“Gagal lagi,” keluh lirih suara wanita yang memegang tes pack.
Seketika kakinya merasa lemas akibat getaran di tubuh yang membuat langkahnya terhuyung duduk diatas kloset duduk.
Air mata lolos begitu saja diiringi sesak yang menusuk dada hingga suaranya tercekat. Friska mencoba mengatur napas yang mendadak sulit dikendalikan. Udara di dalam kamar mandi itu seperti kekurangan oksigen baginya.
“Sudah kesekian kali seharusnya aku terbiasa, tapi kenapa rasanya masih sesakit ini?” Kembali ia menatap benda berbentuk stik berwarna biru dengan garis satu berwarna merah di ujungnya.
Hari di mana ia selalu melakukan uji tes urine itu dan mendapati hasil serupa, hanya satu yang selalu terucap: Gagal.
Suara isakan kecil lolos dari bibirnya. Wajah menunduk tajam tak sanggup menatap bayangan sendiri di dalam cermin. Hati dan benaknya berkecamuk beradu ketenangan. Namun, hingga air mata terus mengalir, tak juga ia menemukan titik ketabahan. Mungkin ini bukan kali pertama wanita itu melakukan pemeriksaan. Akan tetapi, hasil yang dilihat tak kunjung sama dengan yang diharapkan.
Suara pintu yang diketuk tak juga membuatnya beranjak dari kesedihan. Ia terus terisak sampai suaranya memenuhi sebagian ruangan besar itu. Sementara di luar sana, seorang pria tampan dan gagah terus mengetuk pintu dengan ekspresi yang sulit untuk diartikan.
“Friska, kamu di dalam, kan?” panggil pria yang mengenakan setelan jas hitam dengan kemeja putih didalamnya.
Tak ada sahutan. Pria itu tampak kebingungan. Ia pun lupa membawa cardlock yang tertinggal didalam mobil. Berpikir untuk bergegas menuju parkiran, tetapi di lain sisi ia sangat mencemaskan keadaan seseorang di dalam kamar itu. Hatinya sudah menduga pasti ada yang tidak baik malam ini.
“Ris,” panggil seorang wanita paruh baya dari arah lain.
Pria itu menoleh dan hanya terdiam.
“Friska ke mana?” tanya wanita paruh baya yang model rambutnya di sanggul kuno. Tatapannya sedikit kesal pada pria yang masih mengetuk-ngetuk pintu kamar itu. “Kalian tuh kenapa, sih? main tinggalin acara aja!”
“Fris, kamu di dalam, kah?” Sekali lagi. Pria itu mengetuk dan bersuara.
Hampir lima belas menit pria berjas hitam itu berdiri di depan pintu dan tak mendapatkan apa-apa. Sementara wanita paruh baya di sebelahnya hanya bisa mengomel dan menggerutu tidak jelas.
Akhirnya, wanita yang dicari mulai membuka pintu. Pria itu langsung terkesiap dan melebarkan mata saat melihat wanita bernama Friska mengulum senyum dengan mata sembab yang tak bisa disembunyikan.
“Fris, are you okay?” Faris cemas, sembari memegang kedua sisi lengan Friska.
Wanita yang masih tampak bersedih itu mengangguk pelan dan menatap dengan senyuman pria dihadapannya.
“I’m fine. Sorry, tadi aku ....”
“Kamu tuh kebanyakan drama, Friska!” Belum selesai ia menyelesaikan kalimatnya, tetapi wanita paruh baya itu langsung melangkah dan menginterupsinya. Suara yang pelan, tetapi terdengar tegas itu berhasil membuat Friska sontak terdiam seraya menundukkan wajah.
“Ma, mending Mama balik lagi aja ke taman. Temuin tamu-tamu yang lain. Nanti Faris sama Friska nyusul, kok.” Suara lemah dari Faris pun tampaknya tak diindahkan oleh wanita paruh baya itu.
“Acara ini kan kalian yang mau. Jadi, jangan seenaknya ninggalin acara apalagi sampe bikin tamu pada nungguin!” balas Farida. Lalu, tatapan matanya kembali menatap bengis ke arah menantunya. “Friska, kamu tuh jangan lebay, deh! Mama tau, kok, kamu tuh ceritanya mau bikin surprise untuk ngasih tau kehamilan kamu kan?” Farida menyeringai sinis, “tapi ... kenyataannya nihil lagi!”
Tak sanggup menjawab apalagi menatap, Friska langsung mendengkus dan berbalik badan memasuki kamar. Sementara wanita paruh baya itu hanya bisa melengos dan menatap putranya.
