Home / Fantasi / JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR / Bab 1. Reinkarnasi Dewa Kematian

Share

JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR
JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR
Author: Aray Fu

Bab 1. Reinkarnasi Dewa Kematian

Author: Aray Fu
last update Last Updated: 2024-11-20 15:44:40

“Semua manusia harus mati! Dunia fana ini tidak layak lagi dihuni!”  

Baaam! 

Seketika, dunia hancur berantakan. Manusia lari tunggang-langgang menyelamatkan diri.  

“Berlindung! Berlindung!”  

“Tidak akan ada tempat bagi kalian untuk berlindung. Aku akan menghancurkannya!” teriak Dewa Kematian dengan mata merah menyala.  

Dialah Heiming Shen atau Dewa Kematian. Dia juga Dewa yang ditakuti oleh para dewa dan manusia. Dengan sabit hitam yang tak tertandingi, ia mengatur arus kehidupan dan kematian dengan tangan besi. Jika dia tidak menginginkannya, maka semuanya akan dihancurkan.

Kekuasaannya yang mutlak memicu ketakutan di kalangan para dewa lainnya. Mereka merasa bahwa Dewa Kematian telah melampaui batas, menggunakan kekuatan kematian untuk menghukum makhluk fana yang menurutnya tidak layak hidup, bahkan tanpa persetujuan Dewan Langit.  

Hingga akhirnya Dewan Langit menggelar pengadilan ilahi. Para dewa utama—Dewa Kehidupan, Dewa Keseimbangan, dan Dewa Waktu—memutuskan bahwa Heiming Shen harus dihukum.  

“Dewa Kematian harus mendapatkan hukuman. Dia terlalu sombong, terlalu angkuh, dan melupakan tugas utamanya sebagai penjaga keseimbangan, bukan sebagai hakim atas kehidupan manusia,” ujar Dewa Kehidupan.  

"Kau akan kehilangan semuanya," ujar Dewa Keseimbangan, suaranya bergema seperti gemuruh badai.  

"Kau akan dilahirkan kembali sebagai manusia biasa. Kau akan merasakan penderitaan, kelemahan, dan kehilangan—hal-hal yang selama ini hanya kau pandang dari jauh!"  

“Tapi…”

“Keputusan ini telah dibuat, Heiming Shen!”

Tanpa bisa melawan, Heiming Shen akhirnya direinkarnasikan, dia akan menjadi manusia sesuai keputusan Dewan Langit.

Bruush!

“Aaaaaa!” teriaknya dan akhirnya hilang.

Tubuhnya lenyap menjadi abu, meninggalkan hanya seberkas tanda hitam berbentuk sabit yang menyatu di pundak kanan tubuh barunya.  

Dan di saat yang sama, di dunia fana... 

Oweek! Oweek! 

Angin dingin berembus di sebuah desa kecil yang tersembunyi di lembah pegunungan. Tepat di tengah malam, di sebuah rumah sederhana, seorang wanita paruh baya terengah-engah di atas tikar jerami.  

Tangis seorang bayi baru lahir pecah, mengisi ruangan yang sunyi.  

"Akhirnya," bisik wanita itu dengan nafas tersengal. Ia memandangi bayinya dengan tatapan penuh cinta, meski tubuhnya lemah karena persalinan yang sangat sulit.  

“Anak kita sudah lahir,” sambut sang ayah.  

“Dia seorang lelaki.”  

"Kita akan beri dia nama Mo Tian," ujar ayah bayi itu yang merupakan seorang petani miskin dengan wajah keras karena kehidupan yang berat.  

Beberapa detik kemudian, kebahagiaan mereka terganggu, karena saat sang tabib membersihkan tubuh bayi itu, dia terkejut melihat tanda hitam berbentuk sabit di pundak kanannya.  

"Apa ini?" bisiknya, suaranya gemetar. "Tanda lahir yang aneh, ini seperti sebuah kutukan."  

“Ada apa?” tanya sang ayah.  

