Share

Bab 3. Tabib Langit

Penulis: Aray Fu
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-22 17:13:30

“Kalau mati itu takdir.”

“Kau tetap mau ke sana?”

“Iya.”

Liu Qingxue hanya tersenyum melihat kegigihan Mo Tian.

“Ikutlah denganku,” ajak Mo Tian akhirnya.

“Aku?”

“Iya.”

“Kenapa harus ikut?”

“Aku tidak pernah bepergian keluar desa. Kau bisa jadi penunjuk jalanku. Dan juga, selama perjalanan, siapa tahu kau bisa menemukan apa yang kau cari,” jawab Mo Tian.

Setelah beberapa saat diam, Liu akhirnya setuju untuk ikut mengembara bersama Mo Tian.

Di tengah perjalanan mereka keluar dari hutan, keduanya dihadang oleh sekelompok bandit bersenjata. Ada sekitar sepuluh orang, masing-masing membawa pedang atau tombak.

“Serahkan barang-barang kalian, atau nyawa kalian yang jadi taruhannya!” seru salah satu bandit, pria kekar dengan bekas luka di wajahnya.

Liu Qingxue melangkah maju tanpa rasa takut. “Kalian tidak tahu siapa yang kalian hadapi.”

“Kami tidak peduli siapa kalian!” balas bandit itu sambil menyerang.

Pertarungan pun dimulai. Liu Qingxue, dengan gerakan yang cepat dan mematikan, melawan bandit-bandit itu tanpa ragu. Pedangnya menari di udara, setiap tebasannya akurat dan mematikan.

Sementara itu, Mo Tian kembali merasa tubuhnya bergerak dengan insting yang tidak ia pahami. Pedang tua di tangannya berkilauan meski terlihat berkarat. Setiap kali ia menyerang, bandit-bandit itu mundur dengan wajah ketakutan.

“Ada apa dengan anak ini?” teriak salah satu bandit sebelum ia terjatuh.

Dalam waktu singkat, bandit-bandit itu berhasil dikalahkan. Beberapa melarikan diri, meninggalkan rekan-rekan mereka yang tergeletak tak bernyawa di tanah.

“Tidak buruk,” ujar Liu Qingxue sambil membersihkan pedangnya.

Mo Tian terdiam, menatap pedang di tangannya yang kini bersih tanpa noda darah, meski ia yakin tadi telah menggunakannya untuk melawan.

“Sepertinya kau harus belajar mengendalikan kekuatanmu,” ujar Liu Qingxue. “Kalau tidak, suatu hari kekuatan itu bisa menghancurkanmu.”

Mo Tian mengangguk pelan, menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya untuk mencari jawaban, tapi juga untuk memahami kekuatan misterius dalam dirinya. “Apakah ini takdirku? Siapa aku sebenarnya?”

Hutan Luanyang hanyalah awal dari perjalanan panjang yang penuh tantangan bagi Mo Tian dan Liu Qingxue.

Satu minggu berlalu dengan berbagai rintangan yang tak terduga. Mereka melewati lembah curam, melintasi sungai deras, dan menghadapi ancaman dari hewan liar maupun manusia. Namun, di balik semua itu, mereka mulai saling memahami, meski hubungan mereka masih diwarnai saling mencurigai.

Suatu pagi yang dingin, mereka dikejar oleh kelompok pemburu bayaran yang mengira Mo Tian adalah buronan dengan hadiah besar di kepalanya. Dengan keterampilan bela diri Liu Qingxue dan kekuatan misterius yang dimiliki Mo Tian, mereka berhasil lolos meski dengan luka ringan di tubuh.

“Apa setiap hari akan selalu seperti ini?” keluh Mo Tian sambil merobek kain bajunya untuk membalut luka di lengannya.

“Kalau kau ingin hidup damai, sebaiknya kembali ke desa yang sudah hancur itu,” sindir Liu Qingxue.

“Kau mengejekku?” tanya Mo Tian tersinggung.