“Tuh, lihat sendiri kan? gimana mau punya anak, kalau kelakuan aja masih kayak anak kecil! Inget umur, Ris! Kalian itu udah hampir menginjak kepala tiga! Ka—”
“Udahlah, Ma. Mending Mama balik lagi aja ke bawah. Friska tuh cuma lagi gak enak badan aja. Kasih kami waktu 15 menit, nanti kami turun, kok.” Faris langsung bergegas menyusul Friska ke dalam kamar seraya meninggalkan ibunya yang malah menggerutu sendiri.
Mata bulat yang indah itu kini dikecupnya. Rasanya sakit jika melihat bidadari hatinya terluka bahkan sampai menitikkan air mata. Kata maaf terus di lontarkan, walaupun ia tahu itu tak akan menjadi obat atas sakit yang selalu ditaburkan oleh mertuanya.
“Maafin mamaku ya, Fris. Aku tau kamu sedang terluka karena hal yang sama.” Faris merengkuh istrinya. Sementara wanita itu langsung menenggelamkan wajah di dada sang suami. Menumpahkan seluruh tangis dan rasa kecewa akan banyak hal yang bahkan ia sendiri pun tak tahu harus menyalahkan siapa.
“Aku yang harusnya minta maaf. Aku terlalu percaya diri sampai mengira hari ini aku benar-benar hamil dan kenyataannya ….” Friska menunduk dalam. Suaranya bergetar. “I’m so sorry, Ris. Aku bakal malu-maluin banget di depan semuanya, di depan acara yang kita buat sendiri.”
Faris mengecup puncak kepala sang istri. Seolah mentransfer kekuatan dan kesabaran untuk bidadari tercintanya.
“Nggak ada yang salah, sayang. Tujuan acara ini kan bukan untuk itu. Ini adalah acara perayaan pernikahan kita yang ke 8 tahun. Hari yang mengingatkan kita pada sebuah perjalanan menuju babak kehidupan yang baru kala itu. Hari yang mengingatkan kita untuk berjanji akan selalu bersama menghadapi pahit manisnya perjalanan kita sampai detik ini.” Faris melepaskan dekapannya dan membungkukkan badan di hadapan sang istri. Menatap lekat manik mata yang masih basah itu.
“Aku mencintaimu, happy anniversary, my love. I hope i love you all my life.” Satu kecupan manis didaratkan oleh Faris di bibir ranum itu, menyesap ketulusan yang dapat menenangkan. Seolah menghapus jejak luka yang terus menganga di hati sang istri.
“I love you too. I hope to be with you forever. Maaf, kalau sampai detik ini aku belum bisa memenuhi impian terbesar dalam pernikahan kita, Ris.” Friska kembali terisak. Sementara Faris hanya tersenyum manis dan menyeka air mata istrinya.
“Impian terbesar dalam pernikahan ini adalah kita akan terus bersama-sama! Apa pun keadaannya. Aku gak pernah menyalahkanmu soal anak, Fris. Percaya aja, mungkin ini belum waktunya buat kita. Mungkin Tuhan memang ingin kita menikmati honeymoon lebih lama lagi,” ujar Faris sembari menyapit lembut hidung mancung istrinya.
Friska pun mengukir senyuman. Hangatnya dekapan suami, lembut tutur katanya seolah memadamkan kobaran kecewa dalam hati. Kini ia mengerti, seburuk apa pun keadaan, jika Faris selalu ada bersamanya, maka semua akan baik-baik saja.
“Turun, yuk. Kasian temen-temen dan tamu yang lain pasti udah nungguin kita,” ajak Faris, kemudian Friska pun mengangguk dan merapikan kembali riasan wajah serta penampilannya.
“Okay!”
***
Senyum dan tawa hangat menghiasi setiap tamu yang hadir. Mereka memadati ruangan dengan kegembiraan dan rasa syukur, berkumpul untuk hari jadi pernikahan Faris dan Friska yang ke 8 tahun. Melodi indah dari alunan musik mengiringi langkah penuh harapan dan kebahagiaan. Suara tepuk tangan pun terdengar meriah saat melihat sepasang suami istri itu kembali hadir di tengah-tengah acara.
Friska hanya tersenyum manis menyapa para tamu yang tadi belum sempat bertemu dengannya. Awalnya, Wanita itu memang menambah rundown acara dengan memberikan kejutan untuk semuanya. Beberapa hari ini ia seperti merasakan seluruh ciri-ciri kehamilan yang nyaris lengkap. Bahkan, ia pun sudah mengalami keterlambatan datang bulan selama 7 hari. Hal tersebut membuatnya begitu yakin, bahwa acara anniversary kali ini akan benar-benar spesial karena hadirnya benih cinta yang diyakini telah tumbuh dalam rahimnya.
