Share

Bab 3. Tabib Langit

Author: Aray Fu
last update Last Updated: 2024-11-22 17:13:30

“Kalau mati itu takdir.”

“Kau tetap mau ke sana?”

“Iya.”

Liu Qingxue hanya tersenyum melihat kegigihan Mo Tian.

“Ikutlah denganku,” ajak Mo Tian akhirnya.

“Aku?”

“Iya.”

“Kenapa harus ikut?”

“Aku tidak pernah bepergian keluar desa. Kau bisa jadi penunjuk jalanku. Dan juga, selama perjalanan, siapa tahu kau bisa menemukan apa yang kau cari,” jawab Mo Tian.

Setelah beberapa saat diam, Liu akhirnya setuju untuk ikut mengembara bersama Mo Tian.

Di tengah perjalanan mereka keluar dari hutan, keduanya dihadang oleh sekelompok bandit bersenjata. Ada sekitar sepuluh orang, masing-masing membawa pedang atau tombak.

“Serahkan barang-barang kalian, atau nyawa kalian yang jadi taruhannya!” seru salah satu bandit, pria kekar dengan bekas luka di wajahnya.

Liu Qingxue melangkah maju tanpa rasa takut. “Kalian tidak tahu siapa yang kalian hadapi.”

“Kami tidak peduli siapa kalian!” balas bandit itu sambil menyerang.

Pertarungan pun dimulai. Liu Qingxue, dengan gerakan yang cepat dan mematikan, melawan bandit-bandit itu tanpa ragu. Pedangnya menari di udara, setiap tebasannya akurat dan mematikan.

Sementara itu, Mo Tian kembali merasa tubuhnya bergerak dengan insting yang tidak ia pahami. Pedang tua di tangannya berkilauan meski terlihat berkarat. Setiap kali ia menyerang, bandit-bandit itu mundur dengan wajah ketakutan.

“Ada apa dengan anak ini?” teriak salah satu bandit sebelum ia terjatuh.

Dalam waktu singkat, bandit-bandit itu berhasil dikalahkan. Beberapa melarikan diri, meninggalkan rekan-rekan mereka yang tergeletak tak bernyawa di tanah.

“Tidak buruk,” ujar Liu Qingxue sambil membersihkan pedangnya.

Mo Tian terdiam, menatap pedang di tangannya yang kini bersih tanpa noda darah, meski ia yakin tadi telah menggunakannya untuk melawan.

“Sepertinya kau harus belajar mengendalikan kekuatanmu,” ujar Liu Qingxue. “Kalau tidak, suatu hari kekuatan itu bisa menghancurkanmu.”

Mo Tian mengangguk pelan, menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya untuk mencari jawaban, tapi juga untuk memahami kekuatan misterius dalam dirinya. “Apakah ini takdirku? Siapa aku sebenarnya?”

Hutan Luanyang hanyalah awal dari perjalanan panjang yang penuh tantangan bagi Mo Tian dan Liu Qingxue.

Satu minggu berlalu dengan berbagai rintangan yang tak terduga. Mereka melewati lembah curam, melintasi sungai deras, dan menghadapi ancaman dari hewan liar maupun manusia. Namun, di balik semua itu, mereka mulai saling memahami, meski hubungan mereka masih diwarnai saling mencurigai.

Suatu pagi yang dingin, mereka dikejar oleh kelompok pemburu bayaran yang mengira Mo Tian adalah buronan dengan hadiah besar di kepalanya. Dengan keterampilan bela diri Liu Qingxue dan kekuatan misterius yang dimiliki Mo Tian, mereka berhasil lolos meski dengan luka ringan di tubuh.

“Apa setiap hari akan selalu seperti ini?” keluh Mo Tian sambil merobek kain bajunya untuk membalut luka di lengannya.

“Kalau kau ingin hidup damai, sebaiknya kembali ke desa yang sudah hancur itu,” sindir Liu Qingxue.

“Kau mengejekku?” tanya Mo Tian tersinggung.

“Hanya mengatakan yang harus aku katakan. Kalau kau ingin tahu siapa dirimu sebenarnya, bersiaplah menghadapi lebih banyak kekacauan.”

“Sombong! Seolah-olah kau punya begitu banyak pengalaman.”

“Nyatanya begitu, anak muda.”

