Wilder Aleander Valdez—teman masa kecilnya yang Iveryne baru ingat ketika Estelle menceritakannya hari itu, ketika pertemuan pertama mereka setelah lima tahun. Ejekan pendek yang dulunya tersemat rapi pada nama tengah Wilder beralih secara tiba-tiba, Iveryne-lah yang menyandangnya sekarang dengan tidak rela.
Penyesalan selalu muncul di akhir, dan ini, karma waktu!Pukulan dan hembusan nafas kasar adalah hal lumrah ketika bertemu Wilder. Pria itu rupanya berniat balas dendam. menyapa, dia tidak lupa menambahkan kata, “Ternyata pertumbuhanmu berhenti di situ-situ saja, ya?” Hei! Bukan salahnya tidak bertumbuh tinggi lagi!Setidaknya, dia masih lebih tinggi dari Nalaeryn.Minggu pertama, Iveryne cukup senang bertemu Wilder, pergi ke tempat-tempat yang penuh kenangan masa kecil yang indah. Tapi pada Minggu berikutnya, dia harus menarik kembali kata-katanya! Pria sialan ini selalu mengekorinya, dan setiap Iveryne membawa belanjaan.Saat dari pasar, dia akan berkata, “Kemari, biar aku bawakan, nanti kamu bertambah pendek.” Sejak kapan membawa belanjaan berdampak pada tinggi tubuh!Setelah tiga Minggu kepulangannya, tidak sulit menghafal seluk-beluk pasar, jadi Nalaeryn dan Estelle cukup percaya kalau dia yang pergi—dengan syarat! Wilder, Tuan Muda Valdez yang merangkap jadi pengangguran berkala bersedia—memaksa! Ikut. Harusnya dia lebih mendalami tentang politik dan perbatasan, yang pasti, masa depannya. Mereka berhenti di papan pengumuman, pemberitaan di Minggu ini tentang penerimaan ksatria Vord—dengan syarat, lulus akademi pelatihan. Iveryne menghela nafas lelah, dia menunggu untuk waktu yang lama, dan pengumuman yang dia inginkan belum ada di sana.Kurang dari enam bulan lagi adalah ulang tahunnya yang ke-delapan belas, batas kedewasaan. Jika belum mendapat pekerjaan, tidak ada alasan menolak lamaran yang hampir setiap Minggu diantar burung hantu, mengetuk-ngetuk kaca jendela kamarnya.Bahkan ada yang nekat bertamu, jawabannya selalu,‘Maaf, tidak berniat menolak, tapi saya belum legal.’ ‘Kita bisa bertunangan lebih dulu.’‘Lima setengah bulan lagi saya legal.’Ditambah rumor kedekatannya dengan Tuan Muda Valdez, dan Wilder, tampaknya tidak mau repot-repot menyanggah kabar itu. Dia malah lebih lengket, seolah-olah mengiyakan rumor tersebut.“Apa lagi yang kamu tunggu? Itu mimpimu kan, Karamel?” “Aku ingin ksatria Aregorn.”Mereka di depan toko buah, Wilder dengan santai memasukkan segenggam buah Rasberi dalam keranjang, tapi Iveryne memukulnya, meletakkan kembali buah itu ke rak berjejer. Dia memilihnya hati-hati, dan pria itu seenaknya langsung memasukkan.“Apa bedanya? Ayolah! Ksatria Vord tidak kalah bagus. Persyaratan ksatria Aregorn adalah Elther, atau punya pedang khusus.” Dia menatap malas buah yang mengambil seluruh perhatian si jelita, jadi dia duduk di kursi yang ada di pinggir sambil menumpu wajah di atas meja, lalu memperhatikan kegiatan Iveryne seksama.“Intinya aku tidak mau, Wild.” Mereka tengah berjalan-jalan di pasar dekat Kota Merle—desa tempat tinggal Iveryne, dia tinggal karena Estelle tengah sakit, dan Nalaeryn bertugas di Toko Roti di Ibukota.Dan Tuan Muda Valdez, entah kerasukan apa, pagi-pagi sudah bada di depan pintu dengan senyum menyebalkan melintas di wajahnya.