Keesokan paginya, Faris dan Friska sudah meninggalkan kawasan Puncak Bogor dan kembali menuju Jakarta. Tugasnya sudah selesai semua untuk mengawasi jadwal syuting semalam. Sementara para kru dan pemain masih menetap di villa itu, mengingat masih banyak schedule yang harus di selesaikan oleh mereka di tempat itu, sembari menunggu Friska kembali dan membawa pemain baru.
Sebelumnya Friska sudah mengirim pesan singkat pada seseorang yang akan ia temui pagi ini, sekaligus untuk menawarkan kerja sama dalam pembuatan series movie yang di adaptasi dari novelnya sendiri. Orang itu menyetujui untuk bertemu di sebuah tempat sarana olahraga, tepatnya di stadium utama GBK Senayan Jakarta yang saat ini tampak ramai oleh pengunjung yang tengah berolahraga pagi, seperti jogging dan bersepeda.
Mobil menepi di bahu jalan, Friska kembali menghubungi orang itu sementara suaminya pun mendapatkan sebuah panggilan masuk dari kliennya.
“Oh, kamu udah sampe? di sebelah mana?” Friska mengedarkan pandangan. Menilik ke berbagai arah mencari orang yang di maksud.
“Ohh, itu yang pake hoodie biru navy, ya? oke-oke, tunggu aku ke situ ya!” katanya dan langsung mengakhiri panggilan.
Ia menoleh pada suaminya yang masih tampak sibuk menerima panggilan telepon. Sembari menunggu, Friska memakai sepatu sneakers-nya, ia pun sudah siap dengan setelan olahraga yang kebetulan memang sudah dipersiapkan sejak kemarin. Sebenarnya ia dan suaminya berniat untuk olahraga bersama di sisa waktu cuti mereka, namun karena ada banyak kendala, akhirnya waktu untuk berolahraga berdua harus di pending.
“Sayang, sorry banget, nih. Pak Albert minta ketemu pagi ini di proyek!” Faris tampak resah, merasa tak enak hati pada istrinya.
“Begitu? dadakan banget, Ris?” tanya Friska.
“Hari ini dia mau balik ke Netherlands, tapi sebelum itu dia mau memastikan dulu proyek yang lagi aku jalanin ini gimana. No more time, and no more choice.” Faris menghela napas.
Friska tersenyum lebar lalu berkata, “Okay. No problem, kalau gitu aku sendiri aja gak apa-apa, Ris. Kamu selesaikan tugasmu dan aku selesaikan tugasku. Kabarin kalau udah beres ya!”
Faris mengusap lembut pipi istrinya seolah memberikan semangat dan kata maaf karena tak bisa menemaninya bertemu dengan seseorang.
“I’m sorry! semangat ya.”
“Kenapa harus minta maaf? gak ada yang salah, kok.” Friska terkekeh sembari mencubit kecil lengan suaminya. “Kamu juga semangat ya. Ya udah, aku turun dulu kalau gitu. Hati-hati dijalan!”
Friska keluar dari mobil dan menunggu suaminya beranjak sampai hilang dari pandangan. Ia termenung sejenak sampai suara seorang pria membuyarkan lamunannya.
“Hai, Fris.”
“Eh! Hai, Zafriel.” Friska menoleh lalu balik menyapa.
“Suamimu gak ikut?” tanya pria itu yang tak lain adalah Zafriel.
“Nggak! dia ada pertemuan sama kliennya di proyek.” Friska tersenyum lalu mereka berdua berbalik badan dan melangkah memasuki stadium utama itu.
“Kamu udah lama nunggu, Zaf?” tanya Friska. Tentu saja pagi ini orang yang akan ia tawari job itu adalah Zafriel.
“Nggak terlalu lama, kok. Baru 15 menitan lah. By the way, kamu serius dari Puncak?” tanya Zafriel. Sebelumnya mereka sudah berkomunikasi melalui pesan singkat. Friska pun memberitahu jika ia terlambat mohon untuk dimaklumi, mengingat posisinya berada di kota lain.
Friska terkekeh lalu menjawab, “Iya, nih. Semalam habis dari RS aku langsung ke Puncak. Ke lokasi syuting. Soalnya kasian anak-anak kru di sana gak ada yang handle!”
