“Kalau mati itu takdir.”
“Kau tetap mau ke sana?” “Iya.” Liu Qingxue hanya tersenyum melihat kegigihan Mo Tian. “Ikutlah denganku,” ajak Mo Tian akhirnya. “Aku?” “Iya.” “Kenapa harus ikut?” “Aku tidak pernah bepergian keluar desa. Kau bisa jadi penunjuk jalanku. Dan juga, selama perjalanan, siapa tahu kau bisa menemukan apa yang kau cari,” jawab Mo Tian. Setelah beberapa saat diam, Liu akhirnya setuju untuk ikut mengembara bersama Mo Tian. Di tengah perjalanan mereka keluar dari hutan, keduanya dihadang oleh sekelompok bandit bersenjata. Ada sekitar sepuluh orang, masing-masing membawa pedang atau tombak. “Serahkan barang-barang kalian, atau nyawa kalian yang jadi taruhannya!” seru salah satu bandit, pria kekar dengan bekas luka di wajahnya. Liu Qingxue melangkah maju tanpa rasa takut. “Kalian tidak tahu siapa yang kalian hadapi.” “Kami tidak peduli siapa kalian!” balas bandit itu sambil menyerang. Pertarungan pun dimulai. Liu Qingxue, dengan gerakan yang cepat dan mematikan, melawan bandit-bandit itu tanpa ragu. Pedangnya menari di udara, setiap tebasannya akurat dan mematikan. Sementara itu, Mo Tian kembali merasa tubuhnya bergerak dengan insting yang tidak ia pahami. Pedang tua di tangannya berkilauan meski terlihat berkarat. Setiap kali ia menyerang, bandit-bandit itu mundur dengan wajah ketakutan. “Ada apa dengan anak ini?” teriak salah satu bandit sebelum ia terjatuh. Dalam waktu singkat, bandit-bandit itu berhasil dikalahkan. Beberapa melarikan diri, meninggalkan rekan-rekan mereka yang tergeletak tak bernyawa di tanah. “Tidak buruk,” ujar Liu Qingxue sambil membersihkan pedangnya. Mo Tian terdiam, menatap pedang di tangannya yang kini bersih tanpa noda darah, meski ia yakin tadi telah menggunakannya untuk melawan. “Sepertinya kau harus belajar mengendalikan kekuatanmu,” ujar Liu Qingxue. “Kalau tidak, suatu hari kekuatan itu bisa menghancurkanmu.” Mo Tian mengangguk pelan, menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya untuk mencari jawaban, tapi juga untuk memahami kekuatan misterius dalam dirinya. “Apakah ini takdirku? Siapa aku sebenarnya?” Hutan Luanyang hanyalah awal dari perjalanan panjang yang penuh tantangan bagi Mo Tian dan Liu Qingxue. Satu minggu berlalu dengan berbagai rintangan yang tak terduga. Mereka melewati lembah curam, melintasi sungai deras, dan menghadapi ancaman dari hewan liar maupun manusia. Namun, di balik semua itu, mereka mulai saling memahami, meski hubungan mereka masih diwarnai saling mencurigai. Suatu pagi yang dingin, mereka dikejar oleh kelompok pemburu bayaran yang mengira Mo Tian adalah buronan dengan hadiah besar di kepalanya. Dengan keterampilan bela diri Liu Qingxue dan kekuatan misterius yang dimiliki Mo Tian, mereka berhasil lolos meski dengan luka ringan di tubuh. “Apa setiap hari akan selalu seperti ini?” keluh Mo Tian sambil merobek kain bajunya untuk membalut luka di lengannya. “Kalau kau ingin hidup damai, sebaiknya kembali ke desa yang sudah hancur itu,” sindir Liu Qingxue. “Kau mengejekku?” tanya Mo Tian tersinggung. “Hanya mengatakan yang harus aku katakan. Kalau kau ingin tahu siapa dirimu sebenarnya, bersiaplah menghadapi lebih banyak kekacauan.” “Sombong! Seolah-olah kau punya begitu banyak pengalaman.” “Nyatanya begitu, anak muda.” Mo Tian hanya mendengus, tapi diam-diam ia kagum pada ketangguhan Liu Qingxue. Wanita itu seperti tidak pernah kehabisan energi, meskipun sudah bertarung