“Program hamil itu gimana, Dok?” tanya Faris.
Dokter mengangguk kemudian mulai memaparkan. “Jadi, kalau kalian ikut program hamil, memang ada serangkaian hal yang harus dilakukan guna untuk menunjang terjadinya kehamilan. Contohnya seperti tadi, istri Anda baru saja menjalani langkah awal pemeriksaan USG Transvaginal, lalu setelah ini saya akan memberikan surat rujukan agar pasien melakukan tes laboratorium seperti hormon, juga untuk suami langkah awalnya adalah analisis sperma.”
“Perlu dicatat: untuk program hamil, bukan hanya istri saja yang harus melakukan rangkaian pemeriksaan, melainkan suami juga. Dalam hal ini, kesehatan dan kesuburan suami dan istri itu sangat penting. Keduanya harus berkesinambungan.” Dokter menjelaskan.
Friska dan Faris mengangguk.
“Gunanya analisis sperma itu apa?” tanya Faris lagi.
“Hal itu untuk melihat kesuburan dari sisi pria. Dari hasil analisis sperma kita bisa melihat jumlah, gerakan, struktur serta bentuknya. Karena dari beberapa kasus, jumlah sperma yang kurang atau pergerakannya yang rendah, bisa menjadi indikasi adanya masalah kesuburan bahkan menyebabkan sulitnya terjadi pembuahan dan kehamilan,” ujar Dokter Zafriel.
Faris mengangguk tanda mengerti, kemudian bergantian Friska yang bertanya.
“Kalau untuk istri, rangkaian pemeriksaannya ada apa lagi, Zaf?” tanyanya. Ia selalu menggunakan panggilan nama singkat, karena lebih nyaman seperti itu baginya. Mengingat mereka adalah teman yang cukup dekat kala itu.
“Kalau untuk istri biasanya kita akan melakukan USG Transvaginal yang barusan dilakukan, kemudian tes hormon. Oh ya, tes hormon ini juga berlaku untuk suami ya. Kemudian untuk istri ada namanya pemeriksaan HSG atau Histerosalpingografi. Itu adalah sebuah pemeriksaan radiografi atau biasa disebut dengan rontgen. Ini manfaatnya adalah untuk mengetahui kondisi rahim dan saluran indung telur. Apakah ada penyumbatan, penyempitan atau masalah lainnya yang menyebabkan seorang wanita sulit hamil atau infertilitas.” Zafriel dengan detail terus memaparkan.
“Itu cara pemeriksaannya gimana? maksudnya cuma pake alat di tempel di perut atau kayak USG tadi ada alat yang dimasukkan melalui vagina?” tanya Friska penasaran cenderung takut.
Zafriel tersenyum lebar lalu kembali menjelaskan. “Ya, memang ada alat yang di masukkan kembali melalui vagina, sebuah alat seperti kateter fleksibel atau selang kecil yang dimasukkan hingga menjangkau rahim. Kemudian ada cairan pewarna kontras yang disuntikkan untuk menunjukkan struktur dalam rahim dan saluran tuba serta ukurannya pada monitor. Zat kontras itu juga akan bergerak ke bagian-bagian rahim sehingga mempermudah dokter melakukan analisa pada bagian yang sedang diperiksa. Begitu pemaparan mudahnya, Fris.”
“Aduhh! sakit gak tuh prosesnya?” Friska melebarkan mata. Membayangkannya saja sudah membuat ngilu.
“Sebelum dilakukan tindakan, pasien akan diberi obat anti nyeri, kok. Memang pasti akan ada rasa sakit seperti kram saat datang bulan, tapi itu gak akan berlangsung lama.”
Friska mengangguk paham. “Begitu ya, lama gak prosesnya?”
“Tidak terlalu lama, paling hanya memakan waktu sekitar 30 menit saja.”
“Ohh,” Friska mengangguk. “Apa pemeriksaan itu bisa dilakukan kapan saja?”
