“Kita harus melapor ke Yan Wuxi,” ujar pria itu.
“Tidak. Yan Wuxi memerintahkan kita untuk memastikan mereka tidak sampai menemukan Kitab Kematian. Kita bisa menghabisi mereka di sini, sebelum menjadi ancaman.” Wanita itu mengangguk, dan keduanya mulai bergerak perlahan, mendekati Mo Tian dan Liu Qingxue yang sedang beristirahat. “Aku masih tidak mengerti kenapa kau harus memancing masalah seperti tadi,” ujar Mo Tian sambil meregangkan tubuhnya. “Masalah adalah bagian dari hidup, anak muda,” jawab Liu Qingxue dengan nada menggoda. Sebelum Mo Tian sempat membalas, ia tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh. “Ada yang tidak beres.” Baru beberapa hari dalam perjalanan, sekarang Mo Tian sudah bisa merasakan sesuatu dengan instingnya. Dan ternyata bukan hanya Mo Tian, melainkan Liu Qingxue juga merasakan hal yang sama. “Kita sedang diawasi,” bisiknya. “Apa yang harus kita lakukan?” tanya Mo Tian. “Perjalanan ini akan seru,” kekeh Liu Qingxue. Sebelum mereka sempat bergerak, dua sosok berjubah gelap melompat keluar dari bayangan dan menyerang mereka. Serangan pertama diarahkan pada Mo Tian. Dengan reflek, ia berhasil menangkis serangan itu, meskipun tubuhnya terpental ke belakang. Sementara itu, Liu Qingxue langsung melompat dan menghadapi wanita berjubah gelap yang menyerangnya dengan pedang panjang. “Siapa kalian?!” seru Liu Qingxue sambil mengayunkan pedangnya untuk menangkis serangan. Wanita itu tidak menjawab. Serangannya semakin cepat, memaksa Liu Qingxue untuk bertahan mati-matian. Sementara itu, Mo Tian berhadapan dengan pria berjubah gelap yang menggunakan teknik bela diri yang sangat terlatih. Setiap gerakannya terasa seperti ingin membunuh. Dan serangannya selalu mengarah ke titik vital. “Aku tidak tahu apa salahku, tapi aku tidak akan membiarkanmu membunuhku!” seru Mo Tian. Mo Tian menyerang balik dengan gerakan yang tidak ia pahami sepenuhnya, namun cukup untuk membuat lawannya mundur. Pria berjubah gelap itu menyipitkan mata, tampak terkejut. “Bagaimana bisa? Ternyata dia adalah ancaman yang lebih besar dari yang kukira.” Melihat Mo Tian mulai menguasai dirinya, Liu Qingxue juga meningkatkan serangannya. Ia berhasil melukai bahu wanita berjubah gelap itu, meskipun dengan susah payah. Namun, kedua musuh itu segera mundur, menyadari bahwa pertarungan lebih lama hanya akan membahayakan mereka. “Kita akan bertemu lagi, anak muda,” ujar pria berjubah gelap sebelum menghilang ke dalam bayangan bersama rekannya. Setelah memastikan bahwa musuh sudah pergi, Mo Tian dan Liu Qingxue duduk kelelahan. “Mereka bukan pendekar biasa,” ujar Liu Qingxue sambil mengatur nafasnya. “Siapa mereka sebenarnya? Dan kenapa mereka menyerang kita?” tanya Mo Tian. Liu Qingxue menggeleng. “Mungkin ini ada hubungannya dengan Sekte Langit Berdarah. Atau pendekar iseng.” Mo Tian terdiam, memikirkan kata-kata itu. Apapun alasannya, ia tahu bahwa perjalanan mereka akan menjadi semakin berbahaya. “Iseng? Pendekar dari mana yang punya waktu iseng, selain kau.” “Kita harus tetap waspada,” jawab Liu Qingxue. Mo Tian mengangguk. “Kita harus menemukan Kitab Kematian sebelum mereka, siapa tahu disana ada jawaban pertanyaanku.” “Sekarang, ayo kita berangkat,” ajak Liu Qingxue. Hari mulai beranjak siang ketika Mo