“Hanya mengatakan yang harus aku katakan. Kalau kau ingin tahu siapa dirimu sebenarnya, bersiaplah menghadapi lebih banyak kekacauan.”

“Sombong! Seolah-olah kau punya begitu banyak pengalaman.”

“Nyatanya begitu, anak muda.”

Mo Tian hanya mendengus, tapi diam-diam ia kagum pada ketangguhan Liu Qingxue. Wanita itu seperti tidak pernah kehabisan energi, meskipun sudah bertarung berulang kali.

Setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan, akhirnya mereka tiba di Kota Jingbei.

“Wah, kota ini begitu bagus.”

Kota ini jauh lebih besar daripada yang pernah Mo Tian bayangkan. Jalanan ramai dengan pedagang yang menawarkan barang dagangan, kereta kuda yang berlalu-lalang, dan suara hiruk-pikuk para pedagang dan pembeli yang memenuhi udara.

“Tabib Langit tinggal di bagian utara kota, di sebuah kuil kecil di atas bukit,” ujar Liu Qingxue sambil mengamati peta kasar yang ia ambil dari salah satu pemburu bayaran yang mereka kalahkan.

“Kau pernah ke sana?”

“Tidak.”

Keduanya tertawa saat berjalan ke utara dengan percaya diri setelah menghabiskan satu mangkuk sup.

Namun, ketika mereka mencapai kuil itu, perjalanan mereka tidak semudah yang dibayangkan. Dua pendekar berjubah hitam berdiri di gerbang kuil. Aura mereka memancarkan kekuatan besar, membuat Mo Tian merasa kecil di hadapan mereka.

“Siapa kalian?” tanya salah satu pendekar dengan nada mengintimidasi.

“Kami ingin bertemu dengan Tabib Langit,” jawab Liu Qingxue dengan tegas.

Pendekar itu mendengus. “Apa yang membawa kalian kemari?”

“Ada hal yang penting,” jawab Mo Tian.

“Buktikan!”

Liu Qingxue melirik Mo Tian dan menghela napas. “Tentu saja ada syaratnya.”

Kedua pendekar itu langsung menyerang tanpa peringatan. Pertarungan berlangsung sengit. Liu Qingxue menghadapi salah satu pendekar, sementara Mo Tian harus melawan yang satunya lagi.

Pendekar-pendekar itu tidak hanya cepat dan kuat, tapi juga terlatih dalam ilmu pedang tingkat tinggi. Liu Qingxue berjuang keras untuk menandingi lawannya, menggunakan kelincahan dan teknik yang presisi. Sementara itu, Mo Tian berjuang mengendalikan kekuatan misterius dalam dirinya.

Di tengah pertarungan, tanda sabit hitam di pundaknya mulai bersinar samar. Tubuh Mo Tian terasa ringan, dan gerakannya menjadi lebih cepat. Dengan satu tebasan pedangnya, ia berhasil mematahkan pertahanan lawannya dan membuatnya tersungkur.

Liu Qingxue, meski kelelahan, akhirnya mampu mengalahkan lawannya dengan sebuah serangan balik yang cerdik.

“Cukup,” salah satu pendekar itu berkata sambil memegangi luka di lengannya. “Ikuti kami.”

Kuil Tabib Langit dipenuhi aroma dupa dan herbal. Seorang pria tua berjanggut panjang duduk di atas tikar bambu, matanya terpejam seolah-olah sedang bermeditasi.

“Apa yang membawa kalian ke tempat ini?” tanya Tabib Langit tanpa membuka matanya.

Mo Tian maju selangkah. “Aku mencari jawaban, Tabib. Tentang tanda di pundakku, tentang siapa diriku sebenarnya.”

Tabib Langit membuka matanya dan mengamati tanda sabit hitam di pundak Mo Tian. Ia mengerutkan kening, lalu menutup matanya kembali.

“Aku tidak bisa memberimu jawaban,” ujar Tabib Langit akhirnya.

“Kenapa?”

