Beranda / Pernikahan / JARAK SEJUTA DETIK / Part 4. Saran Dokter

Share

Part 4. Saran Dokter

 “Hallo, Friska.” Dokter itu pun melebarkan senyuman.

Sementara Faris hanya bisa tercengang saat menyadari istrinya dan dokter itu tampak saling mengenal.

“Kalian sudah saling kenal?” tanya Faris terheran.

Friska tertawa kecil dengan mata yang melebar. “Kamu Zafriel, kan? yang rumahnya sebelah-sebelahan sama Mbah Putri waktu di Jogja?” 

Dokter itu mengangguk dengan senyum yang membuat gigi rapi dan bersihnya terekspos. Kemudian menjawab, “Ya betul. Anaknya Bu Kirana.” 

Friska menghela napas seraya mematut-matut. Ekspresinya jelas seperti orang yang sangat pangling dan tidak menyangka.

“Ya ampun, kita udah lama banget gak ketemu. Kamu dan Bu Kiran apa kabar?” tanya Friska.

“Kami semua baik, kamu sama orang tua gimana kabarnya?” Zafriel bertanya balik.

Friska mengangguk dengan senyuman, “Kami juga baik. Eh, Ris, kenalin ini Zafriel, tetangga aku waktu di Jogja, temen kecil aku!” Friska sangat berantusias memperkenalkan keduanya.

“Ohh.” Faris mengangguk. Lalu berjabat tangan dengan Zafriel. Berkenalan.

“Kebetulan banget ya. Dokter kita hari ini ternyata tetangga kamu juga!” kata Faris yang membuat Friska kembali melebarkan mata.

“Oh iya. Aku gak tau kalau kamu obgyn di sini. Soalnya yang urus pendaftaran sampe kita bisa ke sini, ya suamiku ini!” kekeh Friska.

“Waw, sibuk banget nih kayaknya!” kata Zafriel sembari tertawa.

“Yahh, lumayan lah. Ini aja kita sempetin waktu buat ke dokter. First time, lho!” balas Friska.

“Kalian sudah berapa lama menikah?” tanya Zafriel.

Faris dan Friska saling menoleh lalu kembali menatap dokternya. “Ini tahun ke 8 pernikahan.”

Dokter Zafriel mengangguk dengan senyuman manis yang tak pernah luput dari wajah tampannya. Bagi Faris dan Friska, selama ini mungkin Zafriel adalah orang pertama setelah mendengar usia pernikahan mereka, tetapi ekspresinya begitu santai dan terlihat bersahabat. Mungkin karena ia adalah seorang dokter. Terlebih dokter kandungan. Bisa menyikapi dengan baik saat mendengar usia pernikahan yang sudah cukup lama tetapi tak kunjung mendapatkan anak.

Wajar. Faris dan Friska meskipun cuek dan berusaha menutup kuping dari omongan buruk orang lain tentang pernikahan mereka, tetapi tetap saja segelintir ucapan pedas dari orang-orang terkadang membuatnya trauma jika harus mengatakan berapa usia pernikahan mereka. Dalam hal ini adalah trauma ditanyakan mengapa belum punya anak!

Lalu setelah bercakap-cakap dengan sepasang suami istri itu dan bertukar kabar, kini dokter itu pun kembali fokus dengan tujuan utama kedatangan pasiennya.

“Oke, jadi gimana nih, apa ada keluhan?” tanya dokter Zafriel yang kini sudah bersikap profesional selayaknya dokter dengan pasien.

“Mau konsultasi dulu aja sih, Zaf,” ucap Friska.

“Boleh, tapi sejauh ini apa ada keluhan sebelum dan sesudah datang bulan?” tanya dokter Zafriel.

Friska menerawang, lalu teringat beberapa hambatan yang ia rasakan belakangan ini. “Bulan-bulan kemarin sih aman ya. Normal. Paling cuma nyeri-nyeri gitu aja. Tapi ... bulan ini, aku telat hampir 8 hari.” 

“Sudah coba di tes pack?” tanya dokter.

“Udah, hasilnya garis satu.” 

Dokter itu mengangguk paham. Lalu berkata, “Oke, kita coba cek dulu ya keadaan rahimnya. Silakan ke sebelah sana.” 

Zafriel mengarahkan dengan sopan agar pasiennya berbaring di tempat tidur yang di sisinya terdapat sebuah layar monitor besar. Friska pun di bantu oleh dua orang asisten untuk mempersiapkan diri.

Pasien wanita itu diarahkan untuk membuka pakaian bawah sekaligus bagian dalamnya juga. Asisten menjelaskan dengan perlahan untuk apa pasien harus melepas pakaian bagian bawah. Friska mengangguk mengerti lalu dibantu perawat untuk menutupi dengan selimut bagian tubuhnya lalu berbaring di tempat tidur yang sudah dialasi sebuah underpad dan sebagai tatakan bokong. Lalu diminta untuk menekuk kedua kaki dan meregangkannya.

Faris membelalak saat melihat istrinya dalam posisi seperti itu. Ia menoleh pada dokter yang sedang bersiap-siap memakai sarung tangan latex, dan juga masker. Kemudian meraih sebuah alat berbentuk panjang yang sudah diolesi gel.

“Dok, tunggu! ini pemeriksaannya gimana ya?” tanya Faris yang wajahnya tampak tegang.

“Ini namanya pemeriksaan USG Transvaginal. Jadi, alat ini akan masuk ke dalam vagina untuk melihat kondisi rahim secara menyeluruh.” Zafriel menjelaskan.

“Loh, bukannya ... USG itu di perut ya, Dok?” tanya Faris yang masih tidak mengerti.