“Waw, sibuk banget kayaknya kamu. Tapi suamimu juga kayaknya orang sibuk. Kalian sama-sama sibuk!” kekeh Zafriel.
Posisi mereka saat ini sedang berbincang sembari berjalan santai di kawasan stadion besar itu.
“Yahh, begitu, deh. Makanya banyak yang bilang kami belum punya anak karena sama-sama sibuk!” kata Friska.
“Oh ya, kamu emang rutin banget ke sini dan olahraga?” tanya Friska.
“Hmm, minimal 3 kali aja seminggu! abisnya kalau gak digerakkin nih badan malah gampang sakit aku!” ujar Zafriel dengan senyuman tipis diwajahnya.
Friska mengangguk dengan menaikkan alisnya.
“Pantes. Sehat dan bugar banget. Body-body atletis!” katanya sembari meninju kecil lengan pria disebelahnya yang tampak berotot tercetak dibalik jaket hoodie. Yang di puji malah tergelak.
“Aku sama suami malah gak sempet terus mau olahraga!” sambung Friska.
“Sempatin aja minimal 20 menit lah. Apalagi kalian kan lagi program hamil, dua-duanya harus sehat dan ideal. Life style juga harus di perbaiki. Dan salah satunya dengan berolahraga.” Zafriel menoleh pada Friska yang hanya mengangguk.
“Sama aja gak sih kayak aktivitas sehari-hari? kayak kita bergerak sana-sini, naik turun tangga dan lain-lain? bukannya sama-sama bakar kalori juga?” tanya Friska.
“Betul, segala aktivitas bergerak pasti akan membakar kalori. Tapi jangan samakan porsi olahraga dengan aktivitas. Keduanya berbeda. Ada unsur lain yang terbentuk dalam tubuh selama berolahraga, dan itu mengaktifkan beberapa kerja hormon penting dalam tubuh manusia yang gak didapat hanya dengan beraktivitas aja.” Zafriel menjelaskan dengan santai.
“Ohh, begitu?!” gumam Friska. “Pantesan aja tadi kamu nolak di ajak ketemuan di Mcd. Dan lebih milih tempat ini!” kekeh Friska.
Zafriel tersenyum lebar dan bertanya, “kamu laper gak?”
“Belum terlalu laper, sih. Why?” kata Friska.
“Aku bawa cemilan pagi. Aku bawa lebih tadi, niatnya mau berbagi sama kamu dan suamimu,” ujar Zafriel, membuat Friska melebarkan mata.
“Waw, makasih loh, Zaf.”
“Nggak apa-apa. Aku emang biasa bikin lebih, kok. Biasanya aku ke sini sama Mama atau sama Yoana. Tapi mereka lagi sama-sama sibuk, jadi udah beberapa waktu ini aku sendiri dan beruntungnya hari ini ada temannya lagi,” ucap Zafriel sambil menyunggingkan senyum manisnya.
Friska terdiam sejenak. Mencerna kalimat utama.
“Yoana itu ....”
“Junior aku di kampus. Kebetulan dia lagi coas di RS tempat aku praktek sekarang.”
“Ohh.”
Friska dan Zafriel saat ini memilih duduk di sebuah tempat yang nyaman untuk beristirahat. Pria itu pun memberikan sebotol minuman segar pada Friska, lalu ada sebuah kotak sarapan pula yang ia persiapkan.
“Wahh seger banget nih, isinya apa?” tanya Friska sembari memperhatikan minuman berwarna hijau gelap yang tampak menyegarkan.
“Bayam, nanas, timun, apel. Fresh juice! tanpa tambahan gula. Terus dikotak itu ada roti slice gandum yang isinya mashed avocado.” Zafriel kemudian meneguk minuman segar itu.
“My favorit. Avocado sandwich. Hehe! Paket lengkap sarapan sehat.” Friska tertawa. Ia pun tidak sabar untuk mencicipinya. “Enak banget! ini menu sarapan terenak menurut aku. Gak bikin begah perut, dan kenyang tahan lama. Tapi semenjak banyak deadline, aku jadi jarang banget sempetin sarapan sehat begini, Zaf.”
“Oh ya? beli yang udah jadi aja kalau gitu!” usul Zafriel.
“Niatnya sih gitu, kalau fresh juice begini gampang nyarinya, tapi kalau menu sarapan sandwich sehat gini yang bingung nyarinya!” kata Friska.
