“Kenapa?” tanya Jiang Yi bingung melihat keraguan di mata Liu Qingxue.
“Kami memiliki tujuan yang sangat penting,” jawab Liu Qingxue.
Jiang Yi menatap Liu Qingxue penuh selidik. “Maksudnya, kakak seperguruan tidak bisa kembali ke Sekte Awan Putih?”
“Kondisi kita sekarang sedang kacau, guru sedang sekarat dan setiap hari bertanya tentang Kakak Seperguruan. Sekarang, kamu malah tidak mau kembali,” sambung Jiang Yi.
Mo Tian, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. “Kau harus pergi, Liu Qingxue. Sekte Awan Putih adalah keluargamu, dan Guru adalah orang yang penting bagimu. Aku tidak bisa memaksamu untuk meninggalkan mereka demi aku. Pergilah.”
“Bagaimana denganmu?” tanya Liu Qingxue.
“Aku akan melanjutkan perjalanan ini.”
“Tapi aku sudah berjanji untuk membantumu,” balas Liu Qingxue dengan suara bergetar.
“Janji itu bisa menunggu,” ujar Mo Tian dengan tenang. “Aku masih belum tahu kemana tujuan kita selanjutnya, dan perjalanan ini adalah tentang aku menemukan diriku sendiri. Kau harus menyelesaikan urusanmu di sektemu. Setelah itu, kita bisa melanjutkan bersama. Jika memang takdirnya seperti itu, kita pasti akan dipertemukan kembali.”
Jiang Yi memandang Mo Tian dengan penuh rasa syukur. “Terima kasih atas pengertiannya.”
Liu Qingxue menatap Mo Tian, lalu Jiang Yi. Ia akhirnya menghela nafas panjang. “Baiklah. Aku akan kembali ke Sekte Awan Putih. Aku akan menyelesaikan urusan di sana terlebih dahulu, setelah itu kita akan bertemu lagi.”
Mo Tian mengangguk. “Aku akan menunggumu di desa terdekat. Setelah urusanmu selesai, kita bisa bertemu di sana.”
“Dan kau harus berhati-hati,” ujar Liu Qingxue dengan nada serius. “Jika kau bertemu musuh, jangan bertindak gegabah. Kau belum cukup terlatih.”
Mo Tian tersenyum tipis. “Aku akan baik-baik saja.”
“Menurut saranku, pedang tu sebaiknya kau simpan. Karena, pedang itu cukup menarik perhatian,” ucap Liu Qingxue lagi.
“Ini hanyalah pedang karat.”
“Mo Tian benar, ini hanyalah pedang karat. Bahkan dia akan dianggap seperti orang gila kalau membawa pedang itu,” ujar Jiang YI menyeletuk.
“Kau tidak tahu apa-apa, Jiang Yi.” Liu Qingxue tersenyum lembut.
Liu Qingxue akhirnya pergi bersama Jiang Yi, meninggalkan Mo Tian sendirian di perbukitan itu. Dan akhirnya Mo Tian menuruti apa yang dikatakan oleh Liu Qingxue, dia menyimpan pedang itu di balik bajunya.
Mo Tian melanjutkan perjalanan seorang diri, berjalan menuju desa kecil yang disebutkan Liu Qingxue sebelumnya. Meskipun ia merasa kehilangan tanpa kehadiran Liu Qingxue, ia tahu bahwa wanita itu memiliki tanggung jawab yang tidak bisa diabaikan.
Selama perjalanan, di setiap kesempatan untuk beristirahat, Mo Tian terus berlatih menggunakan pedang tua di tangannya. Ia mencoba mengingat semua pelajaran yang diajarkan Liu Qingxue, sambil mencari cara untuk memahami kekuatan misterius dalam dirinya.
“Mengapa semua orang yang aku temui, tidak ada yang tahu dengan Gunung Kelam? Apakah Tabib Langit berbohong? Dan dimana sebenarnya Yan Wuxi?”
