Home / Fantasi / JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR / Bab 4. Meninggalkan Jingbei

Share

Bab 4. Meninggalkan Jingbei

Author: Aray Fu
last update Last Updated: 2024-11-23 20:00:24

“Tidak ada yang tahu pasti,” jawab Tabib Langit.

“Namun, banyak yang percaya bahwa kitab itu tersembunyi di sebuah tempat bernama Gunung Kelam, tapi itu hanyalah sebuah dugaan. Sekte Langit Berdarah sudah mulai mengirim pasukan ke sana,” sambung Tabib Langit.

“Gunung Kelam?”

“Iya, tempat yang cukup jauh. Bahkan sangat sulit di jangkau, hampir tidak pernah ada orang yang pernah kesana. Termasuk ketua sekte Langit Berdarah.”

Mo Tian merasakan ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya saat mendengar nama Gunung Kelam. Ia tidak tahu kenapa, tapi tempat itu sepertinya memiliki hubungan dengan dirinya.

Tapi, dia tidak yakin. Karena sejak lahir, dia tumbuh dan besar di desa. Dia tidak pernah kemana-mana.

“Kalau begitu, kita harus menghentikan Yan Wuxi sebelum dia menemukan kitab itu,” ujar Liu Qingxue dengan penuh tekad.

Tabib Langit mengangguk sambil tersenyum. “Semangatmu terlalu tinggi, Anak Muda. Kalian bukan lawannya. Yan Wuxi bukan hanya pendekar sakti. Ia juga seorang manipulator ulung. Ia akan menggunakan kelemahan kalian untuk membunuh kalian.”

“Sebaiknya, kembali lah ke asal kalian. Hiduplah yang damai, dan jangan mencari masalah dengan Yan Wuxi,” lanjutnya.

Mo Tian mengepalkan tangannya. “Aku tidak peduli seberapa kuat dia. Jika dia adalah alasan desa dan keluargaku hancur, aku akan menghentikannya.”

Tabib Langit tersenyum tipis. “Semangatmu adalah kekuatanmu, tapi juga bisa menjadi kehancuranmu. Jangan biarkan kebencian menguasaimu.”

Setelah mendapatkan informasi dari Tabib Langit, Mo Tian dan Liu Qingxue memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka menuju Gunung Kelam.

“Apakah kita bisa kesana?” tanya Mo Tian ragu.

“Pendekar sejati tidak pernah ragu,” jawab Liu Qingxue.

Mo Tian tidak bisa berhenti memikirkan apa yang dikatakan Tabib Langit. Jawaban tentang dirinya mungkin ada di Gunung Kelam, tapi ia juga tidak bisa mengabaikan ancaman dari Yan Wuxi dan Sekte Langit Berdarah.

“Apakah kau yakin ingin melanjutkan perjalanan ini?” tanya Liu Qingxue saat mereka meninggalkan kota Jingbei.

Mo Tian mengangguk. “Aku tidak punya pilihan lain. Aku harus tahu kebenarannya.”

Liu Qingxue tersenyum tipis. “Kalau begitu, kita harus bersiap untuk apa pun yang akan datang. Ini bukan hanya tentang menemukan jawaban, tapi juga tentang bertahan hidup.”

“Baiklah, apakah sekarang kita adalah teman?”

“Ya bisa dibilang begitu.”

Mo Tian dan Liu Qingxue berjalan meninggalkan kuil Tabib Langit dengan semangat membara.

Informasi yang mereka dapatkan dari Tabib Langit tentang Sekte Langit Berdarah dan Kitab Kematian menjadi tujuan baru mereka.

Sebelum memulai perjalanan, mereka memutuskan untuk kembali ke pusat Kota Jingbei untuk menikmati waktu sejenak.

Liu Qingxue mengajak Mo Tian duduk di sebuah kedai kecil di pinggir jalan, tempat mereka bisa melihat keramaian kota sambil menikmati semangkuk sup hangat.

“Kau tahu, kota ini penuh dengan cerita. Dari pedagang kaya hingga pengemis miskin, semuanya punya rahasia,” ujar Liu Qingxue sambil meniup supnya.