berulang kali. Setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan, akhirnya mereka tiba di Kota Jingbei. “Wah, kota ini begitu bagus.” Kota ini jauh lebih besar daripada yang pernah Mo Tian bayangkan. Jalanan ramai dengan pedagang yang menawarkan barang dagangan, kereta kuda yang berlalu-lalang, dan suara hiruk-pikuk para pedagang dan pembeli yang memenuhi udara. “Tabib Langit tinggal di bagian utara kota, di sebuah kuil kecil di atas bukit,” ujar Liu Qingxue sambil mengamati peta kasar yang ia ambil dari salah satu pemburu bayaran yang mereka kalahkan. “Kau pernah ke sana?” “Tidak.” Keduanya tertawa saat berjalan ke utara dengan percaya diri setelah menghabiskan satu mangkuk sup. Namun, ketika mereka mencapai kuil itu, perjalanan mereka tidak semudah yang dibayangkan. Dua pendekar berjubah hitam berdiri di gerbang kuil. Aura mereka memancarkan kekuatan besar, membuat Mo Tian merasa kecil di hadapan mereka. “Siapa kalian?” tanya salah satu pendekar dengan nada mengintimidasi. “Kami ingin bertemu dengan Tabib Langit,” jawab Liu Qingxue dengan tegas. Pendekar itu mendengus. “Apa yang membawa kalian kemari?” “Ada hal yang penting,” jawab Mo Tian. “Buktikan!” Liu Qingxue melirik Mo Tian dan menghela napas. “Tentu saja ada syaratnya.” Kedua pendekar itu langsung menyerang tanpa peringatan. Pertarungan berlangsung sengit. Liu Qingxue menghadapi salah satu pendekar, sementara Mo Tian harus melawan yang satunya lagi. Pendekar-pendekar itu tidak hanya cepat dan kuat, tapi juga terlatih dalam ilmu pedang tingkat tinggi. Liu Qingxue berjuang keras untuk menandingi lawannya, menggunakan kelincahan dan teknik yang presisi. Sementara itu, Mo Tian berjuang mengendalikan kekuatan misterius dalam dirinya. Di tengah pertarungan, tanda sabit hitam di pundaknya mulai bersinar samar. Tubuh Mo Tian terasa ringan, dan gerakannya menjadi lebih cepat. Dengan satu tebasan pedangnya, ia berhasil mematahkan pertahanan lawannya dan membuatnya tersungkur. Liu Qingxue, meski kelelahan, akhirnya mampu mengalahkan lawannya dengan sebuah serangan balik yang cerdik. “Cukup,” salah satu pendekar itu berkata sambil memegangi luka di lengannya. “Ikuti kami.” Kuil Tabib Langit dipenuhi aroma dupa dan herbal. Seorang pria tua berjanggut panjang duduk di atas tikar bambu, matanya terpejam seolah-olah sedang bermeditasi. “Apa yang membawa kalian ke tempat ini?” tanya Tabib Langit tanpa membuka matanya. Mo Tian maju selangkah. “Aku mencari jawaban, Tabib. Tentang tanda di pundakku, tentang siapa diriku sebenarnya.” Tabib Langit membuka matanya dan mengamati tanda sabit hitam di pundak Mo Tian. Ia mengerutkan kening, lalu menutup matanya kembali. “Aku tidak bisa memberimu jawaban,” ujar Tabib Langit akhirnya. “Kenapa?” “Tanda itu adalah bagian dari takdirmu. Jawabannya tidak akan datang dariku, melainkan dari perjalanan panjangmu sendiri,” jawabnya. Mo Tian merasa kecewa, namun ia tidak bisa memaksa. “Apakah Tuan tahu apa pun yang bisa membantuku?” Tabib Langit mengangguk pelan. “Aku tidak tahu asal usul tanda itu, tapi yang aku tahu bahwa ada kekuatan besar yang sedang bergerak di dunia ini. Dan aku yakin, kau akan menjadi bagian dari pertarungan itu.” Liu Qingxue, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. “Kami juga ingin tahu lebih banyak tentang Sekte Langit Berdarah.” Mata Tabib Langit menyipit menatap ke arah Liu, kemudian tertawa. “Sekte Langit Berdarah dipimpin oleh