“Ah, tidak. Ini hanyalah tanda lahir biasa,” jawab sang tabib.  

Keluarga miskin itu sangat bahagia. Mereka sudah menunggu kehadiran anak selama puluhan tahun. Dan akhirnya, berkat kebaikan Dewa, mereka dikaruniai seorang anak lelaki.  

Tapi, desas-desus mulai menyebar di desa mengenai tanda lahir Mo Tian. Banyak yang percaya bahwa bayi Mo Tian adalah pertanda buruk, seorang anak yang membawa kesialan. Sebagian mengatakan dia adalah jelmaan roh jahat.  

Bahkan, ada yang berniat mengusirnya dari desa. Karena takut kalau Mo Tian akan membawa kesialan pada desa mereka.

Keluarga Mo Tian hidup dalam tekanan, tetapi mereka tetap merawatnya dengan penuh kasih sayang, meskipun harus menghadapi tatapan sinis dari penduduk desa. Ayahnya, mempertahankan anaknya, bahkan merelakan nyawanya demi sang anak.

Tahun-tahun berlalu, dan Mo Tian tumbuh menjadi seorang anak laki-laki yang kuat meski sering mengalami perundungan. Anak-anak desa lainnya mengejeknya, menyebutnya "anak kutukan" karena tanda hitam di pundaknya.  

"Aku bukan kutukan!" seru Mo Tian suatu hari ketika seorang anak laki-laki melemparinya dengan batu. "Aku sama seperti kalian!"  

Ejekan itu tak pernah berhenti. Mo Tian belajar untuk bertahan sendiri. Dia sering menghabiskan waktunya di hutan di pinggir desa, berburu hewan kecil dan memanjat pohon tinggi untuk menghindari anak-anak yang mengganggunya.  

Suatu hari, saat dia berjalan sendirian di hutan, tiba-tiba dia bertemu dengan seekor serigala besar yang terluka parah. Mata serigala itu bersinar merah, seperti api yang membara.  

“Aku tidak akan membunuhmu,” ujarnya.  

Mo Tian merasa takut, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya mendekati binatang itu. Dia merobek sebagian kain dari bajunya untuk membalut luka serigala itu.  

Ketika ia selesai, serigala itu menatapnya dengan tajam sebelum melolong keras. Anehnya, Mo Tian merasa seolah-olah ia mengerti apa yang dikatakan serigala itu: "Kau bukan manusia biasa. Darahmu menyimpan rahasia yang besar."  

Setelah melolong, serigala itu segera pergi masuk ke dalam hutan belantara.

Ketika Mo Tian beranjak remaja, dia mulai menunjukkan kemampuan yang tidak biasa. Tubuhnya lebih kuat dan gesit dibanding anak-anak seusianya. Dia mampu memanjat tebing terjal tanpa bantuan, dan instingnya untuk membaca bahaya sangat tajam.

"Ayah, kenapa orang-orang membenciku? Apa salahku?” tanya Mo Tian suatu malam saat mereka duduk di depan api unggun, membakar ikan hasil tangkapannya.

Ayahnya terdiam sejenak, lalu menghela nafas. "Bukan kau yang mereka benci. Mereka percaya hal yang mustahil. Tanda di pundakmu, mereka pikir itu kutukan. Tapi ayah percaya, itu hanyalah tanda lahir biasa. Buktinya, kau hidup sama seperti mereka.”  

Ucapan ayahnya menjadi penghiburan bagi Mo Tian. “Tapi, ini aku biasa saja. Tanda ini tidak menggangguku.”

“Kau benar. Jadi, jangan pikirkan itu.”

Waktu terus berlalu, hingga suatu malam yang mencekam…

“Api!”

“Ada api!”

Langit di atas desa berubah menjadi merah darah. Teriakan panik membangunkan Mo Tian dari tidur. Ketika dia keluar dari rumah melihat api melahap rumah-rumah penduduk desa.

Pada saat itu, dia melihat sosok-sosok berjubah hitam dengan lambang tengkorak di dada mereka menyerang warga tanpa ampun.  