“Pesen aja sama aku!” balas Zafriel sembari terkekeh.
“Serius, kamu jualan juga?” tanya Friska.
Pria itu tertawa kecil. “Yaah ... kalau langganan setianya kamu sih kayaknya aku mau coba buka usaha juga. Sampingan selain jadi dokter obgyn!”
Friska tergelak. “Boleh-boleh.”
“Oh ya, jadi ... gimana sama tawaran aku semalam?” tanya Friska. Ia memulai perbincangan mengenai tujuan utamanya.
Zafriel terdiam beberapa detik. Alisnya mengkerut dan mulai bertanya serius. “Emangnya itu gimana sih sistemnya? kamu tuh jadi produser atau sutradara film?”
“Dua-duanya. Hehe! Abisnya ini kan masih PH kecil sebetulnya. Jadi aku double job.” Friska terkekeh saat melihat ekspresi Zafriel yang tertegun. “Kita lagi kekurangan pemain 2 orang. Cowok cewek. Pengganti tokoh utama!” jawab Friska.
Pria itu tampak berpikir kemudian kembali bertanya, “Pengganti tokoh utama? ini adaptasi buat novel yang judulnya ‘The Meaning Of Encounter’ bukan?”
Friska melebarkan mata dan menatap Zafriel dengan ekspresi yang sulit untuk digambarkan.
“Eh! Kamu tau novel aku yang itu?”
“Udah aku tamatin baca setahun lalu!” Zafriel menyengir. Memperlihatkan giginya yang putih dan rapi.
Sementara Friska tertegun mendengarnya. Lebih pada tak menyangka ternyata teman kecilnya mengoleksi karya novel.
“Sejak kapan kamu suka baca novel, Zaf?” tanya Friska.
“Sejak ke toko buku dan melihat novel best seller yang judulnya ‘Leaving In White’ Karya Fris.P.Tama.” Zafriel tersenyum tipis kemudian menilik Friska yang tampak tercengang dengan mulut menganga.
Wanita itu tak bisa berkata-kata. Ia hanya terus menatap lekat Zafriel yang kembali berujar.
“Novelnya bagus. Pantes aja jadi best seller. Terus aku koleksi lagi karya-karya berikutnya, dan ternyata gak nyesel udah beli. Akhirnya ... aku ngefans deh sama penulisnya, pas aku cari tau ternyata sekarang penulisnya sendiri yang nawarin aku jadi visualisasi tokoh novelnya!”
Zafriel menilik kembali pada Friska yang saat ini tengah tergelak. Selama ini rupanya ia sudah mengoleksi hampir seluruh karya-karya teman kecilnya itu. Friska pun memang menamai karyanya dengan nama pena ‘Fris.P.Tama’ sebagai singkatan dari nama lengkapnya yaitu: Friska Puspita Wiratama.
“Lucu, ih. Aku gak tau kalau kamu suka baca. Setahu aku dulu tuh kamu paling hobinya ya olahraga kayak begini,” ucap Friska.
“Gimana kamu mau tau tentang aku, gak lama baru masuk SMA aja kamu udah pindah. Gak ngasih kabar dan pamitan juga. Curang!” kata Zafriel yang tampak meledek.
“Abisnya dulu tuh aku emang taunya mendadak. Satu minggu sebelum pindahan baru dikabarin sama ortu. Aku pikir becanda, ternyata beneran. I’m sorry.” Friska menghela napas perlahan,
Entah mengapa kepergiannya 15 tahun yang lalu ternyata seperti meninggalkan kekecewaan diwajah Zafriel.
“Nggak perlu minta maaf. Gak ada yang salah, kok. Hanya saja ... kita harus mulai memahami beberapa makna kehidupan, salah satunya arti dari pertemuan dan perpisahan.” Zafriel tersenyum getir, kemudian melanjutkan. “Aku senang udah mengenal kamu dengan baik, Fris. Dan, setelah kamu pergi, doaku tetap sama. Semoga sahabat kecilku ini selalu bahagia dimana pun dan dengan siapapun! And ... one day, i hope we can meet again.”
“Benarkah? berarti pertemuan kita saat ini adalah jawaban dari doa-doa kamu, Zaf.” Friska menatap pria di sebelahnya.
