“Ivy! Perhatikan jalan! Jangan terpisah dariku!” Nalaeryn buru-buru menarik sang adik mendekat, matanya terus saja bergulir dari satu tempat ke tempat lain, jualan orang-orang di pasar ibukota luar biasa!
Dia baru ke pasar setelah lima tahun terkurung dalam akademi pelatihan. Dan keramaian pasar ibukota adalah hal kesekian yang ingin di kunjunginya. Pagi ini, bahan-bahan roti menipis, jadi Iveryne dan Nalaeryn memakai kereta kuda ke pasar. Satu jam lebih, dan Iveryne belum selesai memandang keramaian dan jajanan di sepanjang jalan.Masing-masing tangannya juga sudah penuh akibat menenteng belanjaan. Dia memang tidak tahu menahu tentang bahan-bahan roti, jadi Nalaeryn yang bertugas membeli, dan dia mengekori. Menyusahkan! Bagi Nalaeryn, adiknya itu tipe kalau tidak di gandeng, bisa tertutup keramaian, matanya itu selalu memandang kesana-kemari penuh tanya.Nalaeryn singgah membeli kacang almond, sesekali melirik gadis yang menjadi tanggung jawabnya. Dia bercengkrama dengan pedagang sambil mendiskusikan kualitas dan panen kacang tahun ini ketika merasakan ada tarikan patah-patah pada lengan babajunyaDengan gumaman, “Nala. Nala. Lihat itu … “ Merotasikan mata, dia menoleh ke belakang, tapi tidak ada gadis itu di sisinya! “Ivy! Ivy! Ivy!” Dia memanggil panik, sepersekian detik kemudian, di seberang sana, Iveryne berdiri di depan pedagang buah. Tidak sulit mencari, selain tinggi, dia agak mencolok dengan kantong belanjaan. Dia lebih tinggi dari Nalaeryn, pasti karena sering memanjat pohon di rumah, dan di akademi mungkin di latih memanjat hal lain.Manik biru cemerlang mengerjap antusias, binar matanya terpantul sinar mentari pagi menjadi gemerlapan. Orang-orang berhenti untuk terkesima pada sang pemilik rambut gelap berkilauan. Sementara sang empu menatap penuh minat pada sederet buah di depannya.Benar-benar! Ini surga dunia. Demi Dewi Bulan! Stoberi, Cherry, beri biru, beri hitam, kranberi, dan itu! Merah yang indah, Rasberi … datanglah kepada—“Ivy! Berhenti membuat jantungku lepas kendali.” Itu suara Nalaeryn yang melotot padanya, Iveryne menampilkan wajah memelas sambil menunjuk barisan buah beri di depan. Setelah helaan nafas kasar menyatu dengan udara, dia mengangguk. “Pilih yang kamu mau—” “Rasberi, stroberi, beri biru, cherry—”“Eh! Jangan namanya, hanya yang kamu inginkan.”“Aku ingin semua jenis,” bisiknya cepat, Nalaeryn melotot, enak saja! Siapa yang menghabiskannya. “Aku janji akan menghabiskannya sebelum matahari turun,” lanjutnya, seakan membaca pikiran Nalaeryn.“Satu saja, Ivy … “ Iveryne merengut di tempat, membuat orang-orang menahan diri untuk tidak menculik gadis itu. “Satu atau tidak sama sekali.” Sekarang gantian Iveryne yang melotot kaget.Dia melihat jejeran buah beri dengan sedikit tidak rela. “Rasberi.” “Nah, bagus.” Kemaren Estelle yang membelikannya buah beri, sekarang saat melihatnya langsung, semuanya sangat menggiurkan, sayang tidak bisa menyapa perutnya, apalagi buahnya segar.