Keesokan paginya, Faris dan Friska sudah meninggalkan kawasan Puncak Bogor dan kembali menuju Jakarta. Tugasnya sudah selesai semua untuk mengawasi jadwal syuting semalam. Sementara para kru dan pemain masih menetap di villa itu, mengingat masih banyak schedule yang harus di selesaikan oleh mereka di tempat itu, sembari menunggu Friska kembali dan membawa pemain baru.
Sebelumnya Friska sudah mengirim pesan singkat pada seseorang yang akan ia temui pagi ini, sekaligus untuk menawarkan kerja sama dalam pembuatan series movie yang di adaptasi dari novelnya sendiri. Orang itu menyetujui untuk bertemu di sebuah tempat sarana olahraga, tepatnya di stadium utama GBK Senayan Jakarta yang saat ini tampak ramai oleh pengunjung yang tengah berolahraga pagi, seperti jogging dan bersepeda.
Mobil menepi di bahu jalan, Friska kembali menghubungi orang itu sementara suaminya pun mendapatkan sebuah panggilan masuk dari kliennya.
“Oh, kamu udah sampe? di sebelah mana?” Friska mengedarkan pandangan. Menilik ke berbagai arah mencari orang yang di maksud.
“Ohh, itu yang pake hoodie biru navy, ya? oke-oke, tunggu aku ke situ ya!” katanya dan langsung mengakhiri panggilan.
Ia menoleh pada suaminya yang masih tampak sibuk menerima panggilan telepon. Sembari menunggu, Friska memakai sepatu sneakers-nya, ia pun sudah siap dengan setelan olahraga yang kebetulan memang sudah dipersiapkan sejak kemarin. Sebenarnya ia dan suaminya berniat untuk olahraga bersama di sisa waktu cuti mereka, namun karena ada banyak kendala, akhirnya waktu untuk berolahraga berdua harus di pending.
“Sayang, sorry banget, nih. Pak Albert minta ketemu pagi ini di proyek!” Faris tampak resah, merasa tak enak hati pada istrinya.
“Begitu? dadakan banget, Ris?” tanya Friska.
“Hari ini dia mau balik ke Netherlands, tapi sebelum itu dia mau memastikan dulu proyek yang lagi aku jalanin ini gimana. No more time, and no more choice.” Faris menghela napas.
Friska tersenyum lebar lalu berkata, “Okay. No problem, kalau gitu aku sendiri aja gak apa-apa, Ris. Kamu selesaikan tugasmu dan aku selesaikan tugasku. Kabarin kalau udah beres ya!”
Faris mengusap lembut pipi istrinya seolah memberikan semangat dan kata maaf karena tak bisa menemaninya bertemu dengan seseorang.
“I’m sorry! semangat ya.”
“Kenapa harus minta maaf? gak ada yang salah, kok.” Friska terkekeh sembari mencubit kecil lengan suaminya. “Kamu juga semangat ya. Ya udah, aku turun dulu kalau gitu. Hati-hati dijalan!”
Friska keluar dari mobil dan menunggu suaminya beranjak sampai hilang dari pandangan. Ia termenung sejenak sampai suara seorang pria membuyarkan lamunannya.
“Hai, Fris.”
“Eh! Hai, Zafriel.” Friska menoleh lalu balik menyapa.
“Suamimu gak ikut?” tanya pria itu yang tak lain adalah Zafriel.
“Nggak! dia ada pertemuan sama kliennya di proyek.” Friska tersenyum lalu mereka berdua berbalik badan dan melangkah memasuki stadium utama itu.
“Kamu udah lama nunggu, Zaf?” tanya Friska. Tentu saja pagi ini orang yang akan ia tawari job itu adalah Zafriel.
“Nggak terlalu lama, kok. Baru 15 menitan lah. By the way, kamu serius dari Puncak?” tanya Zafriel. Sebelumnya mereka sudah berkomunikasi melalui pesan singkat. Friska pun memberitahu jika ia terlambat mohon untuk dimaklumi, mengingat posisinya berada di kota lain.
