Sangat terpaksa! Tangannya dengan lihai melempar belati tadi, jaraknya agak meleset, niatnya cuma ingin memberi peringatan agar berhenti, tapi tanpa sadar belati itu menggores sisi tudung jubahnya, oh astaga, apakah ini akan jadi masalah lain?
Bertumpu pada kedua lututnya, Iveryne mengatur nafas kemudian melukis senyum bersalah.“Maaf, saya tidak bermaksud merusak jubah anda. Anda bisa meminta ganti rugi ke toko Baerd. Dan … ini.” Dia mengulurkan gulungan perkamen dan juga kantong kain berisi koin. “Anda sempat menjatuhkannya di pasar.” Pria itu malah menatapnya balik.Merasa tak ada respon, Iveryne berinisiatif mengambil tangan pemuda itu, meletakkan barang bawaannya dan mundur.“Terimakasih sudah menolong saya, dengan ini … kita impas.” Dia pergi tanpa berniat memperpanjang percakapan. Lagipula orang itu tidak ada niatan menjawabnya. Iveryne tidak mau ambil pusing, yang penting adalah, dia tidak punya hutang budi. Toh dia sampai kesana karena mengejar sang pemilik koin dan perkamen.Sementara pemuda tadi melirik belati yang tertancap di dinding kayu, yang sempat menggores jubahnya.Sialnya adalah … Iveryne tidak pernah ke pasar setelah lima tahun lalu. Dan dia tidak ingat jalan yang di lewati sebelumnya, fokusnya adalah untuk mengejar. Untung hampir semua orang tahu toko Baerd. Dia hanya tinggal menyebutkan di kereta kuda dan di antar kesana—meski Iveryne harus mengatakan untuk pembayaran akan di lakukan kalau sudah sampai. Dia kan hanya membawa seluruh tubuhnya saja. Dress-nya kotor di beberapa bagian, cepol rambut-nya di lepas, mengharuskan atur sendiri, bagian anak rambutnya di tata ke depan untuk menutupi luka di dahi, atau Nalaeryn akan mengamuk. Sangat tidak elit, sepertinya bukan sekedar amarah sang kakak, tapi … Huftt … Iveryne segera membayar, di kantongnya ada satu koin perak—dia lupa, dia membawa dari rumah dengan niat membeli sekeranjang Rasberi. Tangannya bergerak mau mendorong pintu ketika benda persegi panjang itu lebih dulu terbuka dari dalam. Hilang keseimbangan, Iveryne refleks bertumpu pada dada bidang seseorang. Sadar ketidak-sopanan telapak tangannya. Dia cepat-cepat menarik diri, menunduk hormat.“Maaf kelancangannya, saya tidak sengaja, Tuan.” Orang di depannya tidak bereaksi, Iveryne menengadah, takut-takut kalau yang di tabraknya patung, karena beberapa orang di dalam toko mengalihkan atensi padanya. Tidak juga—itu hanya pria tampan yang lebih tinggi beberapa senti darinya, menatapnya sembari berkedip dengan kecepatan kilat, sebenarnya itu agak menyeramkan.“Ive-ryne … “ gumamnya tak percaya. Sebelum Iveryne sempat membalas, pria itu menariknya masuk dengan kesan tergesa-gesa.Mengabaikan tatapan bertanya orang-orang. Melakukan pemberhentian di salah satu ruangan dalam toko. Nalaeryn, disana, banjir air mata, Iveryne melihat kilauan-nya masih terasa. Estelle, di sisi lain memeluk putrinya itu, sepertinya mencoba untuk menenangkannya.“Nala … ada apa ini?” Seluruh orang di ruangan menatap ke arahnya dengan berbagai pandangan—Bibi Zerca sepertinya siap mengeluarkan seluruh ceramah dan kata-kata mutiara yang tersimpan rapat di hatinya. Nalaeryn mengusap wajahnya. Dia menghampiri Iveryne sambil sesegukan.“Ad-da, a-apa, ka-katamu!” pekiknya tidak terima, segera, tangan kanannya menarik telinga Iveryne. Iveryne, yang masih belum sadar tentang apa yang terjadi, mengaduh kesakitan.“Na-Nala! Oh! Demi cahaya Dewi Bulan! Ada apa denganmu?!” Nalaeryn menatapnya tajam di balik mata berkaca-kaca.