Mo Tian memandang langit yang begitu cerah, dia teringat dengan Liu Qingxue. Dia yakin saat ini Liu Qingxue sudah tiba di sektenya. Dia juga baru tahu kalau Liu Qingxue berasal dari Sekte Awan Putih, sekte yang cukup terkenal di dunia persilatan.
“Jika kita Yan Wuxi juga sedang mencari Gunung Kelam, itu artinya kemungkinan besar akan bertemu dengannya. Aku akan membunuhmu, Yan Wuxi,” sambung Mo Tian menatap pedang tua itu yang diangkatnya lebih tinggi diatas kepala menatap matahari.
Sementara itu…
Liu Qingxue dan Jiang Yi tiba di Sekte Awan Putih setelah perjalanan panjang yang melelahkan. Sekte itu terletak di puncak Gunung Awan Putih, sebuah tempat yang indah namun kini terasa suram.
Begitu mereka masuk ke aula utama sekte, Liu Qingxue disambut oleh wajah-wajah cemas para murid. Mereka semua tampak bingung dan putus asa.
“Liu Qingxue!” teriak salah satu saudara seperguruannya. “Syukurlah kau kembali! Guru membutuhkanmu!”
Tanpa membuang waktu, Liu Qingxue segera menuju ke kamar Guru mereka. Di dalam kamar sederhana itu, seorang pria tua dengan tubuh kurus terbaring di atas ranjang. Wajahnya pucat, dan nafasnya terdengar berat.
“Guru...” Liu Qingxue berlutut di samping ranjang. “Aku kembali.”
Mata Guru perlahan terbuka, dan ia tersenyum lemah. “Qingxue... aku senang kau kembali.”
“Apa yang terjadi, Guru? Siapa yang menyerang kita?” tanya Liu Qingxue dengan nada penuh emosi.
Guru menghela nafas panjang. “Dia adalah utusan dari Sekte Langit Berdarah. Mereka mencari Kitab Kematian, dan mereka yakin bahwa sekte kita menyimpan informasi tentang keberadaan kitab itu.”
Liu Qingxue mengepalkan tinjunya. “Aku tidak akan membiarkan mereka menghancurkan sekte kita.”
“Kau harus berhati-hati, Qingxue,” ujar Guru dengan suara yang hampir tidak terdengar. “Musuh kita tidak biasa. Kau harus melindungi sekte ini, apapun yang terjadi.”
Liu Qingxue mengangguk. “Aku bersumpah, Guru. Aku akan melindungi Sekte Awan Putih dengan seluruh kemampuanku.”
“Apa alasan mereka? Apakah kitab itu memang berada disini?” tanya Liu Qingxue.
“Kitab itu telah hilang ribuan tahun lalu.”
“Mengapa mereka menyerang kita?”
“Itu hanya alasan, Yan Wuxi sedang menghabiskan sekte-sekte yang tidak tunduk kepadanya. Dia hanya ingin menguasai dunia.”
