“Ada apa, Fris?” tanya Faris saat melihat ekspresi istrinya yang tampak masam.
“Mama apa-apaan, sih.” Friska memperlihatkan sebuah postingan di sosial media Farida.
Faris menyipit dan memperhatikan dengan saksama. Setelah menyadari suatu hal, ia pun sontak melebarkan mata dan mendengkus kesal. Faris terdiam tak bisa berkomentar.
“Ternyata mereka masih sering berhubungan ya, Ris?” Friska bertanya. Nada suaranya terdengar tak bersahabat.
Faris menggeleng. Ekspresi wajahnya pun datar. Dari pergerakan dadanya pun terlihat bahwa napasnya naik turun dengan berat. Rona kekecewaan pun terpancar di sana.
“Keterlaluan!” komentar Friska. Ia pun terlihat sangat kecewa.
“Blokir aja kalau kamu merasa terganggu.” Faris berujar pasrah. Ia pun bingung harus berkata apa saat melihat ulah ibunya yang lagi-lagi di luar perkiraan.
“Bukan itu masalahnya!” Friska mulai menegang. “Kelakuan mama kamu itu sama aja seperti gak menghargai kita, Ris! Dia ternyata masih akrab banget sama mantan kamu. Apa kata orang-orang kalau melihat mereka masih sering jalan bareng, sementara sama kita aja jarang!”
“Aku juga kecewa berat sama mama. Aku gak tau apa-apa soal itu,” ujar Faris. Ia pun menepikan mobil di bahu jalan. Suasana saat itu cukup tegang.
Friska menelan ludah berkali-kali, seolah menelan kepahitan yang ke sekian kalinya. Apalagi kali ini dengan kasus yang berbeda.
“Aku merasa gak dihargai karena sikap mama kamu. Gak bisa aku pungkiri, aku ngerasa ... cemburu lihat mertua sendiri masih akrab banget sama wanita lain, apalagi wanita itu adalah masa lalu kamu, Faris!” Friska mulai terisak.
“Fris ... don’t cry. Aku paham perasaan kamu. Bukan cuma kamu yang sakit hati tapi aku juga, Friska. Aku juga merasa gak dihargai sama mama kalau kayak gini!” Faris mendekap istrinya yang terus terisak-isak.
“Istimewa banget kayaknya itu perempuan di mata mama kamu. Sedekat itu kah hubungan kalian dulu sampe-sampe mama susah lepas dari dia?” Friska kembali tegang.
Faris terus mendekap. Berusaha menenangkan hati istrinya. Walaupun ia juga merasa sangat sedih.
“Bagiku itu semua hanya masa lalu, Fris. Cuma kamu yang istimewa buat aku. Jangan ragukan perasaan aku karena masalah ini, sayang. Aku mohon!” Suara Faris pun bergetar. Seolah turut merasakan sesak yang menghimpit dada sang istri.
Friska melepasakan dekapan suaminya. “Pantas aja mama kamu banyak berubah. Ternyata dia masih mengistimewakan perempuan itu. Kenapa? apa karena aku gak bisa kasih dia cucu?”
“Dia jahat banget. Aku gak masalah kalau emang mama gak suka sama aku, dan posting ribuan foto anak dan bayi setiap hari. Asalkan foto orang lain! Tapi kenapa dia harus posting kebersamaan sama masa lalu kamu dan anak-anaknya? dia ngejek kita?” Friska memekik kesal. Rasanya begitu kesal dengan keadaan ini.
“Friska, tenang dulu, sayang. Aku ngerti, aku paham banget! tapi please, kamu harus tetap tenang. Walaupun keluargaku gak adil sama kamu, tapi aku tetap ada sama kamu. Aku gak pernah membenarkan apa yang udah mereka lakukan! aku juga akan bicara sama mama.” Faris terus berusaha menenangkan.