“Kamu pikir apa yang kamu lakukan! Meninggalkanku untuk mengejar orang tidak di kenal!” Iveryne menatap kakaknya tak percaya, dia melirik ibunya dengan wajah paling tersakiti, tapi Estelle hanya mengirimkan tatapan teduh seperti biasa di selingi gelengan pelan. “Kamu membuat kami khawatir, Ivy.” *****Beragam warna baju berhamburan di atas kasur putih, lemparan-lemparan penuh motif menghiasi kamar. Tangannya sibuk dengan aktivitas menggeledah seluruh isi tas yang di bawanya pulang dari akademi beserta lemari pakaian. Iveryne menyembulkan kepala dari pintu ketika mendengar derap langkah kaki di luar kamar.“Ibu … apakah ibu melihat belati milikku? Yang warna biru?” “Tidak, sudah mencarinya?” Estelle membawa sekantong penuh belanjaan ke bawah, dia baru dari gudang, dan kembali ke atas ketika tanpa sengaja meninggalkan beberapa alat masak baru di nakas kamar. “Setiap sudut.” Hembusan nafasnya terasa berat.“Mungkin di bawah tepat tidur?”“Hadiah ayah ... ” lanjutnya sendu, tapi segera tersenyum ketika menyadari perubahan wajah ibunya. “Akan aku cari lagi! Nah, Bisa ... panggilkan Nala untuk membantuku, Bu?” Dia mengerjap lucu. “Kakakmu sedang merias diri.” “Merias?! Ini sudah malam—” “Dia selalu begitu ketika Cael akan datang. Kalau sudah selesai dengan pencarianmu, tolong bantu ibu di dapur.”Iverine melirik isi kamarnya yang kini super berantakan. Kain pakaian berserakan, perkamen dan pena bulu berhamburan, dan beberapa botol tinta yang kalau di injak hanya tersisa pecahan dan memberikan stempel kaki. Dia menatap Estelle polos, langsung keluar secepat kilat, tak berniat membiarkan ibunya melihat kekacauan di dalam. “Senang membantu,” ajaknya cepat, langsung saja mengambil alih bawaan Estelle, mereka menuju dapur dengan candaan kecil.Di dapur. Gandum yang di takarnya terlalu cepat, sedikit serbuk beterbangan hingga hidungnya bersin. Adonan yang dia aduk tumpah ke sisi meja, ketika mencetak, ada adonan lengket di cetakan karena tidak di tabur gandum. Beruntung dia punya ibu dengan kesabaran melampaui batas, jadi Estelle hanya terkekeh kecil memandangi penampilan putrinya yang tengah asik memainkan sarung tangan panggangan. Wajah penuh tepung, dan olesan mentega di mulut. Adonan tepung memenuhi sebagian besar bajunya, di mana-mana ada adonan yang mengering.“Aku seperti melihatmu sebelas tahun lalu.” Estelle berujar sembari mengusap rambut Iveryne, sesekali menepuk-nepuknya gemas.“Yeah … betapa menggemaskannya aku.” Dia berkedip manja dan Estelle mengulum senyum. “Selalu berbuat manis di depan ibu.” “Bisa aku lihat. Kamu benar-benar manis.” “Oh … ibu.” Iveryne merentangkan tangan sambil memutari meja, menuju ke arah seberang berniat memeluk sang ibu.Tapi tarikan di telinganya menghentikan aksi luar biasanya. Nalaeryn, cantik dan wangi, memandangnya garang dengan bibir datar. “Tidak akan aku biarkan kamu mengotori pakaian ibu,” ujarnya sambil mencebikkan bibir. Memandang Iveryne atas sampai bawah.“Bersihkan pakaianmu kalau ingin memeluk ibu.” Iveryne merengut sebal, Nalaeryn terlalu perfeksionis.Apa jadinya kalau kakaknya itu masuk kamarnya yang sudah disulap menjadi rumah harta karun besar-besaran.Tarikan pada telingamya lepas ketika ketukan menginterupsi kegiatan mereka. Senyum sumringah menghiasi wajah Nalaeryn, menarik helai rambutnya perlahan dan membenarkan renda gaun yang di pakainya. Iveryne memutar matanya malas, sementara Estelle terkekeh sembari menghias biskuit karamel yang baru saja matang. “Ibu … ayo ku bantu.” “Tidak, ganti pakaianmu dulu sana.” Suara hentakan mendominasi ruangan di bawah, Iveryne baru selesai mengancing atasan polos ketika Nalaeryn hampir menerjangnya, duduk di bangku sambil menahan dagu pada kedua telapak tangan yang bertumpu di masing-masing lutut, wajahnya merengut. Apa lagi ini! Bukankah tunangan tercintanya telah datang? Atau mereka bertengkar?Iveryne mengurungkan berniat mencoba biskuit karamel selagi pria di sana duduk dengan senyum, menyuap biskuit dalam mulutnya.