Beberapa hari setelah kedatangannya, ternyata Guru sekaligus Ketua Sekte Awan Putih akhirnya wafat. Luka yang dialaminya cukup parah, merusak seluruh bagian organ dalamnya.Liu Qingxue berdiri di depan aula utama Sekte Awan Putih, wajahnya dipenuhi kesedihan yang sulit disembunyikan. Hatinya berat, bukan hanya karena kehilangan sang guru, tetapi juga karena beban tanggung jawab yang ditawarkan kepadanya.Ketua Sekte Awan Putih, meninggal dunia setelah bertahan cukup lama hanya dengan kekuatan roh dan tenaga dalamnya. Ia telah menunggu Qingxue kembali untuk menyampaikan pesan terakhirnya.Saat itu, di ranjang sederhana, guru yang telah mendidiknya sejak kecil memegang tangan Qingxue dengan lemah. “Qingxue... aku tahu hatimu. Kau adalah murid terbaik yang pernah aku miliki, tapi jalurmu berbeda. Jangan biarkan dendam mengaburkan nuranimu. Dunia ini butuh orang sepertimu...” Itulah kata-kata terakhir yang terucap sebelum sang guru mengembuskan nafas terakhir.Tangisan para murid dan tetu
Di tepi sungai yang tenang, Mo Tian dan Liu Qingxue duduk bersandar pada pohon besar. Meski malam sudah larut, keduanya tidak dapat memejamkan mata. Pikiran mereka terus dipenuhi dengan pesan dari pendekar Sekte Langit Berdarah. Benteng Langit Merah—nama itu tidak asing bagi Liu Qingxue.“Benteng Langit Merah...” gumam Liu Qingxue sambil memandang air sungai yang mengalir perlahan. “Itu bukan tempat biasa, Mo Tian. Banyak pendekar hebat yang kehilangan nyawa di sana. Tempat itu lebih mirip arena pembantaian daripada pertandingan.”Mo Tian menatapnya penuh perhatian. “Aku mendengar tempat itu adalah arena duel yang terkenal di kalangan pendekar. Tapi apa yang membuatnya begitu berbahaya?”“Di sana, tidak ada duel biasa,” jelas Liu Qingxue. “Setiap pertarungan adalah pertaruhan hidup dan mati. Yang kalah harus menyerahkan nyawanya. Yan Wuxi pasti tahu itu, dan dia sengaja mengarahkan kita ke sana. Ini jebakan.”Mo Tian merenung sejenak. “Kalau begitu, mengapa dia mengarahkan kita ke san
Arena Benteng Langit Merah menggema oleh sorakan penonton. Suara dering senjata yang bertemu memekakkan telinga. Mo Tian, yang berada di tengah arena, sudah kehabisan tenaga setelah menghadapi tiga lawan berturut-turut. Keringat bercucuran di wajahnya, dan luka di lengan kirinya membuat gerakannya melambat.Lawan terakhirnya adalah seorang pendekar berbaju merah dengan dua pedang pendek. Gerakan pria itu lincah, serangannya cepat dan tak kenal ampun. Meski Mo Tian mencoba bertahan, setiap detik memperlihatkan bahwa ia semakin terdesak.Liu Qingxue, yang berdiri di antara penonton, mencengkram tepi lengan bajunya dengan gelisah. “Dia tidak bisa terus seperti ini... Dia bisa mati,” gumamnya, nyaris berbisik. Namun ia tahu, tidak ada yang bisa ia lakukan. Peraturan arena melarang siapapun untuk turun tangan membantu.Satu serangan tajam dari pendekar berbaju merah berhasil memukul pedang Mo Tian hingga terlepas dari genggamannya. Senjata tua itu terjatuh, terpental beberapa meter ke samp
