“Iya. Temen main waktu kecil. Lucu deh dia tuh dulu. Kalau ngomongin Zafriel yang aku inget tuh, waktu kita di kejar-kejar anjing tetangga sampe kita naik ke pohon mangga orang, terus malah di kira maling buah!” Friska tertawa teringat masa-masa kecil dengan pria itu.
Faris tertawa kecil, lalu kembali bertanya, “Sampe dewasa temenannya?”
“Hm ... sampe kita kelas satu SMA sih tepatnya. Karena kan waktu itu Papa sama Mama pindah ke Jakarta. Aku pindah sekolah, terus kuliah dan kerja pun di kota yang sama.” Friska menghela napas, lalu kembali melanjutkan, “Dari situ kita gak pernah ketemu lagi dan lost contact lah ceritanya.”
Faris mengangguk, ia memang sudah tahu perjalanan hidup istrinya sejak pindah dari Jogjakarta. Namun, selama lebih dari satu dekade mengenal istrinya, ia belum pernah mendengar tentang teman kecil Friska yang bernama Zafriel itu. Apalagi pria itu yang saat ini juga menjadi dokter konsultan kehamilan mereka.
“Lucu juga ya, kalian dipertemukan lagi sekarang. Dia yang jadi dokter kita!” Faris terkekeh, “Pinter emang orangnya? atau ... dari kecil emang cita-citanya mau jadi dokter?”
Friska menerawang ingatan.
“Kalau pinter sih iya, sering juara satu di kelas, ganti-gantian. Kalau gak aku ya dia yang ada di peringkat pertama, haha!” kata Friska. “Tapi kalau cita-cita jadi dokter ... aku kurang tau sih ya, dari SD gak pernah saling cerita soal masa depan atau cita-cita juga kalau sama temen laki-laki, kalau sama temen perempuan sih iya, karena kan dulu kita suka tukar-tukaran biodata gitu di kertas binder! hahaha!”
Apa itu kertas binder?
Di generasi saat ini, mungkin sudah berbeda pola kebiasaan dan cara bertemannya.
Pada zaman Friska kecil sekitar tahun 2000-an, memang anak-anak seusianya senang sekali mengoleksi kertas binder dengan berbagai warna dan karakter. Bersama teman-teman lainnya terutama untuk perempuan, mereka selalu saling bertukar puisi, biodata plus hobi dan cita-cita, bahkan untuk sekedar makanan dan minuman favorit pun tertulis di sana. Hal yang sangat mengasyikan pada jamannya.
“Unik ya. Aku inget juga deh kayaknya, temen-temen cewek emang banyak yang koleksi begituan!” ujar Faris. Sedangkan Friska masih terkekeh jika teringat masa itu.
“Eh! tapi aku inget sesuatu deh. Dulu jaman SMP kan pernah ada acara kenaikan kelas, terus kita tuh di suruh buat drama teater gitu lah buat hiburan doang, mengusung tema ‘Jiwa Anak Muda’ kayaknya si Zafriel yang jadi salah satu pemerannya deh, jadi anak SMA bandel gitu deh ceritanya, yang suka bolos, tawuran pokoknya bad boy lah. Keren loh aktingnya!” Friska melebarkan mata karena antusias.
“Sampe abis acara teater itu, si Zafriel mendadak terkenal di sekolah. Banyak fans-nya!” sambung Friska.
“So ...?” Faris menaikkan kedua alis, seolah memberikan ide bagus untuk istrinya. Friska pun tersenyum penuh inspirasi di kepalanya.
Sepertinya ini akan sangat mudah sekaligus sarana menyambung silaturahmi menurutnya.
***
Di lain tempat, di waktu yang bersamaan.
Dokter tampan itu melepas pakaian dinasnya, setelah mencuci tangan dan serangkaian mensterilkan diri di ruangan itu, ia kemudian duduk di kursi sembari mengecek ulang dokumen-dokumen pasiennya hari ini di layar komputer. Ada 30 pasien sejak siang tadi. Dan terakhir ia menggulir satu nama pasien dan berhenti di sana, menatap lamat nama seorang wanita yang menjadi pasien terakhirnya hari itu.
Pintu terbuka, memperlihatkan seorang dokter perempuan berambut hitam ikal dengan senyuman manis di wajahnya. Dua asisten Zafriel pun langsung berpamitan setelah seluruh pekerjaannya selesai. Perempuan itu menoleh pada dokter lelaki yang tampaknya sangat serius menatap layar komputer.
“Masih ada kerjaan?” sapa dokter perempuan itu.
Zafriel masih diam tanpa ekspresi menatap layar komputer, mungkin tak sadar kalau ada orang lain di ruangannya.
