Biru cemerlang menyorot fokus pada Sang Rusa di balik semak seberang. Gagang Belati melekat apik di sela jemari lentik. Dengan satu bidikan, anak panah melesat ke arah semak sana. Rusa tadi berlari menjauh, sementara Singa yang menunggu di belakangnya ikut berlari ke arah berlawanan. Dia menurunkan jemarinya, mengerjap lambat.
“Iveryne Lechsinska!” Dia berkedip lambat, mendelik pelan ke arah kaki yang tertutup dress panjang di sebelahnya. Netra biru cemerlang tidak secerah sebelumnya, agak menyipit dengan cengengesan kecilnya.“Nalaeryn … ” Iveryne merentangkan tangan siap menyambut tubuh sang kakak di kala sang empu penuh pelototan tajam mengerikan. “Pulang dari akademi bukannya masuk rumah! Ingin berburu, eh?!”Tangan Nalaeryn siap mengangkat busur, tatapannya sangat tidak berperikemanusiaan untuk sekarang. “Aku menunggu kamu dua jam! Dan ibu bahkan sudah berangkat sejak tadi!” sungutnya. Iveryne menggaruk sisi pipi yang tidak gatal, sambil merenggut masam. Agak menjijikkan—sangat! Sejujurnya ini bukan dirinya, tapi kemarahan Nalaeryn berarti maut! Jadi dia coba memberikan wajah lucu, meski sang kakak mengernyit jijik terang-terangan.“Nala … apakah kamu tidak merindukanku sama sekali … ”Nalaeryn memegang perutnya, gejolak ingin muntah tersemat disana. Sebelum seluruh isi perutnya keluar, dia buru-buru mengaitkan panah di bahu, menarik paksa sementara Iveryne bergumam tidak jelas.“Aku punya banyak waktu untuk mengomelimu nanti, sekarang, kita harus ke ibukota, membantu ibu!” Jika tentang ibunya—wanita paling cantik sepanjang sejarah, Iveryne tak perlu berpikir dua kali untuk menerima apa yang kakaknya berikan saat mereka sampai dalam rumah. Ketika Nalaeryn mendorongnya masuk sambil memberikan lipatan kain.Nalaeryn melirik jam dinding, harusnya ibu sudah buka sejak dua puluh menit lalu, adiknya benar-benar menguji kesabaran. “Kamu pikir apa yang kamu lakukan, Nona Iveryne Lechsinska!” Dia memekik tajam, baju gadis itu tetap sama, celana panjang dengan puluhan tali dan atasan kulit lengan panjang, jangan lupa belati tersemat di antara pinggangnya. “Kamu memberikanku baju dan aku sudah memasukannya dalam lemari.” Nalaeryn menepuk jidatnya, jelas sekali adiknya ini hanya mempermainkan tingkat kesabarannya yang menipis.“Berhenti pura-pura ... cepat pakai! Kamu membuang waktuku!”Dia kelewat geram, dan kembali mendorong masuk Iveryne, segera menutup pintunya kasar, sengaja mengacuhkan panggilan gadis itu. “Nala … aku terakhir berpakaian seperti itu lima tahun lalu.” “Oh, bagus, biasakan mulai sekarang.” “Nala … ” Tanpa mempedulikan, dia mendorong Iveryne masuk.Dengan wajah di tekuk, Iveryne keluar kamar, memakai dress panjang dan satu cepol-an indah tercipta di rambut hitam berkilauan itu, setelah perdebatan panjang. Keduanya naik kereta kuda yang disewa Nalaeryn, dan setengah jam perjalanan, Iveryne habiskan untuk pura-pura tidur, tatapan kakaknya lebih tajam dari bilah pedang Deathraze.Jalanan Ibukota ramai dan padat, Iveryne bukan introvert, hanya malas. Biasanya pada jam ini dia berlari lima putaran di lapangan dan di akhiri sparring. Tapi kini malah ke ibukota, dia menatap ke bangunan di depannya, toko roti yang cukup besar berdiri di sana.Dia sempat ragu, tapi mengetahui seberapa berbinarnya manik hijau gelap di sebelahnya, dan bagaimana antusiasnya Nalaeryn menariknya masuk, tidak ada lagi alasan meragukannya. Ibunya, dengan rambut coklat melambai yang berkilauan yang luar biasa mempesona.Sorot keindahan biru safir itu selalu teduh. Iveryne bisa merasakan desiran darah dam hatinya menghangat. Helaan nafasnya kini penuh syukur akibat melihat sang ibu, masih seperti lima tahun lalu.