"Mereka adalah orang-orang dari Sekte Langit Berdarah!" teriak seorang tetua desa sebelum tebasan pedang mengakhiri nyawanya.  

Mo Tian berlari ke dalam rumah untuk melindungi orang tuanya. Namun, seorang pria berjubah hitam dengan pedang besar telah masuk lebih dulu. Dalam sekejap, orang tua Mo Tian tergeletak di lantai, darah mengalir dari tubuh mereka.  

"Tidak!" teriak Mo Tian dengan suara parau.  

“Ayah! Ibu!”

Pria berjubah itu mendekatinya, mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. “Sekarang giliranmu!”

Tapi sebelum pedang itu sempat turun, tanda di pundak Mo Tian mulai bersinar. Angin dingin berhembus dari tubuhnya, dan mata pria itu melebar ketakutan.  

"Apa? Apa ini?" suaranya gemetar.  

Braak!

Tubuh pria itu terhempas ke dinding, dalam sekejap sudah tak bernyawa. Mo Tian berdiri terpaku, tidak menyadari apa yang baru saja terjadi. 

“Aku bisa melawannya?” tanya Mo Tian gemetar kepada dirinya sendiri.

Ketika ia melihat ke bawah, ia menemukan sebuah pedang tua berkarat di tangannya, seolah-olah pedang itu muncul entah dari mana.  

"Tuan muda..." suara parau terdengar di kepalanya. "Kembalilah. Ingat siapa dirimu."  

Related chapters

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 2. Bertemu Pendekar Wanita

    “Siapa kau?!”“Tuan muda…”“Jawab aku!”Mo Tian merasa kepalanya berputar, dia seperti melihat kunang-kunang. Gambaran aneh tiba-tiba muncul dalam pikirannya, gambar sabit hitam, lautan jiwa yang meratap memohon belas kasih, dan takhta megah yang gelap. "Apa yang terjadi? Siapa aku sebenarnya?" tanya Mo Tian sebelum akhirnya pingsan.Pandangannya menjadi gelap, dan di dalam pingsannya Mo Tian seperti berada di tengah-tengah lautan, tapi bukan air. Melainkan lautan jiwa manusia, mereka memanggilnya.Beberapa saat kemudian, Mo Tian sadar, tapi desa tempat dia tumbuh telah menjadi abu. Tidak ada yang tersisa, hanya reruntuhan dan bau hangus.Rumahnya, telah musnah. Juga orang tuanya telah tiada. Mo Tian merasa percuma dia hidup, dia ingin mati, mengikuti orang tuanya.“Apa ini? Darimana aku mendapatkannya?” tanya Mo Tian memandang pedang yang berada di tangannya.Meskipun bingung, dia tidak melepaskan pedang itu. Dia merasa ada jiwanya disana, meskipun tidak tahu, apa sebenarnya hubung

    Last Updated : 2024-11-21
  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 3. Tabib Langit

    “Kalau mati itu takdir.” “Kau tetap mau ke sana?” “Iya.” Liu Qingxue hanya tersenyum melihat kegigihan Mo Tian. “Ikutlah denganku,” ajak Mo Tian akhirnya. “Aku?” “Iya.” “Kenapa harus ikut?” “Aku tidak pernah bepergian keluar desa. Kau bisa jadi penunjuk jalanku. Dan juga, selama perjalanan, siapa tahu kau bisa menemukan apa yang kau cari,” jawab Mo Tian. Setelah beberapa saat diam, Liu akhirnya setuju untuk ikut mengembara bersama Mo Tian. Di tengah perjalanan mereka keluar dari hutan, keduanya dihadang oleh sekelompok bandit bersenjata. Ada sekitar sepuluh orang, masing-masing membawa pedang atau tombak. “Serahkan barang-barang kalian, atau nyawa kalian yang jadi taruhannya!” seru salah satu bandit, pria kekar dengan bekas luka di wajahnya. Liu Qingxue melangkah maju tanpa rasa takut. “Kalian tidak tahu siapa yang kalian hadapi.” “Kami tidak peduli siapa kalian!” balas bandit itu sambil menyerang. Pertarungan pun dimulai. Liu Qingxue, dengan gerakan yang c