Jadilah, Friska diam-diam kembali ke kamar hotel untuk melihat hasil tes kehamilan yang sudah ia lakukan sebelum memulai acara. Namun, ternyata harapan itu runtuh saat melihat hasil tes menunjukkan kenyataan seperti bulan-bulan lalu. Sebuah perasaan hancur yang mungkin tidak semua wanita pernah merasakannya.
Seorang MC berjalan ke arah Faris dan Friska serta mengajaknya berbincang. Ekspresi wajah sang pemandu acara pun tampak kebingungan dan gugup.
“Mbak Friska, untuk acara pregnancy announcement-nya jadi gak?” tanya seorang lelaki tampan yang dipercaya Friska untuk memandu acara wedding anniversary-nya.
Friska dan Faris saling menoleh lalu tersenyum lebar. Tampak pancaran ketabahan terukir di wajah keduanya.
“Cancel aja. Kita langsung ke acara hiburan,” ujar Friska.
“Ohh,” desis lelaki itu dengan mengangguk pelan, ekspresinya datar seolah sudah bisa membaca situasi ini. “Oke, kalau begitu.”
Acara kembali berlangsung, MC pun langsung mengarahkan ke acara berikutnya yaitu pemotongan kue, acara dansa, menyanyi dan lain sebagainya.
Faris dan Friska pun tampak bahagia malam ini. Kesedihan dan kekecewaan seperti sirna dalam sekejap. Teman dan rekan-rekan mereka juga tak banyak yang menyinggung soal penantian buah hati pada pemilik acara, karena beberapa di antara mereka pun banyak yang mengerti bahwa soal keturunan adalah hal yang sensitif untuk dibahas.
Lain hal dengan Farida yang terlihat tidak bersahabat malam itu. Ia duduk dengan ekspresi masam. Membuat Lisda–besannya melangkah mendekat.
“Ada apa, Bu? Apa semuanya baik-baik saja?” tanya Lisda dengan hangat. Ia duduk di kursi yang berada di sebelah Farida.
Wanita paruh baya itu tersenyum kecil dan menjawab, “Baik. Hampir aja, Friska melakukan kesalahan tadi.”
Lisda menautkan alis. Ia menoleh ke arah putrinya yang sedang bersenda gurau bersama teman-teman. “Memangnya ada apa dengan dia?”
Farida mengangkat bahu. “Biasalah, ngambekan aja. Keliru sama keadaannya. Terlalu di manja kali ya sama Bu Lisda dulunya?”
Lisda menghela napas. Di beberapa hal, besannya itu memang agak menyebalkan. Tapi ia tak mau ambil pusing. Mungkin putrinya memang sedang ada masalah saja.
“Lagi ada masalah aja kali, Bu. Sebagai orang tua, saya gak mau berpikir negatif sama anak. Tidak berani berkomentar apa-apa juga soal masalah yang sedang dihadapinya.” Lisda menarik napas. Kemudian ia memilih untuk beranjak.
Farida mencibir dengan tatapan sengit. “Ibu sama anak sama aja kayaknya!”
Ponselnya berdering. Ada sebuah pesan singkat masuk. Farida tersenyum lebar saat mengusap layar dan melihat pesan dari seseorang. Tampaknya begitu spesial untuknya.
Senyumannya semakin merekah saat ia melihat sebuah foto boneka beruang kecil beserta isi pesan di dalamnya.
