“Akhh!” Pekikan kesakitan beradu dengan suara gedebuk nyaring. Iveryne tidak sempat menghindar. Dia baru mengambil langkah beberapa meter ketika sepasang mata merah menyala melayang ke arahnya, dan menghantamkannya ke sisi dinding kayu.
Sosok setengah asap melayang dengan mata merah bercahaya, fokus pada gadis tidak berdaya yang berusaha bangkit dari posisinya. Sialnya, percuma melawan, tendangan dan pukulan hanya menembus sosok itu. Lagi-lagi sosok itu mengangkatnya, yang entah bagaimana, tidak Iveryne pahami, karena mereka tidak bersentuhan sama sekali dalam hal ini, tapi dia merasa tubuhnya mendadak sangat ringan.Terlempar, lagi! Kali ini menuju meja panjang hingga patah, dan bagian atasnya berhamburan. Iveryne terbatuk-batuk, itu bekas tepung kemarin, ketika mereka selesai membuat kue, tepungnya masih berada di sana, pada tempatnya. Nyeri dan sakit menjalar disekujur tubuhnya. Dengan satu sentakan kecil, Iveryne dengan nafas terengah melempar segenggam tepung, berusaha mengalihkan dan semoga ... berhasil.Sosok itu—entah apa namanya memperhatikan sekitarnya, taburan serbuk putih tepung yang rasanya asing. Mengambil satu-satunya kesempatan, dia mencoba menaiki tangga, dengan lamban—baginya adalah langkah tercepat, mengingat cederanya dan rasa sakit menyengat di area pinggangnya.Tujuannya sekarang adalah senjata, atau minimal belati di kamarnya. Ini akibat ulah Calix! Salahkan lelaki itu yang sibuk menghentikannya alih-alih memberikan senjata yang memadai. Benar-benar mimpi buruk, dia tidak menyangkan akan disambut sedemikian rupa. Tenaga yang terkuras habis dan tubuhnya merosot lelah. Berkuda dua kilometer setelah sadar memang bukan ide yang bagus.Iveryne mencapai tangga terakhir ketika kakinya ditarik jatuh, mencium setiap tangga dengan tidak elegannya. Pekikan kesakitan terkunci di tenggorokan, kesadaran direnggut paksa dan nafasnya tidak beraturan. Satu yang Iveryne pahami adalah, sosok mengerikan hitam itu sekedar mendekatinya, mengamati, dan mendekatkan mata merah itu.Dia kelihatan memindai cermat. Iveryne menyadari tentang semakin dirinya memberontak dan berusaha kabur, sosok itu semakin ganas. Iveryne sampai tidak sadar dia menahan nafas. Sosok itu mencoba menyentuh rambutnya—terkesan percuma, karena itu tetap menembus, seperti bayang-bayang. Iveryne menyipitkan matanya kala sosok itu berangsur-angsur mendekat, hanya berjarak beberapa inci.Cahaya jingga kemerahan terbesit ketika Iveryne menutup mata. Tidak ada suara lain, hening … netra biru cemerlang indah mengerjap ragu. Sosok hitam yang melayang perlahan-lahan menjadi kepulan asap hitam yang kemudian hilang terbawa angin.“Bodoh!” Umpatan tidak ramah itu diiringi suara gemericing pedang yang dimasukkan dalam sarungnya. Ketika pesona onyx kelabu dipadukan dengan keindahan biru cemerlang. Keduanya sama-sama terdiam, seakan lupa alasan keberadaan mereka di sana, tapi suara benda jatuh di belakang memulihkan paksa kesadaran mereka.“Akhh!” Iveryne tidak bisa melupakan sengatan nyeri menyapa pinggangnya, sosok—manusia di depannya melihat ke arah pinggang sang gadis. Melihat mata yang menyipit itu membuat Iveryne tidak tenang, dia baru mengumpulkan sisa keberanian, berniat melihatnya, ketika merasa tubuhnya mendadak melayang.Manusia itu mendudukkannya pada satu-satunya kursi yang tersisa di ruang tengah. Tudung jubahnya jatuh, rambut hitam legam, beberapa helai bergantungan di sisi matanya.