    Last Updated : 2024-11-22
  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 4. Meninggalkan Jingbei

    “Tidak ada yang tahu pasti,” jawab Tabib Langit. “Namun, banyak yang percaya bahwa kitab itu tersembunyi di sebuah tempat bernama Gunung Kelam, tapi itu hanyalah sebuah dugaan. Sekte Langit Berdarah sudah mulai mengirim pasukan ke sana,” sambung Tabib Langit. “Gunung Kelam?” “Iya, tempat yang cukup jauh. Bahkan sangat sulit di jangkau, hampir tidak pernah ada orang yang pernah kesana. Termasuk ketua sekte Langit Berdarah.” Mo Tian merasakan ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya saat mendengar nama Gunung Kelam. Ia tidak tahu kenapa, tapi tempat itu sepertinya memiliki hubungan dengan dirinya. Tapi, dia tidak yakin. Karena sejak lahir, dia tumbuh dan besar di desa. Dia tidak pernah kemana-mana. “Kalau begitu, kita harus menghentikan Yan Wuxi sebelum dia menemukan kitab itu,” ujar Liu Qingxue dengan penuh tekad. Tabib Langit mengangguk sambil tersenyum. “Semangatmu terlalu tinggi, Anak Muda. Kalian bukan lawannya. Yan Wuxi bukan hanya pendekar sakti. Ia juga seorang manipula

    Last Updated : 2024-11-23
  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 5. Sekte Awan Putih Diserang

    “Kita harus melapor ke Yan Wuxi,” ujar pria itu. “Tidak. Yan Wuxi memerintahkan kita untuk memastikan mereka tidak sampai menemukan Kitab Kematian. Kita bisa menghabisi mereka di sini, sebelum menjadi ancaman.” Wanita itu mengangguk, dan keduanya mulai bergerak perlahan, mendekati Mo Tian dan Liu Qingxue yang sedang beristirahat. “Aku masih tidak mengerti kenapa kau harus memancing masalah seperti tadi,” ujar Mo Tian sambil meregangkan tubuhnya. “Masalah adalah bagian dari hidup, anak muda,” jawab Liu Qingxue dengan nada menggoda. Sebelum Mo Tian sempat membalas, ia tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh. “Ada yang tidak beres.” Baru beberapa hari dalam perjalanan, sekarang Mo Tian sudah bisa merasakan sesuatu dengan instingnya. Dan ternyata bukan hanya Mo Tian, melainkan Liu Qingxue juga merasakan hal yang sama. “Kita sedang diawasi,” bisiknya. “Apa yang harus kita lakukan?” tanya Mo Tian. “Perjalanan ini akan seru,” kekeh Liu Qingxue. Sebelum mereka sempat berge

    Last Updated : 2024-11-25
  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 6. Kitab yang Hilang

    “Kenapa?” tanya Jiang Yi bingung melihat keraguan di mata Liu Qingxue.“Kami memiliki tujuan yang sangat penting,” jawab Liu Qingxue.Jiang Yi menatap Liu Qingxue penuh selidik. “Maksudnya, kakak seperguruan tidak bisa kembali ke Sekte Awan Putih?”“Kondisi kita sekarang sedang kacau, guru sedang sekarat dan setiap hari bertanya tentang Kakak Seperguruan. Sekarang, kamu malah tidak mau kembali,” sambung Jiang Yi.Mo Tian, yang sejak tadi diam, akhirnya berbicara. “Kau harus pergi, Liu Qingxue. Sekte Awan Putih adalah keluargamu, dan Guru adalah orang yang penting bagimu. Aku tidak bisa memaksamu untuk meninggalkan mereka demi aku. Pergilah.”“Bagaimana denganmu?” tanya Liu Qingxue.“Aku akan melanjutkan perjalanan ini.”“Tapi aku sudah berjanji untuk membantumu,” balas Liu Qingxue dengan suara bergetar.“Janji itu bisa menunggu,” ujar Mo Tian dengan tenang. “Aku masih belum tahu kemana tujuan kita selanjutnya, dan perjalanan ini adalah tentang aku menemukan diriku sendiri. Kau harus m