“Kak Zaf ....” panggilnya sekali lagi.
Dokter lelaki itu mengerjapkan mata, lalu menoleh. “Eh! sorry, aku lagi cek ulang data pasien aja.”
Dokter perempuan itu langsung menarik kursi dan duduk di berseberangan dengan pria itu.
“Kamu udah selesai?” tanya Zafriel saat kemudian mengklik tombol off di komputernya.
“Udah sekitar satu jam yang lalu. Tapi malam ini aku lembur, sekaligus besok langsung pindah ke bangsal bedah!” keluh perempuan cantik itu. Wajahnya mungil dengan bibir yang tipis tengah mengerucut dihadapan Zafriel.
“Wah, semangat dong! bentar lagi juga kelar coas-nya. Terus, wisuda deh! waktu tuh gak berasa, cepet banget.” Zafriel tersenyum lebar. Perempuan itu pun terkekeh.
“Oh ya, lusa kamu libur kan? Kak Gladis ngundang acara tujuh bulanan anak keduanya, nih. “Dia ngundang kamu, Kak. Bisa datang kan?”
“Hm ... harusnya sih bisa ya. Nanti aku kabarin kamu ya, Yoa.”
“Oke deh. Ya udah, aku ... mau balik ke ruangan dulu ya. Kamu mau langsung pulang kan? Hati-hati di jalan, Kak Zaf!” Perempuan itu tersenyum manis setelah berdiri dan menggeser kursinya.
Zafriel tersenyum dan turut beranjak. Ia membuka laci di sebelah meja kerjanya, lalu meraih sebuah paper bag berisi dessert yang tampak lezat.
“Yoana, this is for you! buat nemenin dinas malam kamu.” Zafriel memberikan paper bag itu pada perempuan dihadapannya.
Matanya berbinar dengan senyuman merekah dan antusias mengambil paper bag merah jambu yang berisi dessert.
“Pasti dari pasien lagi kan?” Perempuan bernama Yoana itu bertanya dengan ekspresi meledek.
“Iya, dari adiknya pasien.” Zafriel tertawa kecil.
“Waw, makin banyak aja fans-nya! niat banget sampe ikut kontrol segala tuh keluarga pasien.” Yoana terkekeh geli. Sepertinya ia cukup dekat dengan Zafriel sehingga sudah hafal betul apa saja yang terjadi dengan dokter itu jika sedang praktik.
Wajah yang menawan tak jarang seperti kisah di novel-novel. Dokter tampan yang mempunyai banyak penggemar dari pasien-pasiennya. Kalau saja Zafriel bukan dokter kandungan, melainkan dokter umum, mungkin pasien dengan sariawan atau keseleo saja sudah mengantre ingin berobat dengannya. Bukan ingin mendapatkan obat, tetapi hanya ingin melihat dari dekat dan berlama-lama manja bersama dokter tampan itu.
Namun, karena ia adalah dokter kandungan, tak jarang para wanita yang hendak melahirkan pasti merequest sendiri ingin didampingi oleh dokter siapa. Lucunya, di antara mereka bahkan ada yang memberikan nama yang sama dengan Zafriel pada bayinya. Berharap bisa setampan dan sesukses pria itu.
Ada banyak percakapan para ibu-ibu hamil yang terkadang sengaja mengajak keluarga perempuan dan keluarga selain suaminya selama kontrol dengan dokter itu, yang membuat ia tak bisa berkutik dan berkata-kata, seperti:
“Anak saya pasti laki-laki nih, semoga gantengnya sama kayak dokternya!”
“Cewe apa cowo, Dok? kalau cowok saya izin kasih nama yang sama ya kayak dokter!”
“Udah punya calon, Dok? kalau belum, sama anak bungsu saya aja ya!”
“Dok, foto dulu yuk! nanti saya tag di sosmed!”
“Dok, kakak saya baru cerai. Kasian galau terus, kalau besok-besok saya ajak ke sini pasti langsung bisa move on!”
Dan masih banyak lagi, percakapan aneh menurut Zafriel yang sebenarnya hanya membuang-buang waktu saja. Sementara Yoana yang selalu menjadi tempatnya untuk berkeluh kesah dengan segala drama pasien dan keluarganya hanya bisa terkekeh geli sampai wajahnya memerah dan mata yang berair.