“Kamu membeli tiga keranjang Rasberi! Perutmu hebat.” “Tentu,” balasnya bangga. “Jadi, Tuan Muda Valdez, tutup mulutmu dan bawakan ini!” Dia menyerahkan dua keranjang buah Rasberi, untung Wilder punya refleks yang bagus.Atau Iveryne, memarahinya habis-habisan setelahnya karena Rasberi tercintanya cacat—meski bukan sepenuhnya salahnya.Sepanjang perjalanan, Wilder terus saja berceloteh ria. Dari sini bisa disimpulkan dengan baik bahwa hanya tubuhnya yang tumbuh. Sementara pikirannya tetap sama seperti lima tahun lalu.“Aku punya ide,” ujar Wilder ketika mereka singgah di taman penuh dandelion milik Iveryne. Dia mengulurkan sebatang dandelion indah dengan sikap dramatis. Malas sekali melihatnya seperti itu, tapi tangannya bergerak menerima bunga indah itu,Rasa penasarannya bertanya, “Maksudmu?” “Begini. Kamu tidak perlu menjadi ksatria dan bisa menolak lamaran para bangsawan itu tanpa ragu.” Iveryne menatapnya penuh minat kali ini, mereka bersandar di bawah pohon—tepatnya, tengah-tengah taman. “Aku akan melamarmu dan kita menikah. Masalahmu selesai, dan aku tidak perlu menerima perjodohan.” Wilder bersandar menyamping, menatap Iveryne dengan senyum menyebalkan.“Pengangguran sepertimu? Memberi makan cinta?!” Wilder menegakkan tubuh, memandang Iveryne penuh pengkhianatan.“Terjamin! Aku pewaris satu-satunya Count Valdez,”Tidak berniat mendengar omong kosong lebih lama, Iveryne beranjak dan meneriakkan tentang dua keranjang Buah Rasberi yang di lupakan Wilder, karena pria itu buru-buru mengikutinya. Sampai di rumah, Iveryne membuka pintu hati-hati. Archer—burung hantu seputih salju, bertengger di bahu sang jelita, menyambut sambil ber-uhu riang.Mengambil surat merah muda di paruhnya, mendudukkan diri di bangku panjang. Wilder mengelilingi dapur, mengambil—mencuri sekaleng biskuit karamel, memakannya di samping Iveryne. Semerbak aroma mawar menyapa penciuman ketika perkamen surat meninggalkan amplop, Wilder terbahak hingga biskuit tersangkut di tenggorokannya.“Kar-UHUK! UHUK!” Wilder menepuk-nepuk lengannya, tangan satunya meninju-ninju udara sambil menekan tenggorokannya. “UHUK!” Tatapan datar menghantam wajah Wilder, tapi fokus pria itu ternyata terkunci pada tenggorokannya yang panas. Iveryne mendengus kasar, apakah orang tersedak memang bodoh? Sampai tidak menyadari segelas air di atas meja tepat di bawah hidungnya?! Dia menggeser sedikit gelas air, tapi Wilder masih tetap saja mengacuhkannya. Jadi dia mengangkat benda itu tepat di depan wajahnya. Segera, Wilder merampas dan menenggaknya teramat rakus. Sembari menetralkan pernafasan, Iveryne nyaris terbahak lepas, wajah memerah dengan bulir bening di sudut matanya agak berbeda, lebih menggemaskan daripada di tutup oleh wajah menyebalkan yang tidak bermanfaat seperti biasanya, itu adalah hiburan tersendiri.Selesai dengan hal tidak penting—Iveryne menganggapnya sebagai karma Wilder yang mengambil biskuitnya tanpa izin, dan tidak menawarkan padanya. Atensi keduanya segera beralih pada sepucuk surat yang di lipat rapi dengan pita, Wilder mengernyit jijik, dan Iveryne memasang mimik wajah tidak jauh berbeda.Dengan satu tarikan nafas, dia membuka lipatan perkamen itu. [Yang terhormat ;][Nona Iveryne Lechsinska] [Saya, memberikan ajakan untuk mengikuti saya menghadiri acara kedewasaan Nona Muda Corvina Nouryn, dari Kediaman Nouryn, putri dari Duke Algean dan Duchess Nive] [Harap balas secepatnya. Dan apapun balasan anda, tolong, jika