Farida langsung membuat panggilan telepon dengan nomor itu. Tak lama panggilan pun terhubung.“Hallo, sayang?” sapa Farida dengan santai.“Hallo, Tante, gimana udah lihat hadiah dari Queenza? tadi dia seneng banget habis beliin Tante boneka. Katanya kangen, kok jarang main ke sini lagi?” jawab seorang wanita dari seberang panggilan.“Udah, kok. Cantik banget bonekanya. Oke, besok Tante main ke sana lagi ya. Sekarang lagi ada acara soalnya.” Farida menyesap minumannya.“Acara anniv Mas Faris sama istrinya, ya? oh ya, gimana tuh apa istrinya udah isi?” tanya orang itu.“Belum. Bodo, ah. Jangan bahas itu.” Farida mendengkus pelan. “Hahaha, oke-oke. Oh ya, gak apa-apa kalau Tante belum punya cucu, kan ada Queenza sama bentar lagi adik bayinya launching. Tinggal dua bulan lagi aku lahiran. Tante bisa gendong bayi lagi deh.”“Syukurlah, kalian sehat-sehat ya. Udah gak sabar nih pengen gendong bayi!” Farida tertawa kecil. Tampak asyik sendiri berbincang di telepon bersama seorang wanita yan
“Dia punya pandangan sendiri dalam menjalani hidup. Lagipula, Kendrick tidak memiliki garis keturunan murni dari keluarga Wiratama.” Mbah Putri tersenyum tipis. Sementara Friska melebarkan mata. “Apa? maksudnya gimana, Mbah?” Friska semakin penasaran. “Kendrick anak dari istri kedua. Tapi, saat itu kami sempat keliru. Ternyata, dia bukan darah daging suamiku, melainkan anak kandung dari lelaki lain sebelum kakekmu. Walaupun namanya tertulis di surat wasiat, tetapi dia menolaknya mentah-mentah, memilih pergi dan meninggalkan semuanya di sini. Dia juga tidak ingin menikah,” jelas Mbah Putri. Friska dan Faris termangu. Ini jelas rumit. “Itulah, garis keturunan terakhir berarti ada padamu, Friska. Hanya kamu satu-satunya!” sambung Mbah Putri. Terkesan rumit dan menyebalkan menurut Friska. Pasalnya bukan ia tidak tahu soal pentingnya sang pewaris, melainkan sejak kecil ia tidak pernah bercita-cita pun berminat dalam mengurus sebuah bisnis perusahaan. Baginya itu bidang yang sangat tida
“Hallo, Friska.” Dokter itu pun melebarkan senyuman.Sementara Faris hanya bisa tercengang saat menyadari istrinya dan dokter itu tampak saling mengenal.“Kalian sudah saling kenal?” tanya Faris terheran.Friska tertawa kecil dengan mata yang melebar. “Kamu Zafriel, kan? yang rumahnya sebelah-sebelahan sama Mbah Putri waktu di Jogja?” Dokter itu mengangguk dengan senyum yang membuat gigi rapi dan bersihnya terekspos. Kemudian menjawab, “Ya betul. Anaknya Bu Kirana.” Friska menghela napas seraya mematut-matut. Ekspresinya jelas seperti orang yang sangat pangling dan tidak menyangka.“Ya ampun, kita udah lama banget gak ketemu. Kamu dan Bu Kiran apa kabar?” tanya Friska.“Kami semua baik, kamu sama orang tua gimana kabarnya?” Zafriel bertanya balik.Friska mengangguk dengan senyuman, “Kami juga baik. Eh, Ris, kenalin ini Zafriel, tetangga aku waktu di Jogja, temen kecil aku!” Friska sangat berantusias memperkenalkan keduanya.“Ohh.” Faris mengangguk. Lalu berjabat tangan dengan Zafri
“Program hamil itu gimana, Dok?” tanya Faris.Dokter mengangguk kemudian mulai memaparkan. “Jadi, kalau kalian ikut program hamil, memang ada serangkaian hal yang harus dilakukan guna untuk menunjang terjadinya kehamilan. Contohnya seperti tadi, istri Anda baru saja menjalani langkah awal pemeriksaan USG Transvaginal, lalu setelah ini saya akan memberikan surat rujukan agar pasien melakukan tes laboratorium seperti hormon, juga untuk suami langkah awalnya adalah analisis sperma.” “Perlu dicatat: untuk program hamil, bukan hanya istri saja yang harus melakukan rangkaian pemeriksaan, melainkan suami juga. Dalam hal ini, kesehatan dan kesuburan suami dan istri itu sangat penting. Keduanya harus berkesinambungan.” Dokter menjelaskan.Friska dan Faris mengangguk. “Gunanya analisis sperma itu apa?” tanya Faris lagi.“Hal itu untuk melihat kesuburan dari sisi pria. Dari hasil analisis sperma kita bisa melihat jumlah, gerakan, struktur serta bentuknya. Karena dari beberapa kasus, jumlah sp