“Bisa tambahkan sedikir stroberi … “ Dia berbisik terlampau merdu, berharap bisa meluluhkan tembok tinggi kakaknya.Wajah berseri-seri Iveryne di balas tatapan malas Nalaeryn.Meski begitu, dia tetap membeli sekeranjang Stroberi dan Rasberi. Lebih baik daripada tidak sama sekali, orang-orang menoleh lucu, Iveryne hanya berlaku seperti itu di depan kakaknya yang manis, lihat saja kelakuannya di depan para pelanggan toko, tidak pandang sopan atau berperike-pelangganan lagi.Mereka tiba di depan toko gandum, untuk yang terakhir—setelah hampir dua jam lebih berjalan di sekitaran pasar. Nalaeryn duduk di kursi depan toko dengan beberapa belanjaan, sementara Iveryne berdiri.Dia sebenarnya sudah lelah, bahu indahnya merosot jatuh kelelehan, Nalaeryn menawarkan duduk tapi dia tidak mau.Kursinya cuma muat satu orang! Brukk! Iveryne sedang sangat sibuk berjalan mondar-mandir mengusir rasa suntuk ketika seseorang menabraknya dengan tidak santai. Iveryne bersumpah dia sudah berjalan paling pinggir, yang membuatnya gagal fokus adalah, gulungan perkamen dan sekantong koin—bahkan satu koin emas berkilauan di dalamnya sampai melompat keluar. Dia buru-buru memunguti semuanya, juga memasukkan kembali koin yang jatuh ke dalam kantong, tanpa niat mempedulikan tatapan orang-orang. Netranya menelisik sekeliling, tidak susah mencari seseorang itu—berjubah dan tinggi. Dia mendongak sebentar melirik Nalaeryn yang juga balas menatapnya sambil menggelengkan kepala.“Ivy, jangan—” “Tunggu disini! Aku segera kembali!” Berlari tanpa berniat menyahut panggilan Nalaeryn. Kakinya sempat kesulitan berlari sambil mengatasi dress panjang di tubuhnya. Tanpa memikirkan tata krama lagi, tangan kanan Iveryne menjinjing ujung dress-nya. Tangan kiri memegang gulungan permanen dan juga kantong kain. Dia berlari, tapi masih saja ketinggalan, orang itu kelihatan buru-buru sekali, sampai tidak sadar barangnya jatuh.Demi sihir Dewi Hecate! Larinya terlalu lambat, atau orang itu yang kelebihan kaki! Iveryne berlari sejak tadi, tapi tidak bisa menyamai langkah orang di ujung sana yang hanya berjalan. Nafasnya sudah tersengal hebat, jalanan mulai sepi, ironisnya—dia kehilangan sosok itu.Mengatur nafas sambil bersandar pada dinding bangunan. Iveryne tanpa sengaja melempar kantong koin itu hingga isinya kembali berserakan. Astaga! Isinya koin emas semua, benar-benar menggiurkan.Iveryne memungut koin berserakan sambil mengumpat dalam hati. Kenapa sosok itu harus menabraknya! Kenapa tidak orang lain saja.Tiga pasang sepatu asing berdiri mengelilinginya tanpa dia sadari. Iveryne baru menyadarinya saat salah satu orang mengambil satu koin yang kebetulan menabrak sepatu kulit orang itu. Tanpa pikir panjang, dia mengambilnya dan memasukkan ke dalam kantong kain. “Maaf, Tuan. Apakah anda melihat seseorang, tinggi dan memakai jubah lewat di sekitar sini.” Di wajah itu, Iveryne bisa melihat senyum mesum penuh arti. Jadi dia mengedarkan tatapan ke sekeliling, tiga pria tinggi asing memperhatikan tubuhnya terang-terangan.“Sayangnya tidak, Nona.” Orang di bagian samping kanannya menyahut. “Kami bisa membantu anda mencarinya kalau mau.” “Setelah di pikir-pikir, saya bisa sendiri, terimakasih,” balasnya sopan. Belum selangkah kakinya memijak tanah, satu dari orang itu sudah menahan pinggangnya agar tetap berada di tengah-tengah mereka. Iveryne mendorongnya kasar.