berkenan tolong sertakan alasan jikalau anda tidak bisa] [Salam hangat, Heros Rendick Camrel] “Ahh … tidak aku sangka kalian ternyata sedekat ini.” Wilder menggerakkan alisnya naik-turun di selingi tatapan menggoda teramat puas dan senggolan kecil di lengannya. “Undangan resmi, eh?”Iveryne membalasnya dengan nanar. “Sopan sekali.” Lagi-lagi Wilder nyaris tersedak di buatnya. Sang jelita melangkahkan kaki jenjangnya menuju meja di pojok kanan, mencelup pena bulu ke dalam tinta. “Jujur, aku belum pernah mendapat undangan resmi seperti ini.” “Jadi, kamu akan menerimanya.” Iveryne sering melotot ketika remahan biskuit yang Wilder makan sambil berdiri itu jatuh mengenai perkamen suratnya. Dia masih setia memeluk kaleng biskuit, sesekali mengintip balasan yang Iveryne tuliskan secara hati-hati di sana. “Teruntuk Tuan Muda Heros Camrel yang terhormat. Dengan sangat terpaksa saya menolak ajakan anda. Saya di haruskan merawat ibu saya yang sakit—Selesai!” Dia mengangkat perkamen tingg-tinggi depan wajah dengan senyum sumringah.Menggumamkan kata ‘maaf’ berulang kali tidak jelas. Wilder, yang merubah posisi duduk di sisi meja segera berdiri tegak.“Kan bisa bergantian dengan Nala.” “Tetap ku tolak.” “Kenapa?” “Karena itu Tuan Muda Heros Camrel. Bisa menghindarinya di toko roti saja, aku sudah sangat bersyukur.” Dia memasukkan kembali perkamen itu ke dalam amplop, memberikannya kepada Archer setelah memberi makan segenggam biji-bijian pada si burung hantu, yang di sambut uhu riang saat terbang sambil menggigit surat. Wilder mengikuti Iveryne yang beranjak menuju dapur, mengeluarkan beberapa belanjaan dan menata-nya.“Kalau aku yang mengirimkan undangan resmi begitu, apakah kamu juga akan mengirimkan surat penolakan?” Dia menatap mantap, mulai memikirkan ajakan pesta mana yang akan berhasil membuatnya bergandengan tangan sepanjang malam dengan Iveryne.“Tidak.” Oh, lihat itu! Iveryne bisa melihat binar antusias pada netra Amber itu, dia jadi tidak tega melanjutkannya, “Akan aku teriakkan depan wajahmu penolakannya!” Dan begitu, Wilder merengut sebal.“Tidak ada rasa kasihan? Benar-benar kejam.”“Hentikan omong kosongmu, dan tunggu diam disini.” Dia menentang nampan, yang entah sejak kapan terisi. “Jika aku menemukan salah satu Rasberi milikku hilang, kamu adalah tersangka utamanya.” Wilder melirik nanar dengan tampang memelas, dia mengambil duduk di bangku ruang tengah ketika Iveryne mulai menaiki tangga. Pintu kedua setelah tangga adalah kamar Estelle, pintunya tidak tertutup rapat hingga Iveryne hanya butuh sedikit tenaga kaki untuk menyenggolnya. Nyaman dan rapi seperti biasa, persis kamar Nalaeryn. Omong-omong tentang kamar, Iveryne ingat hari itu, saat dia mencari sesuatu dan menghamburkan seluruh isi lemari dan menjadikan kamarnya sebagai harta karun terpendam. Dia minta bantuan Nalaeryn untuk membereskannya dengan bayaran dua keping koin emas—berterimakasih pada Tuan Muda Heros Camrel tentang dua kantong koin emas yang mengesankan pada pertemuan pertama. BUKK!Dia memberikan roti mentega dan susu hangat setelah membujuk ibunya makan. Estelle merasa lemas akhir-akhir ini, sudah dari minggu yang lalu sebenarnya. Healer yang Nalaeryn panggil mengatakan bahwa Estelle kelelahan. Tapi Iveryne dan Nalaeryn merasa ini lebih dari itu. “Ivy … Ada yang ingin ibu tunjukkan padamu.” Estelle menahan tangan putrinya yang berniat meletakkan handuk basah guna mengurangi panas tubuhnya. Iveryne menatapnya bimbang, rasa panas di tangan ibunya menjalar, membelai halus permukaan kulitnya.