“Untuk HSG disarankan datang 7-10 hari setelah hari pertama haid terakhir. Dan sebelum masa subur, itu adalah waktu terbaik untuk melakukan pemeriksaan,” jawab dokter.
“Berarti masih lama ya. Sekarang aja kan aku belum haid!” kata Friska.
“Terus kalau untuk analisis sperma apakah ada waktu tertentu untuk melakukan pemeriksaannya?” Giliran Faris yang bertanya.
“Bisa kapan saja. Tapi dengan beberapa catatan. Kondisi tubuh harus sedang sehat, kemudian sebelum pemeriksaan tidak melakukan hubungan suami istri atau abstinensia seksual artinya tidak ejakulasi dengan cara apa pun selama 3-4 hari, bahkan ada beberapa literatur resmi seperti WHO yang menyarankan sekitar 2-7 hari. Ini sederhana, agar hasil analisis sperma benar-benar akurat,” papar dokter.
“Loh, terus dengan cara apa dong air maninya bisa keluar?” tanya Faris lagi dengan alis yang berkerut.
“Nanti pada hari pemeriksaan, akan disediakan tempat untuk melakukan ejakulasinya. Lalu, air mani harus segera ditampung di sebuah wadah steril yang sudah disiapkan.”
Sebuah perbincangan ini bukan lagi hal tabu bagi mereka yang sudah dewasa, terlebih pada dokter yang ahli dalam bidangnya. Bagaimanapun Friska dan Faris harus mengetahui banyak hal mengenai kesehatan dan rangkaian pemeriksaan jika segera ingin punya anak.
“Ohh, berarti dalam waktu dekat ini sudah bisa untuk ke lab kan, Dok?” tanya Faris.
“Bisa,” jawab dokter.
Namun, saat sedang seru bercakap-cakap dengan dokter, ponsel Friska kembali berdering. Asistennya melepon. Ia kemudian beranjak sebentar untuk menerima panggilan tersebut. Dokter dan Faris pun mempersilakan.
“Jadi, sekarang istri saya hanya melakukan USG lalu diresepkan obat dan vitamin?” tanya Faris lagi.
“Iya. Ini resep dan surat rujukan lab-nya ya.” Dokter Zafriel menyerahkan dua lembar kertas yang berisi resep obat dan satu lagi sudah dikemas rapi dalam amplop putih berisi surat rujukan dokter.
Faris mengangguk dan mengambilnya. Karena sudah tidak ada lagi yang akan ditanyakan, pun Friska yang masih sibuk dengan ponselnya, akhirnya Faris menyudahi sesi konsultasi bersama dokter kandungan tersebut.
“Kayaknya istri saya bakal lama banget kalau udah ditelepon sama asistennya. Kalau begitu, konsultasi sekarang ini saya rasa sudah cukup, Dok.”
Zafriel tersenyum lebar dan berkata, “Baik, tidak masalah. Yang penting jangan lupa saran dan instruksi yang saya berikan ya.”
Faris mengangguk cepat lalu berdiri dan berjabat tangan dengan dokter. “Oke, terimakasih dokter ....”
“Dokter Zafriel.” Dokter itu langsung menyambung kalimat yang terjeda dari Faris. Tampaknya ia lupa siapa nama dokter di hadapannya.
“Oh iya, dokter Zafriel. Terimakasih dokter Zafriel Adiningrat!” ujar Faris setelah membaca kembali name tag dokter yang tergeletak di sisi meja itu.
Kemudian ia keluar dari ruangan dan menuju meja pembayaran, sekaligus menebus obat serta bertanya-tanya pada staf perawat mengenai lab tempat ia akan melakukan pemeriksaan lanjutan.
Friska menilik ke arah suaminya yang sedang menyelesaikan administrasi, langsung melangkah mendekat dan menepuk bahu pria itu, memberikan kode bahwa ia akan lebih dulu memasuki mobil. Tangan kanannya pun masih sibuk memegang ponsel.
Lalu Friska dengan tergesa-gesa melangkah cepat menuju parkiran sehingga ia tak sengaja menyenggol bahu seorang perempuan.