“Tertusuk kayu,” ucapnya kalem, seakan-akan itu hal biasa, selagi Iveryne melotot penuh penekanan.“Aku akan mencabutnya, hanya kayu kecil.”Dengan nafas tak beraturan, Iveryne memberanikan diri melirik area perutnya, kayu sebesar jari tangan orang dewasa tertancap di pinggangnya, dia meringis tanpa suara, nyaris menangis. Menepis kasar ketika tangan kekar di depannya berniat menyentuh potongan kayu itu.Sial! Kenapa emosional di saat begini!“Tolong buat aku pingsan, atau apapun.”“Kepalamu akan sakit ketika bangun nanti. Cobalah tenang, ini akan cepat.” Dia berdecak, karena Iveryne lagi-lagi menepis tangannya.“Apakah kamu pernah menerima kayu di pinggangmu, huh!”“Aku sering dapat yang lebih buruk.” Iveryne menatapnya antara batas percaya atau ragu. “Dasar bodoh! Kamu pikir apa? Pergi sendiri tanpa senjata. Ini bukan sandiwara teater! Beruntung masih hidup.” Tatapan nyalang Iveryne beradu dengan tatapan datar dari onyx kelabu.“Ak—mhh.” Iveryne menutup mulut sembari menggertakan gigi, kulit lehernya ditarik dan merenggang beberapa kali disertai pukulan-pukulan kecil pada lengan orang di depannya ini. Hembusan nafasnya tertahan pada detik-detik tertentu, sakitnya tidak terbantahkan.Suara tercekat di pangkal tenggorokan, nyeri dan perih, serta tangan dingin menyatu di kulitnya. Tidak sopan! Jika keadaan normal, Iveryne bersumpah akan memukul dan menendang lalu membantingnya. Permukaan kulit sucinya! Demi Tuhan! Iveryne menepis jauh-jauh tentang kehangatan nyaman bersarang di permukaan pinggangnya.Dia tidak bisa menahan desisan nyeri, dua potong kayu berbeda ukuran di lengan kiri, dan potongan sebesar jari tangan di pinggangnya. Benar-benar mengenaskan, apalagi ketika pria itu mengelap dengan air. Iveryne tidak peduli lagi dengan atasan bajunya yang dinaikkan, atau posisinya entah bagaimana. Fokusnya terganti dengan sengatan sakit.Sementara sang pemilik netra onyx kelabu itu bersusah payah membatasi hidungnya. Aroma Rasberi yang menggiurkan dan teramat lembut menyapa penciumannya dengan tidak sabar. Sentakan kesakitan gadis di depannya kembali menyadarkan, menariknya dari mengagumi aroma indah milik biru cemerlang ini berlarut-larut, deheman singkatnya berusaha mencairkan atmosfer panas yang tiba-tiba menerpa wajahnya.“Calix dan Guru di Area Pertahanan mengkhawatirkanmu,” ujarnya datar, Iveryne tidak terlalu memperhatikan ketika tangannya sibuk menurunkan atasan dengan hati-hati. “Lain kali bawa senjata.”“Calix sibuk mengkhawatirkan alih-alih memberikan senjata. Omong-omong, terimakasih … “ Iveryne menyipitkan mata, dengan enggan melanjutkan, “Orang asing. Makhluk ... apa itu tadi?” Rasa penasarannya mengambil alih, Iveryne hanya butuh jawaban sekarang.“Dyord, bayangan iblis. Mereka berjaga di sekitar segel gelap.”“Apa maksudmu, segel?”“Pengetahuanmu tentang para penyihir gelap sedikit sekali, ya?”“Diamlah. Kamu tak tahu apapun. Kita sama-sama orang asing.”“Reiger.” Iveryne menyipitkan matanya mencoba memahami.“Maaf?”“Namaku, Reiger.”“Tunggu! Bukankah kamu yang menabrakku di Pasar Ibukota?”