“Untuk pemeriksaan awal, ini adalah cara yang sangat efektif. Kalau USG perut tidak begitu disarankan untuk pemeriksaan awal, tidak akan menangkap kondisi rahim secara mendetail, dan akurat,” jelas dokter.

“Waduh.” Faris bergumam pelan.

Faris tampak gugup sendiri. Ia memang tidak banyak tahu soal pemeriksaan medis apalagi menyangkut pemeriksaan kewanitaan. Hal itu membuat pikirannya melayang jauh, itu artinya dokter itu akan melihat bagian sensitif dari tubuh istrinya. Bahkan sampai menyentuhnya. 

Ah, ini kacau dan menyebalkan menurut Faris. Mengapa harus laki-laki yang menjadi dokter kandungan sehingga bisa leluasa melihat keadaan istri orang lain. Namun, mau bagaimana lagi? mungkin ini memang prosedurnya. Tidak ada juga yang bisa menghalangi keinginan seseorang untuk bercita-cita menjadi apa. Lagipula tampaknya dokter bernama Zafriel yang ternyata adalah teman kecil dari istrinya itu akan bekerja dengan profesional.

Sedangkan Friska sedari tadi menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Mencoba mencari ketenangan saat pertama kalinya ia melakukan pemeriksaan yang cukup sensitif ini. Ia tidak setegang suaminya, karena sebelum-sebelumnya ia pun sering mendengar jenis pemeriksaan tersebut dari teman atau saudara. Bahkan berbekal informasi dari sosial media juga internet. Paling tidak ia sudah mempunyai gambaran bagaimana menjalaninya.

Soal dokternya siapa dan seperti apa, ia cukup percaya saja. Meski dokter itu adalah teman atau siapapun, yang terpenting adalah tetap profesional kerja. Apalagi ini adalah rumah sakit swasta besar di mana seluruh staf tenaga medisnya pasti lulusan terbaik dari universitas terbaik pula, di mana kinerja dan profesional menjadi nomor satu.

“Apa ada yang mau ditanyakan lagi? kalau tidak, saya izin melanjutkan pemeriksaan!” kata dokter Zafriel dengan nada suara yang sangat ramah.

Faris mengerjapkan mata lalu mengangguk dan tersenyum getir. “Oh, b-boleh.”

Kemudian pemeriksaan dimulai. Alat pun sudah masuk dengan sempurna dan memperlihatkan keadaan rahim di layar monitor yang bergerak-gerak. Pasien dan keluarga pasti tak akan paham apa yang terlihat di layar tersebut. 

Namun, tampaknya sang dokter sedang membaca dengan serius keadaan yang tergambar di sana. Serta menggerakkan sebuah kursor untuk mengukur beberapa hasil yang terlihat.

“Ini sepertinya ada penebalan dinding rahim.” Tangan dokter bergerak mengarahkan alat ke sisi lain dan layar pun menunjukkan gambaran sebuah lingkaran bulat. “Ini juga sel telurnya sudah cukup matang, hanya saja tidak pecah di waktu yang seharusnya haid. Hal inilah terkadang menjadi penyebab pasien jadi telat datang bulan.”

“Kondisi lainnya sih bagus. Bentuk rahim normal, tidak ada kista atau benjolan.” Dokter mangangguk lalu memastikan kembali semuanya.

Setelah mendapatkan hasil pemeriksaan. Dokter pun mencatat melalui alat monitor, ukuran beserta ketebalan dinding rahim dan lain sebagainya mengenai kondisi pasien. Sementara itu, Friska kembali mengenakan pakaian bawah, kemudian duduk di sebelah suaminya yang sedari tadi terdiam dan masih tampak tegang.

Lalu setelah itu, Zafriel pun membuka handscoon, mencuci tangan dan kembali duduk di kursi untuk menjelaskan lebih detail.

“Jadi penyebab istri saya telat haid kali ini, bukan karena hamil, Dok?” tanya Faris.

“Bukan. Ini karena adanya penebalan dinding rahim. Normalnya ketebalan dinding rahim yang siap dibuahi itu adalah 8-13mm, sedangkan hasil pemeriksaan sel telur istri Anda adalah 15mm, lalu keadaan sel telurnya pun sudah cukup matang yaitu 28mm, di mana angka normalnya adalah 18-25mm. Biasanya kondisi ini terjadi karena banyak hal, contohnya aktivitas yang berlebih, obesitas atau terlalu kurus, stress, depresi, dan penyakit hormonal,” papar dokter.

“Tapi BB aku kayaknya ideal kan, Zaf?” tanya Friska.

Dokter mengangguk dan berkata. “Iya, dari berat badan sih normal, tapi kadang pemicu lainnya masih ada. Mungkin karena faktor hormonal. Atau akhir-akhir ini kamu terlalu banyak aktivitas yang melelahkan juga karena stress berlebih, akhirnya membuat kerja hormon pun jadi terganggu.” 

“Terus, masalah aku ini karena dari hormon gitu ya?” tanya Friska lagi.

“Bisa jadi, nanti aku resepkan obat dan vitamin aja untuk membantu proses menstruasi agar lebih cepat. Dan, aku akan buatkan surat rujukan tes lab untuk pengecekan hormon sekaligus analisis sperma suami. Karena usia pernikahan kalian sudah lebih dari 2 tahun, biasanya kami akan menyarankan untuk ikut program kehamilan. Bagaimana?” Dokter Zafriel memberikan sebuah usul kepada suami istri itu.

Keduanya tampak terdiam sejenak. 

Program hamil?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status