Dia memberikan roti mentega dan susu hangat setelah membujuk ibunya makan. Estelle merasa lemas akhir-akhir ini, sudah dari minggu yang lalu sebenarnya. Healer yang Nalaeryn panggil mengatakan bahwa Estelle kelelahan. Tapi Iveryne dan Nalaeryn merasa ini lebih dari itu.
“Ivy … Ada yang ingin ibu tunjukkan padamu.” Estelle menahan tangan putrinya yang berniat meletakkan handuk basah guna mengurangi panas tubuhnya. Iveryne menatapnya bimbang, rasa panas di tangan ibunya menjalar, membelai halus permukaan kulitnya.“Tidak bisakah—” “Ini penting, sayang. Lebih penting dari hidup kita berdua.”Dahi Iveryne berkerut dalam, dia kurang suka ketika sang ibu berkata demikian. Akhirnya, dia coba mengiyakan, rasa perasaannya ikut andil kali ini, entah mengapa pikirannya menjadi tidak tenang.Mereka menuju pojok ruangan. Tepat di depan cermin setinggi dua meter. Dengan arahan Estelle, Iveryne memindahkan letak cermin, sementara ibunya menyalakan lentera penerangan. Estelle memutar kenop pintu yang letaknya di belakang cermin. Iveryne menatap ragu, tapi ketika ibunya melangkah, dia mengikutinya pasti dari belakang.Ruangan padat tanpa penerangan atau ventilasi. Ruangannya hanya sebesar dua kali dua meter. Di tengah paling sudut, ada peti panjang kecoklatan. Iveryne sigap membuka ketika Estelle berjongkok disana. Berbekal penerangan, Estelle tersenyum kala manik indah biru cemerlang itu berbinar, pantulan perak menambah pesona kemilau.Di mata itu. “I-ibu, ini … ini—” “Akan jadi milikmu.” Iveryne menatapnya dengan mulut terbuka sedikit. “Ksatria Aregorn punya pedang yang memilih pemiliknya.” “Maksud ibu ini … “ “Saat mencapai kedewasaanmu nanti, kita akan mengetahuinya. Kalau pedangnya memilihmu, itu akan menjadi milikmu.” Iveryne melirik bergantian antara Estelle dan pedang perak dengan sarung yang di dominasi biru gelap dengan ukiran timbul bulan dan naga di sekeliling. “Bagaimana jika … pedangnya tak memilihku?” “Apa yang bisa kamu realisasikan tentang tanggung jawab?” Estelle mengusap kepalanya lembut penuh kasih sayang. “Tanggung jawab adalah penghargaan dari kemampuan.” “Ivy!” Itu suara Estelle, ibunya belum terlalu pulih, Iveryne sampai melarangnya untuk ikut di dapur. Nalaeryn, di sisi lain mengaduk adonan dengan hati yang tengah berbunga-bunga dan senyum konyol.“Nala, kamu sepertinya sudah tidak waras,” sungut Iveryne.“Aku sedang jatuh cinta!” “Cinta? Apa sih yang membuatmu jatuh cinta padanya?” Nalaeryn memandangnya, nampak berpikir keras, dia sebenarnya menyukai semua yang ada pada Caelan tanpa terkecuali. Jadi dia denagn enggan melanjutkan, “Dia punya mata yang indah.” “Ambil matanya dan buang tubuhnya kalau begitu.” Nalaeryn membuka mulut siap menggelegarkan kata mutiara, tapi suara Estelle menginterupsi, “Ivy, bisa ambilkan kacang almond di dekat tangga?”Caelan sedang duduk di ruang tengah ketika Iveryne mengobrak-abrik isi meja dekat situ. Penampilan adik iparnya itu terlampau mengagumkan. Rambut hitam panjangnya di kuncir, berkilauan di terpa matahari. Bibir ranum merah muda penuh serta hidung mancung yang indah dalam porsi wajahnya. Netranya biru cemerlang, lebih manis dan berkilau cantik dari berlian, dan alis tipis yang terlalu rapi.Pahatan tubuh sempurna, lihatlah pinggang ramping tanpa korset itu! Dan bagian atas yang mengesankan! Demi