“Wild? Jangan katakan yang mengetuk pintu … kamu?” Wilder menoleh malas, cara Iveryne menyapanya adalah merebut biskuit di tangannya. Dia menghela nafas, sementara gadis itu menunggu jawaban.“Ya, dia memarahiku habis-habisan setelahnya.” “Pfftt … haha—uhukk! Uhukk!”Wilder gelagapan, menepuk-nepuk punggung Iveryne selagi Estelle yang tengah mengamati mereka di seberang beralih menuangkan segelas air. Iveryne mengangkat tangan, Wilder menghentikan tepukan, Dia meneguk air rakus, Estelle menggeleng seraya membersihkan dapur yang sempat di gunakan sebagai sarana pembuatan biskuit.“Karma instan,” ucap Wilder puas, dia mengambil biskuit lain dalam wadah, mengunyahnya santai. Sambil menetralkan nafas, sesekali kembali minum. Tangan kirinya terangkat menyapu air di sudut mata.“Sialan,” balas Iveryne pelan.Kalau ibunya mendengar, bisa habis. Estelle berkali-kali lipat lebih mengerikan dari Nalaeryn saat dalam mode marah.Tidak ada candaan atau pekikan marah ketika pintu menampilkan sosok Caelan yang rapi dengan senyum manis terpatri ketika bertukar pandang dengan Nalaeryn yang cantik. Iveryne dan Wilder di sisi lain bertukar pandang jijik. Dua insan yang dilanda kasmaran itu bahkan tidak masuk, hanya diam saja di pembatas pintu sambil bertatap-tatapan, dan ketika Nalaeryn mengajaknya keluar, dia langsung mengiyakan.“Ayo!” Wilder terperanjat, tahu-tahu gadis itu sudah menariknya keluar, tangan kanannya memegang keranjang, mereka mengintip di balik pohon. “Akan ku tunjukkan sesuatu yang mengesankan.” Wilder menatap bergantian Iveryne dan pasangan di depan.“Jangan macam-macam. Kamu tahu sendiri bagaimana reaksi Nala nanti jika kita berani mengganggu acara kencan romantis dan penuh cinta istimewanya dengan Tuan Muda Lexter.” “Aku tidak macam-macam kalau Tuan Muda Lexter tidak lebih dulu memulai!” Dia memekik tertahan, netra biru cemerlang itu memancarkan kilau indah ketika cahaya bulan menyorotnya tanpa sengaja. “Dia mengambil kesempatan terlalu banyak. Lihatlah mereka, aku rasa kalau Tuan Muda itu mengajaknya lompat dari tebing, dia tidak akan menolak. Haha! Melompat dengan bahagia,” imbuhnya datar.“Namanya cinta. Cobalah jatuh cinta.” “Cinta itu kelemahan.”“Kamu tidak akan tahu rasanya kalau tidak mencoba.” Dia membuka keranjang, mengambil satu buah Rasberi, menjejalkannya ke mulut Wilder secara paksa. Pria itu mendengus malas, tapi tak ayal tetap mengunyahnya secara halus, hei! Itu enak dan manis.Nalaeryn menata bunga hatinya ketika Caelan menatap lekat-lekat. Lari kecil dari kaki mereka berangsur-angsur memelan. Dia bisa merasakan nafas sipria menyapu wajahnya, rasa panas menjalar hingga tanpa sadar menggigit bibir bawah gugup.Caelan mengangkat jemarinya, membingkai wajah sang jelita sampai ibu jadinya tergerak mengusap bibir bawah itu.