Mo Tian hanya mendengus, tapi diam-diam ia kagum pada ketangguhan Liu Qingxue. Wanita itu seperti tidak pernah kehabisan energi, meskipun sudah bertarung berulang kali.

Setelah perjalanan yang panjang dan melelahkan, akhirnya mereka tiba di Kota Jingbei.

“Wah, kota ini begitu bagus.”

Kota ini jauh lebih besar daripada yang pernah Mo Tian bayangkan. Jalanan ramai dengan pedagang yang menawarkan barang dagangan, kereta kuda yang berlalu-lalang, dan suara hiruk-pikuk para pedagang dan pembeli yang memenuhi udara.

“Tabib Langit tinggal di bagian utara kota, di sebuah kuil kecil di atas bukit,” ujar Liu Qingxue sambil mengamati peta kasar yang ia ambil dari salah satu pemburu bayaran yang mereka kalahkan.

“Kau pernah ke sana?”

“Tidak.”

Keduanya tertawa saat berjalan ke utara dengan percaya diri setelah menghabiskan satu mangkuk sup.

Namun, ketika mereka mencapai kuil itu, perjalanan mereka tidak semudah yang dibayangkan. Dua pendekar berjubah hitam berdiri di gerbang kuil. Aura mereka memancarkan kekuatan besar, membuat Mo Tian merasa kecil di hadapan mereka.

“Siapa kalian?” tanya salah satu pendekar dengan nada mengintimidasi.

“Kami ingin bertemu dengan Tabib Langit,” jawab Liu Qingxue dengan tegas.

Pendekar itu mendengus. “Apa yang membawa kalian kemari?”

“Ada hal yang penting,” jawab Mo Tian.

“Buktikan!”

Liu Qingxue melirik Mo Tian dan menghela napas. “Tentu saja ada syaratnya.”

Kedua pendekar itu langsung menyerang tanpa peringatan. Pertarungan berlangsung sengit. Liu Qingxue menghadapi salah satu pendekar, sementara Mo Tian harus melawan yang satunya lagi.

Pendekar-pendekar itu tidak hanya cepat dan kuat, tapi juga terlatih dalam ilmu pedang tingkat tinggi. Liu Qingxue berjuang keras untuk menandingi lawannya, menggunakan kelincahan dan teknik yang presisi. Sementara itu, Mo Tian berjuang mengendalikan kekuatan misterius dalam dirinya.

Di tengah pertarungan, tanda sabit hitam di pundaknya mulai bersinar samar. Tubuh Mo Tian terasa ringan, dan gerakannya menjadi lebih cepat. Dengan satu tebasan pedangnya, ia berhasil mematahkan pertahanan lawannya dan membuatnya tersungkur.

Liu Qingxue, meski kelelahan, akhirnya mampu mengalahkan lawannya dengan sebuah serangan balik yang cerdik.

“Cukup,” salah satu pendekar itu berkata sambil memegangi luka di lengannya. “Ikuti kami.”

Kuil Tabib Langit dipenuhi aroma dupa dan herbal. Seorang pria tua berjanggut panjang duduk di atas tikar bambu, matanya terpejam seolah-olah sedang bermeditasi.

“Apa yang membawa kalian ke tempat ini?” tanya Tabib Langit tanpa membuka matanya.

Mo Tian maju selangkah. “Aku mencari jawaban, Tabib. Tentang tanda di pundakku, tentang siapa diriku sebenarnya.”

Tabib Langit membuka matanya dan mengamati tanda sabit hitam di pundak Mo Tian. Ia mengerutkan kening, lalu menutup matanya kembali.

“Aku tidak bisa memberimu jawaban,” ujar Tabib Langit akhirnya.

“Kenapa?”

“Tanda itu adalah bagian dari takdirmu. Jawabannya tidak akan datang dariku, melainkan dari perjalanan panjangmu sendiri,” jawabnya.

Mo Tian merasa kecewa, namun ia tidak bisa memaksa. “Apakah Tuan tahu apa pun yang bisa membantuku?”

Tabib Langit mengangguk pelan. “Aku tidak tahu asal usul tanda itu, tapi yang aku tahu bahwa ada kekuatan besar yang sedang bergerak di dunia ini. Dan aku yakin, kau akan menjadi bagian dari pertarungan itu.”

Liu Qingxue, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. “Kami juga ingin tahu lebih banyak tentang Sekte Langit Berdarah.”