    Last Updated : 2024-12-12
  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 7. Utusan Sekte Langit Berdarah

    Beberapa hari setelah kedatangannya, ternyata Guru sekaligus Ketua Sekte Awan Putih akhirnya wafat. Luka yang dialaminya cukup parah, merusak seluruh bagian organ dalamnya.Liu Qingxue berdiri di depan aula utama Sekte Awan Putih, wajahnya dipenuhi kesedihan yang sulit disembunyikan. Hatinya berat, bukan hanya karena kehilangan sang guru, tetapi juga karena beban tanggung jawab yang ditawarkan kepadanya.Ketua Sekte Awan Putih, meninggal dunia setelah bertahan cukup lama hanya dengan kekuatan roh dan tenaga dalamnya. Ia telah menunggu Qingxue kembali untuk menyampaikan pesan terakhirnya.Saat itu, di ranjang sederhana, guru yang telah mendidiknya sejak kecil memegang tangan Qingxue dengan lemah. “Qingxue... aku tahu hatimu. Kau adalah murid terbaik yang pernah aku miliki, tapi jalurmu berbeda. Jangan biarkan dendam mengaburkan nuranimu. Dunia ini butuh orang sepertimu...” Itulah kata-kata terakhir yang terucap sebelum sang guru mengembuskan nafas terakhir.Tangisan para murid dan tetu

    Last Updated : 2024-12-13
  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 8. Menantang Yan Wuxi

    Di tepi sungai yang tenang, Mo Tian dan Liu Qingxue duduk bersandar pada pohon besar. Meski malam sudah larut, keduanya tidak dapat memejamkan mata. Pikiran mereka terus dipenuhi dengan pesan dari pendekar Sekte Langit Berdarah. Benteng Langit Merah—nama itu tidak asing bagi Liu Qingxue.“Benteng Langit Merah...” gumam Liu Qingxue sambil memandang air sungai yang mengalir perlahan. “Itu bukan tempat biasa, Mo Tian. Banyak pendekar hebat yang kehilangan nyawa di sana. Tempat itu lebih mirip arena pembantaian daripada pertandingan.”Mo Tian menatapnya penuh perhatian. “Aku mendengar tempat itu adalah arena duel yang terkenal di kalangan pendekar. Tapi apa yang membuatnya begitu berbahaya?”“Di sana, tidak ada duel biasa,” jelas Liu Qingxue. “Setiap pertarungan adalah pertaruhan hidup dan mati. Yang kalah harus menyerahkan nyawanya. Yan Wuxi pasti tahu itu, dan dia sengaja mengarahkan kita ke sana. Ini jebakan.”Mo Tian merenung sejenak. “Kalau begitu, mengapa dia mengarahkan kita ke san

    Last Updated : 2024-12-13
  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 9. Benteng Langit Merah

    Arena Benteng Langit Merah menggema oleh sorakan penonton. Suara dering senjata yang bertemu memekakkan telinga. Mo Tian, yang berada di tengah arena, sudah kehabisan tenaga setelah menghadapi tiga lawan berturut-turut. Keringat bercucuran di wajahnya, dan luka di lengan kirinya membuat gerakannya melambat.Lawan terakhirnya adalah seorang pendekar berbaju merah dengan dua pedang pendek. Gerakan pria itu lincah, serangannya cepat dan tak kenal ampun. Meski Mo Tian mencoba bertahan, setiap detik memperlihatkan bahwa ia semakin terdesak.Liu Qingxue, yang berdiri di antara penonton, mencengkram tepi lengan bajunya dengan gelisah. “Dia tidak bisa terus seperti ini... Dia bisa mati,” gumamnya, nyaris berbisik. Namun ia tahu, tidak ada yang bisa ia lakukan. Peraturan arena melarang siapapun untuk turun tangan membantu.Satu serangan tajam dari pendekar berbaju merah berhasil memukul pedang Mo Tian hingga terlepas dari genggamannya. Senjata tua itu terjatuh, terpental beberapa meter ke samp