“Bolehkah … “Bohong jika Nalaeryn biasa saja. Jantungnya berpesta pora di dalam sana, nafas memberat, kehangatan tersalurkan melalui telapak tangan Caelan punya kesan hebat membuainya. Sesuai ritme jantung yang tidak beraturan, kepalanya tanpa di kontrol, perlahan mengangguk. Hijau gelap dan coklat madu.Wajah mereka mendekat, jantungnya berbunyi memalukan. Nalaeryn yakin Caelan susah mendengarnya, beruntung dia tidak menanyakannya. Netra indah di bawah sinar bulan perlahan menutup, meresapi hembusan nafas dari lawan masing-masing.Bibirnya hampir menyentuh, sedikit lagi … ketika cahaya menyilaukan menyapa retina mata mereka! Nalaeryn terpekik kaget, dan disana! Dia melihat, Iveryne dan Wilder, bersandar di depan pohon sambil menikmati Rasberi, cahaya bulan ini … tidak mungkin fokus arah mereka, itu pasti …“Iveryne Lechsinska!”Wilder Aleander Valdez—teman masa kecilnya yang Iveryne baru ingat ketika Estelle menceritakannya hari itu, ketika pertemuan pertama mereka setelah lima tahun. Ejekan pendek yang dulunya tersemat rapi pada nama tengah Wilder beralih secara tiba-tiba, Iveryne-lah yang menyandangnya sekarang dengan tidak rela.Penyesalan selalu muncul di akhir, dan ini, karma waktu!Pukulan dan hembusan nafas kasar adalah hal lumrah ketika bertemu Wilder. Pria itu rupanya berniat balas dendam. menyapa, dia tidak lupa menambahkan kata, “Ternyata pertumbuhanmu berhenti di situ-situ saja, ya?” Hei! Bukan salahnya tidak bertumbuh tinggi lagi!Setidaknya, dia masih lebih tinggi dari Nalaeryn.Minggu pertama, Iveryne cukup senang bertemu Wilder, pergi ke tempat-tempat yang penuh kenangan masa kecil yang indah. Tapi pada Minggu berikutnya, dia harus menarik kembali kata-katanya! Pria sialan ini selalu mengekorinya, dan setiap Iveryne membawa belanjaan. Saat dari pasar, dia akan berkata, “Kemari, biar aku bawa
Dia memberikan roti mentega dan susu hangat setelah membujuk ibunya makan. Estelle merasa lemas akhir-akhir ini, sudah dari minggu yang lalu sebenarnya. Healer yang Nalaeryn panggil mengatakan bahwa Estelle kelelahan. Tapi Iveryne dan Nalaeryn merasa ini lebih dari itu. “Ivy … Ada yang ingin ibu tunjukkan padamu.” Estelle menahan tangan putrinya yang berniat meletakkan handuk basah guna mengurangi panas tubuhnya. Iveryne menatapnya bimbang, rasa panas di tangan ibunya menjalar, membelai halus permukaan kulitnya.“Tidak bisakah—” “Ini penting, sayang. Lebih penting dari hidup kita berdua.” Dahi Iveryne berkerut dalam, dia kurang suka ketika sang ibu berkata demikian. Akhirnya, dia coba mengiyakan, rasa perasaannya ikut andil kali ini, entah mengapa pikirannya menjadi tidak tenang.Mereka menuju pojok ruangan. Tepat di depan cermin setinggi dua meter. Dengan arahan Estelle, Iveryne memindahkan letak cermin, sementara ibunya menyalakan lentera penerangan. Estelle memutar kenop pintu y
“Ivy, bawakan ini.” “Tambahkan almond.”“Tepungnya kebanyakan.” “Tambahkan mentega satu sendok.” “Aku bilang satu sendok!” Astaga! Iveryne harus menambah tingkat kesabarannya, bahkan di rumah sendiri. Pagi-pagi buta, Bibi tercintanya datang ke rumah, dengan sekantong belanjaan, dan katanya ingin menjenguk ibu. Alih-alih membawa buah tangan, dia membawa banyak belanjaan dan bahan kue, dengan dalih Iveryne membantunya memasak.Nalaeryn pergi ke pasar membeli persediaan Mentega dan—Rasberi untuk Iveryne. Dua jam lebih dan gadis itu belum ada tanda-tanda akan datang. Iveryne menebak dia asik berkencan dengan calon tunangannya itu. Untungnya, pagi-pagi, Wilder membantu Bibi Zerca untuk datang kesana, jadi … dia cukup terbantu dengan pria itu, dan panas telinga secara sukarela oleh sang Bibi. Wilder bersemangat mengacaukan dapur. Sementara Bibi Zerca sibuk menceramahi Iveryne, dan Estelle dengan batuk-batuk kecil kadang terkekeh melihat ekspresi putrinya. Iveryne sudah mau berteriak ma