sihir Dewi Hecate! Penampakan luarnya benar-benar bulat meski dia memakai baju sampai leher atau adanya tambahan lain lain, terlalu tertutup, pikir Caelan.Selesai dengan pemikirannya, Caelan mengambil inisiatif menghampiri Iveryne, saat yang tepat jadi lebih dekat. “Mencari sesuatu, Ivy?” Caelan bertanya setelah mengambil tempat berdiri di sisi kanannya setelah mengawasi keadaan sekitar. Tetapi Iveryne tampaknya tidak terlalu peduli pada calon kakak iparnya. “Hm, kacang almond,” sahutnya tanpa minat. Kadang dia membuka lagi, bahkan sampai membongkar seluruh isi tas belanjaan. Caelan menahan kesal dalam-dalam, jika Nalaeryn pribadi ramah dan baik hati, Iveryne kebalikannya, malas bicara dan cenderung banyak diam, padahal aslinya hanya benci omong kosong, dan sangat tidak suka basa-basi. Nalaeryn ... lemah lembut dan Iveryne tidak segan-segan melempar belati kalau lawan bicaranya menjemukan. Sebungkus kacang almond terjatuh dari tas belajaan. Tepat ketika tangan Iveryne tergerak menyentuhnya, Caelan langsung meletakkan tangannya di atas tangan putih gadis itu. Membuat kesan seolah mereka tidak sengaja bersentuhan. Kini dia menunggu, menunggu reaksi sang pemilik netra biru cemerlang di sebelahnya. Rona merahnya yang menuju telinga itu kelihatan indah, kontras sekali dengan kulit seputih salju dan rambut hitam yang di kuncir ketat. Dia mengkerling ke arah Caelan dengan senyum malu-malu, mengulum bibirnya dalam-dalam. Dan Caelan ... sudah tidak bisa menahan diri untuk tidak terpesona, jadi dia mendekatkan wajah, tapi Iveryne segera mendorongnya sambil mengawasi sekitar. “Tidak disini … “ Betapa indahnya irama suara yang mengalun merdu. Gadis itu mengedipkan matanya sambil berbisik, “Tunggu di kamarmu.” Suaranya bergetar, ada geraman tertahan di sana. Kentara sekali gadis itu menyembunyikan rasa gugupnya yang semakin menguasai. Terbawa suasana, Caelan mengangguk patuh.“Cepatlah,” bisiknya lembut. “Bereskan ini, dan kita selesaikan sesuatu yang sempat tertunda, setelahnya.” Gadis itu langsung menarik sebungkus kacang almond tadi dan berlalu pergi menjauhi sisi Caelan, sesekali dia menoleh lagi ke belakang, mengedipkan mata cantiknya. Terbakar semangat, Caelan dengan senang hati membereskan seluruh kekacauan sambil bersenandung ria. Selesai dengan tugas sementara, dia memasuki kamar di bawah, kamar khusus tamu, yang di berikan oleh Estelle jika dirinya datang. Dia bahkan sampai menyisir rambut dan memakai wewangian di seluruh sudut ruangan. Ketika ketukan mendera telinga, Caelan bergegas membuka pintu. Iveryne berdiri, dengan tangan bertautan di belakang dan rona merah menghiasi wajah cantiknya. Dia perlahan maju sambil mengulum bibir dan kerlingan nakal, dia terus maju ketika Iveryne memojokkannya pada dinding ruangan. Siapa sangka gadis pendiam bisa se-agresif ini. Caelan terhanyutkan ketika nafas Iveryne menerpa wajahnya. Saat dia memajukan wajah, goresan dingin membuat dirinya membeku. Benda runcing menciptakan sensasi perih di lehernya. Dan senyuman malu-malu Iveryne mendingin, rona merah itu bukan arti tersipu! Tapi—arti murka! Murka yang sesungguhnya, dia memajukan ujung belati lagi hingga permukaan leher Caelan tergores tipis.