“Ada apa, Fris?” tanyaFaris saat melihat ekspresi istrinya yang tampak masam.“Mama apa-apaan, sih.”Friska memperlihatkan sebuah postingan di sosial media Farida.Faris menyipit danmemperhatikan dengan saksama. Setelah menyadari suatu hal, ia pun sontakmelebarkan mata dan mendengkus kesal. Faris terdiam tak bisa berkomentar.“Ternyata mereka masihsering berhubungan ya, Ris?” Friska bertanya. Nada suaranya terdengar takbersahabat.Faris menggeleng.Ekspresi wajahnya pun datar. Dari pergerakan dadanya pun terlihat bahwanapasnya naik turun dengan berat. Rona kekecewaan pun terpancar di sana.“Keterlaluan!” komentarFriska. Ia pun terlihat sangat kecewa.“Blokir aja kalau kamumerasa terganggu.” Faris berujar pasrah. Ia pun bingung harus berkata apa saatmelihat ulah ibunya yang lagi-lagi di luar perkiraan.“Bukan itu masalahnya!”Friska mulai menegang. “Kelakuan mama kamu itu sama aja seperti gak menghargaikita, Ris! Dia ternyata masih akrab banget sama mantan kamu. Apa kataoran
“Iya. Temen main waktu kecil. Lucu deh dia tuh dulu. Kalau ngomongin Zafriel yang aku inget tuh, waktu kita di kejar-kejar anjing tetangga sampe kita naik ke pohon mangga orang, terus malah di kira maling buah!” Friska tertawa teringat masa-masa kecil dengan pria itu. Faris tertawa kecil, lalu kembali bertanya, “Sampe dewasa temenannya?” “Hm ... sampe kita kelas satu SMA sih tepatnya. Karena kan waktu itu Papa sama Mama pindah ke Jakarta. Aku pindah sekolah, terus kuliah dan kerja pun di kota yang sama.” Friska menghela napas, lalu kembali melanjutkan, “Dari situ kita gak pernah ketemu lagi dan lost contact lah ceritanya.” Faris mengangguk, ia memang sudah tahu perjalanan hidup istrinya sejak pindah dari Jogjakarta. Namun, selama lebih dari satu dekade mengenal istrinya, ia belum pernah mendengar tentang teman kecil Friska yang bernama Zafriel itu. Apalagi pria itu yang saat ini juga menjadi dokter konsultan kehamilan mereka. “Lucu juga ya, kalian dipertemukan lagi sekarang. Dia ya
Keesokan paginya, Faris dan Friska sudah meninggalkan kawasan Puncak Bogor dan kembali menuju Jakarta. Tugasnya sudah selesai semua untuk mengawasi jadwal syuting semalam. Sementara para kru dan pemain masih menetap di villa itu, mengingat masih banyak schedule yang harus di selesaikan oleh mereka di tempat itu, sembari menunggu Friska kembali dan membawa pemain baru.Sebelumnya Friska sudah mengirim pesan singkat pada seseorang yang akan ia temui pagi ini, sekaligus untuk menawarkan kerja sama dalam pembuatan series movie yang di adaptasi dari novelnya sendiri. Orang itu menyetujui untuk bertemu di sebuah tempat sarana olahraga, tepatnya di stadium utama GBK Senayan Jakarta yang saat ini tampak ramai oleh pengunjung yang tengah berolahraga pagi, seperti jogging dan bersepeda.Mobil menepi di bahu jalan, Friska kembali menghubungi orang itu sementara suaminya pun mendapatkan sebuah panggilan masuk dari kliennya.“Oh, kamu udah sampe? di sebelah mana?” Friska mengedarkan pandangan. Me
Friska tercekat. Hatinya tiba-tiba merasakan sebuah desiran yang menjalar hingga relung terdalam hatinya. Ia tidak tahu perasaan macam apa ini! Atau mungkin ia memaknai perasaan itu seperti sebuah kerinduan?Namun, saat ini Zafriel tampak berbeda. Apa maksud ucapannya tadi? bergurau atau memang sebuah ungkapan nyata dari hati? Friska tak sanggup berucap, lidahnya kelu dengan tatapan yang masih sama terkejutnya. Bahkan untuk bernapas pun tiba-tiba rasanya begitu sulit. Degup jantungnya pun seperti bersiap ingin perang.Wanita itu berusaha untuk tetap bersikap sewajarnya. Menormalkan kembali perasaannya. Tak bisa dipungkiri, Zafriel pun adalah pria yang sangat rupawan, masih sama seperti dulu. Gadis mana pun tak punya alasan untuk tidak jatuh cinta pada sosok pria itu. Takut kalau-kalau tiba-tiba ia mengagumi pria disebelahnya.Itu mustahil. Friska sudah menikah dan hanya mencintai Faris, suaminya.Friska berdeham kecil.“I’m sorry, Zaf. I’m not good at saying goodbye.” Tiba-tiba saja pe