Iveryne menoleh cepat, dia berjarak tiga puluh meter ketika bunyi ledakan muncul dari arah rumahnya, asap hitam mengepul mengelilingi rumahnya. Tergesa-gesa, kakinya mengantarkannya kembali ke rumah, ledakan dan benda berjatuhan makin jelas ketika dia ada di pekarangan. “Tidak!” Yang membuat kakinya seketika lemas adalah ketika menaiki tangga, ketika kamar Nalaeryn kosong, perabot berserakan, dandelion beterbangan. Samar-samar, teriakan Nalaeryn sebatas ilusi.“Hentikan … “ Kesadarannya di tarik paksa, Iveryne buru-buru bangkit, berlari lagi ke kamar ibunya. Estelle bersandar di dinding, menatap lurus ke arahnya sambil menggeleng, dan sosok hitam berada di depannya. Ibunya itu kelihatan berbeda, rambut perak bercahaya dan mata biru terang yang gemerlapan seindah batu safir.Ketika sosok hitam berbalik ingin menatap sesuatu yang mengalihkan atensi Estelle. Iveryne merasakan sebuah tangan dingin menariknya ke sisi lain ruangan, pinggangnya di peluk erat dan mulutnya dibungkam tangan lai
“Akhh!” Pekikan kesakitan beradu dengan suara gedebuk nyaring. Iveryne tidak sempat menghindar. Dia baru mengambil langkah beberapa meter ketika sepasang mata merah menyala melayang ke arahnya, dan menghantamkannya ke sisi dinding kayu. Sosok setengah asap melayang dengan mata merah bercahaya, fokus pada gadis tidak berdaya yang berusaha bangkit dari posisinya. Sialnya, percuma melawan, tendangan dan pukulan hanya menembus sosok itu. Lagi-lagi sosok itu mengangkatnya, yang entah bagaimana, tidak Iveryne pahami, karena mereka tidak bersentuhan sama sekali dalam hal ini, tapi dia merasa tubuhnya mendadak sangat ringan.Terlempar, lagi! Kali ini menuju meja panjang hingga patah, dan bagian atasnya berhamburan. Iveryne terbatuk-batuk, itu bekas tepung kemarin, ketika mereka selesai membuat kue, tepungnya masih berada di sana, pada tempatnya. Nyeri dan sakit menjalar disekujur tubuhnya. Dengan satu sentakan kecil, Iveryne dengan nafas terengah melempar segenggam tepung, berusaha mengalihka
“Kapan kita kembali ke sini?” “Mustahil. Tidak aman.” Iveryne mendelik tidak percaya, sebelum Reiger mencapai tangannya, dia lebih dulu berlari tergesa-gesa menaiki tangga, menghindari beberapa bagian yang patah dan hancur. Reiger, yang masih tidak mau mereka mati sia-sia dengan sigap menahan Iveryne saat kakinya sampai pada tangga terakhir. Dengan paksa menggendongnya, tapi dia langsung menurunkannya ketika gadis itu memekik keras-keras. Dia meninju wajah Reiger dengan marah. Pinggangnya yang sakit baru saja bertubrukan dengan bahu kokoh yang keras. Sensasinya menusuk. “Sakit, sialan!” hardiknya, tangan kirinya refleks mencengkeram sisi pinggang bagian kiri. “Kita akan dapat yang lebih buruk. Kalau kita masih di sini. Para Dyord akan segera kemari, aku tak bisa melawan semuanya.” “Aku hanya perlu … mengambil pedang.” Mulut Reiger terbuka tanpa sadar, ada beberapa pertanyaan menggenang dalam benaknya. Iveryne menggeser tubuh jangkungnya setelah berkata demikian, bergegas pergi t