Tian dan Liu Qingxue kembali melanjutkan perjalanan mereka. Jalan setapak di antara perbukitan tampak sepi, hanya suara angin yang meliuk di antara pepohonan yang menemani langkah mereka. Mo Tian terlihat memegang pedang tua di tangannya, memperhatikannya dengan penuh rasa ingin tahu. Pedang itu tidak tampak seperti senjata luar biasa. Mata pedangnya sudah berkarat, dan gagangnya terlihat usang. Tapi, bagi Mo Tian, pedang itu sangat luar biasa. Dia berjanji akan menebus kematian kedua orang tuanya dengan pedang itu. “Kenapa kau terus menatap pedang itu?” tanya Liu Qingxue, berjalan beberapa langkah di depannya. “Aku ingin memahaminya,” jawab Mo Tian. “Ketika aku bertarung, pedang ini bergerak seolah memiliki pikirannya sendiri. Aku tidak mengerti, tapi aku merasa pedang ini hidup.” Liu Qingxue mengangkat alis, lalu menoleh ke arahnya sambil tersenyum. “Itu hanyalah pedang biasa, tapi bisa jadi memiliki kekuatan atau kau yang lemah. Namun, kalau memang pedang itu memiliki kekuatan, maka itu tidak akan berguna jika kau tidak bisa mengendalikannya.” Mo Tian mengangguk. Ia menghunus pedang itu, mencoba mengayunkannya seperti yang ia ingat dari pertempuran-pertempuran sebelumnya. Namun, setiap gerakannya terasa canggung, tidak terkoordinasi. “Tidak seperti itu!” seru Liu Qingxue sambil mengambil ranting dari tanah. Ia berdiri di hadapan Mo Tian dan mulai memperagakan gerakan-gerakan sederhana. “Perhatikan langkah kakimu, jangan hanya fokus pada pedang. Pedang adalah perpanjangan dari tubuhmu, bukan benda asing.” Mo Tian mencoba meniru gerakannya, tapi Liu Qingxue segera menepuk kepalanya. “Tidak seperti itu. Kau terlalu kaku!” “Aku tidak pernah belajar ilmu pedang sebelumnya!” balas Mo Tian frustasi. “Justru karena itu aku mengajarimu,” jawab Liu Qingxue sambil mendesah. “Baiklah, kita akan meluangkan waktu sebentar untuk melatih mu. Kalau tidak, kau akan menjadi beban dalam perjalanan ini.” “Ada kau yang melindungiku.” “Mau sampai kapan?” Mereka menghabiskan waktu di sebuah lapangan kecil yang tersembunyi di antara pepohonan. Liu Qingxue melatih Mo Tian dasar-dasar ilmu pedang, sementara Mo Tian terus mencoba memahami hubungan misterius antara dirinya dan pedang tua itu. Tiba-tiba, sebelum mereka sempat melanjutkan perjalanan, suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar dari kejauhan. Mo Tian dan Liu Qingxue sudah bersiap untuk menyerang. Seorang wanita muda dengan pakaian putih, wajahnya pucat dan penuh keringat, muncul dari balik pepohonan. “Liu Qingxue!” serunya dengan nada putus asa. Liu Qingxue segera berbalik menatap wanita itu dengan bingung. “Siapa kau?” Wanita itu berhenti didepan mereka, mengatur nafasnya yang terengah-engah. “Kakak seperguruan! Aku adalah Jiang Yi, murid termuda dari Sekte Awan Putih. Apakah kau tidak mengenalku?” Liu Qingxue memperhatikan Jiang Yi dengan saksama. Setelah beberapa saat, matanya melembut. “Jiang Yi, oh sudah lama sekali. Apa yang kau lakukan di sini?” “Syukurlah aku menemukanmu!” ujar Jiang Yi, suaranya penuh emosi. “Kau tersesat?” tanya Liu Qingxue. Jiang Yi menggeleng. “Kakak seperguruan, sekte kita sedang dalam bahaya besar! Guru sedang sekarat! Sudah lama kami mencarimu!” Liu Qingxue tertegun. Kata-kata Jiang Yi seolah menghantamnya dengan