“Aku benci pengkhianat. Jika kamu dan Nalaeryn sudah berpisah nanti, lihatlah kejutan besar yang sudah menantimu.” “Sshh—akhh!” Oksigen tersangkut erat di tenggorokan, Caelan bahkan tidak berani bernafas.Kini belati digantikan tangannya yang menekan luka itu, dan belati dipindahkan, sekarang berjarak beberapa centi dari matanya.“Ulang tahun Nala seminggu lagi, aku belum punya ide hadiah, tapi aku dengar, dia menyukai matamu. Tidak buruk, kan, jika di jadikan pajangan?” ujarnya lembut, tapi terkesan mengerikan.“Ivy, aku—akhh!” Suaranya tersentak, Iveryne menekan permukaan lehernya yang mengeluarkan darah.“Jika kamu mematahkan hati Nalaeryn, ku patahkan lehermu. Aku benci bermain-main, tapi teriakan kesakitanmu kurasa akan sepadan dengan setiap air mata kesedihan kakakku.” Caelan terduduk lemas setelah Iveryne menarik tangan, dia keluar setelah menggores pelipis Caelan cukup dalam dan menggeram tertahan setelahnya.Dia menyiapkan makan malam.Peran Caelan disini adalah tamu tercinta Nalaeryn. Iveryne, mau tidak mau bersikap ramah, meski beberapa kali melempar tatapan tajam dan senyum manis yang terkesan mematikan ketika mendapat kesempatan bertukar pandang dengannya. Dikarenakan Nalaeryn yang menginginkan duduk di sisi kiri Estelle untuk malam ini, jadilah Iveryne dan Caelan duduk bersebelahan. Pria yang malang, dia bahkan bisa merasakan aura tajam Iveryne mencekik nafasnya.“Ini kali pertama aku masak. Bagaimana menurutmu, Cael?” Caelan tersenyum hambar, sementara,Nalaeryn berbinar menunggu jawabannya.“I-ini, er … ini cukup … “ “Apakah tidak enak.” Caelan buru-buru menggeleng ketika menyadari perubahan raut wajah Nalaeryn menjadi agak murung.“Tidak! Bukan, itu tentang—enak! Enak sekali!” “Makan yang banyak kalau begitu.” Mata Nalaeryn menyipit bersamaan dengan terbitnya senyum bahagia di wajahnya.Tolong ajarkan Caelan tenang! Dia sejak tadi susah menelan makanan dan bicara terbata-bata bukan karena rasanya yang aneh. Tapi di bawah meja, tepatnya di atas pahanya, belati Iveryne dengan kulitnya hanya berbatas kain tipis celana, seakan mengancam kalau jawaban yang di jabarkannya salah, maka teriakan kesakitan selanjutnya, hadiahnya.Caelan tersenyum kaku pada Nalaeryn, berharap gadis itu sadar perubahannya dan membantunya keluar dari situasi ini. Tapi gadis itu salah mengartikan tentang cara Caelan sekarang adalah rasa gugup yang muncul karena pertama kali pria itu makan malam bersama keluarganya.Dengan satu senyuman peringatan terakhir, Iveryne menarik belatinya, dan melempar senyum terbaik pada sang kakak.“Nala, sepertinya Tuan Muda sangat ingin duduk di dekatmu. Dia selalu memperhatikanmu sejak tadi. Mari bertukar.” Nalaeryn buruk dalam menyembunyikan antusiasnya. Setelah bertukar tempat, mereka yang berhadapan membuat Iveryne lebih mudah melempar peringatan.Aku benci kehilangan.Tapi, aku lebih benci pengkhianat.Jangan bermain-main dengan perasaan keluargaku.“Ivy, bawakan ini.” “Tambahkan almond.”