“Estelleryn! Kemari dulu!” Oh, tidak! Mengapa babi pirang itu disini!Manik biru cemerlang itu kehilangan binar bahagia, tapi Nalaeryn pura-pura tidak melihatnya, jadi dia menariknya ke hadapan Estelle tanpa memperdulikan wajah tidak santai adiknya.“Astaga, sayangku, ibu sangat merindukanmu.” Dia menarik putri bungsunya dalam pelukan hangat, mengusap rambut hitam itu lembut dengan penuh sayang. Nalaeryn iri sekali, hei, dia juga ingin!“Iv—” “Bibi Zerca!” potongnya cepat, setelah melepas pelukan dari ibunya, dan segera saja Nalaeryn mengambil kesempatan bergantian memeluk sang ibu. “Senang melihat anda berkunjung disini, Bibi.” “Kamu kelihatan makin besar dan tambah cantik.” Dia menepuk kepala Iveryne, lebih seperti memukulnya ke bawah dan persis memalu. Lima tahun! Anda kira saya tidak tumbuh!Iveryne melukis senyum paksa di labium merah mudanya. Malas sekali meladeni babi pirang tidak tahu malu sejenis manusia ini.“Terimakasih untukmu, Bibi.” Dia menoleh ke kiri, kanan, juga belakang Iveryne, mengedarkan pandangan sekitar gadis itu.“Kamu tidak membawa calon, eh? Sayang sekali, gadis cantik sepertimu jika menjadi perawan tua, apa gunanya.” Lebih mirip pernyataan dari pertanyaan, Estelle menipiskan bibirnya, berharap dua anaknya tetap kalem dan bisa mengatur kondisi. Nalaeryn refleks melotot, sementara Iveryne melayangkan seyum tajam.“Tidak perlu khawatir untukku, Bi.” “Hanya saran. Aku umur enam belas sudah menikah,” sahutnya. Baik, kamu sendiri yang memulai, Bibi ...“Nah ... aku bertanya-tanya.” Iveryne memasang wajah sedih yang palsu. “Apa gunanya jika akhirnya berpisah karena dia selingkuh?” Bibi Zerca kelabakan, Nalaeryn ingin tertawa keras, tapi Estelle memukul lengan kanannya cepat, jadinya gadis manis itu merenggut sebal.“Sudah, sudah. Nala, bawa adikmu ke bagian perpesanan.”Dia mendorong dua putrinya menjauh sebelum Zerca mengatakan sesuatu. Iveryne melambaikan tangan disertai pada tatapan menohok. Iveryne sibuk memandangi keindahan toko roti ibunya, sekarang siapa sih yang tidak tahu Baerd—toko roti enak dan terkenal milik janda cantik dan baik dengan mata biru berkilauan. Tapi senyumnya pudar kala Nalaeryn menyeretnya untuk ikut serta membantu.Dia kesal, belum istirahat sejak sampai. Dan Nalaeryn memberikan tumpukan kertas dalam box yang lebih kecil dari telapak tangan, lengkap dengan pena bulu. Yang membuat Iveryne terkesan sendiri adalah, di sana lengkap detail roti berbagai rasa, dan dia hanya tinggal menuliskan banyak pesanan di tepi kanan berdasarkan garis panjang sampai sisi.“Sebarkan senyum penuh dari tarikmu dan layanilah pelanggan kita dengan sepenuh hati!” Nalaeryn berpesan sebelum kembali membantu Estelle membungkus roti, dan toko roti ibunya ini ternyata sudah punya karyawan lain terkhusus membuat roti.Duduk anggun di pojok kanan, dengan meja tempat letak tinta. Pengunjung hari itu melegit naik, dan Iveryne membuang tenaganya meladeni omong kosong para pembeli. Tidak jarang ada yang memberi rayuan, dan dia menolak terang-terangan dengan, “Selanjutnya!” Terus begitu, fokusnya terletak pada kertas dan tinta. Pelanggan paling bebal adalah, Iveryne mengatakan, “Selanjutnya!” Tapi dia terus saja memesan, sampai semua jenis dipesan masing-masing lima belas.“Nama anda?” Iveryne mendengus, ini kesekian kali dia bertanya hal yang sama setiap menambah pesanan, dan sejak tadi tidak beranjak.Dia berdiri dan menatap pria di depannya penuh keterpaksaan.