Yan Wuxi, seorang pendekar sakti yang sangat berbahaya. Untuk apa kau ingin tahu, anak muda?” “Untuk menghancurkannya,” jawab Liu dengan percaya diri. “Dia sedang mencari Kitab Kematian, sebuah kitab legendaris yang konon menyimpan rahasia tentang kehidupan dan kematian.” “Kitab Kematian?” Mo Tian mengulang dengan rasa penasaran. Tabib Langit mengangguk. “Kitab itu diciptakan oleh seorang pendekar dari zaman kuno yang dikenal sebagai Penguasa Kematian. Kitab itu dikatakan memiliki kekuatan untuk mengendalikan jiwa dan membangkitkan mereka yang sudah mati. Jika Yan Wuxi berhasil mendapatkannya, dunia ini akan berada dalam bahaya besar.” “Di mana kitab itu sekarang?” tanya Liu Qingxue.“Tidak ada yang tahu pasti,” jawab Tabib Langit. “Namun, banyak yang percaya bahwa kitab itu tersembunyi di sebuah tempat bernama Gunung Kelam, tapi itu hanyalah sebuah dugaan. Sekte Langit Berdarah sudah mulai mengirim pasukan ke sana,” sambung Tabib Langit. “Gunung Kelam?” “Iya, tempat yang cukup jauh. Bahkan sangat sulit di jangkau, hampir tidak pernah ada orang yang pernah kesana. Termasuk ketua sekte Langit Berdarah.” Mo Tian merasakan ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya saat mendengar nama Gunung Kelam. Ia tidak tahu kenapa, tapi tempat itu sepertinya memiliki hubungan dengan dirinya. Tapi, dia tidak yakin. Karena sejak lahir, dia tumbuh dan besar di desa. Dia tidak pernah kemana-mana. “Kalau begitu, kita harus menghentikan Yan Wuxi sebelum dia menemukan kitab itu,” ujar Liu Qingxue dengan penuh tekad. Tabib Langit mengangguk sambil tersenyum. “Semangatmu terlalu tinggi, Anak Muda. Kalian bukan lawannya. Yan Wuxi bukan hanya pendekar sakti. Ia juga seorang manipula
“Kita harus melapor ke Yan Wuxi,” ujar pria itu. “Tidak. Yan Wuxi memerintahkan kita untuk memastikan mereka tidak sampai menemukan Kitab Kematian. Kita bisa menghabisi mereka di sini, sebelum menjadi ancaman.” Wanita itu mengangguk, dan keduanya mulai bergerak perlahan, mendekati Mo Tian dan Liu Qingxue yang sedang beristirahat. “Aku masih tidak mengerti kenapa kau harus memancing masalah seperti tadi,” ujar Mo Tian sambil meregangkan tubuhnya. “Masalah adalah bagian dari hidup, anak muda,” jawab Liu Qingxue dengan nada menggoda. Sebelum Mo Tian sempat membalas, ia tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh. “Ada yang tidak beres.” Baru beberapa hari dalam perjalanan, sekarang Mo Tian sudah bisa merasakan sesuatu dengan instingnya. Dan ternyata bukan hanya Mo Tian, melainkan Liu Qingxue juga merasakan hal yang sama. “Kita sedang diawasi,” bisiknya. “Apa yang harus kita lakukan?” tanya Mo Tian. “Perjalanan ini akan seru,” kekeh Liu Qingxue. Sebelum mereka sempat berge
“Kenapa?” tanya Jiang Yi bingung melihat keraguan di mata Liu Qingxue.“Kami memiliki tujuan yang sangat penting,” jawab Liu Qingxue.Jiang Yi menatap Liu Qingxue penuh selidik. “Maksudnya, kakak seperguruan tidak bisa kembali ke Sekte Awan Putih?”“Kondisi kita sekarang sedang kacau, guru sedang sekarat dan setiap hari bertanya tentang Kakak Seperguruan. Sekarang, kamu malah tidak mau kembali,” sambung Jiang Yi.Mo Tian, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. “Kau harus pergi, Liu Qingxue. Sekte Awan Putih adalah keluargamu, dan Guru adalah orang yang penting bagimu. Aku tidak bisa memaksamu untuk meninggalkan mereka demi aku. Pergilah.”“Bagaimana denganmu?” tanya Liu Qingxue.“Aku akan melanjutkan perjalanan ini.”“Tapi aku sudah berjanji untuk membantumu,” balas Liu Qingxue dengan suara bergetar.“Janji itu bisa menunggu,” ujar Mo Tian dengan tenang. “Aku masih belum tahu kemana tujuan kita selanjutnya, dan perjalanan ini adalah tentang aku menemukan diriku sendiri. Kau harus m