“Tidak bisakah—” “Ini penting, sayang. Lebih penting dari hidup kita berdua.” Dahi Iveryne berkerut dalam, dia kurang suka ketika sang ibu berkata demikian. Akhirnya, dia coba mengiyakan, rasa perasaannya ikut andil kali ini, entah mengapa pikirannya menjadi tidak tenang.Mereka menuju pojok ruangan. Tepat di depan cermin setinggi dua meter. Dengan arahan Estelle, Iveryne memindahkan letak cermin, sementara ibunya menyalakan lentera penerangan. Estelle memutar kenop pintu y
“Ivy, bawakan ini.” “Tambahkan almond.”“Tepungnya kebanyakan.” “Tambahkan mentega satu sendok.” “Aku bilang satu sendok!” Astaga! Iveryne harus menambah tingkat kesabarannya, bahkan di rumah sendiri. Pagi-pagi buta, Bibi tercintanya datang ke rumah, dengan sekantong belanjaan, dan katanya ingin menjenguk ibu. Alih-alih membawa buah tangan, dia membawa banyak belanjaan dan bahan kue, dengan dalih Iveryne membantunya memasak.Nalaeryn pergi ke pasar membeli persediaan Mentega dan—Rasberi untuk Iveryne. Dua jam lebih dan gadis itu belum ada tanda-tanda akan datang. Iveryne menebak dia asik berkencan dengan calon tunangannya itu. Untungnya, pagi-pagi, Wilder membantu Bibi Zerca untuk datang kesana, jadi … dia cukup terbantu dengan pria itu, dan panas telinga secara sukarela oleh sang Bibi. Wilder bersemangat mengacaukan dapur. Sementara Bibi Zerca sibuk menceramahi Iveryne, dan Estelle dengan batuk-batuk kecil kadang terkekeh melihat ekspresi putrinya. Iveryne sudah mau berteriak ma
Iveryne menoleh cepat, dia berjarak tiga puluh meter ketika bunyi ledakan muncul dari arah rumahnya, asap hitam mengepul mengelilingi rumahnya. Tergesa-gesa, kakinya mengantarkannya kembali ke rumah, ledakan dan benda berjatuhan makin jelas ketika dia ada di pekarangan. “Tidak!” Yang membuat kakinya seketika lemas adalah ketika menaiki tangga, ketika kamar Nalaeryn kosong, perabot berserakan, dandelion beterbangan. Samar-samar, teriakan Nalaeryn sebatas ilusi.“Hentikan … “ Kesadarannya di tarik paksa, Iveryne buru-buru bangkit, berlari lagi ke kamar ibunya. Estelle bersandar di dinding, menatap lurus ke arahnya sambil menggeleng, dan sosok hitam berada di depannya. Ibunya itu kelihatan berbeda, rambut perak bercahaya dan mata biru terang yang gemerlapan seindah batu safir.Ketika sosok hitam berbalik ingin menatap sesuatu yang mengalihkan atensi Estelle. Iveryne merasakan sebuah tangan dingin menariknya ke sisi lain ruangan, pinggangnya di peluk erat dan mulutnya dibungkam tangan lai
“Akhh!” Pekikan kesakitan beradu dengan suara gedebuk nyaring. Iveryne tidak sempat menghindar. Dia baru mengambil langkah beberapa meter ketika sepasang mata merah menyala melayang ke arahnya, dan menghantamkannya ke sisi dinding kayu. Sosok setengah asap melayang dengan mata merah bercahaya, fokus pada gadis tidak berdaya yang berusaha bangkit dari posisinya. Sialnya, percuma melawan, tendangan dan pukulan hanya menembus sosok itu. Lagi-lagi sosok itu mengangkatnya, yang entah bagaimana, tidak Iveryne pahami, karena mereka tidak bersentuhan sama sekali dalam hal ini, tapi dia merasa tubuhnya mendadak sangat ringan.Terlempar, lagi! Kali ini menuju meja panjang hingga patah, dan bagian atasnya berhamburan. Iveryne terbatuk-batuk, itu bekas tepung kemarin, ketika mereka selesai membuat kue, tepungnya masih berada di sana, pada tempatnya. Nyeri dan sakit menjalar disekujur tubuhnya. Dengan satu sentakan kecil, Iveryne dengan nafas terengah melempar segenggam tepung, berusaha mengalihka