“Tuan, pesanan anda di atas batas.” Dia menempelkan kertas di dada kiri pria itu, menjinjit gaun dan duduk anggun. “Selanjutnya!” “Setidaknya berikan saya inisial.” “Hentikan!” Iveryne menepuk dahi, lama-lama dia bisa gila kalau begini. Nalaeryn yang tidak jauh dari sana segera menghampiri, sejenak sebelumnya, Iveryne kira mata hijau itu akan keluar dari rongganya.Dia menarik adiknya agak menjauh dari sana, dan berbisik minim.“Ivy … apa yang kamu lakukan? Kamu tahu itu siapa?” Dia menggeleng. Nalaeryn rasanya ingin menenggelamkannya di Sungai Styx. “Heros Camrel, Tuan Muda dari Kediaman Marquess Camrel.” “Lalu?” Iveryne mengangkat alisnya, seolah informasi Nalaeryn adalah pernyataan tidak penting. Kesabarannya di ambang batas kewajaran kali ini. Nalaeryn berusaha menekan sampai titik maksimal.“Tuan muda Camrel, penjaga perbatasan.”“Selama bukan tuhan, aku tidak peduli.” Nalaeryn tidak mengerti dengan jalan pikir adiknya, apa otaknya tersumbat sekarang! Helaan nafas kasar dan geraman tertahan terasa di atmosfer.“Kamu baru kembali setelah lima tahun. Jangan buat masalah dengan Tuan Muda manapun. Dan, coba berbuat lebih sopan ke mereka.”“Nala ... kami di akademi pelatihan hanya menggunakan nama tanpa iming-iming bangsawan di belakangnya. Kami tidak di ajarkan untuk perlakuan berbeda hanya karena pangkat bangsawan lebih tinggi.” “Kamu bahkan tidak tersenyum kepada para pelanggan.”“Aku senyum, kok.” Dia menarik sudut bibir, tapi matanya masih lurus, seperti senyum terpaksa dengan tatapan datar.“Ada apa tentang senyum dan layani dengan sepenuh hati?” Tak mau kalah, dia menekuk sebelah alis bingung, melanjutkan dengan pasti, “Aku melayani dengan sepenuh hati, hanya saja mere—” “Kamu melayani dengan setengah hati! Sana, kamu bantu ibu saja,” Nalaeryn segera meraup kertas di tangan Iveryne, mendorongnya masuk dan beralih pada bagian pembungkusan serta pelayanan.Posisi bagian pembungkusan tidak lebih baik, ketika Iveryne memanggil nomor pelanggan, beberapa orang berusaha berdesakan maju karena para pelanggan lain terus berdiam di depan meja untuk sekedar mengagumi keindahan ciptaan tuhan berwujud manusia.“Yang tidak berkepentingan, mundur!” sentaknya tajam, tapi sepertinya orang-orang menganggap itu angin lalu. “Pelanggan 281!” Seseorang segera maju di depannya sambil meletakkan kertas. Tidak mau ambil pusing dengan itu, Iveryne segera mengambil bungkus yang paling besar dari semuanya, seketika pikirannya ingat, itu pesanan paling banyak hari ini. Entah bagaimana orang itu menghabiskannya, dia tidak peduli. Yang dia pedulikan kini adalah, orang itu masih tidak pergi bahkan setelah dia selesai mengambil bungkusan.“Nama anda.” Dia berkata, Iveryne tidak bisa mencegah untuk tidak melihat, dan pria itu! Tuan Muda Camrel berdiri dengan senyuman ramah. Dia meletakkan kertas—mungkin minta dari Nalaeryn, tinta, dan pena bulu entah darimana. Berapa banyak orang bepergian dengan tinta dan pena bulu di kantongnya! Iveryne sudah membuka mulutnya, tapi di hentikan bunyi gemericing lemparan kantong penuh koin di atas meja, bahkan ada satu koin emas yang jatuh dari kantongnya.“Namamu.” Dia memajukan kertas tadi dengan jari telunjuk. Otaknya mulai bercengkerama, apa maksud pria ini, membeli namanya? Semacam hak cipta? Jadi tidak boleh ada yang memakai selain dia. Tapi, Iveryne yakin dia lebih dulu lahir, jadi mungkin permasalahan hak cipta tidak berpengaruh padanya, jadi dia mencelup pena bulu itu, dan mengukir nama ‘Ivy’ dengan indah dan penuh kehati-hatian. “Hanya?” Alisnya berkerut, menatap Iveryne yang mengangguk yakin dan memajukan kembali alat tulis. “Nama lengkap?” tambahnya.