Friska terkekeh lalu menjawab, “Iya, nih. Semalam habis dari RS aku langsung ke Puncak. Ke lokasi syuting. Soalnya kasian anak-anak kru di sana gak ada yang handle!”
“Waw, sibuk banget kayaknya kamu. Tapi suamimu juga kayaknya orang sibuk. Kalian sama-sama sibuk!” kekeh Zafriel.
Posisi mereka saat ini sedang berbincang sembari berjalan santai di kawasan stadion besar itu.
“Yahh, begitu, deh. Makanya banyak yang bilang kami belum punya anak karena sama-sama sibuk!” kata Friska.
“Oh ya, kamu emang rutin banget ke sini dan olahraga?” tanya Friska.
“Hmm, minimal 3 kali aja seminggu! abisnya kalau gak digerakkin nih badan malah gampang sakit aku!” ujar Zafriel dengan senyuman tipis diwajahnya.
Friska mengangguk dengan menaikkan alisnya.
“Pantes. Sehat dan bugar banget. Body-body atletis!” katanya sembari meninju kecil lengan pria disebelahnya yang tampak berotot tercetak dibalik jaket hoodie. Yang di puji malah tergelak.
“Aku sama suami malah gak sempet terus mau olahraga!” sambung Friska.
“Sempatin aja minimal 20 menit lah. Apalagi kalian kan lagi program hamil, dua-duanya harus sehat dan ideal. Life style juga harus di perbaiki. Dan salah satunya dengan berolahraga.” Zafriel menoleh pada Friska yang hanya mengangguk.
“Sama aja gak sih kayak aktivitas sehari-hari? kayak kita bergerak sana-sini, naik turun tangga dan lain-lain? bukannya sama-sama bakar kalori juga?” tanya Friska.
“Betul, segala aktivitas bergerak pasti akan membakar kalori. Tapi jangan samakan porsi olahraga dengan aktivitas. Keduanya berbeda. Ada unsur lain yang terbentuk dalam tubuh selama berolahraga, dan itu mengaktifkan beberapa kerja hormon penting dalam tubuh manusia yang gak didapat hanya dengan beraktivitas aja.” Zafriel menjelaskan dengan santai.
“Ohh, begitu?!” gumam Friska. “Pantesan aja tadi kamu nolak di ajak ketemuan di Mcd. Dan lebih milih tempat ini!” kekeh Friska.
Zafriel tersenyum lebar dan bertanya, “kamu laper gak?”
“Belum terlalu laper, sih. Why?” kata Friska.
“Aku bawa cemilan pagi. Aku bawa lebih tadi, niatnya mau berbagi sama kamu dan suamimu,” ujar Zafriel, membuat Friska melebarkan mata.
“Waw, makasih loh, Zaf.”
“Nggak apa-apa. Aku emang biasa bikin lebih, kok. Biasanya aku ke sini sama Mama atau sama Yoana. Tapi mereka lagi sama-sama sibuk, jadi udah beberapa waktu ini aku sendiri dan beruntungnya hari ini ada temannya lagi,” ucap Zafriel sambil menyunggingkan senyum manisnya.
Friska terdiam sejenak. Mencerna kalimat utama.
“Yoana itu ....”
“Junior aku di kampus. Kebetulan dia lagi coas di RS tempat aku praktek sekarang.”
“Ohh.”
Friska dan Zafriel saat ini memilih duduk di sebuah tempat yang nyaman untuk beristirahat. Pria itu pun memberikan sebotol minuman segar pada Friska, lalu ada sebuah kotak sarapan pula yang ia persiapkan.
“Wahh seger banget nih, isinya apa?” tanya Friska sembari memperhatikan minuman berwarna hijau gelap yang tampak menyegarkan.