Mata Tabib Langit menyipit menatap ke arah Liu, kemudian tertawa. “Sekte Langit Berdarah dipimpin oleh Yan Wuxi, seorang pendekar sakti yang sangat berbahaya. Untuk apa kau ingin tahu, anak muda?”

“Untuk menghancurkannya,” jawab Liu dengan percaya diri.

“Dia sedang mencari Kitab Kematian, sebuah kitab legendaris yang konon menyimpan rahasia tentang kehidupan dan kematian.”

“Kitab Kematian?” Mo Tian mengulang dengan rasa penasaran.

Tabib Langit mengangguk. “Kitab itu diciptakan oleh seorang pendekar dari zaman kuno yang dikenal sebagai Penguasa Kematian. Kitab itu dikatakan memiliki kekuatan untuk mengendalikan jiwa dan membangkitkan mereka yang sudah mati. Jika Yan Wuxi berhasil mendapatkannya, dunia ini akan berada dalam bahaya besar.”

“Di mana kitab itu sekarang?” tanya Liu Qingxue.

Related chapters

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 4. Meninggalkan Jingbei

    “Tidak ada yang tahu pasti,” jawab Tabib Langit. “Namun, banyak yang percaya bahwa kitab itu tersembunyi di sebuah tempat bernama Gunung Kelam, tapi itu hanyalah sebuah dugaan. Sekte Langit Berdarah sudah mulai mengirim pasukan ke sana,” sambung Tabib Langit. “Gunung Kelam?” “Iya, tempat yang cukup jauh. Bahkan sangat sulit di jangkau, hampir tidak pernah ada orang yang pernah kesana. Termasuk ketua sekte Langit Berdarah.” Mo Tian merasakan ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya saat mendengar nama Gunung Kelam. Ia tidak tahu kenapa, tapi tempat itu sepertinya memiliki hubungan dengan dirinya. Tapi, dia tidak yakin. Karena sejak lahir, dia tumbuh dan besar di desa. Dia tidak pernah kemana-mana. “Kalau begitu, kita harus menghentikan Yan Wuxi sebelum dia menemukan kitab itu,” ujar Liu Qingxue dengan penuh tekad. Tabib Langit mengangguk sambil tersenyum. “Semangatmu terlalu tinggi, Anak Muda. Kalian bukan lawannya. Yan Wuxi bukan hanya pendekar sakti. Ia juga seorang manipula

    Last Updated : 2024-11-23
  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 5. Sekte Awan Putih Diserang

    “Kita harus melapor ke Yan Wuxi,” ujar pria itu. “Tidak. Yan Wuxi memerintahkan kita untuk memastikan mereka tidak sampai menemukan Kitab Kematian. Kita bisa menghabisi mereka di sini, sebelum menjadi ancaman.” Wanita itu mengangguk, dan keduanya mulai bergerak perlahan, mendekati Mo Tian dan Liu Qingxue yang sedang beristirahat. “Aku masih tidak mengerti kenapa kau harus memancing masalah seperti tadi,” ujar Mo Tian sambil meregangkan tubuhnya. “Masalah adalah bagian dari hidup, anak muda,” jawab Liu Qingxue dengan nada menggoda. Sebelum Mo Tian sempat membalas, ia tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh. “Ada yang tidak beres.” Baru beberapa hari dalam perjalanan, sekarang Mo Tian sudah bisa merasakan sesuatu dengan instingnya. Dan ternyata bukan hanya Mo Tian, melainkan Liu Qingxue juga merasakan hal yang sama. “Kita sedang diawasi,” bisiknya. “Apa yang harus kita lakukan?” tanya Mo Tian. “Perjalanan ini akan seru,” kekeh Liu Qingxue. Sebelum mereka sempat berge

    Last Updated : 2024-11-25
  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 1. Reinkarnasi Dewa Kematian