“Ini malu-maluin banget, Ris. Apa kata orang-orang saat ngeliat mama sama Gladies? harusnya bukan cuma kita yang malu, tapi mama juga! atau ... harusnya perempuan itu juga tau diri! emangnya dia gak punya keluarga lain sampe-sampe jalan sama ibu dari mantannya? ah, rasanya aku mau meledak sekarang juga!” Friska terus menggerutu.
“Orang seperti itu gak akan pernah bisa tau diri dan tau malu! dia dari dulu emang gak suka lihat aku bahagia!” Faris yang kini terlihat sangat marah. Ekspresinya datar tapi penuh kekecewaan yang tersirat.
“Apa urusan kamu dan Gladies itu belum selesai? sampe-sampe dengan sangat percaya dirinya dia selalu datang di hubungan kita?” Friska memicingkan mata.
“Demi Tuhan. Aku sama perempuan itu udah gak ada apa-apa, Friska. Bahkan sejak aku belum mengenal kamu, aku sama dia udah lebih lama berakhir! Please. Jangan bahas soal itu lagi.” Faris menghela napas.
Lengang beberapa saat. Friska pun sudah terlanjur lelah dengan keadaan pun Faris juga begitu. Urusan masa lalu sudah sangat muak jika ia bahas. Bahkan, faktanya ia pun tidak pernah tahu jika ibunya ternyata masih sering berhubungan dengan perempuan yang ada di masa lalunya itu.
Friska menarik napas dalam-dalam. Menyeka pipi dan kemudian berkata, “Forget it. Kita lanjut jalan aja!”
Perjalanan menuju lokasi tujuan mereka masih sekitar tiga puluh menit lagi. Jalanan yang mereka lalui pun sudah cukup lengang tidak seperti tadi sore yang sangat padat. Bagi Friska merasakan suasana tengah malam di luar rumah sudah menjadi hal biasa sejak lima tahun ke belakang ini, meski pekerjaannya sangat sibuk dan menyita waktu, ia tidak pernah mengeluh menjalaninya. Berbeda saat ia pernah dipaksa selama satu tahun untuk bekerja di kantor ayahnya, saat itu waktu seperti lambat berputar. Membosankan dan menyebalkan menurutnya.
“Mikirin apa lagi, Fris?” Faris menilik Friska yang sedari tadi tampak melamun menatap kaca jendela di sebelahnya.
“Jadwal tayang udah deadline nih buat 3 episode terakhir. Tapi aku masih belum dapet pemeran tambahan buat dua tokoh lagi.” Friska mengesah lelah, “cari di mana ya?”
Kini perbincangan mereka sudah beralih ke topik yang lain.
“Emang kamu gak bikin casting lagi kayak waktu itu?” tanya Faris.
“Udah mepet, Ris. Ditambah Pak Benno juga gak ada. Masa aku sendirian, mana kerjaan lain juga udah numpuk banget!” keluh Friska.
Faris mengangguk paham. Sebenarnya dari anak-anak tim Friska sendiri sudah banyak yang menyarankan, mengapa tidak Friska dan Faris saja yang mengisi posisi pemeran tambahan itu? soal tampang tak usah diragukan, Friska dan Faris sepasang suami istri yang sangat serasi. Cantik dan tampan.
Bahkan Faris memiliki postur tubuh yang tinggi dan tegap, rahang yang tegas, alis tebal, mata yang tajam, pasti sangat cocok jika ia menjadi visualisasi tokoh-tokoh pria tampan dalam novel. Malah ada beberapa kru film yang akan memproduksi serial bertema sejarah, meminta Faris berperan dalam serial aksi laga kolosal. Namun, Friska sendiri yang malah meragukan kemampuan akting dari suaminya.
Bukan tanpa sebab, Faris memang tidak ahli dalam bidang itu. Ia tidak memiliki basic berakting sama sekali.
“Kenapa gak kamu aja yang isi?” usul Faris.
Friska termangu, berpikir apa harus ujungnya ia yang menghandle posisi itu?
“Aku gak pede,” katanya sembari tertawa kecil.