“Bayam, nanas, timun, apel. Fresh juice! tanpa tambahan gula. Terus dikotak itu ada roti slice gandum yang isinya mashed avocado.” Zafriel kemudian meneguk minuman segar itu.
“My favorit. Avocado sandwich. Hehe! Paket lengkap sarapan sehat.” Friska tertawa. Ia pun tidak sabar untuk mencicipinya. “Enak banget! ini menu sarapan terenak menurut aku. Gak bikin begah perut, dan kenyang tahan lama. Tapi semenjak banyak deadline, aku jadi jarang banget sempetin sarapan sehat begini, Zaf.”
“Oh ya? beli yang udah jadi aja kalau gitu!” usul Zafriel.
“Niatnya sih gitu, kalau fresh juice begini gampang nyarinya, tapi kalau menu sarapan sandwich sehat gini yang bingung nyarinya!” kata Friska.
“Pesen aja sama aku!” balas Zafriel sembari terkekeh.
“Serius, kamu jualan juga?” tanya Friska.
Pria itu tertawa kecil. “Yaah ... kalau langganan setianya kamu sih kayaknya aku mau coba buka usaha juga. Sampingan selain jadi dokter obgyn!”
Friska tergelak. “Boleh-boleh.”
“Oh ya, jadi ... gimana sama tawaran aku semalam?” tanya Friska. Ia memulai perbincangan mengenai tujuan utamanya.
Zafriel terdiam beberapa detik. Alisnya mengkerut dan mulai bertanya serius. “Emangnya itu gimana sih sistemnya? kamu tuh jadi produser atau sutradara film?”
“Dua-duanya. Hehe! Abisnya ini kan masih PH kecil sebetulnya. Jadi aku double job.” Friska terkekeh saat melihat ekspresi Zafriel yang tertegun. “Kita lagi kekurangan pemain 2 orang. Cowok cewek. Pengganti tokoh utama!” jawab Friska.
Pria itu tampak berpikir kemudian kembali bertanya, “Pengganti tokoh utama? ini adaptasi buat novel yang judulnya ‘The Meaning Of Encounter’ bukan?”
Friska melebarkan mata dan menatap Zafriel dengan ekspresi yang sulit untuk digambarkan.
“Eh! Kamu tau novel aku yang itu?”
“Udah aku tamatin baca setahun lalu!” Zafriel menyengir. Memperlihatkan giginya yang putih dan rapi.
Sementara Friska tertegun mendengarnya. Lebih pada tak menyangka ternyata teman kecilnya mengoleksi karya novel.
“Sejak kapan kamu suka baca novel, Zaf?” tanya Friska.
“Sejak ke toko buku dan melihat novel best seller yang judulnya ‘Leaving In White’ Karya Fris.P.Tama.” Zafriel tersenyum tipis kemudian menilik Friska yang tampak tercengang dengan mulut menganga.
Wanita itu tak bisa berkata-kata. Ia hanya terus menatap lekat Zafriel yang kembali berujar.
“Novelnya bagus. Pantes aja jadi best seller. Terus aku koleksi lagi karya-karya berikutnya, dan ternyata gak nyesel udah beli. Akhirnya ... aku ngefans deh sama penulisnya, pas aku cari tau ternyata sekarang penulisnya sendiri yang nawarin aku jadi visualisasi tokoh novelnya!”
Zafriel menilik kembali pada Friska yang saat ini tengah tergelak. Selama ini rupanya ia sudah mengoleksi hampir seluruh karya-karya teman kecilnya itu. Friska pun memang menamai karyanya dengan nama pena ‘Fris.P.Tama’ sebagai singkatan dari nama lengkapnya yaitu: Friska Puspita Wiratama.
“Lucu, ih. Aku gak tau kalau kamu suka baca. Setahu aku dulu tuh kamu paling hobinya ya olahraga kayak begini,” ucap Friska.