Udara di hutan itu semakin pekat. Liu Qingxue dan Mo Tian merasakan sesuatu yang aneh. Angin membawa aroma asing, seperti campuran ramuan pahit dan tanah basah yang terlalu lama terendam. Liu Qingxue berhenti, mengerutkan kening.“Mo Tian, kau merasakannya?” tanyanya sambil menatap sekitar.Mo Tian mengangguk, wajahnya mulai pucat. “Ada sesuatu di udara ini. Aku merasa berat… seperti tidak bisa bernapas dengan benar.”Langkah mereka melambat. Kepala Mo Tian mulai terasa ringan, sementara Liu Qingxue merasakan pusing yang tak tertahankan. Pandangan mereka kabur, dan tubuh mereka seperti kehilangan tenaga.“Kita harus keluar dari sini,” kata Liu Qingxue dengan nada tegas. Ia meraih lengan Mo Tian, berusaha menariknya untuk kembali ke jalur sebelumnya. Namun, langkah mereka terhenti oleh suara dingin dari balik kabut.“Tidak ada yang bisa keluar dari tempat ini hidup-hidup.”Dari balik bayangan pepohonan, seorang pria berpakaian serba hitam muncul. Wajahnya tersembunyi di balik topeng, h
Sebelum Mo Tian bisa mencerna apa yang baru saja ia dengar, suara langkah kaki dari luar lorong menggema, diikuti oleh suara senjata yang dihunus.Pria berpakaian hitam itu segera memandang ke arah lorong dengan ekspresi tegang. “Mereka datang.”“Siapa?” tanya Liu Qingxue.Belum sempat pertanyaan Liu Qingxue mendapat jawaban, suara langkah kaki menggema di sepanjang lorong gelap gua, semakin dekat dengan aula tempat mereka berdiri. Ketegangan melingkupi ruangan ketika pria berpakaian hitam, yang telah membawa Mo Tian dan Liu Qingxue ke tempat ini, berdiri dengan tongkat kayunya di tangan.“Bersiaplah,” katanya dengan suara rendah. “Mereka tidak akan menunjukkan belas kasihan.”Liu Qingxue meraih pedangnya, meskipun tangannya masih gemetar akibat racun yang belum sepenuhnya hilang dari tubuhnya. Sementara itu, Mo Tian memegang erat pedang tua miliknya. Meski tubuhnya lemah, ada sesuatu yang aneh—pedang itu terasa semakin berat, seolah-olah sedang menyerap kekuatan dari dalam dirinya.T
Liu Qingxue mendengus. “Kebohongan yang buruk.”Pertempuran kembali pecah. Meski dalam keadaan lemah, Mo Tian dan Liu Qingxue bertarung dengan sekuat tenaga. Pedang tua Mo Tian mengeluarkan cahaya gelap yang mematikan, melukai beberapa lawan dengan hanya satu ayunan. Sementara itu, Liu Qingxue menggunakan kelincahan dan kecerdasannya untuk mengatasi musuh.Namun, mereka jelas kalah jumlah.Ketika keadaan semakin mendesak, kristal yang dibawa Mo Tian tiba-tiba memancarkan cahaya yang lebih terang. Cahaya itu membuat para pendekar Sekte Langit Berdarah mundur dengan wajah ketakutan.“Apa yang terjadi?” tanya Liu Qingxue, melindungi matanya dari kilauan cahaya itu.Kristal itu mulai bergetar di tangan Mo Tian, seolah-olah bereaksi terhadap bahaya. Dalam sekejap, cahaya merah itu meledak, menciptakan gelombang energi yang menghantam semua orang di sekitarnya. Para pendekar Sekte Langit Berdarah terpental jauh, beberapa dari mereka tidak bangun lagi.Mo Tian dan Liu Qingxue terjatuh ke tan
Suasana malam begitu senyap di dalam gua kecil yang menjadi tempat persembunyian Mo Tian dan Liu Qingxue. Hanya suara kayu terbakar dari api unggun kecil yang memecah kesunyian. Mo Tian berbaring dengan pedang tua yang ia letakkan di sampingnya, sementara Liu Qingxue tidur bersandar di dinding gua dengan satu tangan masih menggenggam gagang pedangnya. Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, keduanya akhirnya bisa memejamkan mata meski hanya untuk sesaat.Namun, mereka tidak menyadari bahaya yang mendekat.Di luar gua, sosok-sosok berbaju hitam mulai bermunculan dari kegelapan. Mereka bergerak tanpa suara, mengelilingi gua seperti bayangan hantu. Pemimpin mereka, seorang lelaki bertopeng dengan mata tajam berkilat seperti elang, memberi isyarat dengan tangannya. Anak buahnya menghunus senjata, bersiap menerkam dua sosok yang tak berdaya di dalam gua.Ketegangan merayap seperti kabut malam. Langkah kaki mereka begitu ringan sehingga tak satupun dari Mo Tian atau Liu Qingxue menyadar