“Kenapa? kamu pasti jago lah aktingnya! apalagi kamu sendiri yang bikin alur dan plotnya. Pasti langsung bisa menyesuaikan, mempersingkat waktu dan ... hemat!” kekeh Faris.
“Masalahnya ya, akting tuh susah-susah gampang. Apalagi ini memerankan tokoh protagonis yang benar-benar lemah gitu loh. Bertolak belakang banget sama diri aku yang sebenernya. Gak ah! aku gak bisa!” balas Friska.
“Terus gimana, dong?” lanjut Faris yang juga bingung harus memberikan saran apa. Karena jika sudah seperti ini, Friska pasti mudah sekali untuk stress dan itu akan berdampak pada mood-nya beberapa waktu nanti. Tentu saja Faris lagi yang akan menjadi sasaran amukannya.
Friska menarik napas dalam. Benaknya kembali teringat dengan wanita cantik yang tadi tak sengaja tersenggol olehnya. Bisa dikatakan, wanita itu mendekati sempurna fisiknya, sangat pas seperti visualisasi dari tokoh yang ia tulis.
“Tadi tuh aku lihat cewek cantik waktu di RS. Kayaknya sih dokter, cocok banget kalau dari fisiknya. Tapi gak tau deh dia bisa akting apa nggak!” kata Friska, membuat suaminya terkekeh.
“Belum tentu juga dia mau, Fris.” Faris tertawa. “Jangan bilang kalau kamu tadi sempet kenalan juga sama dia?”
Friska tergelak. “Kali ini nggak, kok.”
Faris sudah benar-benar hafal dengan sikap istrinya itu. Selain memang jiwa bersosialisasinya tinggi, tuntutan pekerjaan pun kadang mengharuskan Friska untuk bisa segera mencari pemeran untuk serial-serialnya dalam waktu dekat. Bukan tidak membuat acara casting, melainkan terkadang dari banyaknya kandidat, tetap tak ada yang sesuai keinginannya. Terlalu perfeksionis.
“Tapi gak salah sih kalau tadi coba ajak kenalan dulu.” Faris tersenyum.
“Itu dia,” ucap Friska, matanya memicing saat teringat terakhir kali melihat wanita itu menghilang di balik pintu ruangan dokter kandungan. Ruangan Zafriel.
“Apa temennya kali ya? pasti kenal!” gumam Friska.
“Gimana?” Faris masih mendengar gumaman istrinya.
“Oh itu, tadi cewek yang dokter itu ... masuk ke ruangannya si Zafriel, temennya pasti kan?”
“Mungkin begitu.”
Faris mengangkat alis, tak tahu harus berkomentar apa. Ia jadi teringat kembali dengan dokter lelaki itu yang tak lain juga adalah teman kecil dari istrinya.
“Oh ya, soal dokter yang tadi, emang kamu beneran tetanggaan dulunya?” Faris malah lebih tertarik membahas hal lain. Karena tadi pun ia tak sempat untuk bertanya.