“Tepungnya kebanyakan.” “Tambahkan mentega satu sendok.” “Aku bilang satu sendok!” Astaga! Iveryne harus menambah tingkat kesabarannya, bahkan di rumah sendiri. Pagi-pagi buta, Bibi tercintanya datang ke rumah, dengan sekantong belanjaan, dan katanya ingin menjenguk ibu. Alih-alih membawa buah tangan, dia membawa banyak belanjaan dan bahan kue, dengan dalih Iveryne membantunya memasak.Nalaeryn pergi ke pasar membeli persediaan Mentega dan—Rasberi untuk Iveryne. Dua jam lebih dan gadis itu belum ada tanda-tanda akan datang. Iveryne menebak dia asik berkencan dengan calon tunangannya itu. Untungnya, pagi-pagi, Wilder membantu Bibi Zerca untuk datang kesana, jadi … dia cukup terbantu dengan pria itu, dan panas telinga secara sukarela oleh sang Bibi. Wilder bersemangat mengacaukan dapur. Sementara Bibi Zerca sibuk menceramahi Iveryne, dan Estelle dengan batuk-batuk kecil kadang terkekeh melihat ekspresi putrinya. Iveryne sudah mau berteriak ma
Iveryne menoleh cepat, dia berjarak tiga puluh meter ketika bunyi ledakan muncul dari arah rumahnya, asap hitam mengepul mengelilingi rumahnya. Tergesa-gesa, kakinya mengantarkannya kembali ke rumah, ledakan dan benda berjatuhan makin jelas ketika dia ada di pekarangan. “Tidak!” Yang membuat kakinya seketika lemas adalah ketika menaiki tangga, ketika kamar Nalaeryn kosong, perabot berserakan, dandelion beterbangan. Samar-samar, teriakan Nalaeryn sebatas ilusi.“Hentikan … “ Kesadarannya di tarik paksa, Iveryne buru-buru bangkit, berlari lagi ke kamar ibunya. Estelle bersandar di dinding, menatap lurus ke arahnya sambil menggeleng, dan sosok hitam berada di depannya. Ibunya itu kelihatan berbeda, rambut perak bercahaya dan mata biru terang yang gemerlapan seindah batu safir.Ketika sosok hitam berbalik ingin menatap sesuatu yang mengalihkan atensi Estelle. Iveryne merasakan sebuah tangan dingin menariknya ke sisi lain ruangan, pinggangnya di peluk erat dan mulutnya dibungkam tangan lai
“Akhh!” Pekikan kesakitan beradu dengan suara gedebuk nyaring. Iveryne tidak sempat menghindar. Dia baru mengambil langkah beberapa meter ketika sepasang mata merah menyala melayang ke arahnya, dan menghantamkannya ke sisi dinding kayu. Sosok setengah asap melayang dengan mata merah bercahaya, fokus pada gadis tidak berdaya yang berusaha bangkit dari posisinya. Sialnya, percuma melawan, tendangan dan pukulan hanya menembus sosok itu. Lagi-lagi sosok itu mengangkatnya, yang entah bagaimana, tidak Iveryne pahami, karena mereka tidak bersentuhan sama sekali dalam hal ini, tapi dia merasa tubuhnya mendadak sangat ringan.Terlempar, lagi! Kali ini menuju meja panjang hingga patah, dan bagian atasnya berhamburan. Iveryne terbatuk-batuk, itu bekas tepung kemarin, ketika mereka selesai membuat kue, tepungnya masih berada di sana, pada tempatnya. Nyeri dan sakit menjalar disekujur tubuhnya. Dengan satu sentakan kecil, Iveryne dengan nafas terengah melempar segenggam tepung, berusaha mengalihka
“Kapan kita kembali ke sini?” “Mustahil. Tidak aman.” Iveryne mendelik tidak percaya, sebelum Reiger mencapai tangannya, dia lebih dulu berlari tergesa-gesa menaiki tangga, menghindari beberapa bagian yang patah dan hancur. Reiger, yang masih tidak mau mereka mati sia-sia dengan sigap menahan Iveryne saat kakinya sampai pada tangga terakhir. Dengan paksa menggendongnya, tapi dia langsung menurunkannya ketika gadis itu memekik keras-keras. Dia meninju wajah Reiger dengan marah. Pinggangnya yang sakit baru saja bertubrukan dengan bahu kokoh yang keras. Sensasinya menusuk. “Sakit, sialan!” hardiknya, tangan kirinya refleks mencengkeram sisi pinggang bagian kiri. “Kita akan dapat yang lebih buruk. Kalau kita masih di sini. Para Dyord akan segera kemari, aku tak bisa melawan semuanya.” “Aku hanya perlu … mengambil pedang.” Mulut Reiger terbuka tanpa sadar, ada beberapa pertanyaan menggenang dalam benaknya. Iveryne menggeser tubuh jangkungnya setelah berkata demikian, bergegas pergi t