“Tanda itu adalah bagian dari takdirmu. Jawabannya tidak akan datang dariku, melainkan dari perjalanan panjangmu sendiri,” jawabnya.

Mo Tian merasa kecewa, namun ia tidak bisa memaksa. “Apakah Tuan tahu apa pun yang bisa membantuku?”

Tabib Langit mengangguk pelan. “Aku tidak tahu asal usul tanda itu, tapi yang aku tahu bahwa ada kekuatan besar yang sedang bergerak di dunia ini. Dan aku yakin, kau akan menjadi bagian dari pertarungan itu.”

Liu Qingxue, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. “Kami juga ingin tahu lebih banyak tentang Sekte Langit Berdarah.”

Mata Tabib Langit menyipit menatap ke arah Liu, kemudian tertawa. “Sekte Langit Berdarah dipimpin oleh Yan Wuxi, seorang pendekar sakti yang sangat berbahaya. Untuk apa kau ingin tahu, anak muda?”

“Untuk menghancurkannya,” jawab Liu dengan percaya diri.

“Dia sedang mencari Kitab Kematian, sebuah kitab legendaris yang konon menyimpan rahasia tentang kehidupan dan kematian.”

“Kitab Kematian?” Mo Tian mengulang dengan rasa penasaran.

Tabib Langit mengangguk. “Kitab itu diciptakan oleh seorang pendekar dari zaman kuno yang dikenal sebagai Penguasa Kematian. Kitab itu dikatakan memiliki kekuatan untuk mengendalikan jiwa dan membangkitkan mereka yang sudah mati. Jika Yan Wuxi berhasil mendapatkannya, dunia ini akan berada dalam bahaya besar.”

“Di mana kitab itu sekarang?” tanya Liu Qingxue.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sabam Silalahi
mantap bah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 4. Meninggalkan Jingbei

    “Tidak ada yang tahu pasti,” jawab Tabib Langit. “Namun, banyak yang percaya bahwa kitab itu tersembunyi di sebuah tempat bernama Gunung Kelam, tapi itu hanyalah sebuah dugaan. Sekte Langit Berdarah sudah mulai mengirim pasukan ke sana,” sambung Tabib Langit. “Gunung Kelam?” “Iya, tempat yang cukup jauh. Bahkan sangat sulit di jangkau, hampir tidak pernah ada orang yang pernah kesana. Termasuk ketua sekte Langit Berdarah.” Mo Tian merasakan ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya saat mendengar nama Gunung Kelam. Ia tidak tahu kenapa, tapi tempat itu sepertinya memiliki hubungan dengan dirinya. Tapi, dia tidak yakin. Karena sejak lahir, dia tumbuh dan besar di desa. Dia tidak pernah kemana-mana. “Kalau begitu, kita harus menghentikan Yan Wuxi sebelum dia menemukan kitab itu,” ujar Liu Qingxue dengan penuh tekad. Tabib Langit mengangguk sambil tersenyum. “Semangatmu terlalu tinggi, Anak Muda. Kalian bukan lawannya. Yan Wuxi bukan hanya pendekar sakti. Ia juga seorang manipula

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-23
  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 5. Sekte Awan Putih Diserang

    “Kita harus melapor ke Yan Wuxi,” ujar pria itu. “Tidak. Yan Wuxi memerintahkan kita untuk memastikan mereka tidak sampai menemukan Kitab Kematian. Kita bisa menghabisi mereka di sini, sebelum menjadi ancaman.” Wanita itu mengangguk, dan keduanya mulai bergerak perlahan, mendekati Mo Tian dan Liu Qingxue yang sedang beristirahat. “Aku masih tidak mengerti kenapa kau harus memancing masalah seperti tadi,” ujar Mo Tian sambil meregangkan tubuhnya. “Masalah adalah bagian dari hidup, anak muda,” jawab Liu Qingxue dengan nada menggoda. Sebelum Mo Tian sempat membalas, ia tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh. “Ada yang tidak beres.” Baru beberapa hari dalam perjalanan, sekarang Mo Tian sudah bisa merasakan sesuatu dengan instingnya. Dan ternyata bukan hanya Mo Tian, melainkan Liu Qingxue juga merasakan hal yang sama. “Kita sedang diawasi,” bisiknya. “Apa yang harus kita lakukan?” tanya Mo Tian. “Perjalanan ini akan seru,” kekeh Liu Qingxue. Sebelum mereka sempat berge