Selene senang sekali saat kelahiran adiknya, sinar bulan paling cerah abad itu ketika Selene mendatangi ibunya. Argios, adik Selene mengalami pemikiran lugu, di sembunyikan dari dunia luar membuatnya bersedih setiap saat, dia tidak punya kemampuan apapun, tidak pernah diberatkan tugas, tidak bisa bergaul dengan mudah karena orang tuanya. Hyperion dan Theia sangat-sangat takut dia akan dimanfaatkan kegelapan. Apalagi saat ramalan Pythia, pendeta Apollo di Delphi yang mengatakan bahwa putra bungsu mereka akan menjadi salah satu kegelapan paling bersejarah yang memegang peran paling penting dalam pemusnahan dan pembantaian dalam skala besar-besaran.Setelah satu abad, tidak ada yang berubah, Selene meminta pada Elther—Goeron untuk menempa sebuah pedang dari cahaya bintang murni Asteria, cahaya paling terang dan keberkatan api Hestia. Pedang yang memancarkan cahaya luar biasa itu akhirnya bisa membuat sepintas senyum mengembang pada wajah Argios.Dia berlatih dengan Dewi perang, Athena, k
“Keluarga? Aku?” Iveryne menunjuk dirinya. “Mengapa?” “Karena kamu berada di Area Pertahanan! Kami tidak mudah menerima orang baru, lho. Untukmu pengecualian. Selain Guru Ragon, aku juga mulai menyukaimu!” Iveryne mengernyit jijik, senyum di wajah Calix lama-lama menjadi menggelikan. Lelaki itu tersenyum lebar menampilkan deretan giginya yang rapi, terlewat lebar sampai Iveryne bertanya-tanya bagaimana bisa mulutnya tidak robek. “Tidak bisa, aku hanya—” “Hei, tidak peduli siapa kamu, darimana asalmu, atau bagaimana masa lalumu. Sekarang, kita keluarga! Kita akan memperbaiki semuanya bersama-sama!” Iveryne menatapnya setengah kagum, dia menyeka air pada sudut matanya sembari berkata, “Tidak kusangka … “ Dia sesegukan mengatakan akhir kalimatnya, Calix mendekat berniat menepuk-nepuk punggungnya. “Bisa serius, rupanya.” Calix menghentikan langkah dengan geram. Sementara Iveryne di sisi danau tertawa puas. “Kamu merusak suasana,” ucapnya malas, kembali duduk bersandar di pohon sambil
“Elenya ... apakah kamu tahu sesuatu tentang teman-temanku yang lain?” Iveryne terus mendesaknya untuk mengatakan sesuatu setelah beberapa saat lalu, Elenya tidak sengaja mengatakan.“Anda belum mengetahuinya? Yang Mulia Thalorin ... ” Begitu saja, tanda ada niat melanjutkan, dan akibat kata-kata itu, Iveryne kini menuntut jawaban sepenuhnya dengan sorot mata tajam.Di sisi lain, Elenya merasa terintimidasi, tapi di sisi lain, dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya ataupun mengarangnya. Berbohong dan kebenaran di sini tidak lebih seperti lumpur hisap dan jurang.Elenya menatap Iveryne dengan keraguan yang jelas terlihat di matanya. Merasa terjebak dalam dilema antara memenuhi keinginan Lunar Lady dan mematuhi janji yang telah dia buat pada Thalorin. Namun, tekanan Iveryne makin membuatnya merasa tak nyaman.Aura mengintimidasi gadis itu terlalu sulit diabaikan.Iveryne bisa merasakan gelombang kecemasan melanda Elenya, tetapi keinginannya untuk mengetahui kebenaran melebihi semua
Mereka berjalan perlahan, mengendap-endap di antara semak-semak yang rapat, menyusuri tepi danau yang gelap. Cahaya bulan yang redup menyoroti setiap gerakan mereka, menciptakan bayangan yang meliuk-liuk di atas permukaan air yang tenang.“Tidak ada yang akan tahu tentang ini,” ujar Iveryne dengan suara yang hampir tidak terdengar. Berusaha meyakinkan Elenya bahwa apa yang mereka lakukan ini untuk kebaikan, meski melanggar peraturan.Elenya mengangguk pelan, tetapi ketakutannya masih melekat erat. Dia merasa seolah-olah mereka berjalan di tepi jurang, siap untuk jatuh ke dalam ketidakpastian kapan saja. Dan mulutnya, yang hampir berbusa karena terus mengingatkan, tapi tidak pernah didengar.Iveryne tidak tergoyahkan. Dia terus maju, memimpin langkah menuju kegelapan. Meski ada ketegangan di udara, mereka terus melangkah, berusaha untuk tidak terperangkap dalam rasa takut.Saat menjauh dari danau, bayangan semakin menutupi mereka. Iveryne berhenti sejenak, mengamati sekeliling penuh ke