“Gimana kamu mau tau tentang aku, gak lama baru masuk SMA aja kamu udah pindah. Gak ngasih kabar dan pamitan juga. Curang!” kata Zafriel yang tampak meledek.
“Abisnya dulu tuh aku emang taunya mendadak. Satu minggu sebelum pindahan baru dikabarin sama ortu. Aku pikir becanda, ternyata beneran. I’m sorry.” Friska menghela napas perlahan,
Entah mengapa kepergiannya 15 tahun yang lalu ternyata seperti meninggalkan kekecewaan diwajah Zafriel.
“Nggak perlu minta maaf. Gak ada yang salah, kok. Hanya saja ... kita harus mulai memahami beberapa makna kehidupan, salah satunya arti dari pertemuan dan perpisahan.” Zafriel tersenyum getir, kemudian melanjutkan. “Aku senang udah mengenal kamu dengan baik, Fris. Dan, setelah kamu pergi, doaku tetap sama. Semoga sahabat kecilku ini selalu bahagia dimana pun dan dengan siapapun! And ... one day, i hope we can meet again.”
“Benarkah? berarti pertemuan kita saat ini adalah jawaban dari doa-doa kamu, Zaf.” Friska menatap pria di sebelahnya.
“Ya. Aku bersyukur bisa ketemu kamu lagi setelah 15 tahun lamanya kita berpisah.” Zafriel pun menoleh dan menatap wanita disebelahnya. Mata mereka beradu, ada sorot kebahagiaan terpancar.
“Kamu masih sama. Cantik dan meneduhkan.” Zafriel mengunci tatapan mereka. Entah sadar atau tidak, ekspresi pria itu terkesan sangat mengagumi sosok wanita di dalam tatapan itu. Kini Zafriel semakin serius dan intens menatap Friska yang tengah termangu. “Semuanya yang ada dalam dirimu masih sama. Hanya saja ... perbedaannya adalah kamu telah di miliki. Andai itu belum, mungkin aku sudah menarikmu dalam dekapanku.”
Friska tercekat. Hatinya tiba-tiba merasakan sebuah desiran yang menjalar hingga relung terdalam hatinya. Ia tidak tahu perasaan macam apa ini! Atau mungkin ia memaknai perasaan itu seperti sebuah kerinduan?Namun, saat ini Zafriel tampak berbeda. Apa maksud ucapannya tadi? bergurau atau memang sebuah ungkapan nyata dari hati? Friska tak sanggup berucap, lidahnya kelu dengan tatapan yang masih sama terkejutnya. Bahkan untuk bernapas pun tiba-tiba rasanya begitu sulit. Degup jantungnya pun seperti bersiap ingin perang.Wanita itu berusaha untuk tetap bersikap sewajarnya. Menormalkan kembali perasaannya. Tak bisa dipungkiri, Zafriel pun adalah pria yang sangat rupawan, masih sama seperti dulu. Gadis mana pun tak punya alasan untuk tidak jatuh cinta pada sosok pria itu. Takut kalau-kalau tiba-tiba ia mengagumi pria disebelahnya.Itu mustahil. Friska sudah menikah dan hanya mencintai Faris, suaminya.Friska berdeham kecil.“I’m sorry, Zaf. I’m not good at saying goodbye.” Tiba-tiba saja pe
Hening beberapa saat. Zafriel hanya merespon dengan senyuman tipis diwajah tampannya. Kemudian ia menarik napas dan membuangnya dengan perlahan. “Punya. Satu tahun setelah kamu pindah, aku sempat punya teman dekat, cewek. Cuma ... kita pacaran nggak lama, kurang dari satu tahun udah putus!” jelas Zafriel. “Waw. Mantan pertama kamu dong itu?” tanya Friska. “Bisa di bilang begitu,” ucap Zafriel. “Kenapa putusnya kalau boleh tau, Dok?” Faris menilik ke arah center mirror. “Hmm ... ngerasa gak nyaman aja. Haha!” kata Zafriel dengan lugas. Friska pun tertawa renyah. Sejauh ia mengenal pria itu, ia memang tidak pernah tahu tipikal perempuan seperti apa yang disukai oleh Zafriel. “Kamu atau dia yang mutusin?” tanya Friska yang saat ini menjadi sangat kepo pada kehidupan teman lamanya itu. Yang ditanya pun hanya bisa tertawa kecil. Sembari menaikkan kedua alisnya. Sebetulnya kisah masa lalunya dengan seorang perempuan sangat tidak menarik untuk dibahas. Karena bagi Zafriel memang tidak