“Eh, maaf-maaf!” katanya sembari menangkupkan tangan di dada.
Perempuan dengan rambut hitam ikal dan mengenakan jas snelli itu hanya tersenyum dan melanjutkan langkahnya. Friska terus memperhatikan karena merasa tak enak hati, sampai perempuan itu berhenti di depan ruangan tempat di mana Friska baru saja melakukan pemeriksaan dengan dokter kandungan.
Perempuan cantik berambut ikal itu masuk dan lalu menghilang dari pandangan Friska. Tak lama Faris yang sudah menyelesaikan administrasi dan menebus obat-obatan, segera menyusul istrinya ke dalam mobil. Lantas mereka beranjak meninggalkan rumah sakit dan menuju lokasi syuting tempat di mana Friska sebagai seorang produser dan sutradara sudah di nanti-nanti kedatangannya.
“Udah jam 10 malam, Fris. Kamu selesai jam berapa nanti?” tanya Faris di sela-sela perjalanan.
“Belum tau. Kalau gak ada hambatan apa-apa, mungkin kita bisa pulang sebelum subuh.” Friska menghela napas, terlihat jelas wajahnya pun tampak lelah.
Sebelumnya, Faris dan Friska sudah mampir ke sebuah restoran cepat saji untuk menyantap makan malam. Setelah itu Friska meminum obat dan vitamin yang diberikan oleh dokter.
Lengang sejenak. Faris fokus mengendarai mobil. Sementara Friska kembali sibuk dengan ponselnya. Kali ini, ia iseng-iseng membuka sosial media, melihat beberapa unggahan story dari teman dan orang-orang terdekatnya.
Awalnya tidak ada yang aneh dari semua itu. Sampai tiba ia menggulir ke sebuah akun sosial media milik mertuanya. Matanya sontak melebar dan jantungnya berdegup cepat saat melihat Farida mengunggah video saat makan malam bersama seorang wanita yang tak asing untuknya.
“Gladies ….” Friska bergumam dengan hati yang berdesir nyeri. Sementara Faris menoleh cepat saat istrinya menggumamkan nama itu.
**
“Ada apa, Fris?” tanyaFaris saat melihat ekspresi istrinya yang tampak masam.“Mama apa-apaan, sih.”Friska memperlihatkan sebuah postingan di sosial media Farida.Faris menyipit danmemperhatikan dengan saksama. Setelah menyadari suatu hal, ia pun sontakmelebarkan mata dan mendengkus kesal. Faris terdiam tak bisa berkomentar.“Ternyata mereka masihsering berhubungan ya, Ris?” Friska bertanya. Nada suaranya terdengar takbersahabat.Faris menggeleng.Ekspresi wajahnya pun datar. Dari pergerakan dadanya pun terlihat bahwanapasnya naik turun dengan berat. Rona kekecewaan pun terpancar di sana.“Keterlaluan!” komentarFriska. Ia pun terlihat sangat kecewa.“Blokir aja kalau kamumerasa terganggu.” Faris berujar pasrah. Ia pun bingung harus berkata apa saatmelihat ulah ibunya yang lagi-lagi di luar perkiraan.“Bukan itu masalahnya!”Friska mulai menegang. “Kelakuan mama kamu itu sama aja seperti gak menghargaikita, Ris! Dia ternyata masih akrab banget sama mantan kamu. Apa kataoran
“Iya. Temen main waktu kecil. Lucu deh dia tuh dulu. Kalau ngomongin Zafriel yang aku inget tuh, waktu kita di kejar-kejar anjing tetangga sampe kita naik ke pohon mangga orang, terus malah di kira maling buah!” Friska tertawa teringat masa-masa kecil dengan pria itu. Faris tertawa kecil, lalu kembali bertanya, “Sampe dewasa temenannya?” “Hm ... sampe kita kelas satu SMA sih tepatnya. Karena kan waktu itu Papa sama Mama pindah ke Jakarta. Aku pindah sekolah, terus kuliah dan kerja