Selene senang sekali saat kelahiran adiknya, sinar bulan paling cerah abad itu ketika Selene mendatangi ibunya. Argios, adik Selene mengalami pemikiran lugu, di sembunyikan dari dunia luar membuatnya bersedih setiap saat, dia tidak punya kemampuan apapun, tidak pernah diberatkan tugas, tidak bisa bergaul dengan mudah karena orang tuanya. Hyperion dan Theia sangat-sangat takut dia akan dimanfaatkan kegelapan. Apalagi saat ramalan Pythia, pendeta Apollo di Delphi yang mengatakan bahwa putra bungsu mereka akan menjadi salah satu kegelapan paling bersejarah yang memegang peran paling penting dalam pemusnahan dan pembantaian dalam skala besar-besaran.Setelah satu abad, tidak ada yang berubah, Selene meminta pada Elther—Goeron untuk menempa sebuah pedang dari cahaya bintang murni Asteria, cahaya paling terang dan keberkatan api Hestia. Pedang yang memancarkan cahaya luar biasa itu akhirnya bisa membuat sepintas senyum mengembang pada wajah Argios.Dia berlatih dengan Dewi perang, Athena, k
“Keluarga? Aku?” Iveryne menunjuk dirinya. “Mengapa?” “Karena kamu berada di Area Pertahanan! Kami tidak mudah menerima orang baru, lho. Untukmu pengecualian. Selain Guru Ragon, aku juga mulai menyukaimu!” Iveryne mengernyit jijik, senyum di wajah Calix lama-lama menjadi menggelikan. Lelaki itu tersenyum lebar menampilkan deretan giginya yang rapi, terlewat lebar sampai Iveryne bertanya-tanya bagaimana bisa mulutnya tidak robek. “Tidak bisa, aku hanya—” “Hei, tidak peduli siapa kamu, darimana asalmu, atau bagaimana masa lalumu. Sekarang, kita keluarga! Kita akan memperbaiki semuanya bersama-sama!” Iveryne menatapnya setengah kagum, dia menyeka air pada sudut matanya sembari berkata, “Tidak kusangka … “ Dia sesegukan mengatakan akhir kalimatnya, Calix mendekat berniat menepuk-nepuk punggungnya. “Bisa serius, rupanya.” Calix menghentikan langkah dengan geram. Sementara Iveryne di sisi danau tertawa puas. “Kamu merusak suasana,” ucapnya malas, kembali duduk bersandar di pohon sambil
[Dyord, bayangan iblis, terbuat dari jiwa gelap yang di bunuh. Penyihir memanfaatkan mereka untuk menjadi tameng pelindung tidak terkalahkan. Berasal dari nereka dan mengabdi pada pengeran neraka, Asmodeus. Hanya api suci Dewi Hestia yang bisa mengirimkan mereka kembali, atau api neraka, yang dengan senang hati para Dyord terima]“Hellfire,” gumam Iveryne, pikirannya berkelana tentang nama pedang Reiger. Pria itu pasti membunuh Dyord atau mengetahui sejarahnya, dan begitulah dia terinspirasi nama yang—cukup hebat!Dia duduk di kamar dengan sarang Archer bergoyang, burung hantu itu masih belum sembuh total setelah kejadian dua hari lalu, dan Calix menyarankan mengurungnya tetap dalam Sangkar. Lima hari bersama Reiger dan Calix bukan hal yang buruk. Masakan Calix benar-benar enak, dan buruan Reiger juga tidak pernah mengecewakan. Mereka sepakat akan membicarakan ini dengan Guru Ragon, karena kepulangan beliau besok setelah lima hari berada di Ibukota tanpa memberi kabar. Calix meminjamk