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-25
  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 6. Kitab yang Hilang

    “Kenapa?” tanya Jiang Yi bingung melihat keraguan di mata Liu Qingxue.“Kami memiliki tujuan yang sangat penting,” jawab Liu Qingxue.Jiang Yi menatap Liu Qingxue penuh selidik. “Maksudnya, kakak seperguruan tidak bisa kembali ke Sekte Awan Putih?”“Kondisi kita sekarang sedang kacau, guru sedang sekarat dan setiap hari bertanya tentang Kakak Seperguruan. Sekarang, kamu malah tidak mau kembali,” sambung Jiang Yi.Mo Tian, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. “Kau harus pergi, Liu Qingxue. Sekte Awan Putih adalah keluargamu, dan Guru adalah orang yang penting bagimu. Aku tidak bisa memaksamu untuk meninggalkan mereka demi aku. Pergilah.”“Bagaimana denganmu?” tanya Liu Qingxue.“Aku akan melanjutkan perjalanan ini.”“Tapi aku sudah berjanji untuk membantumu,” balas Liu Qingxue dengan suara bergetar.“Janji itu bisa menunggu,” ujar Mo Tian dengan tenang. “Aku masih belum tahu kemana tujuan kita selanjutnya, dan perjalanan ini adalah tentang aku menemukan diriku sendiri. Kau harus m

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-12
  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 7. Utusan Sekte Langit Berdarah

    Beberapa hari setelah kedatangannya, ternyata Guru sekaligus Ketua Sekte Awan Putih akhirnya wafat. Luka yang dialaminya cukup parah, merusak seluruh bagian organ dalamnya.Liu Qingxue berdiri di depan aula utama Sekte Awan Putih, wajahnya dipenuhi kesedihan yang sulit disembunyikan. Hatinya berat, bukan hanya karena kehilangan sang guru, tetapi juga karena beban tanggung jawab yang ditawarkan kepadanya.Ketua Sekte Awan Putih, meninggal dunia setelah bertahan cukup lama hanya dengan kekuatan roh dan tenaga dalamnya. Ia telah menunggu Qingxue kembali untuk menyampaikan pesan terakhirnya.Saat itu, di ranjang sederhana, guru yang telah mendidiknya sejak kecil memegang tangan Qingxue dengan lemah. “Qingxue... aku tahu hatimu. Kau adalah murid terbaik yang pernah aku miliki, tapi jalurmu berbeda. Jangan biarkan dendam mengaburkan nuranimu. Dunia ini butuh orang sepertimu...” Itulah kata-kata terakhir yang terucap sebelum sang guru mengembuskan nafas terakhir.Tangisan para murid dan tetu

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13
  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 8. Menantang Yan Wuxi

    Di tepi sungai yang tenang, Mo Tian dan Liu Qingxue duduk bersandar pada pohon besar. Meski malam sudah larut, keduanya tidak dapat memejamkan mata. Pikiran mereka terus dipenuhi dengan pesan dari pendekar Sekte Langit Berdarah. Benteng Langit Merah—nama itu tidak asing bagi Liu Qingxue.“Benteng Langit Merah...” gumam Liu Qingxue sambil memandang air sungai yang mengalir perlahan. “Itu bukan tempat biasa, Mo Tian. Banyak pendekar hebat yang kehilangan nyawa di sana. Tempat itu lebih mirip arena pembantaian daripada pertandingan.”Mo Tian menatapnya penuh perhatian. “Aku mendengar tempat itu adalah arena duel yang terkenal di kalangan pendekar. Tapi apa yang membuatnya begitu berbahaya?”“Di sana, tidak ada duel biasa,” jelas Liu Qingxue. “Setiap pertarungan adalah pertaruhan hidup dan mati. Yang kalah harus menyerahkan nyawanya. Yan Wuxi pasti tahu itu, dan dia sengaja mengarahkan kita ke sana. Ini jebakan.”Mo Tian merenung sejenak. “Kalau begitu, mengapa dia mengarahkan kita ke san