“Iya. Temen main waktu kecil. Lucu deh dia tuh dulu. Kalau ngomongin Zafriel yang aku inget tuh, waktu kita di kejar-kejar anjing tetangga sampe kita naik ke pohon mangga orang, terus malah di kira maling buah!” Friska tertawa teringat masa-masa kecil dengan pria itu. Faris tertawa kecil, lalu kembali bertanya, “Sampe dewasa temenannya?” “Hm ... sampe kita kelas satu SMA sih tepatnya. Karena kan waktu itu Papa sama Mama pindah ke Jakarta. Aku pindah sekolah, terus kuliah dan kerja pun di kota yang sama.” Friska menghela napas, lalu kembali melanjutkan, “Dari situ kita gak pernah ketemu lagi dan lost contact lah ceritanya.” Faris mengangguk, ia memang sudah tahu perjalanan hidup istrinya sejak pindah dari Jogjakarta. Namun, selama lebih dari satu dekade mengenal istrinya, ia belum pernah mendengar tentang teman kecil Friska yang bernama Zafriel itu. Apalagi pria itu yang saat ini juga menjadi dokter konsultan kehamilan mereka. “Lucu juga ya, kalian dipertemukan lagi sekarang. Dia ya
Keesokan paginya, Faris dan Friska sudah meninggalkan kawasan Puncak Bogor dan kembali menuju Jakarta. Tugasnya sudah selesai semua untuk mengawasi jadwal syuting semalam. Sementara para kru dan pemain masih menetap di villa itu, mengingat masih banyak schedule yang harus di selesaikan oleh mereka di tempat itu, sembari menunggu Friska kembali dan membawa pemain baru.Sebelumnya Friska sudah mengirim pesan singkat pada seseorang yang akan ia temui pagi ini, sekaligus untuk menawarkan kerja sama dalam pembuatan series movie yang di adaptasi dari novelnya sendiri. Orang itu menyetujui untuk bertemu di sebuah tempat sarana olahraga, tepatnya di stadium utama GBK Senayan Jakarta yang saat ini tampak ramai oleh pengunjung yang tengah berolahraga pagi, seperti jogging dan bersepeda.Mobil menepi di bahu jalan, Friska kembali menghubungi orang itu sementara suaminya pun mendapatkan sebuah panggilan masuk dari kliennya.“Oh, kamu udah sampe? di sebelah mana?” Friska mengedarkan pandangan. Me
Friska tercekat. Hatinya tiba-tiba merasakan sebuah desiran yang menjalar hingga relung terdalam hatinya. Ia tidak tahu perasaan macam apa ini! Atau mungkin ia memaknai perasaan itu seperti sebuah kerinduan?Namun, saat ini Zafriel tampak berbeda. Apa maksud ucapannya tadi? bergurau atau memang sebuah ungkapan nyata dari hati? Friska tak sanggup berucap, lidahnya kelu dengan tatapan yang masih sama terkejutnya. Bahkan untuk bernapas pun tiba-tiba rasanya begitu sulit. Degup jantungnya pun seperti bersiap ingin perang.Wanita itu berusaha untuk tetap bersikap sewajarnya. Menormalkan kembali perasaannya. Tak bisa dipungkiri, Zafriel pun adalah pria yang sangat rupawan, masih sama seperti dulu. Gadis mana pun tak punya alasan untuk tidak jatuh cinta pada sosok pria itu. Takut kalau-kalau tiba-tiba ia mengagumi pria disebelahnya.Itu mustahil. Friska sudah menikah dan hanya mencintai Faris, suaminya.Friska berdeham kecil.“I’m sorry, Zaf. I’m not good at saying goodbye.” Tiba-tiba saja pe