    “Semua manusia harus mati! Dunia fana ini tidak layak lagi dihuni!” Baaam! Seketika, dunia hancur berantakan. Manusia lari tunggang-langgang menyelamatkan diri. “Berlindung! Berlindung!” “Tidak akan ada tempat bagi kalian untuk berlindung. Aku akan menghancurkannya!” teriak Dewa Kematian dengan mata merah menyala. Dialah Heiming Shen atau Dewa Kematian. Dia juga Dewa yang ditakuti oleh para dewa dan manusia. Dengan sabit hitam yang tak tertandingi, ia mengatur arus kehidupan dan kematian dengan tangan besi. Jika dia tidak menginginkannya, maka semuanya akan dihancurkan.Kekuasaannya yang mutlak memicu ketakutan di kalangan para dewa lainnya. Mereka merasa bahwa Dewa Kematian telah melampaui batas, menggunakan kekuatan kematian untuk menghukum makhluk fana yang menurutnya tidak layak hidup, bahkan tanpa persetujuan Dewan Langit. Hingga akhirnya Dewan Langit menggelar pengadilan ilahi. Para dewa utama—Dewa Kehidupan, Dewa Keseimbangan, dan Dewa Waktu—memutuskan bahwa Heiming

    Last Updated : 2024-11-20
  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 2. Bertemu Pendekar Wanita

    “Siapa kau?!”“Tuan muda…”“Jawab aku!”Mo Tian merasa kepalanya berputar, dia seperti melihat kunang-kunang. Gambaran aneh tiba-tiba muncul dalam pikirannya, gambar sabit hitam, lautan jiwa yang meratap memohon belas kasih, dan takhta megah yang gelap. "Apa yang terjadi? Siapa aku sebenarnya?" tanya Mo Tian sebelum akhirnya pingsan.Pandangannya menjadi gelap, dan di dalam pingsannya Mo Tian seperti berada di tengah-tengah lautan, tapi bukan air. Melainkan lautan jiwa manusia, mereka memanggilnya.Beberapa saat kemudian, Mo Tian sadar, tapi desa tempat dia tumbuh telah menjadi abu. Tidak ada yang tersisa, hanya reruntuhan dan bau hangus.Rumahnya, telah musnah. Juga orang tuanya telah tiada. Mo Tian merasa percuma dia hidup, dia ingin mati, mengikuti orang tuanya.“Apa ini? Darimana aku mendapatkannya?” tanya Mo Tian memandang pedang yang berada di tangannya.Meskipun bingung, dia tidak melepaskan pedang itu. Dia merasa ada jiwanya disana, meskipun tidak tahu, apa sebenarnya hubung

    Last Updated : 2024-11-21

Latest chapter

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 5. Sekte Awan Putih Diserang

    “Kita harus melapor ke Yan Wuxi,” ujar pria itu. “Tidak. Yan Wuxi memerintahkan kita untuk memastikan mereka tidak sampai menemukan Kitab Kematian. Kita bisa menghabisi mereka di sini, sebelum menjadi ancaman.” Wanita itu mengangguk, dan keduanya mulai bergerak perlahan, mendekati Mo Tian dan Liu Qingxue yang sedang beristirahat. “Aku masih tidak mengerti kenapa kau harus memancing masalah seperti tadi,” ujar Mo Tian sambil meregangkan tubuhnya. “Masalah adalah bagian dari hidup, anak muda,” jawab Liu Qingxue dengan nada menggoda. Sebelum Mo Tian sempat membalas, ia tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh. “Ada yang tidak beres.” Baru beberapa hari dalam perjalanan, sekarang Mo Tian sudah bisa merasakan sesuatu dengan instingnya. Dan ternyata bukan hanya Mo Tian, melainkan Liu Qingxue juga merasakan hal yang sama. “Kita sedang diawasi,” bisiknya. “Apa yang harus kita lakukan?” tanya Mo Tian. “Perjalanan ini akan seru,” kekeh Liu Qingxue. Sebelum mereka sempat berge

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 4. Meninggalkan Jingbei

    “Tidak ada yang tahu pasti,” jawab Tabib Langit. “Namun, banyak yang percaya bahwa kitab itu tersembunyi di sebuah tempat bernama Gunung Kelam, tapi itu hanyalah sebuah dugaan. Sekte Langit Berdarah sudah mulai mengirim pasukan ke sana,” sambung Tabib Langit. “Gunung Kelam?” “Iya, tempat yang cukup jauh. Bahkan sangat sulit di jangkau, hampir tidak pernah ada orang yang pernah kesana. Termasuk ketua sekte Langit Berdarah.” Mo Tian merasakan ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya saat mendengar nama Gunung Kelam. Ia tidak tahu kenapa, tapi tempat itu sepertinya memiliki hubungan dengan dirinya. Tapi, dia tidak yakin. Karena sejak lahir, dia tumbuh dan besar di desa. Dia tidak pernah kemana-mana. “Kalau begitu, kita harus menghentikan Yan Wuxi sebelum dia menemukan kitab itu,” ujar Liu Qingxue dengan penuh tekad. Tabib Langit mengangguk sambil tersenyum. “Semangatmu terlalu tinggi, Anak Muda. Kalian bukan lawannya. Yan Wuxi bukan hanya pendekar sakti. Ia juga seorang manipula