“Kapan kita kembali ke sini?” “Mustahil. Tidak aman.” Iveryne mendelik tidak percaya, sebelum Reiger mencapai tangannya, dia lebih dulu berlari tergesa-gesa menaiki tangga, menghindari beberapa bagian yang patah dan hancur. Reiger, yang masih tidak mau mereka mati sia-sia dengan sigap menahan Iveryne saat kakinya sampai pada tangga terakhir. Dengan paksa menggendongnya, tapi dia langsung menurunkannya ketika gadis itu memekik keras-keras. Dia meninju wajah Reiger dengan marah. Pinggangnya yang sakit baru saja bertubrukan dengan bahu kokoh yang keras. Sensasinya menusuk. “Sakit, sialan!” hardiknya, tangan kirinya refleks mencengkeram sisi pinggang bagian kiri. “Kita akan dapat yang lebih buruk. Kalau kita masih di sini. Para Dyord akan segera kemari, aku tak bisa melawan semuanya.” “Aku hanya perlu … mengambil pedang.” Mulut Reiger terbuka tanpa sadar, ada beberapa pertanyaan menggenang dalam benaknya. Iveryne menggeser tubuh jangkungnya setelah berkata demikian, bergegas pergi t
Selene senang sekali saat kelahiran adiknya, sinar bulan paling cerah abad itu ketika Selene mendatangi ibunya. Argios, adik Selene mengalami pemikiran lugu, di sembunyikan dari dunia luar membuatnya bersedih setiap saat, dia tidak punya kemampuan apapun, tidak pernah diberatkan tugas, tidak bisa bergaul dengan mudah karena orang tuanya. Hyperion dan Theia sangat-sangat takut dia akan dimanfaatkan kegelapan. Apalagi saat ramalan Pythia, pendeta Apollo di Delphi yang mengatakan bahwa putra bungsu mereka akan menjadi salah satu kegelapan paling bersejarah yang memegang peran paling penting dalam pemusnahan dan pembantaian dalam skala besar-besaran.Setelah satu abad, tidak ada yang berubah, Selene meminta pada Elther—Goeron untuk menempa sebuah pedang dari cahaya bintang murni Asteria, cahaya paling terang dan keberkatan api Hestia. Pedang yang memancarkan cahaya luar biasa itu akhirnya bisa membuat sepintas senyum mengembang pada wajah Argios.Dia berlatih dengan Dewi perang, Athena, k
“Keluarga? Aku?” Iveryne menunjuk dirinya. “Mengapa?” “Karena kamu berada di Area Pertahanan! Kami tidak mudah menerima orang baru, lho. Untukmu pengecualian. Selain Guru Ragon, aku juga mulai menyukaimu!” Iveryne mengernyit jijik, senyum di wajah Calix lama-lama menjadi menggelikan. Lelaki itu tersenyum lebar menampilkan deretan giginya yang rapi, terlewat lebar sampai Iveryne bertanya-tanya bagaimana bisa mulutnya tidak robek. “Tidak bisa, aku hanya—” “Hei, tidak peduli siapa kamu, darimana asalmu, atau bagaimana masa lalumu. Sekarang, kita keluarga! Kita akan memperbaiki semuanya bersama-sama!” Iveryne menatapnya setengah kagum, dia menyeka air pada sudut matanya sembari berkata, “Tidak kusangka … “ Dia sesegukan mengatakan akhir kalimatnya, Calix mendekat berniat menepuk-nepuk punggungnya. “Bisa serius, rupanya.” Calix menghentikan langkah dengan geram. Sementara Iveryne di sisi danau tertawa puas. “Kamu merusak suasana,” ucapnya malas, kembali duduk bersandar di pohon sambil