*****Mereka ada di taman dandelion. Sisa dari ibunya, yang Iveryne temukan hanya serbuk abu putih, tepat dia mengingat di mana ibunya berdiri malam itu. Hujan dan gemuruh petir tidak menghentikan aksinya bersimpuh pada gundukan di antara dandelion layu terkena rintik hujan.Lima jam lebih dihabiskan Iveryne untuk berdiam dalam Kamar. Merenungi semuanya, Reiger yakin gadis itu meratapi nasibnya, bisa juga memikirkan kakaknya yang tidak memiliki tanda-tanda hidup atau mati. Reiger menyalakan api, tubuhnya basah dan dingin, tidak sulit mencari kayu, banyak patahan meja dapur tepat di bawah hidungnya.Iveryne mengganti pakaiannya, bekas luka yang tidak mengering itu basah dan perih. Dia memakai celana panjang, mengantongi beberapa belati dari akademi. Menekan luka dengan kain bersih yang kering. Dia masuk ke dalam Kamar Nalaeryn, aroma tanaman. Pot-pot yang berjejer rapi di sisi jendela berjatuhan, pecah dengan tanah berceceran di lantai.Kaki kasurnya patah, hanya satu yang tersisa, lantai kamar memunculkan retakan, bantal acak-acakan, situasi kamar yang biasa rapi, Nalaeryn maniak kebersihan, dia ingat membayar dua koin emas agar Nalaeryn bersedia merapikannya. Sebenarnya itu hanya alibi, karena ketika di Pasar Ibukota hari itu, dia tak sengaja menangkap basah Nalaeryn mencuri-curi pandang pada sepatu hak tinggi di etalase toko.Mangkok-mangkok di atas rak, tempatnya bereksperimen dengan perawatan wajahnya bercampur menjadi satu di lantai kayu. Isinya tidak utuh lagi, beberapa mangkok ada yang singgah pada seprai. Iveryne terkekeh, dia ingat Nalaeryn seringkali memaksanya memakai ramuan racikannya. Tidak jarang dia mengirim secara pribadi ke Akademi.'Agar saat pulang nanti, kamu tetap cantik, Ivy! Di sana panas dan … oh! Tidak bisa di biarkan! Awas kalau tidak memakainya!''Kekehan di wajahnya tidak berlangsung lama, nyeri menyengat itu kembali menghampirinya, Iveryne terkekeh geli sampai tidak sadar tangannya sedang menekan luka. Setelah menjulurkan kepala dari jendela, beberapa tanaman di luar sana masih utuh, tertata rapi seolah yang terjadi di dalamnya hanya sebatas ilusi. Dia mengambil satu pot penuh, dia ingat daun hijau besar itu.Ketika terkena cakaran serigala beberapa tahun lalu. Dia hanya perlu campuran air lalu menghaluskannya. Botol-botol yang biasa diisi air dalam kamar itu terbaring dengan keadaan tutup hilang. Sepertinya air di dalamnya tumpah dan mengering.Jadi dia terpaksa turun perlahan ke dapur dan menemukan Reiger bersandar di sisi kursi, mengarah langsung ke perapian, dia sempat lupa keberadaan pria itu. Dia terbangun, entah karena Iveryne terlalu berisik atau memang telinga pria itu kelewat peka terhadap suara minim. Tapi mengingat dia tinggal satu tempat dengan Ksatria Aregorn.Opsi kedua lebih pasti.Iveryne menggigit gulungan kain dengan kuat dan terengah-engah. Reiger sialan itu memaksa untuk membersihkan lukanya lagi sebelum diobati memaksa diberitahu apa saja yang perlu di lakukannya dengan tanaman obat. Tapi rasa sakitnya terbagi dua, antara sensasi dingin yang nyaman akibat tangan merengkuh pinggangnya, dan rasa sakit menyengat oleh luka yang diolesi tanaman obat.“Kita harus kembali,” sentak Reiger tiba-tiba setelah selesai membalut luka Iveryne. Keduanya menoleh pada pedang Reiger yang sarungnya terikat rapi pada pinggang sang pria. Dia menariknya pelan, bagian pedang yang harusnya keperakan, bercahaya jingga-kemerahan.