“Lunar Lady ... “ panggil Elenya lelah. “Kita tidak bisa berada di sini, Yang Mulia Eldarion melarang siapapun masuk wilayah ini.” Dia sejak tadi hampir menggumamkan kata yang sama, berusaha membujuk Iveryne mengubah niat untuk mengeksplorasi wilayah Eldarion yang terlarang, ini sungguh salah, tidak benar!Namun, Meski Elenya mencoba keras untuk membujuk Iveryne. Gadis itu tetap teguh dengan niatnya. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik larangan tersebut, dan semua itu hanya membuat rasa penasarannya semakin memuncak.Matahari tenggelam di balik cakrawala, meninggalkan langit senja menjadi gradasi warna oranye, merah, dan ungu yang indah. Bulan dan bintang-bintang muncul di langit gelap, memberikan cahaya samar yang memantulkan warna-warni di atas permukaan jalan yang tenang.Pepohonan rindang di sepanjang jalan melemparkan bayangan gelap, kontras di atas rerumputan hijau yang menyelimuti tanah. Suara hening malam hanya terganggu oleh desiran angin dan kadang-kadang
Dalam kegelapan dingin penjara yang menyedihkan, Calix, Wilder, dan Heros duduk bersama di sudut sel, wajah mereka penuh dengan ekspresi kekecewaan dan kebingungan.“Kita sudah berada di sini berjam-jam, tapi tidak ada tanda-tanda pembebasan,” keluh Wilder dengan nada frustrasi, matanya menatap ke langit-langit yang tidak terlihat.“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Calix sambil menggerutu kesal. “Aku mulai merasa seperti ini adalah akhir dari segalanya.”Heros hanya menggelengkan kepala dengan lesu. “Aku tidak tahu lagi. Semua rencana kita gagal. Kita terjebak di sini tanpa harapan.”“Kita harus tetap tenang dan bersabar,” kata Calix, mencoba menenangkan teman-temannya meskipun hatinya sendiri penuh dengan kecemasan. “Pasti ada jalan keluar. Kita hanya perlu mencari.”“Iveryne pasti dengan merindukanku,” tambah Wilder.Calix mencibir. “Pftt! Alih-alih merindukanmu, kurasa dia sedang mengkhawatirkan Reiger.” Heros, yang terus berada di sudut sambil menelungkupkan kepala di atas lipa
Ketegangan memenuhi aula. Iveryne berusaha menenangkan diri sendiri sementara tangannya bergerak gelisah dalam lengan baju kain yang panjang. Itu adalah suara Eldarion, pamannya.Iveryne segera merasa ada yang tidak beres, bahwa pamannya ini sengaja menyudutkan dirinya karena liontin mutiara di lehernya. Thalorin memandang ke arah Iveryne, tapi tetap diam. Meski dia tidak memiliki hubungan yang cukup erat dan baru bertemu dengan kakeknya, Iveryne langsung mengerti, kedudukan kakeknya penting. Penting untuk membantunya menghadapi pamannya.Iveryne menatap tidak nyaman pada pamannya. “Tidak ada kebenaran dalam tuduhan itu, Kakek. Saya tidak pernah bersekongkol dengan para Siren atau siapapun yang merugikan bangsa Elf.”Eldarion tertawa sinis. “Ah, tentu saja, kau akan membela diri. Tetapi tindakanmu telah mengkhianati kepercayaan dan keamanan bangsa ini. Bagaimana kita bisa mempercayaimu lagi?”Suasana tegang memenuhi ruangan saat pandangan semua orang bergumul dengan pertanyaan tak t