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13
  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 9. Benteng Langit Merah

    Arena Benteng Langit Merah menggema oleh sorakan penonton. Suara dering senjata yang bertemu memekakkan telinga. Mo Tian, yang berada di tengah arena, sudah kehabisan tenaga setelah menghadapi tiga lawan berturut-turut. Keringat bercucuran di wajahnya, dan luka di lengan kirinya membuat gerakannya melambat.Lawan terakhirnya adalah seorang pendekar berbaju merah dengan dua pedang pendek. Gerakan pria itu lincah, serangannya cepat dan tak kenal ampun. Meski Mo Tian mencoba bertahan, setiap detik memperlihatkan bahwa ia semakin terdesak.Liu Qingxue, yang berdiri di antara penonton, mencengkram tepi lengan bajunya dengan gelisah. “Dia tidak bisa terus seperti ini... Dia bisa mati,” gumamnya, nyaris berbisik. Namun ia tahu, tidak ada yang bisa ia lakukan. Peraturan arena melarang siapapun untuk turun tangan membantu.Satu serangan tajam dari pendekar berbaju merah berhasil memukul pedang Mo Tian hingga terlepas dari genggamannya. Senjata tua itu terjatuh, terpental beberapa meter ke samp

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 10. Penguasa Kematian

    Udara di hutan itu semakin pekat. Liu Qingxue dan Mo Tian merasakan sesuatu yang aneh. Angin membawa aroma asing, seperti campuran ramuan pahit dan tanah basah yang terlalu lama terendam. Liu Qingxue berhenti, mengerutkan kening.“Mo Tian, kau merasakannya?” tanyanya sambil menatap sekitar.Mo Tian mengangguk, wajahnya mulai pucat. “Ada sesuatu di udara ini. Aku merasa berat… seperti tidak bisa bernapas dengan benar.”Langkah mereka melambat. Kepala Mo Tian mulai terasa ringan, sementara Liu Qingxue merasakan pusing yang tak tertahankan. Pandangan mereka kabur, dan tubuh mereka seperti kehilangan tenaga.“Kita harus keluar dari sini,” kata Liu Qingxue dengan nada tegas. Ia meraih lengan Mo Tian, berusaha menariknya untuk kembali ke jalur sebelumnya. Namun, langkah mereka terhenti oleh suara dingin dari balik kabut.“Tidak ada yang bisa keluar dari tempat ini hidup-hidup.”Dari balik bayangan pepohonan, seorang pria berpakaian serba hitam muncul. Wajahnya tersembunyi di balik topeng, h

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-15
  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 11. Kristal Inti Energi

    Sebelum Mo Tian bisa mencerna apa yang baru saja ia dengar, suara langkah kaki dari luar lorong menggema, diikuti oleh suara senjata yang dihunus.Pria berpakaian hitam itu segera memandang ke arah lorong dengan ekspresi tegang. “Mereka datang.”“Siapa?” tanya Liu Qingxue.Belum sempat pertanyaan Liu Qingxue mendapat jawaban, suara langkah kaki menggema di sepanjang lorong gelap gua, semakin dekat dengan aula tempat mereka berdiri. Ketegangan melingkupi ruangan ketika pria berpakaian hitam, yang telah membawa Mo Tian dan Liu Qingxue ke tempat ini, berdiri dengan tongkat kayunya di tangan.“Bersiaplah,” katanya dengan suara rendah. “Mereka tidak akan menunjukkan belas kasihan.”Liu Qingxue meraih pedangnya, meskipun tangannya masih gemetar akibat racun yang belum sepenuhnya hilang dari tubuhnya. Sementara itu, Mo Tian memegang erat pedang tua miliknya. Meski tubuhnya lemah, ada sesuatu yang aneh—pedang itu terasa semakin berat, seolah-olah sedang menyerap kekuatan dari dalam dirinya.T