Beberapa hari setelah kedatangannya, ternyata Guru sekaligus Ketua Sekte Awan Putih akhirnya wafat. Luka yang dialaminya cukup parah, merusak seluruh bagian organ dalamnya.Liu Qingxue berdiri di depan aula utama Sekte Awan Putih, wajahnya dipenuhi kesedihan yang sulit disembunyikan. Hatinya berat, bukan hanya karena kehilangan sang guru, tetapi juga karena beban tanggung jawab yang ditawarkan kepadanya.Ketua Sekte Awan Putih, meninggal dunia setelah bertahan cukup lama hanya dengan kekuatan roh dan tenaga dalamnya. Ia telah menunggu Qingxue kembali untuk menyampaikan pesan terakhirnya.Saat itu, di ranjang sederhana, guru yang telah mendidiknya sejak kecil memegang tangan Qingxue dengan lemah. “Qingxue... aku tahu hatimu. Kau adalah murid terbaik yang pernah aku miliki, tapi jalurmu berbeda. Jangan biarkan dendam mengaburkan nuranimu. Dunia ini butuh orang sepertimu...” Itulah kata-kata terakhir yang terucap sebelum sang guru mengembuskan nafas terakhir.Tangisan para murid dan tetu
Di tepi sungai yang tenang, Mo Tian dan Liu Qingxue duduk bersandar pada pohon besar. Meski malam sudah larut, keduanya tidak dapat memejamkan mata. Pikiran mereka terus dipenuhi dengan pesan dari pendekar Sekte Langit Berdarah. Benteng Langit Merah—nama itu tidak asing bagi Liu Qingxue.“Benteng Langit Merah...” gumam Liu Qingxue sambil memandang air sungai yang mengalir perlahan. “Itu bukan tempat biasa, Mo Tian. Banyak pendekar hebat yang kehilangan nyawa di sana. Tempat itu lebih mirip arena pembantaian daripada pertandingan.”Mo Tian menatapnya penuh perhatian. “Aku mendengar tempat itu adalah arena duel yang terkenal di kalangan pendekar. Tapi apa yang membuatnya begitu berbahaya?”“Di sana, tidak ada duel biasa,” jelas Liu Qingxue. “Setiap pertarungan adalah pertaruhan hidup dan mati. Yang kalah harus menyerahkan nyawanya. Yan Wuxi pasti tahu itu, dan dia sengaja mengarahkan kita ke sana. Ini jebakan.”Mo Tian merenung sejenak. “Kalau begitu, mengapa dia mengarahkan kita ke san
Arena Benteng Langit Merah menggema oleh sorakan penonton. Suara dering senjata yang bertemu memekakkan telinga. Mo Tian, yang berada di tengah arena, sudah kehabisan tenaga setelah menghadapi tiga lawan berturut-turut. Keringat bercucuran di wajahnya, dan luka di lengan kirinya membuat gerakannya melambat.Lawan terakhirnya adalah seorang pendekar berbaju merah dengan dua pedang pendek. Gerakan pria itu lincah, serangannya cepat dan tak kenal ampun. Meski Mo Tian mencoba bertahan, setiap detik memperlihatkan bahwa ia semakin terdesak.Liu Qingxue, yang berdiri di antara penonton, mencengkram tepi lengan bajunya dengan gelisah. “Dia tidak bisa terus seperti ini... Dia bisa mati,” gumamnya, nyaris berbisik. Namun ia tahu, tidak ada yang bisa ia lakukan. Peraturan arena melarang siapapun untuk turun tangan membantu.Satu serangan tajam dari pendekar berbaju merah berhasil memukul pedang Mo Tian hingga terlepas dari genggamannya. Senjata tua itu terjatuh, terpental beberapa meter ke samp