“Ya. Aku bersyukur bisa ketemu kamu lagi setelah 15 tahun lamanya kita berpisah.” Zafriel pun menoleh dan menatap wanita disebelahnya. Mata mereka beradu, ada sorot kebahagiaan terpancar.
“Kamu masih sama. Cantik dan meneduhkan.” Zafriel mengunci tatapan mereka. Entah sadar atau tidak, ekspresi pria itu terkesan sangat mengagumi sosok wanita di dalam tatapan itu. Kini Zafriel semakin serius dan intens menatap Friska yang tengah termangu. “Semuanya yang ada dalam dirimu masih sama. Hanya saja ... perbedaannya adalah kamu telah di miliki. Andai itu belum, mungkin aku sudah menarikmu dalam dekapanku.”
Friska tercekat. Hatinya tiba-tiba merasakan sebuah desiran yang menjalar hingga relung terdalam hatinya. Ia tidak tahu perasaan macam apa ini! Atau mungkin ia memaknai perasaan itu seperti sebuah kerinduan?Namun, saat ini Zafriel tampak berbeda. Apa maksud ucapannya tadi? bergurau atau memang sebuah ungkapan nyata dari hati? Friska tak sanggup berucap, lidahnya kelu dengan tatapan yang masih sama terkejutnya. Bahkan untuk bernapas pun tiba-tiba rasanya begitu sulit. Degup jantungnya pun seperti bersiap ingin perang.Wanita itu berusaha untuk tetap bersikap sewajarnya. Menormalkan kembali perasaannya. Tak bisa dipungkiri, Zafriel pun adalah pria yang sangat rupawan, masih sama seperti dulu. Gadis mana pun tak punya alasan untuk tidak jatuh cinta pada sosok pria itu. Takut kalau-kalau tiba-tiba ia mengagumi pria disebelahnya.Itu mustahil. Friska sudah menikah dan hanya mencintai Faris, suaminya.Friska berdeham kecil.“I’m sorry, Zaf. I’m not good at saying goodbye.” Tiba-tiba saja pe
Hening beberapa saat. Zafriel hanya merespon dengan senyuman tipis diwajah tampannya. Kemudian ia menarik napas dan membuangnya dengan perlahan. “Punya. Satu tahun setelah kamu pindah, aku sempat punya teman dekat, cewek. Cuma ... kita pacaran nggak lama, kurang dari satu tahun udah putus!” jelas Zafriel. “Waw. Mantan pertama kamu dong itu?” tanya Friska. “Bisa di bilang begitu,” ucap Zafriel. “Kenapa putusnya kalau boleh tau, Dok?” Faris menilik ke arah center mirror. “Hmm ... ngerasa gak nyaman aja. Haha!” kata Zafriel dengan lugas. Friska pun tertawa renyah. Sejauh ia mengenal pria itu, ia memang tidak pernah tahu tipikal perempuan seperti apa yang disukai oleh Zafriel. “Kamu atau dia yang mutusin?” tanya Friska yang saat ini menjadi sangat kepo pada kehidupan teman lamanya itu. Yang ditanya pun hanya bisa tertawa kecil. Sembari menaikkan kedua alisnya. Sebetulnya kisah masa lalunya dengan seorang perempuan sangat tidak menarik untuk dibahas. Karena bagi Zafriel memang tidak
Senyum bahagia terpancar di sana. Bocah kecil itu pun menerima jajanan berbentuk karakter kartun yang sangat lucu. Ia tertawa renyah dan berterima kasih pada sang penjual. Faris pun memberikan satu lembar uang untuk membayarnya. Tangan mereka saling terpaut, gadis kecil itu terlihat sangat nyaman didekat pria itu. “Terimakasih, Om Faris. This is my favorite snack. Would you like try it?” kata gadis kecil itu yang bibirnya sudah belepotan dengan kembang gula. Faris membungkuk dan kemudian menyejajarkan posisinya dengan gadis kecil itu. Ia tersenyum hangat sembari mengusap lembut puncak kepala gadis kecil dihadapannya. “Tidak. Ini untukmu saja. Habiskan ya. Oh ya, satu lagi, jangan terlalu sering makan snack yang manis-manis ya, cantik. Nanti gigi kamu berlubang!” ujar Faris, membuat gadis kecil itu melebarkan mata dengan mulut yang terbuka. “Apa itu benar?” katanya yang terkejut. Faris mengangguk dan tertawa kecil. “Kalau keseringan, bisa seperti itu. Makanya, kamu harus rajin meng