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-16

Bab terbaru

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 49. Tanda dari Dewa Kematian

    Malam telah larut ketika Wu Zhang duduk di dalam perpustakaan kecilnya. Cahaya lilin menerangi wajahnya yang berkerut karena konsentrasi mendalam. Beberapa buku kuno tergeletak terbuka di depannya, halaman-halamannya penuh dengan tulisan tangan yang hampir tidak terbaca.Ia menelusuri setiap baris dengan seksama, berharap menemukan petunjuk tentang tanda hitam yang menghantui pikirannya sejak ia melihatnya di pundak Mo Tian.Sejak peristiwa itu, Wu Zhang merasa gelisah. Sebagai seorang tetua yang telah menghabiskan sebagian besar hidupnya mempelajari seni bela diri dan pengetahuan kuno, ia tidak asing dengan tanda-tanda supranatural. Namun, tanda hitam berbentuk sabit di pundak Mo Tian berbeda dari apa pun yang pernah ia temui sebelumnya.“Bukan segel biasa,” gumamnya, mengingat kata-katanya sendiri ketika berbicara dengan Mo Tian dan Liu Qingxue. Saat itu, ia mengatakan bahwa ia pernah melihat tanda serupa, tetapi sebenarnya itu hanya asumsi. Kenyataannya, tanda itu benar-benar asing

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 49. Segel Kekuatan

    Wu Zhang berdiri dengan tegak, wajahnya yang penuh kerutan tampak serius namun tenang. Tangannya diangkat, memberi isyarat kepada murid-muridnya yang berkumpul untuk membubarkan diri. Kerumunan itu awalnya enggan bergerak, tetapi tatapan dingin Wu Zhang membuat mereka tidak berani melawan.Qian Lu, yang masih menyimpan seringai penuh kemenangan, tampak ingin mengatakan sesuatu. Namun, ketika tatapan tajam Wu Zhang menghampirinya, keberaniannya surut. Ia mengepalkan tangan dengan frustasi, kemudian melangkah pergi bersama murid-murid lain.Wu Zhang menoleh kepada Mo Tian dan Liu Qingxue, lalu mengisyaratkan mereka untuk mengikutinya ke dalam aula pribadi dojo. Mereka mengikuti dengan tenang, meskipun hati mereka dipenuhi berbagai macam emosi.Setelah pintu aula tertutup, Wu Zhang berbalik menghadap mereka. Cahaya lentera di ruangan itu memantulkan sorot matanya yang tajam, seolah mampu menembus jiwa siapapun yang ia tatap.“Mo Tian,” kata Wu Zhang dengan suara dalam dan penuh wibawa. “

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 47. Tantangan Qian Lu

    Pagi di dojo Wu Zhang selalu dimulai dengan suara denting pedang dan teriakan murid-murid yang berlatih. Di bawah bimbingan Wu Zhang, latihan bukanlah sekadar demonstrasi teknik, melainkan ujian keberanian dan ketahanan. Wu Zhang percaya bahwa hanya dengan menghadapi bahaya nyata, seorang pendekar bisa memahami esensi sejati dari pedang.Mo Tian dan Liu Qingxue berdiri di barisan murid baru. Pedang tajam di tangan mereka terasa berat, bukan hanya karena bobotnya, tetapi juga karena tanggung jawab yang menyertainya.“Di sini, kita tidak menggunakan pedang kayu,” kata Wu Zhang tegas di hadapan semua murid. “Jika kau takut terluka, kau tidak pantas belajar seni pedang.”Mata Wu Zhang menyapu barisan murid, lalu berhenti pada Mo Tian dan Liu Qingxue. “Kalian berdua sudah membuktikan sesuatu dengan keberanian kalian sebelumnya. Tapi itu belum cukup. Jika ingin belajar dariku, kalian harus menunjukkan tekad yang lebih kuat.”Mo Tian dan Liu Qingxue hanya mengangguk, menatap Wu Zhang dengan