[Dyord, bayangan iblis, terbuat dari jiwa gelap yang di bunuh. Penyihir memanfaatkan mereka untuk menjadi tameng pelindung tidak terkalahkan. Berasal dari nereka dan mengabdi pada pengeran neraka, Asmodeus. Hanya api suci Dewi Hestia yang bisa mengirimkan mereka kembali, atau api neraka, yang dengan senang hati para Dyord terima]“Hellfire,” gumam Iveryne, pikirannya berkelana tentang nama pedang Reiger. Pria itu pasti membunuh Dyord atau mengetahui sejarahnya, dan begitulah dia terinspirasi nama yang—cukup hebat!Dia duduk di kamar dengan sarang Archer bergoyang, burung hantu itu masih belum sembuh total setelah kejadian dua hari lalu, dan Calix menyarankan mengurungnya tetap dalam Sangkar. Lima hari bersama Reiger dan Calix bukan hal yang buruk. Masakan Calix benar-benar enak, dan buruan Reiger juga tidak pernah mengecewakan. Mereka sepakat akan membicarakan ini dengan Guru Ragon, karena kepulangan beliau besok setelah lima hari berada di Ibukota tanpa memberi kabar. Calix meminjamk
“Elenya ... apakah kamu tahu sesuatu tentang teman-temanku yang lain?” Iveryne terus mendesaknya untuk mengatakan sesuatu setelah beberapa saat lalu, Elenya tidak sengaja mengatakan.“Anda belum mengetahuinya? Yang Mulia Thalorin ... ” Begitu saja, tanda ada niat melanjutkan, dan akibat kata-kata itu, Iveryne kini menuntut jawaban sepenuhnya dengan sorot mata tajam.Di sisi lain, Elenya merasa terintimidasi, tapi di sisi lain, dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya ataupun mengarangnya. Berbohong dan kebenaran di sini tidak lebih seperti lumpur hisap dan jurang.Elenya menatap Iveryne dengan keraguan yang jelas terlihat di matanya. Merasa terjebak dalam dilema antara memenuhi keinginan Lunar Lady dan mematuhi janji yang telah dia buat pada Thalorin. Namun, tekanan Iveryne makin membuatnya merasa tak nyaman.Aura mengintimidasi gadis itu terlalu sulit diabaikan.Iveryne bisa merasakan gelombang kecemasan melanda Elenya, tetapi keinginannya untuk mengetahui kebenaran melebihi semua
Mereka berjalan perlahan, mengendap-endap di antara semak-semak yang rapat, menyusuri tepi danau yang gelap. Cahaya bulan yang redup menyoroti setiap gerakan mereka, menciptakan bayangan yang meliuk-liuk di atas permukaan air yang tenang.“Tidak ada yang akan tahu tentang ini,” ujar Iveryne dengan suara yang hampir tidak terdengar. Berusaha meyakinkan Elenya bahwa apa yang mereka lakukan ini untuk kebaikan, meski melanggar peraturan.Elenya mengangguk pelan, tetapi ketakutannya masih melekat erat. Dia merasa seolah-olah mereka berjalan di tepi jurang, siap untuk jatuh ke dalam ketidakpastian kapan saja. Dan mulutnya, yang hampir berbusa karena terus mengingatkan, tapi tidak pernah didengar.Iveryne tidak tergoyahkan. Dia terus maju, memimpin langkah menuju kegelapan. Meski ada ketegangan di udara, mereka terus melangkah, berusaha untuk tidak terperangkap dalam rasa takut.Saat menjauh dari danau, bayangan semakin menutupi mereka. Iveryne berhenti sejenak, mengamati sekeliling penuh ke