Keesokan paginya, Faris dan Friska sudah meninggalkan kawasan Puncak Bogor dan kembali menuju Jakarta. Tugasnya sudah selesai semua untuk mengawasi jadwal syuting semalam. Sementara para kru dan pemain masih menetap di villa itu, mengingat masih banyak schedule yang harus di selesaikan oleh mereka di tempat itu, sembari menunggu Friska kembali dan membawa pemain baru.Sebelumnya Friska sudah mengirim pesan singkat pada seseorang yang akan ia temui pagi ini, sekaligus untuk menawarkan kerja sama dalam pembuatan series movie yang di adaptasi dari novelnya sendiri. Orang itu menyetujui untuk bertemu di sebuah tempat sarana olahraga, tepatnya di stadium utama GBK Senayan Jakarta yang saat ini tampak ramai oleh pengunjung yang tengah berolahraga pagi, seperti jogging dan bersepeda.Mobil menepi di bahu jalan, Friska kembali menghubungi orang itu sementara suaminya pun mendapatkan sebuah panggilan masuk dari kliennya.“Oh, kamu udah sampe? di sebelah mana?” Friska mengedarkan pandangan. Me
Friska tercekat. Hatinya tiba-tiba merasakan sebuah desiran yang menjalar hingga relung terdalam hatinya. Ia tidak tahu perasaan macam apa ini! Atau mungkin ia memaknai perasaan itu seperti sebuah kerinduan?Namun, saat ini Zafriel tampak berbeda. Apa maksud ucapannya tadi? bergurau atau memang sebuah ungkapan nyata dari hati? Friska tak sanggup berucap, lidahnya kelu dengan tatapan yang masih sama terkejutnya. Bahkan untuk bernapas pun tiba-tiba rasanya begitu sulit. Degup jantungnya pun seperti bersiap ingin perang.Wanita itu berusaha untuk tetap bersikap sewajarnya. Menormalkan kembali perasaannya. Tak bisa dipungkiri, Zafriel pun adalah pria yang sangat rupawan, masih sama seperti dulu. Gadis mana pun tak punya alasan untuk tidak jatuh cinta pada sosok pria itu. Takut kalau-kalau tiba-tiba ia mengagumi pria disebelahnya.Itu mustahil. Friska sudah menikah dan hanya mencintai Faris, suaminya.Friska berdeham kecil.“I’m sorry, Zaf. I’m not good at saying goodbye.” Tiba-tiba saja pe
Hening beberapa saat. Zafriel hanya merespon dengan senyuman tipis diwajah tampannya. Kemudian ia menarik napas dan membuangnya dengan perlahan. “Punya. Satu tahun setelah kamu pindah, aku sempat punya teman dekat, cewek. Cuma ... kita pacaran nggak lama, kurang dari satu tahun udah putus!” jelas Zafriel. “Waw. Mantan pertama kamu dong itu?” tanya Friska. “Bisa di bilang begitu,” ucap Zafriel. “Kenapa putusnya kalau boleh tau, Dok?” Faris menilik ke arah center mirror. “Hmm ... ngerasa gak nyaman aja. Haha!” kata Zafriel dengan lugas. Friska pun tertawa renyah. Sejauh ia mengenal pria itu, ia memang tidak pernah tahu tipikal perempuan seperti apa yang disukai oleh Zafriel. “Kamu atau dia yang mutusin?” tanya Friska yang saat ini menjadi sangat kepo pada kehidupan teman lamanya itu. Yang ditanya pun hanya bisa tertawa kecil. Sembari menaikkan kedua alisnya. Sebetulnya kisah masa lalunya dengan seorang perempuan sangat tidak menarik untuk dibahas. Karena bagi Zafriel memang tidak
Senyum bahagia terpancar di sana. Bocah kecil itu pun menerima jajanan berbentuk karakter kartun yang sangat lucu. Ia tertawa renyah dan berterima kasih pada sang penjual. Faris pun memberikan satu lembar uang untuk membayarnya. Tangan mereka saling terpaut, gadis kecil itu terlihat sangat nyaman didekat pria itu. “Terimakasih, Om Faris. This is my favorite snack. Would you like try it?” kata gadis kecil itu yang bibirnya sudah belepotan dengan kembang gula. Faris membungkuk dan kemudian menyejajarkan posisinya dengan gadis kecil itu. Ia tersenyum hangat sembari mengusap lembut puncak kepala gadis kecil dihadapannya. “Tidak. Ini untukmu saja. Habiskan ya. Oh ya, satu lagi, jangan terlalu sering makan snack yang manis-manis ya, cantik. Nanti gigi kamu berlubang!” ujar Faris, membuat gadis kecil itu melebarkan mata dengan mulut yang terbuka. “Apa itu benar?” katanya yang terkejut. Faris mengangguk dan tertawa kecil. “Kalau keseringan, bisa seperti itu. Makanya, kamu harus rajin meng