Iveryne mengerang frustasi, percakapan pertamanya dengan Guru Ragon tidak bisa dikatakan baik. Dia melihat pedang perak yang menggantung di pinggang rampingnya dengan indah. Kecewa, marah, kesal. Iveryne belum pernah merasa tidak berguna seperti ini dalam hidupnya. Dia bukan ksatria dan tidak punya mana sempurna dalam dirinya karena baru berusia tujuh belas tahun, dan sekarang dia kehilangan seluruh keluarga di bawah hidungnya sendiri. Keluarga barunya memang baik dan menerimanya, kecuali Reiger, terlepas dari entah sudah sifatnya begitu sejak awal atau bagaimana. Dia memasuki rumahnya, menyapu lagi kenangan terakhir sebelum benar-benar pergi. Dia nekat berjalan berpuluh-puluh kilometer—tidak sejauh itu, hanya saja Iveryne suka melebih-lebihkan karena kakinya terasa kebas. Dia tidak menaiki kuda karena Reiger pasti menemukannya, tapi tujuannya benar-benar mudah ditebak. Ransel kulit hitam tergantung pada dinding kamarnya—yang membuat Iveryne merasa janggal karena kamarnya kelihatan
“Elenya ... apakah kamu tahu sesuatu tentang teman-temanku yang lain?” Iveryne terus mendesaknya untuk mengatakan sesuatu setelah beberapa saat lalu, Elenya tidak sengaja mengatakan.“Anda belum mengetahuinya? Yang Mulia Thalorin ... ” Begitu saja, tanda ada niat melanjutkan, dan akibat kata-kata itu, Iveryne kini menuntut jawaban sepenuhnya dengan sorot mata tajam.Di sisi lain, Elenya merasa terintimidasi, tapi di sisi lain, dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya ataupun mengarangnya. Berbohong dan kebenaran di sini tidak lebih seperti lumpur hisap dan jurang.Elenya menatap Iveryne dengan keraguan yang jelas terlihat di matanya. Merasa terjebak dalam dilema antara memenuhi keinginan Lunar Lady dan mematuhi janji yang telah dia buat pada Thalorin. Namun, tekanan Iveryne makin membuatnya merasa tak nyaman.Aura mengintimidasi gadis itu terlalu sulit diabaikan.Iveryne bisa merasakan gelombang kecemasan melanda Elenya, tetapi keinginannya untuk mengetahui kebenaran melebihi semua
Mereka berjalan perlahan, mengendap-endap di antara semak-semak yang rapat, menyusuri tepi danau yang gelap. Cahaya bulan yang redup menyoroti setiap gerakan mereka, menciptakan bayangan yang meliuk-liuk di atas permukaan air yang tenang.“Tidak ada yang akan tahu tentang ini,” ujar Iveryne dengan suara yang hampir tidak terdengar. Berusaha meyakinkan Elenya bahwa apa yang mereka lakukan ini untuk kebaikan, meski melanggar peraturan.Elenya mengangguk pelan, tetapi ketakutannya masih melekat erat. Dia merasa seolah-olah mereka berjalan di tepi jurang, siap untuk jatuh ke dalam ketidakpastian kapan saja. Dan mulutnya, yang hampir berbusa karena terus mengingatkan, tapi tidak pernah didengar.Iveryne tidak tergoyahkan. Dia terus maju, memimpin langkah menuju kegelapan. Meski ada ketegangan di udara, mereka terus melangkah, berusaha untuk tidak terperangkap dalam rasa takut.Saat menjauh dari danau, bayangan semakin menutupi mereka. Iveryne berhenti sejenak, mengamati sekeliling penuh ke