Faris melebarkan mata. Ia memposisikan tubuh Friska agar berada dihadapannya. Mata mereka saling bertemu, ekspresi sedih itu mengungkapkan perubahan drastis yang terjadi pada wajah sang istri. Sejenak sebelumnya, Friska terlihat begitu bersemangat setelah menyelesaikan syuting hari itu, namun sekarang ekspresinya berbeda sekali. “Loh ... kok kamu ngomong gitu, sih?” Faris terus menatap istrinya. Terheran, mengapa tiba-tiba Friska berkata demikian. “Dengar aku, sayang. Apa pun yang terjadi sama kita, itu bukan kesalahanmu, atau kesalahan siapa-siapa. Ini adalah garis takdir yang harus kita jalani. Aku bahagia sama kamu, dan kamu pun begitu, kan?” Friska menarik napas dalam. Mencoba menormalkan kembali suasana hatinya. Ia menyeka pipi dan kini matanya beradu dengan sang suami. Ada ketulusan dan cinta yang selalu terpancar di dalam sana. Tatapannya amat sangat meneduhkan, tetapi hal itu seperti kembali menghujam hati Friska setiap kali terbayang betapa jahatnya ucapan orang-orang yang s
Lengang sesaat. Ada saja cerita-cerita aneh Yoana tentang kakaknya. Namun, kali ini tampaknya ada yang janggal. “Teman arisan kali,” pikir Zafriel. “Sejak kapan dia suka arisan-arisan?! ketemu sama temannya mama aja kadang ogah-ogahan, ada mertuanya pulang dari luar negeri aja malas basa basi dia. Ini tuh dia kayak udah akrab lamaaaa banget sama tuh ibu-ibu. Lengket banget gitu, Kak. Kayaknya ... yang usulin bikin acara besar juga ya sama si ibu itu kali!” kata Yoana. Zafriel mengangkat alis. Ia memang sudah lama mengenal Yoana, bahkan gadis itu amat sangat terbuka tentang keluarganya—terkadang membuat Zafriel pun turut dibawa pusing oleh cerita-ceritanya. Pasalnya, kakak perempuan dari Yoana itu pun adalah pasiennya. “Ya udah, gak usah terlalu di pikirin deh, Yoa. Harusnya enak dong, berkat ada si ibu-ibu itu, Gege jadi gak gangguin kamu buat minta temenin ke sana ke sini, hahaha!” canda Zafriel. Membuat suara tawa terdengar dari seberang panggilan.
“Tapi kita juga jangan menormalkan sesuatu yang gak seharusnya!” ujar Faris. Ekspresinya sangat datar. “Mau gimana lagi, Ris? Mamamu kan terobsesi banget pengen punya cucu. Sementara kita gak bisa kasih dia apa-apa bahkan pengertian kecil pun selalu dia abaikan!” seru Friska. Faris hanya terdiam, benaknya sangat penuh saat ini. Apa jadinya kalau Friska mengetahui sesuatu dibalik itu semua. Malam semakin larut, mereka akhirnya tiba di kediaman orang tua Faris. Seorang gadis cantik berambut ikal cokelat sebahu langsung menyambut kedatangan mereka. “Kalian pasti sering banget keluyuran malem-malem ya?” kata Amara. Faris masih terdiam. Tak menggubris. Sementara Friska langsung memeluk singkat adik iparnya itu. “Bukan keluyuran. Habis ada kerjaan deadline.” Friska tersenyum hangat. Amara hanya mengangguk kecil. Pasalnya, tanpa dijelaskan detail pun, gadis itu sudah mengetahui tentang kesibukan Faris dan istrinya. Ia hanya b