Tubuh Mo Tian terasa seperti dihantam batu besar. Setiap gerakan kecil menimbulkan rasa nyeri yang menjalar dari ujung kepala hingga kaki. Matanya tertutup kain hitam, dan ia hanya bisa merasakan kegelapan pekat di sekelilingnya.Di sisinya, Liu Qingxue juga mengerang pelan. Tubuhnya sama lelah dan terluka, meskipun semangat juangnya tetap terasa melalui suaranya yang lirih.“Apa kau baik-baik saja, Mo Tian?” tanya Liu Qingxue, meski ia sendiri hampir tak mampu menggerakkan tubuh.“Masih hidup,” jawab Mo Tian dengan suara serak. Ia mencoba menenangkan nafasnya yang memburu. “Kau?”“Tidak seburuk kelihatannya. Tapi, mereka terlalu kuat. Dan sekarang… kita terjebak di sini.”Mo Tian mencoba mendengarkan suara di sekeliling mereka. Sayup-sayup terdengar suara langkah kaki dari luar, diselingi suara tawa rendah dari beberapa penjaga. Bau lembab dan amis memenuhi ruangan, menandakan bahwa tempat ini sudah lama tidak digunakan.“Mereka mengambil kristal itu,” gumam Liu Qingxue, nadanya penu
Setelah melalui berbagai rintangan yang nyaris merenggut nyawa, Mo Tian, Liu Qingxue, dan Fang Zhi akhirnya bertemu kembali di sebuah ruangan besar di dalam gua. Ruangan itu dipenuhi stalaktit yang menjuntai dari langit-langit, berkilauan samar karena pantulan cahaya biru yang berasal dari dinding gua.Liu Qingxue adalah yang pertama melihat Mo Tian. Ia terkejut melihat kondisi sahabatnya itu. Tubuh Mo Tian penuh dengan luka, sebagian besar adalah luka dalam yang tampak serius. Napasnya tersengal, dan langkahnya begitu lemah hingga ia hampir terjatuh saat mencoba mendekati Liu Qingxue.“Mo Tian!” seru Liu Qingxue, berlari menghampirinya. Ia memegang bahu Mo Tian, menopangnya agar tidak jatuh. “Kau terluka parah! Kau harus istirahat!”Mo Tian hanya tersenyum tipis, meski wajahnya pucat pasi. “Aku baik-baik saja,” katanya, meskipun jelas dari raut wajahnya bahwa ia sedang menahan sakit luar biasa.Fang Zhi muncul dari arah lain, menyeret langkahnya dengan kaki yang pincang. Lengan kirin
Langkah Mo Tian, Liu Qingxue, dan Fang Zhi terasa berat saat mereka memasuki gua di tengah Lembah Tujuh Bintang. Udara di dalamnya dingin dan lembab, diselimuti aura yang mencekam. Cahaya biru yang semula memandu mereka mulai memudar, digantikan oleh kegelapan pekat.Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari atas mereka. Tanah bergetar, dan batu-batu besar mulai berjatuhan. Mo Tian berteriak, “Hati-hati! Gua ini runtuh!”Ketiganya mencoba berlari kembali ke pintu masuk, tetapi pintu gua tiba-tiba tertutup oleh batu besar yang jatuh dengan cepat. Gua itu kini benar-benar tertutup.“Tidak!” seru Liu Qingxue, memukul batu yang menghalangi jalan keluar mereka. Namun, tidak ada yang bisa mereka lakukan.Suara gemuruh semakin keras, disusul dengan jeritan yang menusuk telinga. Jeritan itu bukan berasal dari manusia, melainkan dari jiwa-jiwa yang tampaknya terjebak di dalam gua. Suara itu menggema di seluruh ruangan, membuat mereka semua merasa seperti tenggelam dalam penderitaan yang tak terl