“Lunar Lady ... “ panggil Elenya lelah. “Kita tidak bisa berada di sini, Yang Mulia Eldarion melarang siapapun masuk wilayah ini.” Dia sejak tadi hampir menggumamkan kata yang sama, berusaha membujuk Iveryne mengubah niat untuk mengeksplorasi wilayah Eldarion yang terlarang, ini sungguh salah, tidak benar!Namun, Meski Elenya mencoba keras untuk membujuk Iveryne. Gadis itu tetap teguh dengan niatnya. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik larangan tersebut, dan semua itu hanya membuat rasa penasarannya semakin memuncak.Matahari tenggelam di balik cakrawala, meninggalkan langit senja menjadi gradasi warna oranye, merah, dan ungu yang indah. Bulan dan bintang-bintang muncul di langit gelap, memberikan cahaya samar yang memantulkan warna-warni di atas permukaan jalan yang tenang.Pepohonan rindang di sepanjang jalan melemparkan bayangan gelap, kontras di atas rerumputan hijau yang menyelimuti tanah. Suara hening malam hanya terganggu oleh desiran angin dan kadang-kadang
Dalam kegelapan dingin penjara yang menyedihkan, Calix, Wilder, dan Heros duduk bersama di sudut sel, wajah mereka penuh dengan ekspresi kekecewaan dan kebingungan.“Kita sudah berada di sini berjam-jam, tapi tidak ada tanda-tanda pembebasan,” keluh Wilder dengan nada frustrasi, matanya menatap ke langit-langit yang tidak terlihat.“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Calix sambil menggerutu kesal. “Aku mulai merasa seperti ini adalah akhir dari segalanya.”Heros hanya menggelengkan kepala dengan lesu. “Aku tidak tahu lagi. Semua rencana kita gagal. Kita terjebak di sini tanpa harapan.”“Kita harus tetap tenang dan bersabar,” kata Calix, mencoba menenangkan teman-temannya meskipun hatinya sendiri penuh dengan kecemasan. “Pasti ada jalan keluar. Kita hanya perlu mencari.”“Iveryne pasti dengan merindukanku,” tambah Wilder.Calix mencibir. “Pftt! Alih-alih merindukanmu, kurasa dia sedang mengkhawatirkan Reiger.” Heros, yang terus berada di sudut sambil menelungkupkan kepala di atas lipa
Ketegangan memenuhi aula. Iveryne berusaha menenangkan diri sendiri sementara tangannya bergerak gelisah dalam lengan baju kain yang panjang. Itu adalah suara Eldarion, pamannya.Iveryne segera merasa ada yang tidak beres, bahwa pamannya ini sengaja menyudutkan dirinya karena liontin mutiara di lehernya. Thalorin memandang ke arah Iveryne, tapi tetap diam. Meski dia tidak memiliki hubungan yang cukup erat dan baru bertemu dengan kakeknya, Iveryne langsung mengerti, kedudukan kakeknya penting. Penting untuk membantunya menghadapi pamannya.Iveryne menatap tidak nyaman pada pamannya. “Tidak ada kebenaran dalam tuduhan itu, Kakek. Saya tidak pernah bersekongkol dengan para Siren atau siapapun yang merugikan bangsa Elf.”Eldarion tertawa sinis. “Ah, tentu saja, kau akan membela diri. Tetapi tindakanmu telah mengkhianati kepercayaan dan keamanan bangsa ini. Bagaimana kita bisa mempercayaimu lagi?”Suasana tegang memenuhi ruangan saat pandangan semua orang bergumul dengan pertanyaan tak t
“Iveryne, apakah sesuatu mengganggumu?” Netra biru cemerlang menoleh kaget, tersentak dengan pertanyaan oleh suara asing. Dia menggeleng cepat, kemudian tersenyum kecil, berusaha untuk tetap tenang dan menetralkan diri, mencoba terbiasa lebih dulu.Iveryne melangkah di samping kakeknya, dengan langkah yang sedikit canggung, mencoba menyesuaikan diri dengan atmosfer beda. Thalorin Silverion, sosok lain yang berjalan di sampingnya, memancarkan aura yang hangat dan ramah, membuatnya sulit untuk menentukan apakah sikap itu dialamatkan padanya secara khusus atau mungkin sikap alaminya terhadap semua orang yang mereka temui. Terlepas dari itu, ketenangan dan kebaikan hati yang terpancar dari kakeknya memberikan sedikit kelegaan dalam suasana asing itu.Sementara itu, Iveryne masih tidak terbiasa dengan perhatian yang diberikan padanya oleh para Elf di sekitarnya. Ketika dia melewati mereka, baik itu Elf wanita yang lembut maupun Elf pria yang tegap, selalu menundukkan kepala dengan horm
