekeh Liu Qingxue. Sebelum mereka sempat berge

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 4. Meninggalkan Jingbei

    “Tidak ada yang tahu pasti,” jawab Tabib Langit. “Namun, banyak yang percaya bahwa kitab itu tersembunyi di sebuah tempat bernama Gunung Kelam, tapi itu hanyalah sebuah dugaan. Sekte Langit Berdarah sudah mulai mengirim pasukan ke sana,” sambung Tabib Langit. “Gunung Kelam?” “Iya, tempat yang cukup jauh. Bahkan sangat sulit di jangkau, hampir tidak pernah ada orang yang pernah kesana. Termasuk ketua sekte Langit Berdarah.” Mo Tian merasakan ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya saat mendengar nama Gunung Kelam. Ia tidak tahu kenapa, tapi tempat itu sepertinya memiliki hubungan dengan dirinya. Tapi, dia tidak yakin. Karena sejak lahir, dia tumbuh dan besar di desa. Dia tidak pernah kemana-mana. “Kalau begitu, kita harus menghentikan Yan Wuxi sebelum dia menemukan kitab itu,” ujar Liu Qingxue dengan penuh tekad. Tabib Langit mengangguk sambil tersenyum. “Semangatmu terlalu tinggi, Anak Muda. Kalian bukan lawannya. Yan Wuxi bukan hanya pendekar sakti. Ia juga seorang manipula

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 3. Tabib Langit

    “Kalau mati itu takdir.” “Kau tetap mau ke sana?” “Iya.” Liu Qingxue hanya tersenyum melihat kegigihan Mo Tian. “Ikutlah denganku,” ajak Mo Tian akhirnya. “Aku?” “Iya.” “Kenapa harus ikut?” “Aku tidak pernah bepergian keluar desa. Kau bisa jadi penunjuk jalanku. Dan juga, selama perjalanan, siapa tahu kau bisa menemukan apa yang kau cari,” jawab Mo Tian. Setelah beberapa saat diam, Liu akhirnya setuju untuk ikut mengembara bersama Mo Tian. Di tengah perjalanan mereka keluar dari hutan, keduanya dihadang oleh sekelompok bandit bersenjata. Ada sekitar sepuluh orang, masing-masing membawa pedang atau tombak. “Serahkan barang-barang kalian, atau nyawa kalian yang jadi taruhannya!” seru salah satu bandit, pria kekar dengan bekas luka di wajahnya. Liu Qingxue melangkah maju tanpa rasa takut. “Kalian tidak tahu siapa yang kalian hadapi.” “Kami tidak peduli siapa kalian!” balas bandit itu sambil menyerang. Pertarungan pun dimulai. Liu Qingxue, dengan gerakan yang c

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 2. Bertemu Pendekar Wanita

    “Siapa kau?!”“Tuan muda…”“Jawab aku!”Mo Tian merasa kepalanya berputar, dia seperti melihat kunang-kunang. Gambaran aneh tiba-tiba muncul dalam pikirannya, gambar sabit hitam, lautan jiwa yang meratap memohon belas kasih, dan takhta megah yang gelap. "Apa yang terjadi? Siapa aku sebenarnya?" tanya Mo Tian sebelum akhirnya pingsan.Pandangannya menjadi gelap, dan di dalam pingsannya Mo Tian seperti berada di tengah-tengah lautan, tapi bukan air. Melainkan lautan jiwa manusia, mereka memanggilnya.Beberapa saat kemudian, Mo Tian sadar, tapi desa tempat dia tumbuh telah menjadi abu. Tidak ada yang tersisa, hanya reruntuhan dan bau hangus.Rumahnya, telah musnah. Juga orang tuanya telah tiada. Mo Tian merasa percuma dia hidup, dia ingin mati, mengikuti orang tuanya.“Apa ini? Darimana aku mendapatkannya?” tanya Mo Tian memandang pedang yang berada di tangannya.Meskipun bingung, dia tidak melepaskan pedang itu. Dia merasa ada jiwanya disana, meskipun tidak tahu, apa sebenarnya hubung

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 1. Reinkarnasi Dewa Kematian

    “Semua manusia harus mati! Dunia fana ini tidak layak lagi dihuni!” Baaam! Seketika, dunia hancur berantakan. Manusia lari tunggang-langgang menyelamatkan diri. “Berlindung! Berlindung!” “Tidak akan ada tempat bagi kalian untuk berlindung. Aku akan menghancurkannya!” teriak Dewa Kematian dengan mata merah menyala. Dialah Heiming Shen atau Dewa Kematian. Dia juga Dewa yang ditakuti oleh para dewa dan manusia. Dengan sabit hitam yang tak tertandingi, ia mengatur arus kehidupan dan kematian dengan tangan besi. Jika dia tidak menginginkannya, maka semuanya akan dihancurkan.Kekuasaannya yang mutlak memicu ketakutan di kalangan para dewa lainnya. Mereka merasa bahwa Dewa Kematian telah melampaui batas, menggunakan kekuatan kematian untuk menghukum makhluk fana yang menurutnya tidak layak hidup, bahkan tanpa persetujuan Dewan Langit. Hingga akhirnya Dewan Langit menggelar pengadilan ilahi. Para dewa utama—Dewa Kehidupan, Dewa Keseimbangan, dan Dewa Waktu—memutuskan bahwa Heiming

DMCA.com Protection Status