    Last Updated : 2024-12-14

Latest chapter

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 66. Selamat dari Bahaya

    Setelah melalui berbagai rintangan yang nyaris merenggut nyawa, Mo Tian, Liu Qingxue, dan Fang Zhi akhirnya bertemu kembali di sebuah ruangan besar di dalam gua. Ruangan itu dipenuhi stalaktit yang menjuntai dari langit-langit, berkilauan samar karena pantulan cahaya biru yang berasal dari dinding gua.Liu Qingxue adalah yang pertama melihat Mo Tian. Ia terkejut melihat kondisi sahabatnya itu. Tubuh Mo Tian penuh dengan luka, sebagian besar adalah luka dalam yang tampak serius. Napasnya tersengal, dan langkahnya begitu lemah hingga ia hampir terjatuh saat mencoba mendekati Liu Qingxue.“Mo Tian!” seru Liu Qingxue, berlari menghampirinya. Ia memegang bahu Mo Tian, menopangnya agar tidak jatuh. “Kau terluka parah! Kau harus istirahat!”Mo Tian hanya tersenyum tipis, meski wajahnya pucat pasi. “Aku baik-baik saja,” katanya, meskipun jelas dari raut wajahnya bahwa ia sedang menahan sakit luar biasa.Fang Zhi muncul dari arah lain, menyeret langkahnya dengan kaki yang pincang. Lengan kirin

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 65. Terpisah

    Langkah Mo Tian, Liu Qingxue, dan Fang Zhi terasa berat saat mereka memasuki gua di tengah Lembah Tujuh Bintang. Udara di dalamnya dingin dan lembab, diselimuti aura yang mencekam. Cahaya biru yang semula memandu mereka mulai memudar, digantikan oleh kegelapan pekat.Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari atas mereka. Tanah bergetar, dan batu-batu besar mulai berjatuhan. Mo Tian berteriak, “Hati-hati! Gua ini runtuh!”Ketiganya mencoba berlari kembali ke pintu masuk, tetapi pintu gua tiba-tiba tertutup oleh batu besar yang jatuh dengan cepat. Gua itu kini benar-benar tertutup.“Tidak!” seru Liu Qingxue, memukul batu yang menghalangi jalan keluar mereka. Namun, tidak ada yang bisa mereka lakukan.Suara gemuruh semakin keras, disusul dengan jeritan yang menusuk telinga. Jeritan itu bukan berasal dari manusia, melainkan dari jiwa-jiwa yang tampaknya terjebak di dalam gua. Suara itu menggema di seluruh ruangan, membuat mereka semua merasa seperti tenggelam dalam penderitaan yang tak terl

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 64. Sungai Jiwa Mengalir

    Pagi itu, desa yang porak poranda oleh serangan Yan Wuxi dan Bai Zhen telah mulai bangkit kembali. Penduduknya, meskipun masih dalam suasana duka dan keletihan, berusaha menata kehidupan baru. Namun, Mo Tian, Liu Qingxue, dan Fang Zhi tahu bahwa kehadiran mereka di desa hanya akan membawa bahaya lebih lanjut.Dengan berat hati, mereka memutuskan untuk pergi. Para penduduk desa berkumpul di gerbang untuk melepas kepergian mereka. Wu Zhan, tetua desa, memberikan doa dan harapan terbaiknya.“Mo Tian, Liu Qingxue, Fang Zhi,” katanya sambil menggenggam tangan mereka satu per satu. “Kami berhutang nyawa kepada kalian. Dunia ini mungkin keras, tetapi kalian membawa secercah harapan bagi kami. Hati-hati di perjalanan kalian. Kami akan berdoa agar kalian berhasil.”Liu Qingxue tersenyum lembut, menahan air mata. “Kami berjanji akan kembali suatu hari nanti, ketika semuanya telah selesai.”Mo Tian, yang jarang menunjukkan emosinya, hanya membungkuk dalam-dalam. Di dalam hatinya, ia merasa berat