Hening beberapa saat. Zafriel hanya merespon dengan senyuman tipis diwajah tampannya. Kemudian ia menarik napas dan membuangnya dengan perlahan. “Punya. Satu tahun setelah kamu pindah, aku sempat punya teman dekat, cewek. Cuma ... kita pacaran nggak lama, kurang dari satu tahun udah putus!” jelas Zafriel. “Waw. Mantan pertama kamu dong itu?” tanya Friska. “Bisa di bilang begitu,” ucap Zafriel. “Kenapa putusnya kalau boleh tau, Dok?” Faris menilik ke arah center mirror. “Hmm ... ngerasa gak nyaman aja. Haha!” kata Zafriel dengan lugas. Friska pun tertawa renyah. Sejauh ia mengenal pria itu, ia memang tidak pernah tahu tipikal perempuan seperti apa yang disukai oleh Zafriel. “Kamu atau dia yang mutusin?” tanya Friska yang saat ini menjadi sangat kepo pada kehidupan teman lamanya itu. Yang ditanya pun hanya bisa tertawa kecil. Sembari menaikkan kedua alisnya. Sebetulnya kisah masa lalunya dengan seorang perempuan sangat tidak menarik untuk dibahas. Karena bagi Zafriel memang tidak
Senyum bahagia terpancar di sana. Bocah kecil itu pun menerima jajanan berbentuk karakter kartun yang sangat lucu. Ia tertawa renyah dan berterima kasih pada sang penjual. Faris pun memberikan satu lembar uang untuk membayarnya. Tangan mereka saling terpaut, gadis kecil itu terlihat sangat nyaman didekat pria itu. “Terimakasih, Om Faris. This is my favorite snack. Would you like try it?” kata gadis kecil itu yang bibirnya sudah belepotan dengan kembang gula. Faris membungkuk dan kemudian menyejajarkan posisinya dengan gadis kecil itu. Ia tersenyum hangat sembari mengusap lembut puncak kepala gadis kecil dihadapannya. “Tidak. Ini untukmu saja. Habiskan ya. Oh ya, satu lagi, jangan terlalu sering makan snack yang manis-manis ya, cantik. Nanti gigi kamu berlubang!” ujar Faris, membuat gadis kecil itu melebarkan mata dengan mulut yang terbuka. “Apa itu benar?” katanya yang terkejut. Faris mengangguk dan tertawa kecil. “Kalau keseringan, bisa seperti itu. Makanya, kamu harus rajin meng
Faris melebarkan mata. Ia memposisikan tubuh Friska agar berada dihadapannya. Mata mereka saling bertemu, ekspresi sedih itu mengungkapkan perubahan drastis yang terjadi pada wajah sang istri. Sejenak sebelumnya, Friska terlihat begitu bersemangat setelah menyelesaikan syuting hari itu, namun sekarang ekspresinya berbeda sekali. “Loh ... kok kamu ngomong gitu, sih?” Faris terus menatap istrinya. Terheran, mengapa tiba-tiba Friska berkata demikian. “Dengar aku, sayang. Apa pun yang terjadi sama kita, itu bukan kesalahanmu, atau kesalahan siapa-siapa. Ini adalah garis takdir yang harus kita jalani. Aku bahagia sama kamu, dan kamu pun begitu, kan?” Friska menarik napas dalam. Mencoba menormalkan kembali suasana hatinya. Ia menyeka pipi dan kini matanya beradu dengan sang suami. Ada ketulusan dan cinta yang selalu terpancar di dalam sana. Tatapannya amat sangat meneduhkan, tetapi hal itu seperti kembali menghujam hati Friska setiap kali terbayang betapa jahatnya ucapan orang-orang yang s
Lengang sesaat. Ada saja cerita-cerita aneh Yoana tentang kakaknya. Namun, kali ini tampaknya ada yang janggal. “Teman arisan kali,” pikir Zafriel. “Sejak kapan dia suka arisan-arisan?! ketemu sama temannya mama aja kadang ogah-ogahan, ada mertuanya pulang dari luar negeri aja malas basa basi dia. Ini tuh dia kayak udah akrab lamaaaa banget sama tuh ibu-ibu. Lengket banget gitu, Kak. Kayaknya ... yang usulin bikin acara besar juga ya sama si ibu itu kali!” kata Yoana. Zafriel mengangkat alis. Ia memang sudah lama mengenal Yoana, bahkan gadis itu amat sangat terbuka tentang keluarganya—terkadang membuat Zafriel pun turut dibawa pusing oleh cerita-ceritanya. Pasalnya, kakak perempuan dari Yoana itu pun adalah pasiennya. “Ya udah, gak usah terlalu di pikirin deh, Yoa. Harusnya enak dong, berkat ada si ibu-ibu itu, Gege jadi gak gangguin kamu buat minta temenin ke sana ke sini, hahaha!” canda Zafriel. Membuat suara tawa terdengar dari seberang panggilan.