“Berhenti membohongi dirimu sendiri!” Seruan kemarahan itu bergema dalam heningnya malam. Satu-satunya lawan bicara menatap datar, seakan tidak peduli sekeras apa teriakan itu terdengar.Cahaya bulan memancar terang, dua sosok berdiri di antara pepohonan yang menjulang tinggi. Desiran angin menyapu daun-daun sekitar menjadi latar belakang pertukaran kata-kata penuh kemarahan.“Kamu yang seharusnya berhenti memaksakan.” Ada penekanan dalam intonasi datar itu, mengintimidasi orang di seberang sana, dia tetap tenang, tapi pria di seberangnya menatap marah.Dua orang dan ketidakpastian jawaban, adalah masalah.Salah satu sosok, dengan netra hitam memancarkan kemarahan, menatap tajam ke arah lawan bicara. Rambut hitamnya yang terurai menyapu pipinya, menambah kesan garang pada wajah tegang.Sementara itu, sosok di hadapannya tetap tenang, dengan netra abu-abu cerah yang tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan.Netra hitam menggelap di bawah desakan kemarahan, beberapa helai rambut hitam me
Bersama dengan Reiger yang masih belum sadar sepenuhnya, Iveryne, Calix, Wilder, dan Heros memulai perjalanan menuju hutan Lunare. Elara memberikan ramuan penyembuh kepada Reiger, harapannya agar pria itu bisa bertahan dalam perjalanan.Perbatasan antara Hutan Lunare dan Arvenwood tidak terlalu jauh, tetapi tetap memerlukan perjalanan yang hati-hati. Untungnya, para Creetress dengan baik hati memberikan kuda-kuda mereka. Sebetulnya meminjamkannya, tapi seperti ucapan Iveryne, kecuali salah satu dari mereka selamat untuk mengembalikannya, atau jika tidak, kuda-kuda itu mungkin tidak akan kembali lagi.Setelah melintasi perbatasan Arvenwood, perjalanan mereka menuju Hutan Lunare semakin tidak mudah saja. Cahaya bulan yang menyinari jalan setapak memberikan sentuhan magis pada lingkungan sekitarnya, tetapi juga menyoroti bayangan-bayangan yang misterius di antara pepohonan yang rapat. Angin malam berbisik dengan suara seram, seakan menawarkan peringatan akan bahaya-bahaya yang mengint
Dalam keheningan malam yang dihiasi gemerlap cahaya bulan, Iveryne duduk di tepi tempat tidur, mengamati penuh kekhawatiran sosok Reiger yang terbaring tak berdaya di sisinya. Cahaya bulan memancar lembut memasuki kamar mereka melalui jendela terbuka, menimbulkan bayangan samar di sekitar ruangan yang tenang.Dengan hati berdebar, Iveryne mendekat pada Reiger yang tidak sadarkan diri. Luka di pinggangnya sendiri sudah hampir sembuh sepenuhnya, tetapi luka-luka yang menghiasi tubuh Reiger masih terasa sangat mengejutkan dan sangat memprihatinkan.Ia meraih tangan Reiger, menempelkan telapak tangannya pada pipi dingin pria itu. Suatu cahaya biru pucat seolah-olah memancar dari kedalaman hati Iveryne, merambat melalui urat dan pembuluh darahnya, menciptakan aliran energi magis yang lembut namun kuat.Cahaya itu mengalir ke dalam tubuh Reiger, menyatu dengan sulur-sulur hitam yang menjalar di sekitar lukanya. Namun, meskipun cahaya itu berkilau sebentar, tidak ada perubahan yang terjadi.