Udara di hutan itu semakin pekat. Liu Qingxue dan Mo Tian merasakan sesuatu yang aneh. Angin membawa aroma asing, seperti campuran ramuan pahit dan tanah basah yang terlalu lama terendam. Liu Qingxue berhenti, mengerutkan kening.“Mo Tian, kau merasakannya?” tanyanya sambil menatap sekitar.Mo Tian mengangguk, wajahnya mulai pucat. “Ada sesuatu di udara ini. Aku merasa berat… seperti tidak bisa bernapas dengan benar.”Langkah mereka melambat. Kepala Mo Tian mulai terasa ringan, sementara Liu Qingxue merasakan pusing yang tak tertahankan. Pandangan mereka kabur, dan tubuh mereka seperti kehilangan tenaga.“Kita harus keluar dari sini,” kata Liu Qingxue dengan nada tegas. Ia meraih lengan Mo Tian, berusaha menariknya untuk kembali ke jalur sebelumnya. Namun, langkah mereka terhenti oleh suara dingin dari balik kabut.“Tidak ada yang bisa keluar dari tempat ini hidup-hidup.”Dari balik bayangan pepohonan, seorang pria berpakaian serba hitam muncul. Wajahnya tersembunyi di balik topeng, h
Sebelum Mo Tian bisa mencerna apa yang baru saja ia dengar, suara langkah kaki dari luar lorong menggema, diikuti oleh suara senjata yang dihunus.Pria berpakaian hitam itu segera memandang ke arah lorong dengan ekspresi tegang. “Mereka datang.”“Siapa?” tanya Liu Qingxue.Belum sempat pertanyaan Liu Qingxue mendapat jawaban, suara langkah kaki menggema di sepanjang lorong gelap gua, semakin dekat dengan aula tempat mereka berdiri. Ketegangan melingkupi ruangan ketika pria berpakaian hitam, yang telah membawa Mo Tian dan Liu Qingxue ke tempat ini, berdiri dengan tongkat kayunya di tangan.“Bersiaplah,” katanya dengan suara rendah. “Mereka tidak akan menunjukkan belas kasihan.”Liu Qingxue meraih pedangnya, meskipun tangannya masih gemetar akibat racun yang belum sepenuhnya hilang dari tubuhnya. Sementara itu, Mo Tian memegang erat pedang tua miliknya. Meski tubuhnya lemah, ada sesuatu yang aneh—pedang itu terasa semakin berat, seolah-olah sedang menyerap kekuatan dari dalam dirinya.T
Mo Tian, Liu Qingxue, dan Fang Zhi kembali mengikuti jejak yang samar-samar tertinggal di jalanan Kota Hantu. Jejak itu terus membawa mereka ke arah timur, melewati bangunan-bangunan yang semakin terlihat aneh. Kadang, jejak itu tampak jelas di tanah berdebu, tetapi di lain waktu, jejak itu seperti melayang, tidak meninggalkan bekas di tanah."Ini benar-benar aneh," gumam Liu Qingxue. "Seolah dia bisa berjalan di udara."Fang Zhi menyipitkan mata, melihat sekeliling dengan curiga. "Yan Luo... apa dia manusia atau bukan?"Mo Tian tak langsung menjawab. Sejak awal, ia sudah merasa ada yang tidak biasa dengan sosok itu. Bayangannya yang muncul lalu lenyap seperti asap, gerakannya yang secepat kilat, dan jejak-jejak misterius ini membuat mereka bertanya-tanya: apakah Yan Luo benar-benar nyata?Saat mereka tiba di depan sebuah bangunan tua yang besar, jejak itu berhenti di sana. Bangunan ini tampak lebih utuh dibandingkan dengan reruntuhan lainnya di kota ini, seolah memiliki energi yang m
Setelah berhasil mengalahkan penjaga gerbang, Mo Tian, Liu Qingxue, dan Fang Zhi melangkah masuk ke dalam Kota Hantu. Suasana di dalamnya lebih mencekam daripada yang mereka bayangkan. Bangunan-bangunan tua berdiri dalam kesunyian, beberapa sudah runtuh dan tertutup oleh kabut tipis yang bergulung-gulung di antara reruntuhan.Tidak ada tanda kehidupan—tidak ada suara langkah kaki, tidak ada hembusan nafas makhluk hidup, bahkan suara angin pun terasa seperti tertahan di tempat ini. Kota ini benar-benar seperti telah lama ditinggalkan, namun tetap menyimpan aura yang mengancam."Apa ini benar-benar kota?" Fang Zhi bergumam, matanya menyapu ke sekeliling. "Tempat ini lebih mirip kuburan raksasa."Mo Tian mengangguk. "Kita harus tetap waspada. Bisa saja sesuatu mengintai kita dalam bayangan."Liu Qingxue berjalan sedikit di belakang mereka, tangannya sudah bersiap dengan senjata jika sewaktu-waktu bahaya datang. Namun, semakin mereka melangkah ke dalam kota, semakin aneh rasanya.Mereka m
