“Ada apa, Fris?” tanya Faris saat melihat ekspresi istrinya yang tampak masam.
“Mama apa-apaan, sih.” Friska memperlihatkan sebuah postingan di sosial media Farida.
Faris menyipit dan memperhatikan dengan saksama. Setelah menyadari suatu hal, ia pun sontak melebarkan mata dan mendengkus kesal. Faris terdiam tak bisa berkomentar.
“Ternyata mereka masih sering berhubungan ya, Ris?” Friska bertanya. Nada suaranya terdengar tak bersahabat.
Faris menggeleng. Ekspresi wajahnya pun datar. Dari pergerakan dadanya pun terlihat bahwa napasnya naik turun dengan berat. Rona kekecewaan pun terpancar di sana.
“Keterlaluan!” komentar Friska. Ia pun terlihat sangat kecewa.
“Blokir aja kalau kamu merasa terganggu.” Faris berujar pasrah. Ia pun bingung harus berkata apa saat melihat ulah ibunya yang lagi-lagi di luar perkiraan.
“Bukan itu masalahnya!” Friska mulai menegang. “Kelakuan mama kamu itu sama aja seperti gak menghargai kita, Ris! Dia ternyata masih akrab banget sama mantan kamu. Apa kata orang-orang kalau melihat mereka masih sering jalan bareng, sementara sama kita aja jarang!”
“Aku juga kecewa berat sama mama. Aku gak tau apa-apa soal itu,” ujar Faris. Ia pun menepikan mobil di bahu jalan. Suasana saat itu cukup tegang.
Friska menelan ludah berkali-kali, seolah menelan kepahitan yang ke sekian kalinya. Apalagi kali ini dengan kasus yang berbeda.
“Aku merasa gak dihargai karena sikap mama kamu. Gak bisa aku pungkiri, aku ngerasa ... cemburu lihat mertua sendiri masih akrab banget sama wanita lain, apalagi wanita itu adalah masa lalu kamu, Faris!” Friska mulai terisak.
“Fris ... don’t cry. Aku paham perasaan kamu. Bukan cuma kamu yang sakit hati tapi aku juga, Friska. Aku juga merasa gak dihargai sama mama kalau kayak gini!” Faris mendekap istrinya yang terus terisak-isak.
“Istimewa banget kayaknya itu perempuan di mata mama kamu. Sedekat itu kah hubungan kalian dulu sampe-sampe mama susah lepas dari dia?” Friska kembali tegang.
Faris terus mendekap. Berusaha menenangkan hati istrinya. Walaupun ia juga merasa sangat sedih.
“Bagiku itu semua hanya masa lalu, Fris. Cuma kamu yang istimewa buat aku. Jangan ragukan perasaan aku karena masalah ini, sayang. Aku mohon!” Suara Faris pun bergetar. Seolah turut merasakan sesak yang menghimpit dada sang istri.
Friska melepasakan dekapan suaminya. “Pantas aja mama kamu banyak berubah. Ternyata dia masih mengistimewakan perempuan itu. Kenapa? apa karena aku gak bisa kasih dia cucu?”
“Dia jahat banget. Aku gak masalah kalau emang mama gak suka sama aku, dan posting ribuan foto anak dan bayi setiap hari. Asalkan foto orang lain! Tapi kenapa dia harus posting kebersamaan sama masa lalu kamu dan anak-anaknya? dia ngejek kita?” Friska memekik kesal. Rasanya begitu kesal dengan keadaan ini.
“Friska, tenang dulu, sayang. Aku ngerti, aku paham banget! tapi please, kamu harus tetap tenang. Walaupun keluargaku gak adil sama kamu, tapi aku tetap ada sama kamu. Aku gak pernah membenarkan apa yang udah mereka lakukan! aku juga akan bicara sama mama.” Faris terus berusaha menenangkan.
“Ini malu-maluin banget, Ris. Apa kata orang-orang saat ngeliat mama sama Gladies? harusnya bukan cuma kita yang malu, tapi mama juga! atau ... harusnya perempuan itu juga tau diri! emangnya dia gak punya keluarga lain sampe-sampe jalan sama ibu dari mantannya? ah, rasanya aku mau meledak sekarang juga!” Friska terus menggerutu.