Mo Tian, yang masih memikirkan tanda sabit hitam di pundaknya, hanya mengangguk sambil menghirup supnya. Namun, suasana damai mereka segera terganggu.

Sekelompok orang dengan wajah kasar dan sikap arogan memasuki kedai. Mereka mengenakan pakaian lusuh, tapi pedang yang tergantung di pinggang mereka menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar preman biasa.

Salah satu dari mereka, pria besar dengan kepala botak, melangkah maju dan berteriak, “Semua orang! Tinggalkan tempat ini sekarang, atau kami akan menghancurkannya bersama kalian!”

Para pelanggan di kedai langsung panik dan berhamburan keluar. Pemilik kedai, seorang lelaki tua, hanya bisa gemetar sambil memohon, “Tolong, jangan hancurkan kedai saya! Ini satu-satunya sumber penghidupan saya!”

Liu Qingxue mengerutkan kening. Ia tidak suka melihat orang lemah ditindas. “Orang-orang seperti ini benar-benar menyebalkan,” gumamnya sambil meletakkan mangkuk supnya dengan kasar.

“Jangan ikut campur,” bisik Mo Tian, merasa bahwa menghadapi sekelompok preman di tempat umum bukanlah ide bagus.

Liu Qingxue tidak peduli. Ia berdiri dengan santai dan menatap pria botak itu. “Hei, kau! Tidak ada orang yang ingin mendengar teriakanmu. Pergi sebelum aku membuatmu diam!”

“Hahaha.”

Para preman itu tertawa terbahak-bahak. “Lihat, seorang wanita kecil mencoba menjadi pahlawan!”

“Jangan menyesal!” ujar Liu Qingxue sambil mencabut pedangnya.

Pertarungan pun terjadi. Liu Qingxue menyerang dengan kecepatan luar biasa, membuat beberapa preman kewalahan. Namun, jumlah mereka terlalu banyak, dan mereka mulai mengeroyoknya. Salah satu preman berhasil menangkis serangannya, sementara yang lain melancarkan pukulan yang hampir mengenainya.

Melihat Liu Qingxue mulai terdesak, Mo Tian menghela nafas. “Kenapa kita selalu harus terlibat masalah?” gumamnya sebelum melompat ke tengah pertempuran.

Dengan insting misteriusnya, ia berhasil menangkis beberapa serangan dan membuat para preman mundur sejenak.

Ternyata para preman itu bukan lawan sembarangan. Mereka mulai menggunakan teknik-teknik bela diri yang terlatih, memaksa Liu Qingxue dan Mo Tian untuk mundur.

“Ayo! Kita harus pergi!” teriak Liu Qingxue sambil menarik tangan Mo Tian.

“Apa? Kenapa?!”

“Tidak ada waktu untuk menjelaskan!”

Dengan gesit, Liu Qingxue membawa Mo Tian keluar dari kedai. Keduanya berlari melewati gang-gang sempit di kota Jingbei, mencoba menghindari pengejaran. Meski terengah-engah, Liu Qingxue tertawa kecil.

“Apa yang kau tertawakan?” tanya Mo Tian kesal.

Liu Qingxue membuka telapak tangannya, memperlihatkan beberapa kantong uang kecil. “Aku berhasil mengambil ini dari mereka.”

Mo Tian terdiam sejenak, lalu ikut tertawa. “Kau benar-benar tidak tahu malu!”

“Lebih baik uang mereka digunakan untuk sesuatu yang berguna dalam perjalanan kita,” jawab Liu Qingxue dengan santai.

Mereka akhirnya tiba di ujung Kota Jingbei, tepat di perbatasan menuju pedesaan. Liu Qingxue dan Mo Tian duduk di bawah pohon besar untuk beristirahat sejenak.

Tanpa mereka sadari, dua bayangan telah mengawasi mereka sejak mereka keluar dari kuil Tabib Langit.

“Kau yakin mereka adalah orang yang kita cari?” bisik salah satu dari bayangan itu, seorang pria berjubah gelap dengan pedang panjang di punggungnya.