pun di kota yang sama.” Friska menghela napas, lalu kembali melanjutkan, “Dari situ kita gak pernah ketemu lagi dan lost contact lah ceritanya.” Faris mengangguk, ia memang sudah tahu perjalanan hidup istrinya sejak pindah dari Jogjakarta. Namun, selama lebih dari satu dekade mengenal istrinya, ia belum pernah mendengar tentang teman kecil Friska yang bernama Zafriel itu. Apalagi pria itu yang saat ini juga menjadi dokter konsultan kehamilan mereka. “Lucu juga ya, kalian dipertemukan lagi sekarang. Dia ya
Keesokan paginya, Faris dan Friska sudah meninggalkan kawasan Puncak Bogor dan kembali menuju Jakarta. Tugasnya sudah selesai semua untuk mengawasi jadwal syuting semalam. Sementara para kru dan pemain masih menetap di villa itu, mengingat masih banyak schedule yang harus di selesaikan oleh mereka di tempat itu, sembari menunggu Friska kembali dan membawa pemain baru.Sebelumnya Friska sudah mengirim pesan singkat pada seseorang yang akan ia temui pagi ini, sekaligus untuk menawarkan kerja sama dalam pembuatan series movie yang di adaptasi dari novelnya sendiri. Orang itu menyetujui untuk bertemu di sebuah tempat sarana olahraga, tepatnya di stadium utama GBK Senayan Jakarta yang saat ini tampak ramai oleh pengunjung yang tengah berolahraga pagi, seperti jogging dan bersepeda.Mobil menepi di bahu jalan, Friska kembali menghubungi orang itu sementara suaminya pun mendapatkan sebuah panggilan masuk dari kliennya.“Oh, kamu udah sampe? di sebelah mana?” Friska mengedarkan pandangan. Me
Friska tercekat. Hatinya tiba-tiba merasakan sebuah desiran yang menjalar hingga relung terdalam hatinya. Ia tidak tahu perasaan macam apa ini! Atau mungkin ia memaknai perasaan itu seperti sebuah kerinduan?Namun, saat ini Zafriel tampak berbeda. Apa maksud ucapannya tadi? bergurau atau memang sebuah ungkapan nyata dari hati? Friska tak sanggup berucap, lidahnya kelu dengan tatapan yang masih sama terkejutnya. Bahkan untuk bernapas pun tiba-tiba rasanya begitu sulit. Degup jantungnya pun seperti bersiap ingin perang.Wanita itu berusaha untuk tetap bersikap sewajarnya. Menormalkan kembali perasaannya. Tak bisa dipungkiri, Zafriel pun adalah pria yang sangat rupawan, masih sama seperti dulu. Gadis mana pun tak punya alasan untuk tidak jatuh cinta pada sosok pria itu. Takut kalau-kalau tiba-tiba ia mengagumi pria disebelahnya.Itu mustahil. Friska sudah menikah dan hanya mencintai Faris, suaminya.Friska berdeham kecil.“I’m sorry, Zaf. I’m not good at saying goodbye.” Tiba-tiba saja pe
Hening beberapa saat. Zafriel hanya merespon dengan senyuman tipis diwajah tampannya. Kemudian ia menarik napas dan membuangnya dengan perlahan. “Punya. Satu tahun setelah kamu pindah, aku sempat punya teman dekat, cewek. Cuma ... kita pacaran nggak lama, kurang dari satu tahun udah putus!” jelas Zafriel. “Waw. Mantan pertama kamu dong itu?” tanya Friska. “Bisa di bilang begitu,” ucap Zafriel. “Kenapa putusnya kalau boleh tau, Dok?” Faris menilik ke arah center mirror. “Hmm ... ngerasa gak nyaman aja. Haha!” kata Zafriel dengan lugas. Friska pun tertawa renyah. Sejauh ia mengenal pria itu, ia memang tidak pernah tahu tipikal perempuan seperti apa yang disukai oleh Zafriel. “Kamu atau dia yang mutusin?” tanya Friska yang saat ini menjadi sangat kepo pada kehidupan teman lamanya itu. Yang ditanya pun hanya bisa tertawa kecil. Sembari menaikkan kedua alisnya. Sebetulnya kisah masa lalunya dengan seorang perempuan sangat tidak menarik untuk dibahas. Karena bagi Zafriel memang tidak