Pagi itu, desa yang porak poranda oleh serangan Yan Wuxi dan Bai Zhen telah mulai bangkit kembali. Penduduknya, meskipun masih dalam suasana duka dan keletihan, berusaha menata kehidupan baru. Namun, Mo Tian, Liu Qingxue, dan Fang Zhi tahu bahwa kehadiran mereka di desa hanya akan membawa bahaya lebih lanjut.Dengan berat hati, mereka memutuskan untuk pergi. Para penduduk desa berkumpul di gerbang untuk melepas kepergian mereka. Wu Zhan, tetua desa, memberikan doa dan harapan terbaiknya.“Mo Tian, Liu Qingxue, Fang Zhi,” katanya sambil menggenggam tangan mereka satu per satu. “Kami berhutang nyawa kepada kalian. Dunia ini mungkin keras, tetapi kalian membawa secercah harapan bagi kami. Hati-hati di perjalanan kalian. Kami akan berdoa agar kalian berhasil.”Liu Qingxue tersenyum lembut, menahan air mata. “Kami berjanji akan kembali suatu hari nanti, ketika semuanya telah selesai.”Mo Tian, yang jarang menunjukkan emosinya, hanya membungkuk dalam-dalam. Di dalam hatinya, ia merasa berat
Hari-hari berlalu dengan perlahan di desa itu. Mo Tian dan Liu Qingxue memutuskan untuk tinggal sementara waktu, tidak hanya untuk memulihkan kekuatan Mo Tian tetapi juga untuk membantu penduduk desa membangun kembali kehidupan mereka. Serangan brutal Yan Wuxi dan Bai Zhen telah meninggalkan luka yang mendalam, baik pada bangunan maupun jiwa para penduduk.Mo Tian, meskipun belum sepenuhnya pulih, bersikeras membantu. Dia bersama para penduduk memindahkan puing-puing rumah yang hancur, mendirikan tenda sementara, dan menggali kuburan bagi mereka yang menjadi korban. Liu Qingxue juga tidak kalah sibuk, membantu para wanita desa memasak makanan untuk mereka yang bekerja keras dan merawat anak-anak yang kehilangan orang tua mereka.“Setidaknya aku bisa melakukan sesuatu untuk mereka,” kata Mo Tian suatu pagi saat dia dan Liu Qingxue sedang menata kayu untuk membangun kembali balai desa. “Aku tidak bisa membiarkan mereka menanggung ini sendirian.”Liu Qingxue memandangnya dengan kagum. “K
Selama beberapa hari, Mo Tian terbaring di rumah tabib. Tubuhnya perlahan pulih, tetapi setiap gerakan terasa berat seperti memikul beban dunia. Liu Qingxue tetap berada di sampingnya, memastikan dia mendapatkan perawatan terbaik. Dia memerhatikan Mo Tian dengan cermat, bahkan di saat dia tidak sadar.Mo Tian sering terbangun di malam hari, memandangi Liu Qingxue yang tertidur di kursi dekat ranjangnya. Dalam kesunyian malam, dia menyadari sesuatu yang selama ini dia abaikan—perasaan yang lebih dari sekadar persahabatan atau ikatan keluarga. Liu Qingxue adalah seseorang yang penting baginya, lebih dari apa pun yang pernah dia miliki.Namun, Mo Tian memilih menyimpan perasaan itu dalam hatinya. Dia tahu perjalanan mereka masih panjang, dan ancaman yang mengintai terlalu besar. Baginya, menyatakan perasaan hanya akan menjadi beban tambahan untuk Liu Qingxue, yang sudah banyak berkorban untuknya.Pagi ini, saat matahari menyembul di balik bukit, Liu Qingxue duduk di tepi ranjang Mo Tian,
Tubuh Mo Tian berdiri tegak, meskipun setiap serat ototnya tampak bergetar hebat. Tanda hitam di pundaknya memancarkan cahaya gelap yang berdenyut seperti jantung yang hidup. Wajahnya berubah dingin, matanya yang biasanya penuh tekad kini memancarkan kegelapan yang tak berujung. Liu Qingxue berdiri beberapa meter di belakangnya, terdiam membeku melihat perubahan yang terjadi pada Mo Tian.Mo Tian melangkah maju, tubuhnya dipenuhi aura mengerikan yang membuat udara di sekitarnya terasa berat. Anak buah Yan Wuxi dan Bai Zhen, yang sebelumnya menyerang dengan percaya diri, kini terlihat gemetar. Mereka mundur dengan wajah pucat, namun tidak sempat untuk melarikan diri.Dalam satu gerakan cepat, Mo Tian melesat seperti bayangan. Serangannya begitu cepat dan kuat hingga pedang-pedang anak buah Yan Wuxi terlempar tanpa perlawanan. Satu per satu mereka tersungkur, tidak sanggup melawan kekuatan yang luar biasa itu.Yan Wuxi dan Bai Zhen mencoba melancarkan serangan balik, menggabungkan seran