“Tidak ada keraguan,” jawab yang satunya lagi, wanita dengan rambut panjang terurai dan mata tajam seperti elang.

“Tanda di pundak anak itu adalah bukti. Dan wanita yang bersamanya dia terlalu berbahaya untuk dibiarkan hidup.”

Related chapters

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 5. Sekte Awan Putih Diserang

    “Kita harus melapor ke Yan Wuxi,” ujar pria itu. “Tidak. Yan Wuxi memerintahkan kita untuk memastikan mereka tidak sampai menemukan Kitab Kematian. Kita bisa menghabisi mereka di sini, sebelum menjadi ancaman.” Wanita itu mengangguk, dan keduanya mulai bergerak perlahan, mendekati Mo Tian dan Liu Qingxue yang sedang beristirahat. “Aku masih tidak mengerti kenapa kau harus memancing masalah seperti tadi,” ujar Mo Tian sambil meregangkan tubuhnya. “Masalah adalah bagian dari hidup, anak muda,” jawab Liu Qingxue dengan nada menggoda. Sebelum Mo Tian sempat membalas, ia tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh. “Ada yang tidak beres.” Baru beberapa hari dalam perjalanan, sekarang Mo Tian sudah bisa merasakan sesuatu dengan instingnya. Dan ternyata bukan hanya Mo Tian, melainkan Liu Qingxue juga merasakan hal yang sama. “Kita sedang diawasi,” bisiknya. “Apa yang harus kita lakukan?” tanya Mo Tian. “Perjalanan ini akan seru,” kekeh Liu Qingxue. Sebelum mereka sempat berge

    Last Updated : 2024-11-25
  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 1. Reinkarnasi Dewa Kematian

    “Semua manusia harus mati! Dunia fana ini tidak layak lagi dihuni!” Baaam! Seketika, dunia hancur berantakan. Manusia lari tunggang-langgang menyelamatkan diri. “Berlindung! Berlindung!” “Tidak akan ada tempat bagi kalian untuk berlindung. Aku akan menghancurkannya!” teriak Dewa Kematian dengan mata merah menyala. Dialah Heiming Shen atau Dewa Kematian. Dia juga Dewa yang ditakuti oleh para dewa dan manusia. Dengan sabit hitam yang tak tertandingi, ia mengatur arus kehidupan dan kematian dengan tangan besi. Jika dia tidak menginginkannya, maka semuanya akan dihancurkan.Kekuasaannya yang mutlak memicu ketakutan di kalangan para dewa lainnya. Mereka merasa bahwa Dewa Kematian telah melampaui batas, menggunakan kekuatan kematian untuk menghukum makhluk fana yang menurutnya tidak layak hidup, bahkan tanpa persetujuan Dewan Langit. Hingga akhirnya Dewan Langit menggelar pengadilan ilahi. Para dewa utama—Dewa Kehidupan, Dewa Keseimbangan, dan Dewa Waktu—memutuskan bahwa Heiming

    Last Updated : 2024-11-20
  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 2. Bertemu Pendekar Wanita

    “Siapa kau?!”“Tuan muda…”“Jawab aku!”Mo Tian merasa kepalanya berputar, dia seperti melihat kunang-kunang. Gambaran aneh tiba-tiba muncul dalam pikirannya, gambar sabit hitam, lautan jiwa yang meratap memohon belas kasih, dan takhta megah yang gelap. "Apa yang terjadi? Siapa aku sebenarnya?" tanya Mo Tian sebelum akhirnya pingsan.Pandangannya menjadi gelap, dan di dalam pingsannya Mo Tian seperti berada di tengah-tengah lautan, tapi bukan air. Melainkan lautan jiwa manusia, mereka memanggilnya.Beberapa saat kemudian, Mo Tian sadar, tapi desa tempat dia tumbuh telah menjadi abu. Tidak ada yang tersisa, hanya reruntuhan dan bau hangus.Rumahnya, telah musnah. Juga orang tuanya telah tiada. Mo Tian merasa percuma dia hidup, dia ingin mati, mengikuti orang tuanya.“Apa ini? Darimana aku mendapatkannya?” tanya Mo Tian memandang pedang yang berada di tangannya.Meskipun bingung, dia tidak melepaskan pedang itu. Dia merasa ada jiwanya disana, meskipun tidak tahu, apa sebenarnya hubung