Senyum bahagia terpancar di sana. Bocah kecil itu pun menerima jajanan berbentuk karakter kartun yang sangat lucu. Ia tertawa renyah dan berterima kasih pada sang penjual. Faris pun memberikan satu lembar uang untuk membayarnya. Tangan mereka saling terpaut, gadis kecil itu terlihat sangat nyaman didekat pria itu. “Terimakasih, Om Faris. This is my favorite snack. Would you like try it?” kata gadis kecil itu yang bibirnya sudah belepotan dengan kembang gula. Faris membungkuk dan kemudian menyejajarkan posisinya dengan gadis kecil itu. Ia tersenyum hangat sembari mengusap lembut puncak kepala gadis kecil dihadapannya. “Tidak. Ini untukmu saja. Habiskan ya. Oh ya, satu lagi, jangan terlalu sering makan snack yang manis-manis ya, cantik. Nanti gigi kamu berlubang!” ujar Faris, membuat gadis kecil itu melebarkan mata dengan mulut yang terbuka. “Apa itu benar?” katanya yang terkejut. Faris mengangguk dan tertawa kecil. “Kalau keseringan, bisa seperti itu. Makanya, kamu harus rajin meng
Faris melebarkan mata. Ia memposisikan tubuh Friska agar berada dihadapannya. Mata mereka saling bertemu, ekspresi sedih itu mengungkapkan perubahan drastis yang terjadi pada wajah sang istri. Sejenak sebelumnya, Friska terlihat begitu bersemangat setelah menyelesaikan syuting hari itu, namun sekarang ekspresinya berbeda sekali. “Loh ... kok kamu ngomong gitu, sih?” Faris terus menatap istrinya. Terheran, mengapa tiba-tiba Friska berkata demikian. “Dengar aku, sayang. Apa pun yang terjadi sama kita, itu bukan kesalahanmu, atau kesalahan siapa-siapa. Ini adalah garis takdir yang harus kita jalani. Aku bahagia sama kamu, dan kamu pun begitu, kan?” Friska menarik napas dalam. Mencoba menormalkan kembali suasana hatinya. Ia menyeka pipi dan kini matanya beradu dengan sang suami. Ada ketulusan dan cinta yang selalu terpancar di dalam sana. Tatapannya amat sangat meneduhkan, tetapi hal itu seperti kembali menghujam hati Friska setiap kali terbayang betapa jahatnya ucapan orang-orang yang s
Lengang sesaat. Ada saja cerita-cerita aneh Yoana tentang kakaknya. Namun, kali ini tampaknya ada yang janggal. “Teman arisan kali,” pikir Zafriel. “Sejak kapan dia suka arisan-arisan?! ketemu sama temannya mama aja kadang ogah-ogahan, ada mertuanya pulang dari luar negeri aja malas basa basi dia. Ini tuh dia kayak udah akrab lamaaaa banget sama tuh ibu-ibu. Lengket banget gitu, Kak. Kayaknya ... yang usulin bikin acara besar juga ya sama si ibu itu kali!” kata Yoana. Zafriel mengangkat alis. Ia memang sudah lama mengenal Yoana, bahkan gadis itu amat sangat terbuka tentang keluarganya—terkadang membuat Zafriel pun turut dibawa pusing oleh cerita-ceritanya. Pasalnya, kakak perempuan dari Yoana itu pun adalah pasiennya. “Ya udah, gak usah terlalu di pikirin deh, Yoa. Harusnya enak dong, berkat ada si ibu-ibu itu, Gege jadi gak gangguin kamu buat minta temenin ke sana ke sini, hahaha!” canda Zafriel. Membuat suara tawa terdengar dari seberang panggilan.