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 46. Menemui Guru Ahli Pedang

    Kota Beiyuan, terletak di kaki Gunung Tianlan, adalah tempat yang gemerlap dengan sejarah panjang sebagai pusat seni bela diri. Jalan-jalan kota dipenuhi toko-toko senjata, arena latihan terbuka, dan aliran murid dari berbagai sekte yang berlalu lalang. Bau logam dan suara denting pedang terdengar hampir di setiap sudut kota, menandakan betapa mendalamnya budaya bela diri di tempat ini.Mo Tian, Liu Qingxue, dan Feng Zhan memasuki Beiyuan menjelang senja. Matahari yang terbenam mewarnai langit dengan semburat oranye keemasan, sementara bayangan gedung-gedung kota mulai memanjang. Kehadiran mereka tidak terlalu mencolok, tetapi aura Mo Tian dengan pedang Langit Membara yang terselip di punggungnya menarik perhatian beberapa orang.“Kota ini ramai sekali,” ujar Liu Qingxue, memandang sekeliling dengan mata berbinar.“Beiyuan memang selalu hidup,” jawab Feng Zhan sambil tersenyum kecil. “Ini adalah tempat di mana ahli bela diri dari berbagai penjuru berkumpul. Jangan kaget jika kita bert

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 45. Tidak Ada Waktu Memikirkan Masa Depan

    Ketika pagi datang begitu damai, seolah alam mencoba menenangkan hati Mo Tian dan Liu Qingxue setelah malam yang panjang. Embun yang masih menempel di dedaunan menciptakan kilauan seperti permata saat sinar matahari menembus celah-celah pepohonan. Namun, di tengah kedamaian itu, hati Mo Tian dan Liu Qingxue justru terombang-ambing oleh emosi yang sulit mereka pahami, apalagi ungkapkan.Mo Tian duduk di bawah pohon besar, memegangi lengannya yang sudah diperban dengan baik oleh Liu Qingxue. Luka itu masih terasa nyeri, tetapi bukan itu yang mengganggu pikirannya. Pikirannya penuh dengan tatapan Liu Qingxue semalam, penuh air mata dan ketulusan yang tidak pernah ia sangka. Bagaimana bisa seseorang begitu peduli padanya?Ia menghela napas dalam, mencoba menepis perasaan aneh yang mulai tumbuh. Ia yakin itu hanya karena situasi. Mereka telah melalui begitu banyak hal bersama, wajar jika ada rasa kedekatan. Tapi, kenapa kata-kata Liu Qingxue terus terngiang di pikirannya?“Kau tidak menger

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 44. Terluka Parah

    Liu Qingxue berlari mendekati Mo Tian yang tengah terduduk lemah di bawah pohon besar. Cahaya bulan menyinari wajahnya yang pucat, dan lengan kanannya terus mengeluarkan darah, membasahi pakaian dan tanah di bawahnya. Liu Qingxue menjerit panik melihat luka itu.“Mo Tian! Apa yang kau lakukan? Kau harus bilang jika lukamu separah ini!”Mo Tian, yang selalu terlihat tegar, hanya tersenyum kecil. “Hanya luka kecil. Aku baik-baik saja, Liu Qingxue.”Namun, senyum itu tidak cukup untuk meyakinkan Liu Qingxue. Air matanya mengalir deras saat ia membuka perban darurat yang membungkus lengan Mo Tian. Luka itu dalam dan panjang, bekas tebasan pedang musuh saat mereka bertarung di kuil. Darah segar masih menetes, membuat Liu Qingxue semakin cemas.“Ini bukan luka kecil, Mo Tian!” serunya, nadanya penuh dengan rasa marah dan khawatir. “Mengapa kau tidak bilang dari tadi?”Mo Tian menghela napas, lalu menatap Liu Qingxue dengan lembut. “Kita harus segera pergi dari kuil tadi, bukan? Aku tidak in