“Kapan kita kembali ke sini?” “Mustahil. Tidak aman.” Iveryne mendelik tidak percaya, sebelum Reiger mencapai tangannya, dia lebih dulu berlari tergesa-gesa menaiki tangga, menghindari beberapa bagian yang patah dan hancur. Reiger, yang masih tidak mau mereka mati sia-sia dengan sigap menahan Iveryne saat kakinya sampai pada tangga terakhir. Dengan paksa menggendongnya, tapi dia langsung menurunkannya ketika gadis itu memekik keras-keras. Dia meninju wajah Reiger dengan marah. Pinggangnya yang sakit baru saja bertubrukan dengan bahu kokoh yang keras. Sensasinya menusuk. “Sakit, sialan!” hardiknya, tangan kirinya refleks mencengkeram sisi pinggang bagian kiri. “Kita akan dapat yang lebih buruk. Kalau kita masih di sini. Para Dyord akan segera kemari, aku tak bisa melawan semuanya.” “Aku hanya perlu … mengambil pedang.” Mulut Reiger terbuka tanpa sadar, ada beberapa pertanyaan menggenang dalam benaknya. Iveryne menggeser tubuh jangkungnya setelah berkata demikian, bergegas pergi t
Selene senang sekali saat kelahiran adiknya, sinar bulan paling cerah abad itu ketika Selene mendatangi ibunya. Argios, adik Selene mengalami pemikiran lugu, di sembunyikan dari dunia luar membuatnya bersedih setiap saat, dia tidak punya kemampuan apapun, tidak pernah diberatkan tugas, tidak bisa bergaul dengan mudah karena orang tuanya. Hyperion dan Theia sangat-sangat takut dia akan dimanfaatkan kegelapan. Apalagi saat ramalan Pythia, pendeta Apollo di Delphi yang mengatakan bahwa putra bungsu mereka akan menjadi salah satu kegelapan paling bersejarah yang memegang peran paling penting dalam pemusnahan dan pembantaian dalam skala besar-besaran.Setelah satu abad, tidak ada yang berubah, Selene meminta pada Elther—Goeron untuk menempa sebuah pedang dari cahaya bintang murni Asteria, cahaya paling terang dan keberkatan api Hestia. Pedang yang memancarkan cahaya luar biasa itu akhirnya bisa membuat sepintas senyum mengembang pada wajah Argios.Dia berlatih dengan Dewi perang, Athena, k
“Keluarga? Aku?” Iveryne menunjuk dirinya. “Mengapa?” “Karena kamu berada di Area Pertahanan! Kami tidak mudah menerima orang baru, lho. Untukmu pengecualian. Selain Guru Ragon, aku juga mulai menyukaimu!” Iveryne mengernyit jijik, senyum di wajah Calix lama-lama menjadi menggelikan. Lelaki itu tersenyum lebar menampilkan deretan giginya yang rapi, terlewat lebar sampai Iveryne bertanya-tanya bagaimana bisa mulutnya tidak robek. “Tidak bisa, aku hanya—” “Hei, tidak peduli siapa kamu, darimana asalmu, atau bagaimana masa lalumu. Sekarang, kita keluarga! Kita akan memperbaiki semuanya bersama-sama!” Iveryne menatapnya setengah kagum, dia menyeka air pada sudut matanya sembari berkata, “Tidak kusangka … “ Dia sesegukan mengatakan akhir kalimatnya, Calix mendekat berniat menepuk-nepuk punggungnya. “Bisa serius, rupanya.” Calix menghentikan langkah dengan geram. Sementara Iveryne di sisi danau tertawa puas. “Kamu merusak suasana,” ucapnya malas, kembali duduk bersandar di pohon sambil
[Dyord, bayangan iblis, terbuat dari jiwa gelap yang di bunuh. Penyihir memanfaatkan mereka untuk menjadi tameng pelindung tidak terkalahkan. Berasal dari nereka dan mengabdi pada pengeran neraka, Asmodeus. Hanya api suci Dewi Hestia yang bisa mengirimkan mereka kembali, atau api neraka, yang dengan senang hati para Dyord terima]“Hellfire,” gumam Iveryne, pikirannya berkelana tentang nama pedang Reiger. Pria itu pasti membunuh Dyord atau mengetahui sejarahnya, dan begitulah dia terinspirasi nama yang—cukup hebat!Dia duduk di kamar dengan sarang Archer bergoyang, burung hantu itu masih belum sembuh total setelah kejadian dua hari lalu, dan Calix menyarankan mengurungnya tetap dalam Sangkar. Lima hari bersama Reiger dan Calix bukan hal yang buruk. Masakan Calix benar-benar enak, dan buruan Reiger juga tidak pernah mengecewakan. Mereka sepakat akan membicarakan ini dengan Guru Ragon, karena kepulangan beliau besok setelah lima hari berada di Ibukota tanpa memberi kabar. Calix meminjamk