“Hanya itu, Tuan. Cepatlah, orang-orang di belakang anda sudah menunggu.” Banyak keluhan seketika, tapi ketika dia menoleh dengan tatapan datarnya, lautan manusia di belakangnya langsung senyap.Iveryne sadar satu hal, pria ini Anak Marquess Camrel yang tersohor akan perbatasannya, pantas tidak ada yang berani padanya. Pria itu demi Dewi Bulan! Sangat boros, kantong koin lain hinggap di meja sedetik setelah Iveryne mengantongi kantong koin emas sebelumnya.Biru cemerlang itu berbinar, pesona kantong koin memang tak tertandingi! Jadi dia dengan senyum sumringah mengambil kertas itu. Persetan dengan sebutan gila koin, lagipula, hidup butuh itu! Iveryne menulis ‘Iveryne Lechsinska’ penuh minat, menempelkannya di dada pria itu—bukan apa-apa, dia sudah beli, jadi hanya dia yang berhak tahu.Jika setiap orang memberi kantong penuh koin ketika bertanya namanya, Iveryne dengan senang hati memberikan namanya meski dia harus latihan menulis supaya tulisannya menjadi semakin indah lagi.Pohon yang berjarak beberapa meter di depan rumah adalah targetnya untuk naik. Kali ini dia memanjatnya—benar-benar seperti masa lalu, dengan keranjang penuh buah Rasberi. Dia memanjat dengan hati berbunga-bunga, dua kantong kain tadi masing-masing berisi lima belas koin emas. Ibunya memuji ide brilian sementara kakak tercintanya.“Benar-benar otak licik!” Yang membuat Iveryne tidak habis pikir dengannya, padahal itu termasuk ide usaha tanpa modal yang menggiurkan.Dahan kayu besar-besar, cukup nyaman berbaring dengan tangan sebagai bantalan, menatap keindahan penuh pesona sang rembulan. Kaki tumpang-tindih, manik biru cemerlang itu bersinar, gemerlapan di antara sinar bulan. Untungnya sore tadi setelah pulang dari ibukota, dia sempat menuangkan ramuan anti-serangga dan mengelilingi pohon. Betapa nyamannya sekarang untuk di tiduri. Labium merah mudanya asik mengunyah Rasberi, menikmati ketenangan malam saat telinganya menangkap gelombang suara grasak-grusuk mencurigakan di semak-sem
“Ivy! Perhatikan jalan! Jangan terpisah dariku!” Nalaeryn buru-buru menarik sang adik mendekat, matanya terus saja bergulir dari satu tempat ke tempat lain, jualan orang-orang di pasar ibukota luar biasa!Dia baru ke pasar setelah lima tahun terkurung dalam akademi pelatihan. Dan keramaian pasar ibukota adalah hal kesekian yang ingin di kunjunginya. Pagi ini, bahan-bahan roti menipis, jadi Iveryne dan Nalaeryn memakai kereta kuda ke pasar. Satu jam lebih, dan Iveryne belum selesai memandang keramaian dan jajanan di sepanjang jalan.Masing-masing tangannya juga sudah penuh akibat menenteng belanjaan. Dia memang tidak tahu menahu tentang bahan-bahan roti, jadi Nalaeryn yang bertugas membeli, dan dia mengekori. Menyusahkan! Bagi Nalaeryn, adiknya itu tipe kalau tidak di gandeng, bisa tertutup keramaian, matanya itu selalu memandang kesana-kemari penuh tanya.Nalaeryn singgah membeli kacang almond, sesekali melirik gadis yang menjadi tanggung jawabnya. Dia bercengkrama dengan pedagang sam
Sangat terpaksa! Tangannya dengan lihai melempar belati tadi, jaraknya agak meleset, niatnya cuma ingin memberi peringatan agar berhenti, tapi tanpa sadar belati itu menggores sisi tudung jubahnya, oh astaga, apakah ini akan jadi masalah lain?Bertumpu pada kedua lututnya, Iveryne mengatur nafas kemudian melukis senyum bersalah. “Maaf, saya tidak bermaksud merusak jubah anda. Anda bisa meminta ganti rugi ke toko Baerd. Dan … ini.” Dia mengulurkan gulungan perkamen dan juga kantong kain berisi koin. “Anda sempat menjatuhkannya di pasar.” Pria itu malah menatapnya balik.Merasa tak ada respon, Iveryne berinisiatif mengambil tangan pemuda itu, meletakkan barang bawaannya dan mundur. “Terimakasih sudah menolong saya, dengan ini … kita impas.” Dia pergi tanpa berniat memperpanjang percakapan. Lagipula orang itu tidak ada niatan menjawabnya. Iveryne tidak mau ambil pusing, yang penting adalah, dia tidak punya hutang budi. Toh dia sampai kesana karena mengejar sang pemilik koin dan perkam