“Lunar Lady ... “ panggil Elenya lelah. “Kita tidak bisa berada di sini, Yang Mulia Eldarion melarang siapapun masuk wilayah ini.” Dia sejak tadi hampir menggumamkan kata yang sama, berusaha membujuk Iveryne mengubah niat untuk mengeksplorasi wilayah Eldarion yang terlarang, ini sungguh salah, tidak benar!Namun, Meski Elenya mencoba keras untuk membujuk Iveryne. Gadis itu tetap teguh dengan niatnya. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik larangan tersebut, dan semua itu hanya membuat rasa penasarannya semakin memuncak.Matahari tenggelam di balik cakrawala, meninggalkan langit senja menjadi gradasi warna oranye, merah, dan ungu yang indah. Bulan dan bintang-bintang muncul di langit gelap, memberikan cahaya samar yang memantulkan warna-warni di atas permukaan jalan yang tenang.Pepohonan rindang di sepanjang jalan melemparkan bayangan gelap, kontras di atas rerumputan hijau yang menyelimuti tanah. Suara hening malam hanya terganggu oleh desiran angin dan kadang-kadang
Dalam kegelapan dingin penjara yang menyedihkan, Calix, Wilder, dan Heros duduk bersama di sudut sel, wajah mereka penuh dengan ekspresi kekecewaan dan kebingungan.“Kita sudah berada di sini berjam-jam, tapi tidak ada tanda-tanda pembebasan,” keluh Wilder dengan nada frustrasi, matanya menatap ke langit-langit yang tidak terlihat.“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Calix sambil menggerutu kesal. “Aku mulai merasa seperti ini adalah akhir dari segalanya.”Heros hanya menggelengkan kepala dengan lesu. “Aku tidak tahu lagi. Semua rencana kita gagal. Kita terjebak di sini tanpa harapan.”“Kita harus tetap tenang dan bersabar,” kata Calix, mencoba menenangkan teman-temannya meskipun hatinya sendiri penuh dengan kecemasan. “Pasti ada jalan keluar. Kita hanya perlu mencari.”“Iveryne pasti dengan merindukanku,” tambah Wilder.Calix mencibir. “Pftt! Alih-alih merindukanmu, kurasa dia sedang mengkhawatirkan Reiger.” Heros, yang terus berada di sudut sambil menelungkupkan kepala di atas lipa
Ketegangan memenuhi aula. Iveryne berusaha menenangkan diri sendiri sementara tangannya bergerak gelisah dalam lengan baju kain yang panjang. Itu adalah suara Eldarion, pamannya.Iveryne segera merasa ada yang tidak beres, bahwa pamannya ini sengaja menyudutkan dirinya karena liontin mutiara di lehernya. Thalorin memandang ke arah Iveryne, tapi tetap diam. Meski dia tidak memiliki hubungan yang cukup erat dan baru bertemu dengan kakeknya, Iveryne langsung mengerti, kedudukan kakeknya penting. Penting untuk membantunya menghadapi pamannya.Iveryne menatap tidak nyaman pada pamannya. “Tidak ada kebenaran dalam tuduhan itu, Kakek. Saya tidak pernah bersekongkol dengan para Siren atau siapapun yang merugikan bangsa Elf.”Eldarion tertawa sinis. “Ah, tentu saja, kau akan membela diri. Tetapi tindakanmu telah mengkhianati kepercayaan dan keamanan bangsa ini. Bagaimana kita bisa mempercayaimu lagi?”Suasana tegang memenuhi ruangan saat pandangan semua orang bergumul dengan pertanyaan tak t
“Iveryne, apakah sesuatu mengganggumu?” Netra biru cemerlang menoleh kaget, tersentak dengan pertanyaan oleh suara asing. Dia menggeleng cepat, kemudian tersenyum kecil, berusaha untuk tetap tenang dan menetralkan diri, mencoba terbiasa lebih dulu.Iveryne melangkah di samping kakeknya, dengan langkah yang sedikit canggung, mencoba menyesuaikan diri dengan atmosfer beda. Thalorin Silverion, sosok lain yang berjalan di sampingnya, memancarkan aura yang hangat dan ramah, membuatnya sulit untuk menentukan apakah sikap itu dialamatkan padanya secara khusus atau mungkin sikap alaminya terhadap semua orang yang mereka temui. Terlepas dari itu, ketenangan dan kebaikan hati yang terpancar dari kakeknya memberikan sedikit kelegaan dalam suasana asing itu.Sementara itu, Iveryne masih tidak terbiasa dengan perhatian yang diberikan padanya oleh para Elf di sekitarnya. Ketika dia melewati mereka, baik itu Elf wanita yang lembut maupun Elf pria yang tegap, selalu menundukkan kepala dengan horm