Faris melebarkan mata. Ia memposisikan tubuh Friska agar berada dihadapannya. Mata mereka saling bertemu, ekspresi sedih itu mengungkapkan perubahan drastis yang terjadi pada wajah sang istri. Sejenak sebelumnya, Friska terlihat begitu bersemangat setelah menyelesaikan syuting hari itu, namun sekarang ekspresinya berbeda sekali. “Loh ... kok kamu ngomong gitu, sih?” Faris terus menatap istrinya. Terheran, mengapa tiba-tiba Friska berkata demikian. “Dengar aku, sayang. Apa pun yang terjadi sama kita, itu bukan kesalahanmu, atau kesalahan siapa-siapa. Ini adalah garis takdir yang harus kita jalani. Aku bahagia sama kamu, dan kamu pun begitu, kan?” Friska menarik napas dalam. Mencoba menormalkan kembali suasana hatinya. Ia menyeka pipi dan kini matanya beradu dengan sang suami. Ada ketulusan dan cinta yang selalu terpancar di dalam sana. Tatapannya amat sangat meneduhkan, tetapi hal itu seperti kembali menghujam hati Friska setiap kali terbayang betapa jahatnya ucapan orang-orang yang s
Lengang sesaat. Ada saja cerita-cerita aneh Yoana tentang kakaknya. Namun, kali ini tampaknya ada yang janggal. “Teman arisan kali,” pikir Zafriel. “Sejak kapan dia suka arisan-arisan?! ketemu sama temannya mama aja kadang ogah-ogahan, ada mertuanya pulang dari luar negeri aja malas basa basi dia. Ini tuh dia kayak udah akrab lamaaaa banget sama tuh ibu-ibu. Lengket banget gitu, Kak. Kayaknya ... yang usulin bikin acara besar juga ya sama si ibu itu kali!” kata Yoana. Zafriel mengangkat alis. Ia memang sudah lama mengenal Yoana, bahkan gadis itu amat sangat terbuka tentang keluarganya—terkadang membuat Zafriel pun turut dibawa pusing oleh cerita-ceritanya. Pasalnya, kakak perempuan dari Yoana itu pun adalah pasiennya. “Ya udah, gak usah terlalu di pikirin deh, Yoa. Harusnya enak dong, berkat ada si ibu-ibu itu, Gege jadi gak gangguin kamu buat minta temenin ke sana ke sini, hahaha!” canda Zafriel. Membuat suara tawa terdengar dari seberang panggilan.
“Tapi kita juga jangan menormalkan sesuatu yang gak seharusnya!” ujar Faris. Ekspresinya sangat datar. “Mau gimana lagi, Ris? Mamamu kan terobsesi banget pengen punya cucu. Sementara kita gak bisa kasih dia apa-apa bahkan pengertian kecil pun selalu dia abaikan!” seru Friska. Faris hanya terdiam, benaknya sangat penuh saat ini. Apa jadinya kalau Friska mengetahui sesuatu dibalik itu semua. Malam semakin larut, mereka akhirnya tiba di kediaman orang tua Faris. Seorang gadis cantik berambut ikal cokelat sebahu langsung menyambut kedatangan mereka. “Kalian pasti sering banget keluyuran malem-malem ya?” kata Amara. Faris masih terdiam. Tak menggubris. Sementara Friska langsung memeluk singkat adik iparnya itu. “Bukan keluyuran. Habis ada kerjaan deadline.” Friska tersenyum hangat. Amara hanya mengangguk kecil. Pasalnya, tanpa dijelaskan detail pun, gadis itu sudah mengetahui tentang kesibukan Faris dan istrinya. Ia hanya b
“Ingat Amara! segala sesuatu ada batasannya!” Faris kemudian langsung melangkah cepat ke arah istrinya. Sementara Friska berbalik badan, kemudian hendak beranjak, tetapi Faris langsung menahan lengannya. Ia pun sempat melihat ada buliran bening yang menitik dari pelupuk mata istrinya. “Jangan pergi, Fris! Aku mohon!” Faris berusaha mendekap Friska. “Friska, maafkan aku!” ucap Faris dengan suara gemetar, mencoba menahan kesedihannya. Friska terdiam sejenak, ekspresinya sulit untuk diartikan. Lalu akhirnya ia berkata, “Kita pulang aja, yuk.” Belum ada jawaban dari suaminya, tiba-tiba terdengar suara langkah seseorang mendekat dari ruang tengah menuju halaman samping. Faris dan Friska menoleh bersamaan, dan mereka melihat seorang pria dengan pakaian formalnya datang mendekati mereka. “Eh, kalian berdua ada di sini?” sapa pria tersebut, yang tak lain adalah Gandha, ayah Faris. Faris mendekati ayahnya. Dalam sekejap, ia mencoba meng