Wilder Aleander Valdez—teman masa kecilnya yang Iveryne baru ingat ketika Estelle menceritakannya hari itu, ketika pertemuan pertama mereka setelah lima tahun. Ejekan pendek yang dulunya tersemat rapi pada nama tengah Wilder beralih secara tiba-tiba, Iveryne-lah yang menyandangnya sekarang dengan tidak rela.Penyesalan selalu muncul di akhir, dan ini, karma waktu!Pukulan dan hembusan nafas kasar adalah hal lumrah ketika bertemu Wilder. Pria itu rupanya berniat balas dendam. menyapa, dia tidak lupa menambahkan kata, “Ternyata pertumbuhanmu berhenti di situ-situ saja, ya?” Hei! Bukan salahnya tidak bertumbuh tinggi lagi!Setidaknya, dia masih lebih tinggi dari Nalaeryn.Minggu pertama, Iveryne cukup senang bertemu Wilder, pergi ke tempat-tempat yang penuh kenangan masa kecil yang indah. Tapi pada Minggu berikutnya, dia harus menarik kembali kata-katanya! Pria sialan ini selalu mengekorinya, dan setiap Iveryne membawa belanjaan. Saat dari pasar, dia akan berkata, “Kemari, biar aku bawa
Dia memberikan roti mentega dan susu hangat setelah membujuk ibunya makan. Estelle merasa lemas akhir-akhir ini, sudah dari minggu yang lalu sebenarnya. Healer yang Nalaeryn panggil mengatakan bahwa Estelle kelelahan. Tapi Iveryne dan Nalaeryn merasa ini lebih dari itu. “Ivy … Ada yang ingin ibu tunjukkan padamu.” Estelle menahan tangan putrinya yang berniat meletakkan handuk basah guna mengurangi panas tubuhnya. Iveryne menatapnya bimbang, rasa panas di tangan ibunya menjalar, membelai halus permukaan kulitnya.“Tidak bisakah—” “Ini penting, sayang. Lebih penting dari hidup kita berdua.” Dahi Iveryne berkerut dalam, dia kurang suka ketika sang ibu berkata demikian. Akhirnya, dia coba mengiyakan, rasa perasaannya ikut andil kali ini, entah mengapa pikirannya menjadi tidak tenang.Mereka menuju pojok ruangan. Tepat di depan cermin setinggi dua meter. Dengan arahan Estelle, Iveryne memindahkan letak cermin, sementara ibunya menyalakan lentera penerangan. Estelle memutar kenop pintu y
“Ivy, bawakan ini.” “Tambahkan almond.”“Tepungnya kebanyakan.” “Tambahkan mentega satu sendok.” “Aku bilang satu sendok!” Astaga! Iveryne harus menambah tingkat kesabarannya, bahkan di rumah sendiri. Pagi-pagi buta, Bibi tercintanya datang ke rumah, dengan sekantong belanjaan, dan katanya ingin menjenguk ibu. Alih-alih membawa buah tangan, dia membawa banyak belanjaan dan bahan kue, dengan dalih Iveryne membantunya memasak.Nalaeryn pergi ke pasar membeli persediaan Mentega dan—Rasberi untuk Iveryne. Dua jam lebih dan gadis itu belum ada tanda-tanda akan datang. Iveryne menebak dia asik berkencan dengan calon tunangannya itu. Untungnya, pagi-pagi, Wilder membantu Bibi Zerca untuk datang kesana, jadi … dia cukup terbantu dengan pria itu, dan panas telinga secara sukarela oleh sang Bibi. Wilder bersemangat mengacaukan dapur. Sementara Bibi Zerca sibuk menceramahi Iveryne, dan Estelle dengan batuk-batuk kecil kadang terkekeh melihat ekspresi putrinya. Iveryne sudah mau berteriak ma