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 63. Fang Zhi

    Hari-hari berlalu dengan perlahan di desa itu. Mo Tian dan Liu Qingxue memutuskan untuk tinggal sementara waktu, tidak hanya untuk memulihkan kekuatan Mo Tian tetapi juga untuk membantu penduduk desa membangun kembali kehidupan mereka. Serangan brutal Yan Wuxi dan Bai Zhen telah meninggalkan luka yang mendalam, baik pada bangunan maupun jiwa para penduduk.Mo Tian, meskipun belum sepenuhnya pulih, bersikeras membantu. Dia bersama para penduduk memindahkan puing-puing rumah yang hancur, mendirikan tenda sementara, dan menggali kuburan bagi mereka yang menjadi korban. Liu Qingxue juga tidak kalah sibuk, membantu para wanita desa memasak makanan untuk mereka yang bekerja keras dan merawat anak-anak yang kehilangan orang tua mereka.“Setidaknya aku bisa melakukan sesuatu untuk mereka,” kata Mo Tian suatu pagi saat dia dan Liu Qingxue sedang menata kayu untuk membangun kembali balai desa. “Aku tidak bisa membiarkan mereka menanggung ini sendirian.”Liu Qingxue memandangnya dengan kagum. “K

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 62. Beban Baru

    Selama beberapa hari, Mo Tian terbaring di rumah tabib. Tubuhnya perlahan pulih, tetapi setiap gerakan terasa berat seperti memikul beban dunia. Liu Qingxue tetap berada di sampingnya, memastikan dia mendapatkan perawatan terbaik. Dia memerhatikan Mo Tian dengan cermat, bahkan di saat dia tidak sadar.Mo Tian sering terbangun di malam hari, memandangi Liu Qingxue yang tertidur di kursi dekat ranjangnya. Dalam kesunyian malam, dia menyadari sesuatu yang selama ini dia abaikan—perasaan yang lebih dari sekadar persahabatan atau ikatan keluarga. Liu Qingxue adalah seseorang yang penting baginya, lebih dari apa pun yang pernah dia miliki.Namun, Mo Tian memilih menyimpan perasaan itu dalam hatinya. Dia tahu perjalanan mereka masih panjang, dan ancaman yang mengintai terlalu besar. Baginya, menyatakan perasaan hanya akan menjadi beban tambahan untuk Liu Qingxue, yang sudah banyak berkorban untuknya.Pagi ini, saat matahari menyembul di balik bukit, Liu Qingxue duduk di tepi ranjang Mo Tian,

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 61. Hilang Kendali

    Tubuh Mo Tian berdiri tegak, meskipun setiap serat ototnya tampak bergetar hebat. Tanda hitam di pundaknya memancarkan cahaya gelap yang berdenyut seperti jantung yang hidup. Wajahnya berubah dingin, matanya yang biasanya penuh tekad kini memancarkan kegelapan yang tak berujung. Liu Qingxue berdiri beberapa meter di belakangnya, terdiam membeku melihat perubahan yang terjadi pada Mo Tian.Mo Tian melangkah maju, tubuhnya dipenuhi aura mengerikan yang membuat udara di sekitarnya terasa berat. Anak buah Yan Wuxi dan Bai Zhen, yang sebelumnya menyerang dengan percaya diri, kini terlihat gemetar. Mereka mundur dengan wajah pucat, namun tidak sempat untuk melarikan diri.Dalam satu gerakan cepat, Mo Tian melesat seperti bayangan. Serangannya begitu cepat dan kuat hingga pedang-pedang anak buah Yan Wuxi terlempar tanpa perlawanan. Satu per satu mereka tersungkur, tidak sanggup melawan kekuatan yang luar biasa itu.Yan Wuxi dan Bai Zhen mencoba melancarkan serangan balik, menggabungkan seran