“Tapi kita juga jangan menormalkan sesuatu yang gak seharusnya!” ujar Faris. Ekspresinya sangat datar. “Mau gimana lagi, Ris? Mamamu kan terobsesi banget pengen punya cucu. Sementara kita gak bisa kasih dia apa-apa bahkan pengertian kecil pun selalu dia abaikan!” seru Friska. Faris hanya terdiam, benaknya sangat penuh saat ini. Apa jadinya kalau Friska mengetahui sesuatu dibalik itu semua. Malam semakin larut, mereka akhirnya tiba di kediaman orang tua Faris. Seorang gadis cantik berambut ikal cokelat sebahu langsung menyambut kedatangan mereka. “Kalian pasti sering banget keluyuran malem-malem ya?” kata Amara. Faris masih terdiam. Tak menggubris. Sementara Friska langsung memeluk singkat adik iparnya itu. “Bukan keluyuran. Habis ada kerjaan deadline.” Friska tersenyum hangat. Amara hanya mengangguk kecil. Pasalnya, tanpa dijelaskan detail pun, gadis itu sudah mengetahui tentang kesibukan Faris dan istrinya. Ia hanya b
“Aku akan lebih tega jika membiarkan dia berpisah dengan seseorang yang sangat dicintainya. Ma, kita hanya tidak sadar, kalau yang membuat Friska bisa bertahan sejauh itu hanyalah karena suaminya!” Zafriel menegaskan.Perasaannya mendadak tergoncang saat ini. Tetapi ia tidak mau terkalahkan oleh akal sehat.“Lupakan perjodohan itu! Aku akan tetap menjadi seorang dokter yang akan membantunya mewujudkan mimpi mereka untuk mendapatkan anak!” seru Zafriel pada akhirnya. Ia tidak ingin menjadi jahat jika menyetujui perjodohan konyol itu.Kirana menatap serius ke arah putranya dan kembali berujar.“Kamu munafik, Nak. Mama tau betul kamu sangat menginginkan dia! Kamu juga tidak ingin dia menangis karna terus menerus tersiksa batinnya. Ayolah, Nak. Perjuangkan dia sekali lagi! Dapatkan dia, dan bahagiakan dia!” Mendadak Kirana tersulut emosional dan justru mendukung perjodohan itu.“Tidak! Aku akan menjadi pencuri kalau seperti itu, Ma.” Zafriel tetap menolak.“Bukan! Kamu bukan pencuri! Kamu
“Apa-apaan ini?” gumam Friska yang masih tak percaya. Degup jantunya seperti berhenti berdetak.“Kami yakin, Zafriel adalah pria yang tepat untukmu. Dia pasti bisa membahagiakan kamu seperti Faris!” ucap Arya dengan yakin.“Tidak!!” tolak Friska cepat dan tegas. Membuat suasana menjadi semakin tegang. Friska tak pernah sebelumnya terlihat sangat tegas dan marah dihadapan keluarganya.Mungkin kali ini emosinya sudah tidak bisa dibendung lagi. Banyak yang terjadi belakangan ini, dan semuanya karena satu persoalan, yaitu perihal keturunan. Suatu hal yang sangat sensitif di beberapa kalangan yang begitu mengharapkan.“Sudah cukup! Aku tidak mau berdebat lebih jauh lagi! Ini sudah terlalu berlebihan, Pa!” Napas Friska naik turun dengan berat. Tubuhnya mulai merasakan getaran akibat menahan tangis dan emosi. Daripada meledak, Friska memilih untuk menyudahi pertemuan itu.“Apa pun yang terjadi denganku