Senyum bahagia terpancar di sana. Bocah kecil itu pun menerima jajanan berbentuk karakter kartun yang sangat lucu. Ia tertawa renyah dan berterima kasih pada sang penjual. Faris pun memberikan satu lembar uang untuk membayarnya. Tangan mereka saling terpaut, gadis kecil itu terlihat sangat nyaman didekat pria itu. “Terimakasih, Om Faris. This is my favorite snack. Would you like try it?” kata gadis kecil itu yang bibirnya sudah belepotan dengan kembang gula. Faris membungkuk dan kemudian menyejajarkan posisinya dengan gadis kecil itu. Ia tersenyum hangat sembari mengusap lembut puncak kepala gadis kecil dihadapannya. “Tidak. Ini untukmu saja. Habiskan ya. Oh ya, satu lagi, jangan terlalu sering makan snack yang manis-manis ya, cantik. Nanti gigi kamu berlubang!” ujar Faris, membuat gadis kecil itu melebarkan mata dengan mulut yang terbuka. “Apa itu benar?” katanya yang terkejut. Faris mengangguk dan tertawa kecil. “Kalau keseringan, bisa seperti itu. Makanya, kamu harus rajin meng
Faris melebarkan mata. Ia memposisikan tubuh Friska agar berada dihadapannya. Mata mereka saling bertemu, ekspresi sedih itu mengungkapkan perubahan drastis yang terjadi pada wajah sang istri. Sejenak sebelumnya, Friska terlihat begitu bersemangat setelah menyelesaikan syuting hari itu, namun sekarang ekspresinya berbeda sekali. “Loh ... kok kamu ngomong gitu, sih?” Faris terus menatap istrinya. Terheran, mengapa tiba-tiba Friska berkata demikian. “Dengar aku, sayang. Apa pun yang terjadi sama kita, itu bukan kesalahanmu, atau kesalahan siapa-siapa. Ini adalah garis takdir yang harus kita jalani. Aku bahagia sama kamu, dan kamu pun begitu, kan?” Friska menarik napas dalam. Mencoba menormalkan kembali suasana hatinya. Ia menyeka pipi dan kini matanya beradu dengan sang suami. Ada ketulusan dan cinta yang selalu terpancar di dalam sana. Tatapannya amat sangat meneduhkan, tetapi hal itu seperti kembali menghujam hati Friska setiap kali terbayang betapa jahatnya ucapan orang-orang yang s
Lengang sesaat. Ada saja cerita-cerita aneh Yoana tentang kakaknya. Namun, kali ini tampaknya ada yang janggal. “Teman arisan kali,” pikir Zafriel. “Sejak kapan dia suka arisan-arisan?! ketemu sama temannya mama aja kadang ogah-ogahan, ada mertuanya pulang dari luar negeri aja malas basa basi dia. Ini tuh dia kayak udah akrab lamaaaa banget sama tuh ibu-ibu. Lengket banget gitu, Kak. Kayaknya ... yang usulin bikin acara besar juga ya sama si ibu itu kali!” kata Yoana. Zafriel mengangkat alis. Ia memang sudah lama mengenal Yoana, bahkan gadis itu amat sangat terbuka tentang keluarganya—terkadang membuat Zafriel pun turut dibawa pusing oleh cerita-ceritanya. Pasalnya, kakak perempuan dari Yoana itu pun adalah pasiennya. “Ya udah, gak usah terlalu di pikirin deh, Yoa. Harusnya enak dong, berkat ada si ibu-ibu itu, Gege jadi gak gangguin kamu buat minta temenin ke sana ke sini, hahaha!” canda Zafriel. Membuat suara tawa terdengar dari seberang panggilan.