“Orang seperti itu gak akan pernah bisa tau diri dan tau malu! dia dari dulu emang gak suka lihat aku bahagia!” Faris yang kini terlihat sangat marah. Ekspresinya datar tapi penuh kekecewaan yang tersirat.
“Apa urusan kamu dan Gladies itu belum selesai? sampe-sampe dengan sangat percaya dirinya dia selalu datang di hubungan kita?” Friska memicingkan mata.
“Demi Tuhan. Aku sama perempuan itu udah gak ada apa-apa, Friska. Bahkan sejak aku belum mengenal kamu, aku sama dia udah lebih lama berakhir! Please. Jangan bahas soal itu lagi.” Faris menghela napas.
Lengang beberapa saat. Friska pun sudah terlanjur lelah dengan keadaan pun Faris juga begitu. Urusan masa lalu sudah sangat muak jika ia bahas. Bahkan, faktanya ia pun tidak pernah tahu jika ibunya ternyata masih sering berhubungan dengan perempuan yang ada di masa lalunya itu.
Friska menarik napas dalam-dalam. Menyeka pipi dan kemudian berkata, “Forget it. Kita lanjut jalan aja!”
Perjalanan menuju lokasi tujuan mereka masih sekitar tiga puluh menit lagi. Jalanan yang mereka lalui pun sudah cukup lengang tidak seperti tadi sore yang sangat padat. Bagi Friska merasakan suasana tengah malam di luar rumah sudah menjadi hal biasa sejak lima tahun ke belakang ini, meski pekerjaannya sangat sibuk dan menyita waktu, ia tidak pernah mengeluh menjalaninya. Berbeda saat ia pernah dipaksa selama satu tahun untuk bekerja di kantor ayahnya, saat itu waktu seperti lambat berputar. Membosankan dan menyebalkan menurutnya.
“Mikirin apa lagi, Fris?” Faris menilik Friska yang sedari tadi tampak melamun menatap kaca jendela di sebelahnya.
“Jadwal tayang udah deadline nih buat 3 episode terakhir. Tapi aku masih belum dapet pemeran tambahan buat dua tokoh lagi.” Friska mengesah lelah, “cari di mana ya?”
Kini perbincangan mereka sudah beralih ke topik yang lain.
“Emang kamu gak bikin casting lagi kayak waktu itu?” tanya Faris.
“Udah mepet, Ris. Ditambah Pak Benno juga gak ada. Masa aku sendirian, mana kerjaan lain juga udah numpuk banget!” keluh Friska.
Faris mengangguk paham. Sebenarnya dari anak-anak tim Friska sendiri sudah banyak yang menyarankan, mengapa tidak Friska dan Faris saja yang mengisi posisi pemeran tambahan itu? soal tampang tak usah diragukan, Friska dan Faris sepasang suami istri yang sangat serasi. Cantik dan tampan.
Bahkan Faris memiliki postur tubuh yang tinggi dan tegap, rahang yang tegas, alis tebal, mata yang tajam, pasti sangat cocok jika ia menjadi visualisasi tokoh-tokoh pria tampan dalam novel. Malah ada beberapa kru film yang akan memproduksi serial bertema sejarah, meminta Faris berperan dalam serial aksi laga kolosal. Namun, Friska sendiri yang malah meragukan kemampuan akting dari suaminya.
Bukan tanpa sebab, Faris memang tidak ahli dalam bidang itu. Ia tidak memiliki basic berakting sama sekali.
“Kenapa gak kamu aja yang isi?” usul Faris.
Friska termangu, berpikir apa harus ujungnya ia yang menghandle posisi itu?
“Aku gak pede,” katanya sembari tertawa kecil.
“Kenapa? kamu pasti jago lah aktingnya! apalagi kamu sendiri yang bikin alur dan plotnya. Pasti langsung bisa menyesuaikan, mempersingkat waktu dan ... hemat!” kekeh Faris.