Iveryne menoleh cepat, dia berjarak tiga puluh meter ketika bunyi ledakan muncul dari arah rumahnya, asap hitam mengepul mengelilingi rumahnya. Tergesa-gesa, kakinya mengantarkannya kembali ke rumah, ledakan dan benda berjatuhan makin jelas ketika dia ada di pekarangan. “Tidak!” Yang membuat kakinya seketika lemas adalah ketika menaiki tangga, ketika kamar Nalaeryn kosong, perabot berserakan, dandelion beterbangan. Samar-samar, teriakan Nalaeryn sebatas ilusi.“Hentikan … “ Kesadarannya di tarik paksa, Iveryne buru-buru bangkit, berlari lagi ke kamar ibunya. Estelle bersandar di dinding, menatap lurus ke arahnya sambil menggeleng, dan sosok hitam berada di depannya. Ibunya itu kelihatan berbeda, rambut perak bercahaya dan mata biru terang yang gemerlapan seindah batu safir.Ketika sosok hitam berbalik ingin menatap sesuatu yang mengalihkan atensi Estelle. Iveryne merasakan sebuah tangan dingin menariknya ke sisi lain ruangan, pinggangnya di peluk erat dan mulutnya dibungkam tangan lai
“Akhh!” Pekikan kesakitan beradu dengan suara gedebuk nyaring. Iveryne tidak sempat menghindar. Dia baru mengambil langkah beberapa meter ketika sepasang mata merah menyala melayang ke arahnya, dan menghantamkannya ke sisi dinding kayu. Sosok setengah asap melayang dengan mata merah bercahaya, fokus pada gadis tidak berdaya yang berusaha bangkit dari posisinya. Sialnya, percuma melawan, tendangan dan pukulan hanya menembus sosok itu. Lagi-lagi sosok itu mengangkatnya, yang entah bagaimana, tidak Iveryne pahami, karena mereka tidak bersentuhan sama sekali dalam hal ini, tapi dia merasa tubuhnya mendadak sangat ringan.Terlempar, lagi! Kali ini menuju meja panjang hingga patah, dan bagian atasnya berhamburan. Iveryne terbatuk-batuk, itu bekas tepung kemarin, ketika mereka selesai membuat kue, tepungnya masih berada di sana, pada tempatnya. Nyeri dan sakit menjalar disekujur tubuhnya. Dengan satu sentakan kecil, Iveryne dengan nafas terengah melempar segenggam tepung, berusaha mengalihka
“Elenya ... apakah kamu tahu sesuatu tentang teman-temanku yang lain?” Iveryne terus mendesaknya untuk mengatakan sesuatu setelah beberapa saat lalu, Elenya tidak sengaja mengatakan.“Anda belum mengetahuinya? Yang Mulia Thalorin ... ” Begitu saja, tanda ada niat melanjutkan, dan akibat kata-kata itu, Iveryne kini menuntut jawaban sepenuhnya dengan sorot mata tajam.Di sisi lain, Elenya merasa terintimidasi, tapi di sisi lain, dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya ataupun mengarangnya. Berbohong dan kebenaran di sini tidak lebih seperti lumpur hisap dan jurang.Elenya menatap Iveryne dengan keraguan yang jelas terlihat di matanya. Merasa terjebak dalam dilema antara memenuhi keinginan Lunar Lady dan mematuhi janji yang telah dia buat pada Thalorin. Namun, tekanan Iveryne makin membuatnya merasa tak nyaman.Aura mengintimidasi gadis itu terlalu sulit diabaikan.Iveryne bisa merasakan gelombang kecemasan melanda Elenya, tetapi keinginannya untuk mengetahui kebenaran melebihi semua
Mereka berjalan perlahan, mengendap-endap di antara semak-semak yang rapat, menyusuri tepi danau yang gelap. Cahaya bulan yang redup menyoroti setiap gerakan mereka, menciptakan bayangan yang meliuk-liuk di atas permukaan air yang tenang.“Tidak ada yang akan tahu tentang ini,” ujar Iveryne dengan suara yang hampir tidak terdengar. Berusaha meyakinkan Elenya bahwa apa yang mereka lakukan ini untuk kebaikan, meski melanggar peraturan.Elenya mengangguk pelan, tetapi ketakutannya masih melekat erat. Dia merasa seolah-olah mereka berjalan di tepi jurang, siap untuk jatuh ke dalam ketidakpastian kapan saja. Dan mulutnya, yang hampir berbusa karena terus mengingatkan, tapi tidak pernah didengar.Iveryne tidak tergoyahkan. Dia terus maju, memimpin langkah menuju kegelapan. Meski ada ketegangan di udara, mereka terus melangkah, berusaha untuk tidak terperangkap dalam rasa takut.Saat menjauh dari danau, bayangan semakin menutupi mereka. Iveryne berhenti sejenak, mengamati sekeliling penuh ke