Iveryne mengerang frustasi, percakapan pertamanya dengan Guru Ragon tidak bisa dikatakan baik. Dia melihat pedang perak yang menggantung di pinggang rampingnya dengan indah. Kecewa, marah, kesal. Iveryne belum pernah merasa tidak berguna seperti ini dalam hidupnya. Dia bukan ksatria dan tidak punya mana sempurna dalam dirinya karena baru berusia tujuh belas tahun, dan sekarang dia kehilangan seluruh keluarga di bawah hidungnya sendiri. Keluarga barunya memang baik dan menerimanya, kecuali Reiger, terlepas dari entah sudah sifatnya begitu sejak awal atau bagaimana. Dia memasuki rumahnya, menyapu lagi kenangan terakhir sebelum benar-benar pergi. Dia nekat berjalan berpuluh-puluh kilometer—tidak sejauh itu, hanya saja Iveryne suka melebih-lebihkan karena kakinya terasa kebas. Dia tidak menaiki kuda karena Reiger pasti menemukannya, tapi tujuannya benar-benar mudah ditebak. Ransel kulit hitam tergantung pada dinding kamarnya—yang membuat Iveryne merasa janggal karena kamarnya kelihatan
“Kamu benar!”“Aku harus siap ke depannya!” Iveryne tidak main-main dengan ucapannya waktu itu. Reiger di buat kaget dan Calix, tidak bisa menahan mulutnya untuk menganga lebar. Gadis itu melewati batas kegigihan tertinggi, keinginannya untuk menguasai seni pedang membuat decak kagum tersendiri dari Guru Ragon. Kesehariannya tidak lagi di habiskan dengan bercanda, meski kadang Calix mengajaknya bercanda karena terlalu serius. Pagi dihabiskan untuk lari pagi, lalu tengah hari dengan latihan fisik, dan sore untuk latihan seni pedang. Iveryne butuh menghabiskan satu tahun lagi di akademi untuk mempelajari hal itu, dan sekarang, dia mendapat dari keluarga barunya, Ksatria Aregorn itu sendiri. Jika dulu Iveryne berani mengatakan bersedia melakukan apapun untuk jadi murid Ksatria Aregorn. Sekarang hatinya mempertanyakan itu, kehilangan keluarga untuk mencapai tujuan bukan sesuatu yang dia inginkan! Jika harganya semahal ini, Iveryne tidak akan melakukannya. Iveryne sering mengasah pedang
Kediaman Guru Ragon agak sepi, beliau sedang sakit, di sisi kanan kamarnya ada Ruang Kesehatan yang bersebelahan dengan Kandang Kuda. Lalu di sisi kirinya adalah Ruang Senjata, bersebelahan Kamar Iveryne. Jadi ketika terdengar panggilan Calix di seberang sana menginterupsi di malam yang sunyi, dia refleks mendongak heran.“Guru memanggilmu,” ujarnya, bertumpu pada kedua lutut.“Apa aku membuat kesalahan?” Calix mengendikkan bahunya acuh. Biasanya Guru Ragon tidak pernah memanggilnya secara pribadi begini, selalu ada perantara, entah itu Reiger yang mengajak latihan, lalu bertemu di Ruang Latihan, hanya di situlah biasanya mereka bertemu.Mungkin karena sedang sakit … Iveryne mengangkat ibu jari tanda setuju, berbelok menuju Kediaman Sang Guru. Dia belum pernah ke situ sebelumnya, bahkan Calix yang notabenenya lebih lama darinya juga sama. Hanya Reiger seorang yang sering, mereka menduga dia melaporkan alasan kuatnya yang berhubungan dengan kepentingan berkuda malam-malam.Suara batuk