Angin berhembus kencang, membawa hawa kematian yang menyesakkan. Kota Hantu berdiri di hadapan mereka, diselimuti kabut pekat yang berputar seperti roh-roh penasaran. Pintu gerbang kota yang besar dan usang tampak menjulang di depan mereka, dihiasi ukiran-ukiran aneh yang menyerupai wajah-wajah menyeringai. Suasana begitu sunyi, hanya terdengar suara napas mereka yang tertahan.Mo Tian melangkah maju, tangannya menggenggam erat Pedang Langit Membara. Namun, sebelum ia sempat mendekati gerbang, tanah tiba-tiba bergetar. Dari balik bayangan, muncul sesosok penjaga yang mengenakan baju zirah hitam legam. Matanya kosong tanpa cahaya, tetapi auranya begitu menekan."Apa yang mencari kehidupan lakukan di tempat orang mati?" Suaranya terdengar berat, seperti berasal dari dunia lain.Mo Tian tidak langsung menjawab. Ia bisa merasakan tekanan kuat dari makhluk itu. Liu Qingxue dan Fang Zhi juga merasakan hawa membunuh yang begitu pekat, membuat mereka bersiaga penuh."Kami mencari sesuatu di d
Tiba-tiba Mo Tian terbatuk dan mengeluarkan darah dari mulutnya."Mo Tian, kau baik-baik saja?" tanya Liu Qingxue dengan nada khawatir.Mo Tian mengangguk pelan. "Aku baik-baik saja, tapi mereka akan kembali. Kita harus segera bergerak menuju Kota Hantu sebelum mereka mengumpulkan lebih banyak orang untuk menghadang kita."Fang Zhi menghela napas. "Kita juga harus berhati-hati. Yan Wuxi terluka parah, tapi aku yakin dia akan melakukan segala cara untuk membalas dendam. Kita tak boleh lengah."Mo Tian memandang ke arah utara, ke jalur berbatu yang akan membawa mereka menuju Kota Hantu. Hatinya dipenuhi dengan tekad yang lebih kuat dari sebelumnya. Mereka tidak bisa mundur sekarang. Mereka harus menemukan Buku Kematian dan mengungkap misteri di balik kutukan yang ada pada dirinya.Perjalanan mereka tidaklah mudah. Jalanan semakin terjal, angin bertiup kencang, dan udara semakin dingin. Semakin mereka mendekati Kota Hantu, suasana di sekitar mereka semakin terasa aneh. Tidak ada suara bi
Mo Tian, Liu Qingxue, dan Fang Zhi melanjutkan perjalanan menuju Kota Hantu. Angin berhembus dingin, membawa aroma tanah yang lembab dan dedaunan kering yang berguguran. Langit di atas mereka tampak kelabu, seolah menandakan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Mereka tetap waspada, menyadari bahwa perjalanan ini tidak akan mudah.Setelah berhari-hari melewati hutan lebat dan melewati pegunungan berbatu, mereka tiba di sebuah padang luas yang dipenuhi kabut tipis. Suasana mencekam, sepi tanpa suara burung atau hewan liar. Liu Qingxue merasakan ketidaknyamanan dan mencengkeram pedangnya erat-erat."Kita harus berhati-hati," bisiknya.Mo Tian mengangguk. “Aku juga merasakan sesuatu yang tidak beres.”Fang Zhi menatap sekeliling, matanya tajam. “Ada seseorang di sekitar sini.”Benar saja, dari balik kabut, dua sosok muncul dengan langkah perlahan namun penuh kepercayaan diri. Yan Wuxi dan Bai Zhen berdiri di hadapan mereka, dengan tatapan penuh kebencian dan dendam yang membara.