“Iveryne, apakah sesuatu mengganggumu?” Netra biru cemerlang menoleh kaget, tersentak dengan pertanyaan oleh suara asing. Dia menggeleng cepat, kemudian tersenyum kecil, berusaha untuk tetap tenang dan menetralkan diri, mencoba terbiasa lebih dulu.Iveryne melangkah di samping kakeknya, dengan langkah yang sedikit canggung, mencoba menyesuaikan diri dengan atmosfer beda. Thalorin Silverion, sosok lain yang berjalan di sampingnya, memancarkan aura yang hangat dan ramah, membuatnya sulit untuk menentukan apakah sikap itu dialamatkan padanya secara khusus atau mungkin sikap alaminya terhadap semua orang yang mereka temui. Terlepas dari itu, ketenangan dan kebaikan hati yang terpancar dari kakeknya memberikan sedikit kelegaan dalam suasana asing itu.Sementara itu, Iveryne masih tidak terbiasa dengan perhatian yang diberikan padanya oleh para Elf di sekitarnya. Ketika dia melewati mereka, baik itu Elf wanita yang lembut maupun Elf pria yang tegap, selalu menundukkan kepala dengan horm
“Berhenti membohongi dirimu sendiri!” Seruan kemarahan itu bergema dalam heningnya malam. Satu-satunya lawan bicara menatap datar, seakan tidak peduli sekeras apa teriakan itu terdengar.Cahaya bulan memancar terang, dua sosok berdiri di antara pepohonan yang menjulang tinggi. Desiran angin menyapu daun-daun sekitar menjadi latar belakang pertukaran kata-kata penuh kemarahan.“Kamu yang seharusnya berhenti memaksakan.” Ada penekanan dalam intonasi datar itu, mengintimidasi orang di seberang sana, dia tetap tenang, tapi pria di seberangnya menatap marah.Dua orang dan ketidakpastian jawaban, adalah masalah.Salah satu sosok, dengan netra hitam memancarkan kemarahan, menatap tajam ke arah lawan bicara. Rambut hitamnya yang terurai menyapu pipinya, menambah kesan garang pada wajah tegang.Sementara itu, sosok di hadapannya tetap tenang, dengan netra abu-abu cerah yang tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan.Netra hitam menggelap di bawah desakan kemarahan, beberapa helai rambut hitam me
Bersama dengan Reiger yang masih belum sadar sepenuhnya, Iveryne, Calix, Wilder, dan Heros memulai perjalanan menuju hutan Lunare. Elara memberikan ramuan penyembuh kepada Reiger, harapannya agar pria itu bisa bertahan dalam perjalanan.Perbatasan antara Hutan Lunare dan Arvenwood tidak terlalu jauh, tetapi tetap memerlukan perjalanan yang hati-hati. Untungnya, para Creetress dengan baik hati memberikan kuda-kuda mereka. Sebetulnya meminjamkannya, tapi seperti ucapan Iveryne, kecuali salah satu dari mereka selamat untuk mengembalikannya, atau jika tidak, kuda-kuda itu mungkin tidak akan kembali lagi.Setelah melintasi perbatasan Arvenwood, perjalanan mereka menuju Hutan Lunare semakin tidak mudah saja. Cahaya bulan yang menyinari jalan setapak memberikan sentuhan magis pada lingkungan sekitarnya, tetapi juga menyoroti bayangan-bayangan yang misterius di antara pepohonan yang rapat. Angin malam berbisik dengan suara seram, seakan menawarkan peringatan akan bahaya-bahaya yang mengint
Dalam keheningan malam yang dihiasi gemerlap cahaya bulan, Iveryne duduk di tepi tempat tidur, mengamati penuh kekhawatiran sosok Reiger yang terbaring tak berdaya di sisinya. Cahaya bulan memancar lembut memasuki kamar mereka melalui jendela terbuka, menimbulkan bayangan samar di sekitar ruangan yang tenang.Dengan hati berdebar, Iveryne mendekat pada Reiger yang tidak sadarkan diri. Luka di pinggangnya sendiri sudah hampir sembuh sepenuhnya, tetapi luka-luka yang menghiasi tubuh Reiger masih terasa sangat mengejutkan dan sangat memprihatinkan.Ia meraih tangan Reiger, menempelkan telapak tangannya pada pipi dingin pria itu. Suatu cahaya biru pucat seolah-olah memancar dari kedalaman hati Iveryne, merambat melalui urat dan pembuluh darahnya, menciptakan aliran energi magis yang lembut namun kuat.Cahaya itu mengalir ke dalam tubuh Reiger, menyatu dengan sulur-sulur hitam yang menjalar di sekitar lukanya. Namun, meskipun cahaya itu berkilau sebentar, tidak ada perubahan yang terjadi.