“Ingat Amara! segala sesuatu ada batasannya!” Faris kemudian langsung melangkah cepat ke arah istrinya. Sementara Friska berbalik badan, kemudian hendak beranjak, tetapi Faris langsung menahan lengannya. Ia pun sempat melihat ada buliran bening yang menitik dari pelupuk mata istrinya. “Jangan pergi, Fris! Aku mohon!” Faris berusaha mendekap Friska. “Friska, maafkan aku!” ucap Faris dengan suara gemetar, mencoba menahan kesedihannya. Friska terdiam sejenak, ekspresinya sulit untuk diartikan. Lalu akhirnya ia berkata, “Kita pulang aja, yuk.” Belum ada jawaban dari suaminya, tiba-tiba terdengar suara langkah seseorang mendekat dari ruang tengah menuju halaman samping. Faris dan Friska menoleh bersamaan, dan mereka melihat seorang pria dengan pakaian formalnya datang mendekati mereka. “Eh, kalian berdua ada di sini?” sapa pria tersebut, yang tak lain adalah Gandha, ayah Faris. Faris mendekati ayahnya. Dalam sekejap, ia mencoba meng
“Justru karena kita mengenal baik siapa pemiliknya! ini bisa menjadi kesempatan besar untuk kita, Pa.” Farida sangat berantusias. “Papa nggak yakin! andaikan kita berhasil dalam proyek itu, apa tidak akan menyakiti perasaan Faris? Atau ... justru perusahaan Wiratama pun akan mempertimbangkan lagi kerja samanya dengan kita.” Gandha terlihat gusar. “Faris gak perlu kecewa sama keputusan kita. Toh, dia tidak turut andil apa-apa dalam proyek ini!” kata Farida. “Kenapa kamu bicara begitu? bagaimanapun nama Faris ada dalam perusahaan kita. Bahkan, sebagian besar sahamnya atas nama dia! kalau kita bekerja sama dengan CHANDLER, otomatis harus ada persetujuan dari Faris. Papa yakin, dia pasti menolak mentah-mentah!” tegas Gandha. “Sudahlah, papa mau ke kamar dulu. Soal investor, sepertinya kita tetap percayakan pada perusahaan besan saja! belasan tahun kita bekerja sama, pasti mereka mau membantu kita.” Seru Gandha. “Tapi, Pa. Ini kesempatan bagus dari
“Aku akan lebih tega jika membiarkan dia berpisah dengan seseorang yang sangat dicintainya. Ma, kita hanya tidak sadar, kalau yang membuat Friska bisa bertahan sejauh itu hanyalah karena suaminya!” Zafriel menegaskan.Perasaannya mendadak tergoncang saat ini. Tetapi ia tidak mau terkalahkan oleh akal sehat.“Lupakan perjodohan itu! Aku akan tetap menjadi seorang dokter yang akan membantunya mewujudkan mimpi mereka untuk mendapatkan anak!” seru Zafriel pada akhirnya. Ia tidak ingin menjadi jahat jika menyetujui perjodohan konyol itu.Kirana menatap serius ke arah putranya dan kembali berujar.“Kamu munafik, Nak. Mama tau betul kamu sangat menginginkan dia! Kamu juga tidak ingin dia menangis karna terus menerus tersiksa batinnya. Ayolah, Nak. Perjuangkan dia sekali lagi! Dapatkan dia, dan bahagiakan dia!” Mendadak Kirana tersulut emosional dan justru mendukung perjodohan itu.“Tidak! Aku akan menjadi pencuri kalau seperti itu, Ma.” Zafriel tetap menolak.“Bukan! Kamu bukan pencuri! Kamu
“Apa-apaan ini?” gumam Friska yang masih tak percaya. Degup jantunya seperti berhenti berdetak.“Kami yakin, Zafriel adalah pria yang tepat untukmu. Dia pasti bisa membahagiakan kamu seperti Faris!” ucap Arya dengan yakin.“Tidak!!” tolak Friska cepat dan tegas. Membuat suasana menjadi semakin tegang. Friska tak pernah sebelumnya terlihat sangat tegas dan marah dihadapan keluarganya.Mungkin kali ini emosinya sudah tidak bisa dibendung lagi. Banyak yang terjadi belakangan ini, dan semuanya karena satu persoalan, yaitu perihal keturunan. Suatu hal yang sangat sensitif di beberapa kalangan yang begitu mengharapkan.“Sudah cukup! Aku tidak mau berdebat lebih jauh lagi! Ini sudah terlalu berlebihan, Pa!” Napas Friska naik turun dengan berat. Tubuhnya mulai merasakan getaran akibat menahan tangis dan emosi. Daripada meledak, Friska memilih untuk menyudahi pertemuan itu.“Apa pun yang terjadi denganku