“Masalahnya ya, akting tuh susah-susah gampang. Apalagi ini memerankan tokoh protagonis yang benar-benar lemah gitu loh. Bertolak belakang banget sama diri aku yang sebenernya. Gak ah! aku gak bisa!” balas Friska.
“Terus gimana, dong?” lanjut Faris yang juga bingung harus memberikan saran apa. Karena jika sudah seperti ini, Friska pasti mudah sekali untuk stress dan itu akan berdampak pada mood-nya beberapa waktu nanti. Tentu saja Faris lagi yang akan menjadi sasaran amukannya.
Friska menarik napas dalam. Benaknya kembali teringat dengan wanita cantik yang tadi tak sengaja tersenggol olehnya. Bisa dikatakan, wanita itu mendekati sempurna fisiknya, sangat pas seperti visualisasi dari tokoh yang ia tulis.
“Tadi tuh aku lihat cewek cantik waktu di RS. Kayaknya sih dokter, cocok banget kalau dari fisiknya. Tapi gak tau deh dia bisa akting apa nggak!” kata Friska, membuat suaminya terkekeh.
“Belum tentu juga dia mau, Fris.” Faris tertawa. “Jangan bilang kalau kamu tadi sempet kenalan juga sama dia?”
Friska tergelak. “Kali ini nggak, kok.”
Faris sudah benar-benar hafal dengan sikap istrinya itu. Selain memang jiwa bersosialisasinya tinggi, tuntutan pekerjaan pun kadang mengharuskan Friska untuk bisa segera mencari pemeran untuk serial-serialnya dalam waktu dekat. Bukan tidak membuat acara casting, melainkan terkadang dari banyaknya kandidat, tetap tak ada yang sesuai keinginannya. Terlalu perfeksionis.
“Tapi gak salah sih kalau tadi coba ajak kenalan dulu.” Faris tersenyum.
“Itu dia,” ucap Friska, matanya memicing saat teringat terakhir kali melihat wanita itu menghilang di balik pintu ruangan dokter kandungan. Ruangan Zafriel.
“Apa temennya kali ya? pasti kenal!” gumam Friska.
“Gimana?” Faris masih mendengar gumaman istrinya.
“Oh itu, tadi cewek yang dokter itu ... masuk ke ruangannya si Zafriel, temennya pasti kan?”
“Mungkin begitu.”
Faris mengangkat alis, tak tahu harus berkomentar apa. Ia jadi teringat kembali dengan dokter lelaki itu yang tak lain juga adalah teman kecil dari istrinya.
“Oh ya, soal dokter yang tadi, emang kamu beneran tetanggaan dulunya?” Faris malah lebih tertarik membahas hal lain. Karena tadi pun ia tak sempat untuk bertanya.
“Iya. Temen main waktu kecil. Lucu deh dia tuh dulu. Kalau ngomongin Zafriel yang aku inget tuh, waktu kita di kejar-kejar anjing tetangga sampe kita naik ke pohon mangga orang, terus malah di kira maling buah!” Friska tertawa teringat masa-masa kecil dengan pria itu. Faris tertawa kecil, lalu kembali bertanya, “Sampe dewasa temenannya?” “Hm ... sampe kita kelas satu SMA sih tepatnya. Karena kan waktu itu Papa sama Mama pindah ke Jakarta. Aku pindah sekolah, terus kuliah dan kerja pun di kota yang sama.” Friska menghela napas, lalu kembali melanjutkan, “Dari situ kita gak pernah ketemu lagi dan lost contact lah ceritanya.” Faris mengangguk, ia memang sudah tahu perjalanan hidup istrinya sejak pindah dari Jogjakarta. Namun, selama lebih dari satu dekade mengenal istrinya, ia belum pernah mendengar tentang teman kecil Friska yang bernama Zafriel itu. Apalagi pria itu yang saat ini juga menjadi dokter konsultan kehamilan mereka. “Lucu juga ya, kalian dipertemukan lagi sekarang. Dia ya