BYUR!Iveryne tersentak! Duduk dengan keadaan basah kuyup. Calix berdiri di sana dengan ember hitam cukup besar. Memproses semuanya, Iveryne benar-benar marah! Dia sampai bisa merasakan kepulan asap samar-samar mengelilingi tubuhnya. “CAL—” “Kebakaran!” Netranya menelusuri sekeliling. Iveryne berusaha memproses semua yang terjadi ketika Calix menariknya. Dia menyambar Aelther yang tergeletak di sisi tempat tidur, mengikuti lelaki itu dengan tergesa-gesa. Tunggu, asap?! Itu bukan dari kepalanya yang ingin meledak atau wajah marahnya. Asap itu murni datang dari kebakaran!.Apakah Calix membakar Area Pertahanan?!“Calix, jangan katakan ini ulah—” DUARR! BUKK! PRAK! Keduanya dihantam bola api besar, bola api yang sama seperti yang dilempar pada kediaman Guru. Perpustakaan dan kandang kuda hangus. Kandang kuda di seberang tidak memunculkan tanda-tanda keberadaan Cherrol, atau mungkin Calix sudah mengamankannya. Dia lebih mencintai Cherrol dari dirinya sendiri!Atau kemungkinan buruk
“Elenya ... apakah kamu tahu sesuatu tentang teman-temanku yang lain?” Iveryne terus mendesaknya untuk mengatakan sesuatu setelah beberapa saat lalu, Elenya tidak sengaja mengatakan.“Anda belum mengetahuinya? Yang Mulia Thalorin ... ” Begitu saja, tanda ada niat melanjutkan, dan akibat kata-kata itu, Iveryne kini menuntut jawaban sepenuhnya dengan sorot mata tajam.Di sisi lain, Elenya merasa terintimidasi, tapi di sisi lain, dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya ataupun mengarangnya. Berbohong dan kebenaran di sini tidak lebih seperti lumpur hisap dan jurang.Elenya menatap Iveryne dengan keraguan yang jelas terlihat di matanya. Merasa terjebak dalam dilema antara memenuhi keinginan Lunar Lady dan mematuhi janji yang telah dia buat pada Thalorin. Namun, tekanan Iveryne makin membuatnya merasa tak nyaman.Aura mengintimidasi gadis itu terlalu sulit diabaikan.Iveryne bisa merasakan gelombang kecemasan melanda Elenya, tetapi keinginannya untuk mengetahui kebenaran melebihi semua
Mereka berjalan perlahan, mengendap-endap di antara semak-semak yang rapat, menyusuri tepi danau yang gelap. Cahaya bulan yang redup menyoroti setiap gerakan mereka, menciptakan bayangan yang meliuk-liuk di atas permukaan air yang tenang.“Tidak ada yang akan tahu tentang ini,” ujar Iveryne dengan suara yang hampir tidak terdengar. Berusaha meyakinkan Elenya bahwa apa yang mereka lakukan ini untuk kebaikan, meski melanggar peraturan.Elenya mengangguk pelan, tetapi ketakutannya masih melekat erat. Dia merasa seolah-olah mereka berjalan di tepi jurang, siap untuk jatuh ke dalam ketidakpastian kapan saja. Dan mulutnya, yang hampir berbusa karena terus mengingatkan, tapi tidak pernah didengar.Iveryne tidak tergoyahkan. Dia terus maju, memimpin langkah menuju kegelapan. Meski ada ketegangan di udara, mereka terus melangkah, berusaha untuk tidak terperangkap dalam rasa takut.Saat menjauh dari danau, bayangan semakin menutupi mereka. Iveryne berhenti sejenak, mengamati sekeliling penuh ke