“Mama benar-benar keterlaluan! Kenapa sih dia ambisi banget sama keluarga itu?” Kini Amara yang terlihat sangat kesal.“Itulah, kelemahan papa, tidak bisa mengendalikan keinginan mamamu yang satu itu!” ucap Gandha.“Itu bukan kelemahan Papa. Tapi emang Mama-nya aja yang gak bisa di kasih tau!” ketus Amara.“Ya udah. Sekarang kita ke rumah sakit aja!” sambung Amara. Saat melihat ayahnya dalam keadaan yang kurang sehat.“Loh kenapa ke rumah sakit? Kita kan mau ke bandara!” kata Gandha.“Gimana aku bisa pergi kalau keadaan Papa kayak gini? Yang ada nanti Papa kenapa-napa sendirian!” ujar Amara yang melepas seat belt dan hendak menggantikan ayahnya untuk mengemudi mobil.“Papa udah lebih baik kok, Nak.” Gandha berusaha tersenyum.“Ya udah, kalau gitu kita pulang aja ke rumah. Papa harus istirahat biar aku balik ke Jerman lusa aja!” ujar Amara.Jadilah, Amara dan ayahnya memilih untuk pulang ke rumah. Sementara itu di lain tempat, Friska dan ayahnya beserta Mbah Putri sudah berada di sebu
“Apa yang Anda bicarakan, Bu Ratna?” Farida seolah tercenung melihat kedatangan Raden Arya juga ibunya itu.“Ucapanmu itu sudah sangat keterlaluan! Bukan hanya ucapan bahkan sikap dan perilakumu pada cucuku sudah tidak bisa dimaafkan!” tandas Mbah Putri.“Tapi apa yang saya bicarakan itu semua fakta! Memang Friska yang bermasalah dalam hal ini!” ujar Farida yang masih tampak angkuh.Mbah putri menghela napas dan menyeringai sinis. Sementara Friska hanya berdiri mematung. Ia enggan untuk bersuara lagi. Lelah berdebat dengan orang tua yang sangat egois itu.“Memangnya kamu punya bukti apa sampai mengira cucuku mandul? Apakah kamu sudah melihat rangkaian pemeriksaan medis? Lalu, bagaimana jika ternyata putramu yang bermasalah?” Mbah Putri menatap penuh menantang.“Itu tidak akan terjadi!” balas Farida.“Bu, sudahlah. Ingat! Apa tujuan kita datang ke rumah sakit ini!” bisik
Wajah gadis itu tampak penuh dengan kesedihan dan keterkejutan.“Ada apa, Yoana? Kenapa kamu menangis?" tanya Zafriel yang tampak terheran. Kemudian Yoana duduk di kursi yang berdekatan dengan Friska.Friska pun mengusap bahu Yoana yang bergetar. Perempuan itu masih berusaha keras untuk menenangkan diri sambil terisak-isak."Orang tua kami ...," suaranya gemetar.“Kamu harus mencoba untuk tenang, Yoana," ujar Friska sambil mengusap lembut bahu Yoana.Beberapa saat berlalu dalam keheningan. Zafriel dan Friska memberikan Yoana waktu yang untuk bisa mengendalikan diri.Akhirnya, Yoana bisa mengatur napasnya kemudian perlahan menjelaskan.“Mama dan Papa ... mereka mengalami kecelakaan tunggal, Kak,” ucap Yoana dengan suara parau.“Benarkah? Kecelakaan?” Zafriel bertanya dengan sorot mata yang penuh kekhawatiran.“Mereka mengalami kecelakaan beberapa jam lalu di Malaysia. Saat aku akan menyusul ke sana, pihak rumah sakit mengabari kalau mereka tidak bisa diselamatkan dan... meninggal.” Yoa
Gladies tersenyum tipis. Ia memang selalu berlebihan dalam hal apa pun, bahkan tanpa persetujuan orang tuanya, ia berani menjanjikan kerja sama antara perusahaan orang tuanya dengan perusahaan keluarga Faris. Itu fatal sekali.Untung saja Faris memiliki saham besar di perusahaan keluarganya sehingga apa pun yang terjadi tetap harus atas persetujuannya. Friska pun tidak tega melihat kegusaran ayahnya karena kesalahpahaman itu. Karena dana yang disuntikan pada perusahaan Gandha bukan jumlah yang main-main.“Oke, aku mengerti. Tapi terlepas soal itu semua, aku benar-benar minta maaf karena telah membuat kamu sedih, Friska. Karena mertuamu lebih sayang padaku dari pada kamu!” ucap Gladies yang kali ini mengalihkan topik.Sementara Friska hanya mendengus perlahan. Baginya Gladies seperti ABG yang hobi-nya mencari pengakuan.Friska menyeringai kecil seolah sangat jijik dengan pernyataan Gladis yang sama sekali tidak membuatnya merasa direndahkan. Justru Friska semakin memahami wanita sepert