keras. Dia terdiam beberapa saat sebelum bertanya, “Apa yang terjadi pada Guru?” “Beberapa bulan yang lalu, seorang pendekar misterius menyerang Sekte Awan Putih. Guru mencoba melindungi kita semua, tapi dia terluka parah. Sekarang dia terbaring di ambang kematian, dan sekte kita kacau tanpa arah. Semua saudara seperguruan bingung dan ketakutan, karena serangan itu terus saja datang kapanpun,” jelas Jiang Yi dengan mata berlinang air mata. "Apa yang mereka inginkan?" "Mereka mencari sebuah kitab." Liu Qingxue mengepalkan tangannya. Ia merasa hatinya tercabik-cabik. Sekte Awan Putih adalah tempat ia tumbuh dan belajar seni bela diri. Guru mereka adalah seperti ayah bagi para muridnya, termasuk Liu Qingxue. Namun, ia juga telah berjanji untuk membantu Mo Tian dalam pencariannya. “Jiang Yi, aku...” Liu Qingxue terdiam, tak tahu harus berkata apa.“Semua manusia harus mati! Dunia fana ini tidak layak lagi dihuni!” Baaam! Seketika, dunia hancur berantakan. Manusia lari tunggang-langgang menyelamatkan diri. “Berlindung! Berlindung!” “Tidak akan ada tempat bagi kalian untuk berlindung. Aku akan menghancurkannya!” teriak Dewa Kematian dengan mata merah menyala. Dialah Heiming Shen atau Dewa Kematian. Dia juga Dewa yang ditakuti oleh para dewa dan manusia. Dengan sabit hitam yang tak tertandingi, ia mengatur arus kehidupan dan kematian dengan tangan besi. Jika dia tidak menginginkannya, maka semuanya akan dihancurkan.Kekuasaannya yang mutlak memicu ketakutan di kalangan para dewa lainnya. Mereka merasa bahwa Dewa Kematian telah melampaui batas, menggunakan kekuatan kematian untuk menghukum makhluk fana yang menurutnya tidak layak hidup, bahkan tanpa persetujuan Dewan Langit. Hingga akhirnya Dewan Langit menggelar pengadilan ilahi. Para dewa utama—Dewa Kehidupan, Dewa Keseimbangan, dan Dewa Waktu—memutuskan bahwa Heiming
“Siapa kau?!”“Tuan muda…”“Jawab aku!”Mo Tian merasa kepalanya berputar, dia seperti melihat kunang-kunang. Gambaran aneh tiba-tiba muncul dalam pikirannya, gambar sabit hitam, lautan jiwa yang meratap memohon belas kasih, dan takhta megah yang gelap. "Apa yang terjadi? Siapa aku sebenarnya?" tanya Mo Tian sebelum akhirnya pingsan.Pandangannya menjadi gelap, dan di dalam pingsannya Mo Tian seperti berada di tengah-tengah lautan, tapi bukan air. Melainkan lautan jiwa manusia, mereka memanggilnya.Beberapa saat kemudian, Mo Tian sadar, tapi desa tempat dia tumbuh telah menjadi abu. Tidak ada yang tersisa, hanya reruntuhan dan bau hangus.Rumahnya, telah musnah. Juga orang tuanya telah tiada. Mo Tian merasa percuma dia hidup, dia ingin mati, mengikuti orang tuanya.“Apa ini? Darimana aku mendapatkannya?” tanya Mo Tian memandang pedang yang berada di tangannya.Meskipun bingung, dia tidak melepaskan pedang itu. Dia merasa ada jiwanya disana, meskipun tidak tahu, apa sebenarnya hubung