Mo Tian dan Liu Qingxue kembali ke desa, mereka menatap ke arah kediaman Master Jian Xun dari kejauhan. Tempat itu tampak sunyi, jauh berbeda dari biasanya. Tidak ada suara percakapan, denting pedang, atau bahkan aktivitas para murid yang biasa mereka lihat. Asap tipis mengepul dari beberapa atap rumah di desa sekitar, memberikan kesan yang ganjil.“Ada yang tidak beres,” kata Liu Qingxue dengan nada waspada.Mo Tian mengangguk setuju. Mereka mempercepat langkah, melintasi jalan setapak yang penuh dedaunan kering. Ketika mereka tiba di desa, pemandangan yang mereka lihat membuat napas mereka tercekat.Desa itu porak-poranda. Rumah-rumah terbakar atau runtuh, jalanan dipenuhi puing-puing, dan udara dipenuhi aroma hangus bercampur dengan bau darah. Penduduk yang tersisa tampak lemah, beberapa menangis, dan lainnya hanya duduk terpaku dalam ketakutan.Seorang wanita tua, yang sedang membersihkan pecahan kayu di depan rumahnya yang hangus, menatap mereka dengan mata penuh kesedihan. “Kali
Mo Tian dan Liu Qingxue berdiri terpaku, menatap ke arah gelap tempat pria tua berjubah hitam itu menghilang. Napas keduanya masih tersengal setelah perjuangan berat mereka mendekati bangunan itu.“Dia... dia menghilang begitu saja,” ujar Liu Qingxue, suaranya bercampur antara bingung dan frustasi.Mo Tian menggenggam erat pedangnya, wajahnya tegang. “Dia pasti tahu sesuatu. Kita tidak boleh membiarkannya pergi begitu saja!”Tanpa membuang waktu, Mo Tian segera berlari ke arah pria itu sebelumnya berdiri. Liu Qingxue mengikutinya, meski tubuhnya masih terasa berat setelah bertarung melawan serangan-serangan tak terlihat tadi. Mereka berdua keluar dari bangunan tua itu, kembali ke kabut pekat yang menyelimuti Tanah Bayangan Jiwa.Namun, tidak ada tanda-tanda pria itu. Tidak ada jejak kaki di tanah, tidak ada suara langkah, bahkan tidak ada bekas keberadaannya.“Bagaimana mungkin dia menghilang begitu saja?” tanya Liu Qingxue, matanya menyapu sekeliling dengan waspada.Mo Tian menggelen
Kabut di sekitar Tanah Bayangan Jiwa semakin tebal, seolah menelan setiap cahaya yang mencoba menembusnya. Mo Tian dan Liu Qingxue terus berjalan, dengan setiap langkah terasa semakin berat. Energi gelap yang mengelilingi mereka seakan menyerap kekuatan dan semangat mereka, tetapi tekad untuk mencapai bangunan itu tetap menguatkan langkah mereka.“Bangunan itu sudah dekat,” ujar Mo Tian dengan suara yang bergetar. Ia menghapus keringat dari dahinya dan menggenggam erat pedangnya. “Kita tidak boleh menyerah sekarang.”Liu Qingxue menatap Mo Tian, napasnya tersengal-sengal. “Kita sudah sampai sejauh ini. Kita harus terus maju.”Namun, mendekati bangunan itu tidak semudah yang mereka bayangkan. Tiba-tiba, suara-suara berbisik mulai terdengar di sekitar mereka. Suara itu begitu lembut, seperti angin yang menyelinap ke dalam pikiran mereka, tetapi setiap kata membawa rasa takut dan keraguan.“Kenapa kalian terus maju?” bisik suara itu. “Tidak ada yang menunggu kalian di sana. Kalian hanya