“Lunar Lady ... “ panggil Elenya lelah. “Kita tidak bisa berada di sini, Yang Mulia Eldarion melarang siapapun masuk wilayah ini.” Dia sejak tadi hampir menggumamkan kata yang sama, berusaha membujuk Iveryne mengubah niat untuk mengeksplorasi wilayah Eldarion yang terlarang, ini sungguh salah, tidak benar!Namun, Meski Elenya mencoba keras untuk membujuk Iveryne. Gadis itu tetap teguh dengan niatnya. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik larangan tersebut, dan semua itu hanya membuat rasa penasarannya semakin memuncak.Matahari tenggelam di balik cakrawala, meninggalkan langit senja menjadi gradasi warna oranye, merah, dan ungu yang indah. Bulan dan bintang-bintang muncul di langit gelap, memberikan cahaya samar yang memantulkan warna-warni di atas permukaan jalan yang tenang.Pepohonan rindang di sepanjang jalan melemparkan bayangan gelap, kontras di atas rerumputan hijau yang menyelimuti tanah. Suara hening malam hanya terganggu oleh desiran angin dan kadang-kadang
Dalam kegelapan dingin penjara yang menyedihkan, Calix, Wilder, dan Heros duduk bersama di sudut sel, wajah mereka penuh dengan ekspresi kekecewaan dan kebingungan.“Kita sudah berada di sini berjam-jam, tapi tidak ada tanda-tanda pembebasan,” keluh Wilder dengan nada frustrasi, matanya menatap ke langit-langit yang tidak terlihat.“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Calix sambil menggerutu kesal. “Aku mulai merasa seperti ini adalah akhir dari segalanya.”Heros hanya menggelengkan kepala dengan lesu. “Aku tidak tahu lagi. Semua rencana kita gagal. Kita terjebak di sini tanpa harapan.”“Kita harus tetap tenang dan bersabar,” kata Calix, mencoba menenangkan teman-temannya meskipun hatinya sendiri penuh dengan kecemasan. “Pasti ada jalan keluar. Kita hanya perlu mencari.”“Iveryne pasti dengan merindukanku,” tambah Wilder.Calix mencibir. “Pftt! Alih-alih merindukanmu, kurasa dia sedang mengkhawatirkan Reiger.” Heros, yang terus berada di sudut sambil menelungkupkan kepala di atas lipa
Ketegangan memenuhi aula. Iveryne berusaha menenangkan diri sendiri sementara tangannya bergerak gelisah dalam lengan baju kain yang panjang. Itu adalah suara Eldarion, pamannya.Iveryne segera merasa ada yang tidak beres, bahwa pamannya ini sengaja menyudutkan dirinya karena liontin mutiara di lehernya. Thalorin memandang ke arah Iveryne, tapi tetap diam. Meski dia tidak memiliki hubungan yang cukup erat dan baru bertemu dengan kakeknya, Iveryne langsung mengerti, kedudukan kakeknya penting. Penting untuk membantunya menghadapi pamannya.Iveryne menatap tidak nyaman pada pamannya. “Tidak ada kebenaran dalam tuduhan itu, Kakek. Saya tidak pernah bersekongkol dengan para Siren atau siapapun yang merugikan bangsa Elf.”Eldarion tertawa sinis. “Ah, tentu saja, kau akan membela diri. Tetapi tindakanmu telah mengkhianati kepercayaan dan keamanan bangsa ini. Bagaimana kita bisa mempercayaimu lagi?”Suasana tegang memenuhi ruangan saat pandangan semua orang bergumul dengan pertanyaan tak t