“Mama benar-benar keterlaluan! Kenapa sih dia ambisi banget sama keluarga itu?” Kini Amara yang terlihat sangat kesal.“Itulah, kelemahan papa, tidak bisa mengendalikan keinginan mamamu yang satu itu!” ucap Gandha.“Itu bukan kelemahan Papa. Tapi emang Mama-nya aja yang gak bisa di kasih tau!” ketus Amara.“Ya udah. Sekarang kita ke rumah sakit aja!” sambung Amara. Saat melihat ayahnya dalam keadaan yang kurang sehat.“Loh kenapa ke rumah sakit? Kita kan mau ke bandara!” kata Gandha.“Gimana aku bisa pergi kalau keadaan Papa kayak gini? Yang ada nanti Papa kenapa-napa sendirian!” ujar Amara yang melepas seat belt dan hendak menggantikan ayahnya untuk mengemudi mobil.“Papa udah lebih baik kok, Nak.” Gandha berusaha tersenyum.“Ya udah, kalau gitu kita pulang aja ke rumah. Papa harus istirahat biar aku balik ke Jerman lusa aja!” ujar Amara.Jadilah, Amara dan ayahnya memilih untuk pulang ke rumah. Sementara itu di lain tempat, Friska dan ayahnya beserta Mbah Putri sudah berada di sebu
“Apa yang Anda bicarakan, Bu Ratna?” Farida seolah tercenung melihat kedatangan Raden Arya juga ibunya itu.“Ucapanmu itu sudah sangat keterlaluan! Bukan hanya ucapan bahkan sikap dan perilakumu pada cucuku sudah tidak bisa dimaafkan!” tandas Mbah Putri.“Tapi apa yang saya bicarakan itu semua fakta! Memang Friska yang bermasalah dalam hal ini!” ujar Farida yang masih tampak angkuh.Mbah putri menghela napas dan menyeringai sinis. Sementara Friska hanya berdiri mematung. Ia enggan untuk bersuara lagi. Lelah berdebat dengan orang tua yang sangat egois itu.“Memangnya kamu punya bukti apa sampai mengira cucuku mandul? Apakah kamu sudah melihat rangkaian pemeriksaan medis? Lalu, bagaimana jika ternyata putramu yang bermasalah?” Mbah Putri menatap penuh menantang.“Itu tidak akan terjadi!” balas Farida.“Bu, sudahlah. Ingat! Apa tujuan kita datang ke rumah sakit ini!” bisik
Wajah gadis itu tampak penuh dengan kesedihan dan keterkejutan.“Ada apa, Yoana? Kenapa kamu menangis?" tanya Zafriel yang tampak terheran. Kemudian Yoana duduk di kursi yang berdekatan dengan Friska.Friska pun mengusap bahu Yoana yang bergetar. Perempuan itu masih berusaha keras untuk menenangkan diri sambil terisak-isak."Orang tua kami ...," suaranya gemetar.“Kamu harus mencoba untuk tenang, Yoana," ujar Friska sambil mengusap lembut bahu Yoana.Beberapa saat berlalu dalam keheningan. Zafriel dan Friska memberikan Yoana waktu yang untuk bisa mengendalikan diri.Akhirnya, Yoana bisa mengatur napasnya kemudian perlahan menjelaskan.“Mama dan Papa ... mereka mengalami kecelakaan tunggal, Kak,” ucap Yoana dengan suara parau.“Benarkah? Kecelakaan?” Zafriel bertanya dengan sorot mata yang penuh kekhawatiran.“Mereka mengalami kecelakaan beberapa jam lalu di Malaysia. Saat aku akan menyusul ke sana, pihak rumah sakit mengabari kalau mereka tidak bisa diselamatkan dan... meninggal.” Yoa
Gladies tersenyum tipis. Ia memang selalu berlebihan dalam hal apa pun, bahkan tanpa persetujuan orang tuanya, ia berani menjanjikan kerja sama antara perusahaan orang tuanya dengan perusahaan keluarga Faris. Itu fatal sekali.Untung saja Faris memiliki saham besar di perusahaan keluarganya sehingga apa pun yang terjadi tetap harus atas persetujuannya. Friska pun tidak tega melihat kegusaran ayahnya karena kesalahpahaman itu. Karena dana yang disuntikan pada perusahaan Gandha bukan jumlah yang main-main.“Oke, aku mengerti. Tapi terlepas soal itu semua, aku benar-benar minta maaf karena telah membuat kamu sedih, Friska. Karena mertuamu lebih sayang padaku dari pada kamu!” ucap Gladies yang kali ini mengalihkan topik.Sementara Friska hanya mendengus perlahan. Baginya Gladies seperti ABG yang hobi-nya mencari pengakuan.Friska menyeringai kecil seolah sangat jijik dengan pernyataan Gladis yang sama sekali tidak membuatnya merasa direndahkan. Justru Friska semakin memahami wanita sepert