Keesokan paginya, Faris dan Friska sudah meninggalkan kawasan Puncak Bogor dan kembali menuju Jakarta. Tugasnya sudah selesai semua untuk mengawasi jadwal syuting semalam. Sementara para kru dan pemain masih menetap di villa itu, mengingat masih banyak schedule yang harus di selesaikan oleh mereka di tempat itu, sembari menunggu Friska kembali dan membawa pemain baru.Sebelumnya Friska sudah mengirim pesan singkat pada seseorang yang akan ia temui pagi ini, sekaligus untuk menawarkan kerja sama dalam pembuatan series movie yang di adaptasi dari novelnya sendiri. Orang itu menyetujui untuk bertemu di sebuah tempat sarana olahraga, tepatnya di stadium utama GBK Senayan Jakarta yang saat ini tampak ramai oleh pengunjung yang tengah berolahraga pagi, seperti jogging dan bersepeda.Mobil menepi di bahu jalan, Friska kembali menghubungi orang itu sementara suaminya pun mendapatkan sebuah panggilan masuk dari kliennya.“Oh, kamu udah sampe? di sebelah mana?” Friska mengedarkan pandangan. Me
Friska tercekat. Hatinya tiba-tiba merasakan sebuah desiran yang menjalar hingga relung terdalam hatinya. Ia tidak tahu perasaan macam apa ini! Atau mungkin ia memaknai perasaan itu seperti sebuah kerinduan?Namun, saat ini Zafriel tampak berbeda. Apa maksud ucapannya tadi? bergurau atau memang sebuah ungkapan nyata dari hati? Friska tak sanggup berucap, lidahnya kelu dengan tatapan yang masih sama terkejutnya. Bahkan untuk bernapas pun tiba-tiba rasanya begitu sulit. Degup jantungnya pun seperti bersiap ingin perang.Wanita itu berusaha untuk tetap bersikap sewajarnya. Menormalkan kembali perasaannya. Tak bisa dipungkiri, Zafriel pun adalah pria yang sangat rupawan, masih sama seperti dulu. Gadis mana pun tak punya alasan untuk tidak jatuh cinta pada sosok pria itu. Takut kalau-kalau tiba-tiba ia mengagumi pria disebelahnya.Itu mustahil. Friska sudah menikah dan hanya mencintai Faris, suaminya.Friska berdeham kecil.“I’m sorry, Zaf. I’m not good at saying goodbye.” Tiba-tiba saja pe
Hening beberapa saat. Zafriel hanya merespon dengan senyuman tipis diwajah tampannya. Kemudian ia menarik napas dan membuangnya dengan perlahan. “Punya. Satu tahun setelah kamu pindah, aku sempat punya teman dekat, cewek. Cuma ... kita pacaran nggak lama, kurang dari satu tahun udah putus!” jelas Zafriel. “Waw. Mantan pertama kamu dong itu?” tanya Friska. “Bisa di bilang begitu,” ucap Zafriel. “Kenapa putusnya kalau boleh tau, Dok?” Faris menilik ke arah center mirror. “Hmm ... ngerasa gak nyaman aja. Haha!” kata Zafriel dengan lugas. Friska pun tertawa renyah. Sejauh ia mengenal pria itu, ia memang tidak pernah tahu tipikal perempuan seperti apa yang disukai oleh Zafriel. “Kamu atau dia yang mutusin?” tanya Friska yang saat ini menjadi sangat kepo pada kehidupan teman lamanya itu. Yang ditanya pun hanya bisa tertawa kecil. Sembari menaikkan kedua alisnya. Sebetulnya kisah masa lalunya dengan seorang perempuan sangat tidak menarik untuk dibahas. Karena bagi Zafriel memang tidak
Senyum bahagia terpancar di sana. Bocah kecil itu pun menerima jajanan berbentuk karakter kartun yang sangat lucu. Ia tertawa renyah dan berterima kasih pada sang penjual. Faris pun memberikan satu lembar uang untuk membayarnya. Tangan mereka saling terpaut, gadis kecil itu terlihat sangat nyaman didekat pria itu. “Terimakasih, Om Faris. This is my favorite snack. Would you like try it?” kata gadis kecil itu yang bibirnya sudah belepotan dengan kembang gula. Faris membungkuk dan kemudian menyejajarkan posisinya dengan gadis kecil itu. Ia tersenyum hangat sembari mengusap lembut puncak kepala gadis kecil dihadapannya. “Tidak. Ini untukmu saja. Habiskan ya. Oh ya, satu lagi, jangan terlalu sering makan snack yang manis-manis ya, cantik. Nanti gigi kamu berlubang!” ujar Faris, membuat gadis kecil itu melebarkan mata dengan mulut yang terbuka. “Apa itu benar?” katanya yang terkejut. Faris mengangguk dan tertawa kecil. “Kalau keseringan, bisa seperti itu. Makanya, kamu harus rajin meng