    Last Updated : 2024-11-21
  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 3. Tabib Langit

    “Kalau mati itu takdir.” “Kau tetap mau ke sana?” “Iya.” Liu Qingxue hanya tersenyum melihat kegigihan Mo Tian. “Ikutlah denganku,” ajak Mo Tian akhirnya. “Aku?” “Iya.” “Kenapa harus ikut?” “Aku tidak pernah bepergian keluar desa. Kau bisa jadi penunjuk jalanku. Dan juga, selama perjalanan, siapa tahu kau bisa menemukan apa yang kau cari,” jawab Mo Tian. Setelah beberapa saat diam, Liu akhirnya setuju untuk ikut mengembara bersama Mo Tian. Di tengah perjalanan mereka keluar dari hutan, keduanya dihadang oleh sekelompok bandit bersenjata. Ada sekitar sepuluh orang, masing-masing membawa pedang atau tombak. “Serahkan barang-barang kalian, atau nyawa kalian yang jadi taruhannya!” seru salah satu bandit, pria kekar dengan bekas luka di wajahnya. Liu Qingxue melangkah maju tanpa rasa takut. “Kalian tidak tahu siapa yang kalian hadapi.” “Kami tidak peduli siapa kalian!” balas bandit itu sambil menyerang. Pertarungan pun dimulai. Liu Qingxue, dengan gerakan yang c

    Last Updated : 2024-11-22

Latest chapter

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 5. Sekte Awan Putih Diserang

    “Kita harus melapor ke Yan Wuxi,” ujar pria itu. “Tidak. Yan Wuxi memerintahkan kita untuk memastikan mereka tidak sampai menemukan Kitab Kematian. Kita bisa menghabisi mereka di sini, sebelum menjadi ancaman.” Wanita itu mengangguk, dan keduanya mulai bergerak perlahan, mendekati Mo Tian dan Liu Qingxue yang sedang beristirahat. “Aku masih tidak mengerti kenapa kau harus memancing masalah seperti tadi,” ujar Mo Tian sambil meregangkan tubuhnya. “Masalah adalah bagian dari hidup, anak muda,” jawab Liu Qingxue dengan nada menggoda. Sebelum Mo Tian sempat membalas, ia tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh. “Ada yang tidak beres.” Baru beberapa hari dalam perjalanan, sekarang Mo Tian sudah bisa merasakan sesuatu dengan instingnya. Dan ternyata bukan hanya Mo Tian, melainkan Liu Qingxue juga merasakan hal yang sama. “Kita sedang diawasi,” bisiknya. “Apa yang harus kita lakukan?” tanya Mo Tian. “Perjalanan ini akan seru,” kekeh Liu Qingxue. Sebelum mereka sempat berge

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 4. Meninggalkan Jingbei

    “Tidak ada yang tahu pasti,” jawab Tabib Langit. “Namun, banyak yang percaya bahwa kitab itu tersembunyi di sebuah tempat bernama Gunung Kelam, tapi itu hanyalah sebuah dugaan. Sekte Langit Berdarah sudah mulai mengirim pasukan ke sana,” sambung Tabib Langit. “Gunung Kelam?” “Iya, tempat yang cukup jauh. Bahkan sangat sulit di jangkau, hampir tidak pernah ada orang yang pernah kesana. Termasuk ketua sekte Langit Berdarah.” Mo Tian merasakan ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya saat mendengar nama Gunung Kelam. Ia tidak tahu kenapa, tapi tempat itu sepertinya memiliki hubungan dengan dirinya. Tapi, dia tidak yakin. Karena sejak lahir, dia tumbuh dan besar di desa. Dia tidak pernah kemana-mana. “Kalau begitu, kita harus menghentikan Yan Wuxi sebelum dia menemukan kitab itu,” ujar Liu Qingxue dengan penuh tekad. Tabib Langit mengangguk sambil tersenyum. “Semangatmu terlalu tinggi, Anak Muda. Kalian bukan lawannya. Yan Wuxi bukan hanya pendekar sakti. Ia juga seorang manipula