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 60. Amarah Besar

    Mo Tian dan Liu Qingxue kembali ke desa, mereka menatap ke arah kediaman Master Jian Xun dari kejauhan. Tempat itu tampak sunyi, jauh berbeda dari biasanya. Tidak ada suara percakapan, denting pedang, atau bahkan aktivitas para murid yang biasa mereka lihat. Asap tipis mengepul dari beberapa atap rumah di desa sekitar, memberikan kesan yang ganjil.“Ada yang tidak beres,” kata Liu Qingxue dengan nada waspada.Mo Tian mengangguk setuju. Mereka mempercepat langkah, melintasi jalan setapak yang penuh dedaunan kering. Ketika mereka tiba di desa, pemandangan yang mereka lihat membuat napas mereka tercekat.Desa itu porak-poranda. Rumah-rumah terbakar atau runtuh, jalanan dipenuhi puing-puing, dan udara dipenuhi aroma hangus bercampur dengan bau darah. Penduduk yang tersisa tampak lemah, beberapa menangis, dan lainnya hanya duduk terpaku dalam ketakutan.Seorang wanita tua, yang sedang membersihkan pecahan kayu di depan rumahnya yang hangus, menatap mereka dengan mata penuh kesedihan. “Kali

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 59. Ruang Bawah Tanah

    Mo Tian dan Liu Qingxue berdiri terpaku, menatap ke arah gelap tempat pria tua berjubah hitam itu menghilang. Napas keduanya masih tersengal setelah perjuangan berat mereka mendekati bangunan itu.“Dia... dia menghilang begitu saja,” ujar Liu Qingxue, suaranya bercampur antara bingung dan frustasi.Mo Tian menggenggam erat pedangnya, wajahnya tegang. “Dia pasti tahu sesuatu. Kita tidak boleh membiarkannya pergi begitu saja!”Tanpa membuang waktu, Mo Tian segera berlari ke arah pria itu sebelumnya berdiri. Liu Qingxue mengikutinya, meski tubuhnya masih terasa berat setelah bertarung melawan serangan-serangan tak terlihat tadi. Mereka berdua keluar dari bangunan tua itu, kembali ke kabut pekat yang menyelimuti Tanah Bayangan Jiwa.Namun, tidak ada tanda-tanda pria itu. Tidak ada jejak kaki di tanah, tidak ada suara langkah, bahkan tidak ada bekas keberadaannya.“Bagaimana mungkin dia menghilang begitu saja?” tanya Liu Qingxue, matanya menyapu sekeliling dengan waspada.Mo Tian menggelen

  • JEJAK HITAM SANG PENGUASA AKHIR   Bab 58. Tidak Ada Apa-Apa

    Kabut di sekitar Tanah Bayangan Jiwa semakin tebal, seolah menelan setiap cahaya yang mencoba menembusnya. Mo Tian dan Liu Qingxue terus berjalan, dengan setiap langkah terasa semakin berat. Energi gelap yang mengelilingi mereka seakan menyerap kekuatan dan semangat mereka, tetapi tekad untuk mencapai bangunan itu tetap menguatkan langkah mereka.“Bangunan itu sudah dekat,” ujar Mo Tian dengan suara yang bergetar. Ia menghapus keringat dari dahinya dan menggenggam erat pedangnya. “Kita tidak boleh menyerah sekarang.”Liu Qingxue menatap Mo Tian, napasnya tersengal-sengal. “Kita sudah sampai sejauh ini. Kita harus terus maju.”Namun, mendekati bangunan itu tidak semudah yang mereka bayangkan. Tiba-tiba, suara-suara berbisik mulai terdengar di sekitar mereka. Suara itu begitu lembut, seperti angin yang menyelinap ke dalam pikiran mereka, tetapi setiap kata membawa rasa takut dan keraguan.“Kenapa kalian terus maju?” bisik suara itu. “Tidak ada yang menunggu kalian di sana. Kalian hanya

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status