“Berhenti membohongi dirimu sendiri!” Seruan kemarahan itu bergema dalam heningnya malam. Satu-satunya lawan bicara menatap datar, seakan tidak peduli sekeras apa teriakan itu terdengar.Cahaya bulan memancar terang, dua sosok berdiri di antara pepohonan yang menjulang tinggi. Desiran angin menyapu daun-daun sekitar menjadi latar belakang pertukaran kata-kata penuh kemarahan.“Kamu yang seharusnya berhenti memaksakan.” Ada penekanan dalam intonasi datar itu, mengintimidasi orang di seberang sana, dia tetap tenang, tapi pria di seberangnya menatap marah.Dua orang dan ketidakpastian jawaban, adalah masalah.Salah satu sosok, dengan netra hitam memancarkan kemarahan, menatap tajam ke arah lawan bicara. Rambut hitamnya yang terurai menyapu pipinya, menambah kesan garang pada wajah tegang.Sementara itu, sosok di hadapannya tetap tenang, dengan netra abu-abu cerah yang tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan.Netra hitam menggelap di bawah desakan kemarahan, beberapa helai rambut hitam me
Bersama dengan Reiger yang masih belum sadar sepenuhnya, Iveryne, Calix, Wilder, dan Heros memulai perjalanan menuju hutan Lunare. Elara memberikan ramuan penyembuh kepada Reiger, harapannya agar pria itu bisa bertahan dalam perjalanan.Perbatasan antara Hutan Lunare dan Arvenwood tidak terlalu jauh, tetapi tetap memerlukan perjalanan yang hati-hati. Untungnya, para Creetress dengan baik hati memberikan kuda-kuda mereka. Sebetulnya meminjamkannya, tapi seperti ucapan Iveryne, kecuali salah satu dari mereka selamat untuk mengembalikannya, atau jika tidak, kuda-kuda itu mungkin tidak akan kembali lagi.Setelah melintasi perbatasan Arvenwood, perjalanan mereka menuju Hutan Lunare semakin tidak mudah saja. Cahaya bulan yang menyinari jalan setapak memberikan sentuhan magis pada lingkungan sekitarnya, tetapi juga menyoroti bayangan-bayangan yang misterius di antara pepohonan yang rapat. Angin malam berbisik dengan suara seram, seakan menawarkan peringatan akan bahaya-bahaya yang mengint
Dalam keheningan malam yang dihiasi gemerlap cahaya bulan, Iveryne duduk di tepi tempat tidur, mengamati penuh kekhawatiran sosok Reiger yang terbaring tak berdaya di sisinya. Cahaya bulan memancar lembut memasuki kamar mereka melalui jendela terbuka, menimbulkan bayangan samar di sekitar ruangan yang tenang.Dengan hati berdebar, Iveryne mendekat pada Reiger yang tidak sadarkan diri. Luka di pinggangnya sendiri sudah hampir sembuh sepenuhnya, tetapi luka-luka yang menghiasi tubuh Reiger masih terasa sangat mengejutkan dan sangat memprihatinkan.Ia meraih tangan Reiger, menempelkan telapak tangannya pada pipi dingin pria itu. Suatu cahaya biru pucat seolah-olah memancar dari kedalaman hati Iveryne, merambat melalui urat dan pembuluh darahnya, menciptakan aliran energi magis yang lembut namun kuat.Cahaya itu mengalir ke dalam tubuh Reiger, menyatu dengan sulur-sulur hitam yang menjalar di sekitar lukanya. Namun, meskipun cahaya itu berkilau sebentar, tidak ada perubahan yang terjadi.