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 43. Orang yang Tidak Bersalah Jadi Korban

    Langit malam membentang gelap di atas kuil kecil yang tersembunyi di tengah hutan. Mo Tian dan Liu Qingxue duduk di dekat perapian yang redup di dalam kuil, menikmati ketenangan yang langka. Setelah perjalanan panjang penuh bahaya, tempat itu memberikan mereka kesempatan untuk bernafas sejenak.“Kita bisa beristirahat beberapa hari di sini,” ujar Liu Qingxue, suaranya lembut tapi mantap. “Yan Wuxi tidak akan menyangka kita ada di tempat seperti ini.”Mo Tian mengangguk setuju. “Tapi jangan terlalu lengah. Kita harus tetap waspada.”Mereka berdua memutuskan untuk berbagi jaga malam itu, memastikan tidak ada yang datang tanpa mereka sadari. Namun, kelelahan akhirnya menguasai mereka. Ketika Mo Tian mengambil giliran pertama, ia tanpa sadar tertidur lebih awal dari yang direncanakan.Di luar kuil, bayang-bayang gelap bergerak diam-diam. Anggota Sekte Langit Berdarah telah menemukan persembunyian mereka. Dengan senyap, mereka mengepung kuil, memastikan tidak ada jalan keluar bagi target m

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 42. Jangan Mudah Percaya Pada Orang Asing

    Kakek tua itu menghilang dari pandangan, langkahnya ringan seolah angin membawanya pergi. Mo Tian menatap ke arah kepergian sang kakek dengan alis berkerut. Sesuatu dalam cerita itu mengusik pikirannya. Namun, sebelum ia sempat melangkah untuk mengejar kakek tua tersebut, Liu Qingxue meraih pergelangan tangannya.“Jangan, Mo Tian,” kata Liu Qingxue pelan namun tegas. Sorot matanya memperingatkan.Mo Tian menoleh ke arah Liu Qingxue dengan ekspresi bingung. “Kenapa? Kita perlu lebih banyak informasi. Jika dia tahu sesuatu tentang Buku Kematian, kita tidak bisa membiarkannya pergi begitu saja.”Liu Qingxue menghela nafas, lalu menatapnya tajam. “Aku tahu kau ingin mencari jawaban, tapi kita tidak bisa sembarangan mempercayai orang asing. Bagaimana jika ini adalah jebakan dari Yan Wuxi? Bukankah terlalu aneh kalau dia muncul di sini, di tengah perjalanan kita?”Mo Tian terdiam, merenungkan kata-kata Liu Qingxue. Ia tahu ada kebenaran dalam ucapan itu. Yan Wuxi dan orang-orangnya dikenal

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 41. Gunung Jiwa

    Hutan malam itu dipenuhi suara samar jangkrik dan angin yang menggoyangkan dedaunan. Mo Tian dan Liu Qingxue tetap duduk di dekat api unggun yang kecil, mencoba menghangatkan diri di udara dingin.Namun, kewaspadaan mereka belum sepenuhnya surut. Mo Tian terus memegang gagang pedangnya erat-erat, sementara Liu Qingxue menatap gelapnya malam dengan sorot mata penuh kehati-hatian.Setelah beberapa saat berlalu tanpa tanda-tanda bahaya, Mo Tian menghela nafas panjang. Ia meletakkan pedangnya di sisinya dan berkata, “Mungkin itu hanya binatang hutan yang berkeliaran.”Liu Qingxue melonggarkan genggaman pedangnya dan mengangguk. “Mungkin saja. Tapi tetap saja, kita harus berhati-hati. Kita tidak bisa mengambil risiko.”Mo Tian hanya tersenyum tipis. “Benar. Tapi aku rasa, malam ini kita bisa sedikit tenang.”Mereka kembali duduk bersisian, membiarkan api unggun kecil itu memancarkan cahaya hangat ke wajah mereka. Hening melingkupi, hanya ditemani oleh suara hutan yang mengalun seperti melo

DMCA.com Protection Status