Langkah Mo Tian, Liu Qingxue, dan Fang Zhi perlahan menjauh dari Lembah Tujuh Bintang. Ketiganya terdiam, merenungkan petunjuk samar yang baru saja mereka dapatkan. Langit di atas mereka perlahan memudar dari kerlipan bintang menjadi semburat merah muda saat matahari pagi mulai menyingsing.“Jadi, sekarang kita harus mencari seseorang yang memiliki Buku Kematian,” gumam Fang Zhi sambil mengusap lehernya yang kaku setelah perjalanan panjang.“Tapi siapa orang itu? Dan di mana kita harus mencarinya?” tanya Liu Qingxue, suaranya sedikit serak karena kelelahan.Mo Tian berhenti sejenak, menatap cakrawala yang memanjang di depan mereka. “Aku tidak tahu,” katanya lirih. “Tapi aku yakin, jika kita terus berjalan dan mencari, takdir akan membawa kita pada jawaban.”Fang Zhi mengangguk meski dengan skeptis. “Itu terdengar seperti ucapan seseorang yang tidak punya rencana. Tapi, aku rasa, kita memang tidak punya pilihan lain.”Perjalanan mereka kembali ke desa terdekat memakan waktu dua hari. K
Langit malam di Lembah Tujuh Bintang tampak seperti lautan cahaya. Ratusan, bahkan ribuan bintang berkilauan di atas mereka, memantulkan sinar ke tanah lembah yang dihiasi dengan batu-batu berwarna biru cemerlang. Mo Tian, Liu Qingxue, dan Fang Zhi berdiri di tengah lembah, memandangi keajaiban ini dengan kekaguman yang bercampur kebingungan.“Ini benar-benar memukau,” gumam Liu Qingxue, matanya terpaku pada hamparan langit penuh bintang.“Tapi, bukankah ini disebut Lembah Tujuh Bintang?” tanya Mo Tian, mengerutkan kening. “Kenapa ada begitu banyak bintang? Bagaimana kita tahu mana yang merupakan tujuh bintang inti?”Mo Tian memandang ke sekeliling, mencoba menganalisis situasi. Ia tahu bahwa mereka tidak bisa terus terpesona oleh keindahan ini. Ada misi yang harus diselesaikan, dan waktu mereka tidak banyak.“Kita harus menemukan tujuh bintang inti,” kata Fang Zhi tegas. “Itu adalah petunjuk yang dijelaskan. Mungkin di situlah kita bisa menemukan Buku Kematian, atau setidaknya petunj
Setelah melalui berbagai rintangan yang nyaris merenggut nyawa, Mo Tian, Liu Qingxue, dan Fang Zhi akhirnya bertemu kembali di sebuah ruangan besar di dalam gua. Ruangan itu dipenuhi stalaktit yang menjuntai dari langit-langit, berkilauan samar karena pantulan cahaya biru yang berasal dari dinding gua.Liu Qingxue adalah yang pertama melihat Mo Tian. Ia terkejut melihat kondisi sahabatnya itu. Tubuh Mo Tian penuh dengan luka, sebagian besar adalah luka dalam yang tampak serius. Napasnya tersengal, dan langkahnya begitu lemah hingga ia hampir terjatuh saat mencoba mendekati Liu Qingxue.“Mo Tian!” seru Liu Qingxue, berlari menghampirinya. Ia memegang bahu Mo Tian, menopangnya agar tidak jatuh. “Kau terluka parah! Kau harus istirahat!”Mo Tian hanya tersenyum tipis, meski wajahnya pucat pasi. “Aku baik-baik saja,” katanya, meskipun jelas dari raut wajahnya bahwa ia sedang menahan sakit luar biasa.Fang Zhi muncul dari arah lain, menyeret langkahnya dengan kaki yang pincang. Lengan kirin
Langkah Mo Tian, Liu Qingxue, dan Fang Zhi terasa berat saat mereka memasuki gua di tengah Lembah Tujuh Bintang. Udara di dalamnya dingin dan lembab, diselimuti aura yang mencekam. Cahaya biru yang semula memandu mereka mulai memudar, digantikan oleh kegelapan pekat.Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari atas mereka. Tanah bergetar, dan batu-batu besar mulai berjatuhan. Mo Tian berteriak, “Hati-hati! Gua ini runtuh!”Ketiganya mencoba berlari kembali ke pintu masuk, tetapi pintu gua tiba-tiba tertutup oleh batu besar yang jatuh dengan cepat. Gua itu kini benar-benar tertutup.“Tidak!” seru Liu Qingxue, memukul batu yang menghalangi jalan keluar mereka. Namun, tidak ada yang bisa mereka lakukan.Suara gemuruh semakin keras, disusul dengan jeritan yang menusuk telinga. Jeritan itu bukan berasal dari manusia, melainkan dari jiwa-jiwa yang tampaknya terjebak di dalam gua. Suara itu menggema di seluruh ruangan, membuat mereka semua merasa seperti tenggelam dalam penderitaan yang tak terl