“Lunar Lady ... “ panggil Elenya lelah. “Kita tidak bisa berada di sini, Yang Mulia Eldarion melarang siapapun masuk wilayah ini.” Dia sejak tadi hampir menggumamkan kata yang sama, berusaha membujuk Iveryne mengubah niat untuk mengeksplorasi wilayah Eldarion yang terlarang, ini sungguh salah, tidak benar!Namun, Meski Elenya mencoba keras untuk membujuk Iveryne. Gadis itu tetap teguh dengan niatnya. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik larangan tersebut, dan semua itu hanya membuat rasa penasarannya semakin memuncak.Matahari tenggelam di balik cakrawala, meninggalkan langit senja menjadi gradasi warna oranye, merah, dan ungu yang indah. Bulan dan bintang-bintang muncul di langit gelap, memberikan cahaya samar yang memantulkan warna-warni di atas permukaan jalan yang tenang.Pepohonan rindang di sepanjang jalan melemparkan bayangan gelap, kontras di atas rerumputan hijau yang menyelimuti tanah. Suara hening malam hanya terganggu oleh desiran angin dan kadang-kadang
Dalam kegelapan dingin penjara yang menyedihkan, Calix, Wilder, dan Heros duduk bersama di sudut sel, wajah mereka penuh dengan ekspresi kekecewaan dan kebingungan.“Kita sudah berada di sini berjam-jam, tapi tidak ada tanda-tanda pembebasan,” keluh Wilder dengan nada frustrasi, matanya menatap ke langit-langit yang tidak terlihat.“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Calix sambil menggerutu kesal. “Aku mulai merasa seperti ini adalah akhir dari segalanya.”Heros hanya menggelengkan kepala dengan lesu. “Aku tidak tahu lagi. Semua rencana kita gagal. Kita terjebak di sini tanpa harapan.”“Kita harus tetap tenang dan bersabar,” kata Calix, mencoba menenangkan teman-temannya meskipun hatinya sendiri penuh dengan kecemasan. “Pasti ada jalan keluar. Kita hanya perlu mencari.”“Iveryne pasti dengan merindukanku,” tambah Wilder.Calix mencibir. “Pftt! Alih-alih merindukanmu, kurasa dia sedang mengkhawatirkan Reiger.” Heros, yang terus berada di sudut sambil menelungkupkan kepala di atas lipa
Ketegangan memenuhi aula. Iveryne berusaha menenangkan diri sendiri sementara tangannya bergerak gelisah dalam lengan baju kain yang panjang. Itu adalah suara Eldarion, pamannya.Iveryne segera merasa ada yang tidak beres, bahwa pamannya ini sengaja menyudutkan dirinya karena liontin mutiara di lehernya. Thalorin memandang ke arah Iveryne, tapi tetap diam. Meski dia tidak memiliki hubungan yang cukup erat dan baru bertemu dengan kakeknya, Iveryne langsung mengerti, kedudukan kakeknya penting. Penting untuk membantunya menghadapi pamannya.Iveryne menatap tidak nyaman pada pamannya. “Tidak ada kebenaran dalam tuduhan itu, Kakek. Saya tidak pernah bersekongkol dengan para Siren atau siapapun yang merugikan bangsa Elf.”Eldarion tertawa sinis. “Ah, tentu saja, kau akan membela diri. Tetapi tindakanmu telah mengkhianati kepercayaan dan keamanan bangsa ini. Bagaimana kita bisa mempercayaimu lagi?”Suasana tegang memenuhi ruangan saat pandangan semua orang bergumul dengan pertanyaan tak t
“Iveryne, apakah sesuatu mengganggumu?” Netra biru cemerlang menoleh kaget, tersentak dengan pertanyaan oleh suara asing. Dia menggeleng cepat, kemudian tersenyum kecil, berusaha untuk tetap tenang dan menetralkan diri, mencoba terbiasa lebih dulu.Iveryne melangkah di samping kakeknya, dengan langkah yang sedikit canggung, mencoba menyesuaikan diri dengan atmosfer beda. Thalorin Silverion, sosok lain yang berjalan di sampingnya, memancarkan aura yang hangat dan ramah, membuatnya sulit untuk menentukan apakah sikap itu dialamatkan padanya secara khusus atau mungkin sikap alaminya terhadap semua orang yang mereka temui. Terlepas dari itu, ketenangan dan kebaikan hati yang terpancar dari kakeknya memberikan sedikit kelegaan dalam suasana asing itu.Sementara itu, Iveryne masih tidak terbiasa dengan perhatian yang diberikan padanya oleh para Elf di sekitarnya. Ketika dia melewati mereka, baik itu Elf wanita yang lembut maupun Elf pria yang tegap, selalu menundukkan kepala dengan horm