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 3. Tabib Langit

    “Kalau mati itu takdir.” “Kau tetap mau ke sana?” “Iya.” Liu Qingxue hanya tersenyum melihat kegigihan Mo Tian. “Ikutlah denganku,” ajak Mo Tian akhirnya. “Aku?” “Iya.” “Kenapa harus ikut?” “Aku tidak pernah bepergian keluar desa. Kau bisa jadi penunjuk jalanku. Dan juga, selama perjalanan, siapa tahu kau bisa menemukan apa yang kau cari,” jawab Mo Tian. Setelah beberapa saat diam, Liu akhirnya setuju untuk ikut mengembara bersama Mo Tian. Di tengah perjalanan mereka keluar dari hutan, keduanya dihadang oleh sekelompok bandit bersenjata. Ada sekitar sepuluh orang, masing-masing membawa pedang atau tombak. “Serahkan barang-barang kalian, atau nyawa kalian yang jadi taruhannya!” seru salah satu bandit, pria kekar dengan bekas luka di wajahnya. Liu Qingxue melangkah maju tanpa rasa takut. “Kalian tidak tahu siapa yang kalian hadapi.” “Kami tidak peduli siapa kalian!” balas bandit itu sambil menyerang. Pertarungan pun dimulai. Liu Qingxue, dengan gerakan yang c

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 2. Bertemu Pendekar Wanita

    “Siapa kau?!”“Tuan muda…”“Jawab aku!”Mo Tian merasa kepalanya berputar, dia seperti melihat kunang-kunang. Gambaran aneh tiba-tiba muncul dalam pikirannya, gambar sabit hitam, lautan jiwa yang meratap memohon belas kasih, dan takhta megah yang gelap. "Apa yang terjadi? Siapa aku sebenarnya?" tanya Mo Tian sebelum akhirnya pingsan.Pandangannya menjadi gelap, dan di dalam pingsannya Mo Tian seperti berada di tengah-tengah lautan, tapi bukan air. Melainkan lautan jiwa manusia, mereka memanggilnya.Beberapa saat kemudian, Mo Tian sadar, tapi desa tempat dia tumbuh telah menjadi abu. Tidak ada yang tersisa, hanya reruntuhan dan bau hangus.Rumahnya, telah musnah. Juga orang tuanya telah tiada. Mo Tian merasa percuma dia hidup, dia ingin mati, mengikuti orang tuanya.“Apa ini? Darimana aku mendapatkannya?” tanya Mo Tian memandang pedang yang berada di tangannya.Meskipun bingung, dia tidak melepaskan pedang itu. Dia merasa ada jiwanya disana, meskipun tidak tahu, apa sebenarnya hubung

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 1. Reinkarnasi Dewa Kematian

    “Semua manusia harus mati! Dunia fana ini tidak layak lagi dihuni!” Baaam! Seketika, dunia hancur berantakan. Manusia lari tunggang-langgang menyelamatkan diri. “Berlindung! Berlindung!” “Tidak akan ada tempat bagi kalian untuk berlindung. Aku akan menghancurkannya!” teriak Dewa Kematian dengan mata merah menyala. Dialah Heiming Shen atau Dewa Kematian. Dia juga Dewa yang ditakuti oleh para dewa dan manusia. Dengan sabit hitam yang tak tertandingi, ia mengatur arus kehidupan dan kematian dengan tangan besi. Jika dia tidak menginginkannya, maka semuanya akan dihancurkan.Kekuasaannya yang mutlak memicu ketakutan di kalangan para dewa lainnya. Mereka merasa bahwa Dewa Kematian telah melampaui batas, menggunakan kekuatan kematian untuk menghukum makhluk fana yang menurutnya tidak layak hidup, bahkan tanpa persetujuan Dewan Langit. Hingga akhirnya Dewan Langit menggelar pengadilan ilahi. Para dewa utama—Dewa Kehidupan, Dewa Keseimbangan, dan Dewa Waktu—memutuskan bahwa Heiming

DMCA.com Protection Status