“Tapi kita juga jangan menormalkan sesuatu yang gak seharusnya!” ujar Faris. Ekspresinya sangat datar. “Mau gimana lagi, Ris? Mamamu kan terobsesi banget pengen punya cucu. Sementara kita gak bisa kasih dia apa-apa bahkan pengertian kecil pun selalu dia abaikan!” seru Friska. Faris hanya terdiam, benaknya sangat penuh saat ini. Apa jadinya kalau Friska mengetahui sesuatu dibalik itu semua. Malam semakin larut, mereka akhirnya tiba di kediaman orang tua Faris. Seorang gadis cantik berambut ikal cokelat sebahu langsung menyambut kedatangan mereka. “Kalian pasti sering banget keluyuran malem-malem ya?” kata Amara. Faris masih terdiam. Tak menggubris. Sementara Friska langsung memeluk singkat adik iparnya itu. “Bukan keluyuran. Habis ada kerjaan deadline.” Friska tersenyum hangat. Amara hanya mengangguk kecil. Pasalnya, tanpa dijelaskan detail pun, gadis itu sudah mengetahui tentang kesibukan Faris dan istrinya. Ia hanya b
“Ingat Amara! segala sesuatu ada batasannya!” Faris kemudian langsung melangkah cepat ke arah istrinya. Sementara Friska berbalik badan, kemudian hendak beranjak, tetapi Faris langsung menahan lengannya. Ia pun sempat melihat ada buliran bening yang menitik dari pelupuk mata istrinya. “Jangan pergi, Fris! Aku mohon!” Faris berusaha mendekap Friska. “Friska, maafkan aku!” ucap Faris dengan suara gemetar, mencoba menahan kesedihannya. Friska terdiam sejenak, ekspresinya sulit untuk diartikan. Lalu akhirnya ia berkata, “Kita pulang aja, yuk.” Belum ada jawaban dari suaminya, tiba-tiba terdengar suara langkah seseorang mendekat dari ruang tengah menuju halaman samping. Faris dan Friska menoleh bersamaan, dan mereka melihat seorang pria dengan pakaian formalnya datang mendekati mereka. “Eh, kalian berdua ada di sini?” sapa pria tersebut, yang tak lain adalah Gandha, ayah Faris. Faris mendekati ayahnya. Dalam sekejap, ia mencoba meng
“Justru karena kita mengenal baik siapa pemiliknya! ini bisa menjadi kesempatan besar untuk kita, Pa.” Farida sangat berantusias. “Papa nggak yakin! andaikan kita berhasil dalam proyek itu, apa tidak akan menyakiti perasaan Faris? Atau ... justru perusahaan Wiratama pun akan mempertimbangkan lagi kerja samanya dengan kita.” Gandha terlihat gusar. “Faris gak perlu kecewa sama keputusan kita. Toh, dia tidak turut andil apa-apa dalam proyek ini!” kata Farida. “Kenapa kamu bicara begitu? bagaimanapun nama Faris ada dalam perusahaan kita. Bahkan, sebagian besar sahamnya atas nama dia! kalau kita bekerja sama dengan CHANDLER, otomatis harus ada persetujuan dari Faris. Papa yakin, dia pasti menolak mentah-mentah!” tegas Gandha. “Sudahlah, papa mau ke kamar dulu. Soal investor, sepertinya kita tetap percayakan pada perusahaan besan saja! belasan tahun kita bekerja sama, pasti mereka mau membantu kita.” Seru Gandha. “Tapi, Pa. Ini kesempatan bagus dari