“Kalau mati itu takdir.” “Kau tetap mau ke sana?” “Iya.” Liu Qingxue hanya tersenyum melihat kegigihan Mo Tian. “Ikutlah denganku,” ajak Mo Tian akhirnya. “Aku?” “Iya.” “Kenapa harus ikut?” “Aku tidak pernah bepergian keluar desa. Kau bisa jadi penunjuk jalanku. Dan juga, selama perjalanan, siapa tahu kau bisa menemukan apa yang kau cari,” jawab Mo Tian. Setelah beberapa saat diam, Liu akhirnya setuju untuk ikut mengembara bersama Mo Tian. Di tengah perjalanan mereka keluar dari hutan, keduanya dihadang oleh sekelompok bandit bersenjata. Ada sekitar sepuluh orang, masing-masing membawa pedang atau tombak. “Serahkan barang-barang kalian, atau nyawa kalian yang jadi taruhannya!” seru salah satu bandit, pria kekar dengan bekas luka di wajahnya. Liu Qingxue melangkah maju tanpa rasa takut. “Kalian tidak tahu siapa yang kalian hadapi.” “Kami tidak peduli siapa kalian!” balas bandit itu sambil menyerang. Pertarungan pun dimulai. Liu Qingxue, dengan gerakan yang c
“Tidak ada yang tahu pasti,” jawab Tabib Langit. “Namun, banyak yang percaya bahwa kitab itu tersembunyi di sebuah tempat bernama Gunung Kelam, tapi itu hanyalah sebuah dugaan. Sekte Langit Berdarah sudah mulai mengirim pasukan ke sana,” sambung Tabib Langit. “Gunung Kelam?” “Iya, tempat yang cukup jauh. Bahkan sangat sulit di jangkau, hampir tidak pernah ada orang yang pernah kesana. Termasuk ketua sekte Langit Berdarah.” Mo Tian merasakan ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya saat mendengar nama Gunung Kelam. Ia tidak tahu kenapa, tapi tempat itu sepertinya memiliki hubungan dengan dirinya. Tapi, dia tidak yakin. Karena sejak lahir, dia tumbuh dan besar di desa. Dia tidak pernah kemana-mana. “Kalau begitu, kita harus menghentikan Yan Wuxi sebelum dia menemukan kitab itu,” ujar Liu Qingxue dengan penuh tekad. Tabib Langit mengangguk sambil tersenyum. “Semangatmu terlalu tinggi, Anak Muda. Kalian bukan lawannya. Yan Wuxi bukan hanya pendekar sakti. Ia juga seorang manipula
“Kita harus melapor ke Yan Wuxi,” ujar pria itu. “Tidak. Yan Wuxi memerintahkan kita untuk memastikan mereka tidak sampai menemukan Kitab Kematian. Kita bisa menghabisi mereka di sini, sebelum menjadi ancaman.” Wanita itu mengangguk, dan keduanya mulai bergerak perlahan, mendekati Mo Tian dan Liu Qingxue yang sedang beristirahat. “Aku masih tidak mengerti kenapa kau harus memancing masalah seperti tadi,” ujar Mo Tian sambil meregangkan tubuhnya. “Masalah adalah bagian dari hidup, anak muda,” jawab Liu Qingxue dengan nada menggoda. Sebelum Mo Tian sempat membalas, ia tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh. “Ada yang tidak beres.” Baru beberapa hari dalam perjalanan, sekarang Mo Tian sudah bisa merasakan sesuatu dengan instingnya. Dan ternyata bukan hanya Mo Tian, melainkan Liu Qingxue juga merasakan hal yang sama. “Kita sedang diawasi,” bisiknya. “Apa yang harus kita lakukan?” tanya Mo Tian. “Perjalanan ini akan seru,” kekeh Liu Qingxue. Sebelum mereka sempat berge
“Tidak ada yang tahu pasti,” jawab Tabib Langit. “Namun, banyak yang percaya bahwa kitab itu tersembunyi di sebuah tempat bernama Gunung Kelam, tapi itu hanyalah sebuah dugaan. Sekte Langit Berdarah sudah mulai mengirim pasukan ke sana,” sambung Tabib Langit. “Gunung Kelam?” “Iya, tempat yang cukup jauh. Bahkan sangat sulit di jangkau, hampir tidak pernah ada orang yang pernah kesana. Termasuk ketua sekte Langit Berdarah.” Mo Tian merasakan ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya saat mendengar nama Gunung Kelam. Ia tidak tahu kenapa, tapi tempat itu sepertinya memiliki hubungan dengan dirinya. Tapi, dia tidak yakin. Karena sejak lahir, dia tumbuh dan besar di desa. Dia tidak pernah kemana-mana. “Kalau begitu, kita harus menghentikan Yan Wuxi sebelum dia menemukan kitab itu,” ujar Liu Qingxue dengan penuh tekad. Tabib Langit mengangguk sambil tersenyum. “Semangatmu terlalu tinggi, Anak Muda. Kalian bukan lawannya. Yan Wuxi bukan hanya pendekar sakti. Ia juga seorang manipula