Friska menghela napas panjang. Untuk apa juga wanita itu menghubunginya? Namun, Friska tak mau banyak mengambil pusing, soal mertuanya saja sudah cukup membuat hati dan kepalanya hampir meledak penuh kesal.Kemudian ia hanya membalas seperlunya saja, yang menunjukkan kalau ia bersedia untuk bertemu. Gladies juga yang menyarankan lokasi tempat mereka akan bertemu. Friska hanya mengikutinya saja.“Apa pun yang mau dia bicarakan, aku tetap harus mengambil sikap tegas juga, Ris.” Besok paginya Friska berbincang dengan suaminya di telepon. Memberi tahu soal ajakan Gladies.“Iya tapi apa perlu kalian bertemu? Aku yakin, wanita itu hanya ingin mempermainkan kamu aja, Sayang! Maksudku ... mungkin aja dia mau memperkeruh keadaan!” ujar Faris di seberang panggilan.“Itu kekanak-kanakan banget, Ris. Lagian, anggap aja ini sebagai teguran awal buat Gladies supaya gak mengusik hidup kita!” kata Friska.Faris menghela napas di seberang panggilan.“Sayang, selain membahas soal kedekatan dia sama mam
Friska menyeka air mata, kemudian menyalami nenek juga ayahnya. Mereka kemudian duduk bersama di ruang tamu. Membicarakan hal yang cukup serius ini. Setiap sebulan sekali, neneknya itu memang akan berkunjung ke rumah putranya. Kebetulan sekali saat kedatangannya kali ini ada Friska juga di sana. “Maksud Mbah putri apa?” tanya Friska. “Kamu dibilang mandul oleh mertuamu kan?” kata Mbah putri. Friska hanya menunduk lemah. Jika sedang bersikap tegas, wanita tua itu terlihat lebih mengerikan. “Memangnya kalian sudah sejauh apa memeriksakan kesehatan sampai si Farida itu menyimpulkan kalau kamu yang mandul?” tanya Raden Arya, ayah Friska. “Kami baru sekali ke dokter kandungan, Pa.” Kata Friska. “Terus apa kata dokter?” tanya Arya. “Kondisi aku terakhir hanya gangguan hormon karena terlalu stress. Sisanya keadaan rahimku baik. Itu pun hanya di lihat dari pemeriksaan USG aja. Kami belum konsultasi lebih jauh lagi,” ujar Friska. “Terus keadaan suamimu gimana?” tanya Arya lagi. “Faris
“Aku bisa melihat dengan jelas dari wajahmu, Fris.” Zafriel menatap lurus. Meski sudah tidak ada air mata, tetapi sorot sendu di wajah Friska tetap tidak bisa disembunyikan.Friska menelan ludah dengan berat. Darah dalam tubuhnya terasa mendidih terbayang bagaimana acara di dalam tadi. Merasa sudah dikhianati oleh keluarga suaminya sendiri, bahkan oleh Zafriel yang sebenarnya tidak tau apa-apa.“Aku permisi, Zaf.” Friska langsung memasuki mobil saat melihat dari arah lain Amara tengah melihatnya dengan ekspresi kebingungan.“Friska, tunggu!” Zafriel kembali memanggil. Tetapi wanita dalam mobil itu tak lagi menghiraukan dan memilih beranjak cepat-cepat.Pria itu hanya bisa menatap hingga mobil Friska menghilang dari pandangan. Hatinya merasa sangat resah dan kasihan melihat teman lamanya itu. Jadilah, Zafriel pun memilih kembali ke tengah-tengah acara.Namun, tujuannya bukan untuk melanjutkan acara, melainkan berpamitan dengan sang pemilik acara. Bagaimanapun ia datang baik-baik dan ha