“Iveryne, apakah sesuatu mengganggumu?” Netra biru cemerlang menoleh kaget, tersentak dengan pertanyaan oleh suara asing. Dia menggeleng cepat, kemudian tersenyum kecil, berusaha untuk tetap tenang dan menetralkan diri, mencoba terbiasa lebih dulu.Iveryne melangkah di samping kakeknya, dengan langkah yang sedikit canggung, mencoba menyesuaikan diri dengan atmosfer beda. Thalorin Silverion, sosok lain yang berjalan di sampingnya, memancarkan aura yang hangat dan ramah, membuatnya sulit untuk menentukan apakah sikap itu dialamatkan padanya secara khusus atau mungkin sikap alaminya terhadap semua orang yang mereka temui. Terlepas dari itu, ketenangan dan kebaikan hati yang terpancar dari kakeknya memberikan sedikit kelegaan dalam suasana asing itu.Sementara itu, Iveryne masih tidak terbiasa dengan perhatian yang diberikan padanya oleh para Elf di sekitarnya. Ketika dia melewati mereka, baik itu Elf wanita yang lembut maupun Elf pria yang tegap, selalu menundukkan kepala dengan horm
“Berhenti membohongi dirimu sendiri!” Seruan kemarahan itu bergema dalam heningnya malam. Satu-satunya lawan bicara menatap datar, seakan tidak peduli sekeras apa teriakan itu terdengar.Cahaya bulan memancar terang, dua sosok berdiri di antara pepohonan yang menjulang tinggi. Desiran angin menyapu daun-daun sekitar menjadi latar belakang pertukaran kata-kata penuh kemarahan.“Kamu yang seharusnya berhenti memaksakan.” Ada penekanan dalam intonasi datar itu, mengintimidasi orang di seberang sana, dia tetap tenang, tapi pria di seberangnya menatap marah.Dua orang dan ketidakpastian jawaban, adalah masalah.Salah satu sosok, dengan netra hitam memancarkan kemarahan, menatap tajam ke arah lawan bicara. Rambut hitamnya yang terurai menyapu pipinya, menambah kesan garang pada wajah tegang.Sementara itu, sosok di hadapannya tetap tenang, dengan netra abu-abu cerah yang tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan.Netra hitam menggelap di bawah desakan kemarahan, beberapa helai rambut hitam me
Bersama dengan Reiger yang masih belum sadar sepenuhnya, Iveryne, Calix, Wilder, dan Heros memulai perjalanan menuju hutan Lunare. Elara memberikan ramuan penyembuh kepada Reiger, harapannya agar pria itu bisa bertahan dalam perjalanan.Perbatasan antara Hutan Lunare dan Arvenwood tidak terlalu jauh, tetapi tetap memerlukan perjalanan yang hati-hati. Untungnya, para Creetress dengan baik hati memberikan kuda-kuda mereka. Sebetulnya meminjamkannya, tapi seperti ucapan Iveryne, kecuali salah satu dari mereka selamat untuk mengembalikannya, atau jika tidak, kuda-kuda itu mungkin tidak akan kembali lagi.Setelah melintasi perbatasan Arvenwood, perjalanan mereka menuju Hutan Lunare semakin tidak mudah saja. Cahaya bulan yang menyinari jalan setapak memberikan sentuhan magis pada lingkungan sekitarnya, tetapi juga menyoroti bayangan-bayangan yang misterius di antara pepohonan yang rapat. Angin malam berbisik dengan suara seram, seakan menawarkan peringatan akan bahaya-bahaya yang mengint
Dalam keheningan malam yang dihiasi gemerlap cahaya bulan, Iveryne duduk di tepi tempat tidur, mengamati penuh kekhawatiran sosok Reiger yang terbaring tak berdaya di sisinya. Cahaya bulan memancar lembut memasuki kamar mereka melalui jendela terbuka, menimbulkan bayangan samar di sekitar ruangan yang tenang.Dengan hati berdebar, Iveryne mendekat pada Reiger yang tidak sadarkan diri. Luka di pinggangnya sendiri sudah hampir sembuh sepenuhnya, tetapi luka-luka yang menghiasi tubuh Reiger masih terasa sangat mengejutkan dan sangat memprihatinkan.Ia meraih tangan Reiger, menempelkan telapak tangannya pada pipi dingin pria itu. Suatu cahaya biru pucat seolah-olah memancar dari kedalaman hati Iveryne, merambat melalui urat dan pembuluh darahnya, menciptakan aliran energi magis yang lembut namun kuat.Cahaya itu mengalir ke dalam tubuh Reiger, menyatu dengan sulur-sulur hitam yang menjalar di sekitar lukanya. Namun, meskipun cahaya itu berkilau sebentar, tidak ada perubahan yang terjadi.