“Kalau mati itu takdir.” “Kau tetap mau ke sana?” “Iya.” Liu Qingxue hanya tersenyum melihat kegigihan Mo Tian. “Ikutlah denganku,” ajak Mo Tian akhirnya. “Aku?” “Iya.” “Kenapa harus ikut?” “Aku tidak pernah bepergian keluar desa. Kau bisa jadi penunjuk jalanku. Dan juga, selama perjalanan, siapa tahu kau bisa menemukan apa yang kau cari,” jawab Mo Tian. Setelah beberapa saat diam, Liu akhirnya setuju untuk ikut mengembara bersama Mo Tian. Di tengah perjalanan mereka keluar dari hutan, keduanya dihadang oleh sekelompok bandit bersenjata. Ada sekitar sepuluh orang, masing-masing membawa pedang atau tombak. “Serahkan barang-barang kalian, atau nyawa kalian yang jadi taruhannya!” seru salah satu bandit, pria kekar dengan bekas luka di wajahnya. Liu Qingxue melangkah maju tanpa rasa takut. “Kalian tidak tahu siapa yang kalian hadapi.” “Kami tidak peduli siapa kalian!” balas bandit itu sambil menyerang. Pertarungan pun dimulai. Liu Qingxue, dengan gerakan yang c
“Siapa kau?!”“Tuan muda…”“Jawab aku!”Mo Tian merasa kepalanya berputar, dia seperti melihat kunang-kunang. Gambaran aneh tiba-tiba muncul dalam pikirannya, gambar sabit hitam, lautan jiwa yang meratap memohon belas kasih, dan takhta megah yang gelap. "Apa yang terjadi? Siapa aku sebenarnya?" tanya Mo Tian sebelum akhirnya pingsan.Pandangannya menjadi gelap, dan di dalam pingsannya Mo Tian seperti berada di tengah-tengah lautan, tapi bukan air. Melainkan lautan jiwa manusia, mereka memanggilnya.Beberapa saat kemudian, Mo Tian sadar, tapi desa tempat dia tumbuh telah menjadi abu. Tidak ada yang tersisa, hanya reruntuhan dan bau hangus.Rumahnya, telah musnah. Juga orang tuanya telah tiada. Mo Tian merasa percuma dia hidup, dia ingin mati, mengikuti orang tuanya.“Apa ini? Darimana aku mendapatkannya?” tanya Mo Tian memandang pedang yang berada di tangannya.Meskipun bingung, dia tidak melepaskan pedang itu. Dia merasa ada jiwanya disana, meskipun tidak tahu, apa sebenarnya hubung
“Semua manusia harus mati! Dunia fana ini tidak layak lagi dihuni!” Baaam! Seketika, dunia hancur berantakan. Manusia lari tunggang-langgang menyelamatkan diri. “Berlindung! Berlindung!” “Tidak akan ada tempat bagi kalian untuk berlindung. Aku akan menghancurkannya!” teriak Dewa Kematian dengan mata merah menyala. Dialah Heiming Shen atau Dewa Kematian. Dia juga Dewa yang ditakuti oleh para dewa dan manusia. Dengan sabit hitam yang tak tertandingi, ia mengatur arus kehidupan dan kematian dengan tangan besi. Jika dia tidak menginginkannya, maka semuanya akan dihancurkan.Kekuasaannya yang mutlak memicu ketakutan di kalangan para dewa lainnya. Mereka merasa bahwa Dewa Kematian telah melampaui batas, menggunakan kekuatan kematian untuk menghukum makhluk fana yang menurutnya tidak layak hidup, bahkan tanpa persetujuan Dewan Langit. Hingga akhirnya Dewan Langit menggelar pengadilan ilahi. Para dewa utama—Dewa Kehidupan, Dewa Keseimbangan, dan Dewa Waktu—memutuskan bahwa Heiming