Faris melebarkan mata. Ia memposisikan tubuh Friska agar berada dihadapannya. Mata mereka saling bertemu, ekspresi sedih itu mengungkapkan perubahan drastis yang terjadi pada wajah sang istri. Sejenak sebelumnya, Friska terlihat begitu bersemangat setelah menyelesaikan syuting hari itu, namun sekarang ekspresinya berbeda sekali. “Loh ... kok kamu ngomong gitu, sih?” Faris terus menatap istrinya. Terheran, mengapa tiba-tiba Friska berkata demikian. “Dengar aku, sayang. Apa pun yang terjadi sama kita, itu bukan kesalahanmu, atau kesalahan siapa-siapa. Ini adalah garis takdir yang harus kita jalani. Aku bahagia sama kamu, dan kamu pun begitu, kan?” Friska menarik napas dalam. Mencoba menormalkan kembali suasana hatinya. Ia menyeka pipi dan kini matanya beradu dengan sang suami. Ada ketulusan dan cinta yang selalu terpancar di dalam sana. Tatapannya amat sangat meneduhkan, tetapi hal itu seperti kembali menghujam hati Friska setiap kali terbayang betapa jahatnya ucapan orang-orang yang s
Lengang sesaat. Ada saja cerita-cerita aneh Yoana tentang kakaknya. Namun, kali ini tampaknya ada yang janggal. “Teman arisan kali,” pikir Zafriel. “Sejak kapan dia suka arisan-arisan?! ketemu sama temannya mama aja kadang ogah-ogahan, ada mertuanya pulang dari luar negeri aja malas basa basi dia. Ini tuh dia kayak udah akrab lamaaaa banget sama tuh ibu-ibu. Lengket banget gitu, Kak. Kayaknya ... yang usulin bikin acara besar juga ya sama si ibu itu kali!” kata Yoana. Zafriel mengangkat alis. Ia memang sudah lama mengenal Yoana, bahkan gadis itu amat sangat terbuka tentang keluarganya—terkadang membuat Zafriel pun turut dibawa pusing oleh cerita-ceritanya. Pasalnya, kakak perempuan dari Yoana itu pun adalah pasiennya. “Ya udah, gak usah terlalu di pikirin deh, Yoa. Harusnya enak dong, berkat ada si ibu-ibu itu, Gege jadi gak gangguin kamu buat minta temenin ke sana ke sini, hahaha!” canda Zafriel. Membuat suara tawa terdengar dari seberang panggilan.
“Tapi kita juga jangan menormalkan sesuatu yang gak seharusnya!” ujar Faris. Ekspresinya sangat datar. “Mau gimana lagi, Ris? Mamamu kan terobsesi banget pengen punya cucu. Sementara kita gak bisa kasih dia apa-apa bahkan pengertian kecil pun selalu dia abaikan!” seru Friska. Faris hanya terdiam, benaknya sangat penuh saat ini. Apa jadinya kalau Friska mengetahui sesuatu dibalik itu semua. Malam semakin larut, mereka akhirnya tiba di kediaman orang tua Faris. Seorang gadis cantik berambut ikal cokelat sebahu langsung menyambut kedatangan mereka. “Kalian pasti sering banget keluyuran malem-malem ya?” kata Amara. Faris masih terdiam. Tak menggubris. Sementara Friska langsung memeluk singkat adik iparnya itu. “Bukan keluyuran. Habis ada kerjaan deadline.” Friska tersenyum hangat. Amara hanya mengangguk kecil. Pasalnya, tanpa dijelaskan detail pun, gadis itu sudah mengetahui tentang kesibukan Faris dan istrinya. Ia hanya b