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 3. Tabib Langit

    “Kalau mati itu takdir.” “Kau tetap mau ke sana?” “Iya.” Liu Qingxue hanya tersenyum melihat kegigihan Mo Tian. “Ikutlah denganku,” ajak Mo Tian akhirnya. “Aku?” “Iya.” “Kenapa harus ikut?” “Aku tidak pernah bepergian keluar desa. Kau bisa jadi penunjuk jalanku. Dan juga, selama perjalanan, siapa tahu kau bisa menemukan apa yang kau cari,” jawab Mo Tian. Setelah beberapa saat diam, Liu akhirnya setuju untuk ikut mengembara bersama Mo Tian. Di tengah perjalanan mereka keluar dari hutan, keduanya dihadang oleh sekelompok bandit bersenjata. Ada sekitar sepuluh orang, masing-masing membawa pedang atau tombak. “Serahkan barang-barang kalian, atau nyawa kalian yang jadi taruhannya!” seru salah satu bandit, pria kekar dengan bekas luka di wajahnya. Liu Qingxue melangkah maju tanpa rasa takut. “Kalian tidak tahu siapa yang kalian hadapi.” “Kami tidak peduli siapa kalian!” balas bandit itu sambil menyerang. Pertarungan pun dimulai. Liu Qingxue, dengan gerakan yang c

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 2. Bertemu Pendekar Wanita

    “Siapa kau?!”“Tuan muda…”“Jawab aku!”Mo Tian merasa kepalanya berputar, dia seperti melihat kunang-kunang. Gambaran aneh tiba-tiba muncul dalam pikirannya, gambar sabit hitam, lautan jiwa yang meratap memohon belas kasih, dan takhta megah yang gelap. "Apa yang terjadi? Siapa aku sebenarnya?" tanya Mo Tian sebelum akhirnya pingsan.Pandangannya menjadi gelap, dan di dalam pingsannya Mo Tian seperti berada di tengah-tengah lautan, tapi bukan air. Melainkan lautan jiwa manusia, mereka memanggilnya.Beberapa saat kemudian, Mo Tian sadar, tapi desa tempat dia tumbuh telah menjadi abu. Tidak ada yang tersisa, hanya reruntuhan dan bau hangus.Rumahnya, telah musnah. Juga orang tuanya telah tiada. Mo Tian merasa percuma dia hidup, dia ingin mati, mengikuti orang tuanya.“Apa ini? Darimana aku mendapatkannya?” tanya Mo Tian memandang pedang yang berada di tangannya.Meskipun bingung, dia tidak melepaskan pedang itu. Dia merasa ada jiwanya disana, meskipun tidak tahu, apa sebenarnya hubung

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 1. Reinkarnasi Dewa Kematian

    “Semua manusia harus mati! Dunia fana ini tidak layak lagi dihuni!” Baaam! Seketika, dunia hancur berantakan. Manusia lari tunggang-langgang menyelamatkan diri. “Berlindung! Berlindung!” “Tidak akan ada tempat bagi kalian untuk berlindung. Aku akan menghancurkannya!” teriak Dewa Kematian dengan mata merah menyala. Dialah Heiming Shen atau Dewa Kematian. Dia juga Dewa yang ditakuti oleh para dewa dan manusia. Dengan sabit hitam yang tak tertandingi, ia mengatur arus kehidupan dan kematian dengan tangan besi. Jika dia tidak menginginkannya, maka semuanya akan dihancurkan.Kekuasaannya yang mutlak memicu ketakutan di kalangan para dewa lainnya. Mereka merasa bahwa Dewa Kematian telah melampaui batas, menggunakan kekuatan kematian untuk menghukum makhluk fana yang menurutnya tidak layak hidup, bahkan tanpa persetujuan Dewan Langit. Hingga akhirnya Dewan Langit menggelar pengadilan ilahi. Para dewa utama—Dewa Kehidupan, Dewa Keseimbangan, dan Dewa Waktu—memutuskan bahwa Heiming

DMCA.com Protection Status