Friska menghela napas panjang. Untuk apa juga wanita itu menghubunginya? Namun, Friska tak mau banyak mengambil pusing, soal mertuanya saja sudah cukup membuat hati dan kepalanya hampir meledak penuh kesal.Kemudian ia hanya membalas seperlunya saja, yang menunjukkan kalau ia bersedia untuk bertemu. Gladies juga yang menyarankan lokasi tempat mereka akan bertemu. Friska hanya mengikutinya saja.“Apa pun yang mau dia bicarakan, aku tetap harus mengambil sikap tegas juga, Ris.” Besok paginya Friska berbincang dengan suaminya di telepon. Memberi tahu soal ajakan Gladies.“Iya tapi apa perlu kalian bertemu? Aku yakin, wanita itu hanya ingin mempermainkan kamu aja, Sayang! Maksudku ... mungkin aja dia mau memperkeruh keadaan!” ujar Faris di seberang panggilan.“Itu kekanak-kanakan banget, Ris. Lagian, anggap aja ini sebagai teguran awal buat Gladies supaya gak mengusik hidup kita!” kata Friska.Faris menghela napas di seberang panggilan.“Sayang, selain membahas soal kedekatan dia sama mam
Friska menyeka air mata, kemudian menyalami nenek juga ayahnya. Mereka kemudian duduk bersama di ruang tamu. Membicarakan hal yang cukup serius ini. Setiap sebulan sekali, neneknya itu memang akan berkunjung ke rumah putranya. Kebetulan sekali saat kedatangannya kali ini ada Friska juga di sana. “Maksud Mbah putri apa?” tanya Friska. “Kamu dibilang mandul oleh mertuamu kan?” kata Mbah putri. Friska hanya menunduk lemah. Jika sedang bersikap tegas, wanita tua itu terlihat lebih mengerikan. “Memangnya kalian sudah sejauh apa memeriksakan kesehatan sampai si Farida itu menyimpulkan kalau kamu yang mandul?” tanya Raden Arya, ayah Friska. “Kami baru sekali ke dokter kandungan, Pa.” Kata Friska. “Terus apa kata dokter?” tanya Arya. “Kondisi aku terakhir hanya gangguan hormon karena terlalu stress. Sisanya keadaan rahimku baik. Itu pun hanya di lihat dari pemeriksaan USG aja. Kami belum konsultasi lebih jauh lagi,” ujar Friska. “Terus keadaan suamimu gimana?” tanya Arya lagi. “Faris
“Aku bisa melihat dengan jelas dari wajahmu, Fris.” Zafriel menatap lurus. Meski sudah tidak ada air mata, tetapi sorot sendu di wajah Friska tetap tidak bisa disembunyikan.Friska menelan ludah dengan berat. Darah dalam tubuhnya terasa mendidih terbayang bagaimana acara di dalam tadi. Merasa sudah dikhianati oleh keluarga suaminya sendiri, bahkan oleh Zafriel yang sebenarnya tidak tau apa-apa.“Aku permisi, Zaf.” Friska langsung memasuki mobil saat melihat dari arah lain Amara tengah melihatnya dengan ekspresi kebingungan.“Friska, tunggu!” Zafriel kembali memanggil. Tetapi wanita dalam mobil itu tak lagi menghiraukan dan memilih beranjak cepat-cepat.Pria itu hanya bisa menatap hingga mobil Friska menghilang dari pandangan. Hatinya merasa sangat resah dan kasihan melihat teman lamanya itu. Jadilah, Zafriel pun memilih kembali ke tengah-tengah acara.Namun, tujuannya bukan untuk melanjutkan acara, melainkan berpamitan dengan sang pemilik acara. Bagaimanapun ia datang baik-baik dan ha