“Berhenti membohongi dirimu sendiri!” Seruan kemarahan itu bergema dalam heningnya malam. Satu-satunya lawan bicara menatap datar, seakan tidak peduli sekeras apa teriakan itu terdengar.Cahaya bulan memancar terang, dua sosok berdiri di antara pepohonan yang menjulang tinggi. Desiran angin menyapu daun-daun sekitar menjadi latar belakang pertukaran kata-kata penuh kemarahan.“Kamu yang seharusnya berhenti memaksakan.” Ada penekanan dalam intonasi datar itu, mengintimidasi orang di seberang sana, dia tetap tenang, tapi pria di seberangnya menatap marah.Dua orang dan ketidakpastian jawaban, adalah masalah.Salah satu sosok, dengan netra hitam memancarkan kemarahan, menatap tajam ke arah lawan bicara. Rambut hitamnya yang terurai menyapu pipinya, menambah kesan garang pada wajah tegang.Sementara itu, sosok di hadapannya tetap tenang, dengan netra abu-abu cerah yang tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan.Netra hitam menggelap di bawah desakan kemarahan, beberapa helai rambut hitam me
Bersama dengan Reiger yang masih belum sadar sepenuhnya, Iveryne, Calix, Wilder, dan Heros memulai perjalanan menuju hutan Lunare. Elara memberikan ramuan penyembuh kepada Reiger, harapannya agar pria itu bisa bertahan dalam perjalanan.Perbatasan antara Hutan Lunare dan Arvenwood tidak terlalu jauh, tetapi tetap memerlukan perjalanan yang hati-hati. Untungnya, para Creetress dengan baik hati memberikan kuda-kuda mereka. Sebetulnya meminjamkannya, tapi seperti ucapan Iveryne, kecuali salah satu dari mereka selamat untuk mengembalikannya, atau jika tidak, kuda-kuda itu mungkin tidak akan kembali lagi.Setelah melintasi perbatasan Arvenwood, perjalanan mereka menuju Hutan Lunare semakin tidak mudah saja. Cahaya bulan yang menyinari jalan setapak memberikan sentuhan magis pada lingkungan sekitarnya, tetapi juga menyoroti bayangan-bayangan yang misterius di antara pepohonan yang rapat. Angin malam berbisik dengan suara seram, seakan menawarkan peringatan akan bahaya-bahaya yang mengint
Dalam keheningan malam yang dihiasi gemerlap cahaya bulan, Iveryne duduk di tepi tempat tidur, mengamati penuh kekhawatiran sosok Reiger yang terbaring tak berdaya di sisinya. Cahaya bulan memancar lembut memasuki kamar mereka melalui jendela terbuka, menimbulkan bayangan samar di sekitar ruangan yang tenang.Dengan hati berdebar, Iveryne mendekat pada Reiger yang tidak sadarkan diri. Luka di pinggangnya sendiri sudah hampir sembuh sepenuhnya, tetapi luka-luka yang menghiasi tubuh Reiger masih terasa sangat mengejutkan dan sangat memprihatinkan.Ia meraih tangan Reiger, menempelkan telapak tangannya pada pipi dingin pria itu. Suatu cahaya biru pucat seolah-olah memancar dari kedalaman hati Iveryne, merambat melalui urat dan pembuluh darahnya, menciptakan aliran energi magis yang lembut namun kuat.Cahaya itu mengalir ke dalam tubuh Reiger, menyatu dengan sulur-sulur hitam yang menjalar di sekitar lukanya. Namun, meskipun cahaya itu berkilau sebentar, tidak ada perubahan yang terjadi.