“Jangan coba-coba, ini bukan uang saya, jadi tidak akan saya berikan.” Dia melayangkan tatapan tajam, tapi rupanya orang yang sempat menyentuh pinggangnya tadi malah termangu seperti orang konyol seraya menatap tangannya sambil tersenyum-senyum tidak jelas.“Sial! Pinggangnya ramping sekali.” Dengan begitu, manik biru cemerlang itu menggelap.“Mari buat kesepakatan, Nona.” Dahinya mengernyit tipis, jelas kata kesepakatan bagi mereka punya definisi lain. “Silahkan bawa pulang koinmu setelah sedikit bersenang-senang bersama kami.”Bughh!Jangan harap tingkat kesabarannya setinggi Nalaeryn. Kalau mereka keterlaluan, dia juga bisa kelewatan. Dan setelah satu pukulan menghantam rahang pria di depan—yang dia duga adalah bos mereka, yang tersungkur karena tidak menyangka bahwa gadis seperti Iveryne bisa memukulnya. Iveryne bangga dengan dirinya sendiri, tidak sia-sia gelar salah satu murid terbaik di jajaran tahun ini.Dua orang di masing-masing sisinya menahan kedua tangannya.Iveryne memusatkan tenaga ke kaki lalu menginjak keras-keras, hingga terdengar jelas pekikan nyaring kesakitan. Tepat ketika tangan kanannya bebas, Iveryne melayangkan pukulan ke orang ketiga. Tapi dia sempat menarik kantong koin, jatuh bersamanya. Sialan!Dia baru ingat bahwa Nalaeryn melarang membawa belati, dan pakaiannya saat ini benar-benar tidak mendukung. Iveryne merampas kembali kantong koin, berdecih malas, sementara rambutnya yang di cepol rapi oleh Nalaeryn sudah acak-acakan.Kakinya sudah ingin pergi, malas berurusan dengan para bajingan tidak tahu diri. Tapi salah satu dari mereka menarik kakinya kasar hingga kepalanya membentur dinding bangunan. “Sshh … akhhh!”Bohong jika itu tidak sakit!Iveryne sudah akan menduga kalau kepalanya bocor, tapi ketika dia memegangnya, hanya ada robekan tipis di bagian dahinya. Iveryne merasa aneh, kenapa tak pingsan! Belajar di akademi adalah tentang pukul, tendang, dan jatuhkan. Tidak ada pembelajaran tentang mengatasi terbentur kepala—itu …Bagian sensitif! Mengerikan! Lebih baik jika pingsan dan terbangun di Padang dandelion dengan aroma Rasberi di sinari cahaya bulan.Ketika membuka mata beberapa menit kemudian, yang di lihatnya adalah para bajingan itu tergeletak kesakitan. Iveryne sempat berharap begitu, dan sekarang itu benar-benar terjadi, apakah mereka di serang oleh pemikirannya … bagaimana bisa?Iveryne tersentak kecil kala sebuah tangan menariknya berdiri. Dia mencoba menajamkan kembali penglihatannya, kepalanya sudah tidak lagi berdenyut mengerikan seperti sebelumnya. Onyx kelabu mempesona milik pangeran berkuda putih yang menolongnya—tidak!Iveryne bisa mengatasi semuanya.Hanya saja … pakaian yang kini ia kenakan sedikit mempersulit.Hidung bagian bawahnya sampai dagu tertutup topeng logam hitam—kecuali area mulutnya, itu di biarkan bebas. Lalu ada warna merah yang mencuat keluar di sisi hidungnya—berbentuk segitiga siku-siku yang mengarah ke sisi mata tajamnya hingga mendekati ujung alis. Beberapa anak rambut keluar dari kepala jubahnya menyapa sisi mata. Iveryne mengarahkan punggung tangan ke dada pria di depannya, menepuk-nepuk kecil, lalu mengambil langkah mundur. Kepalanya masih agak pusing. “Te-rima-ka-sih—”Pemuda itu tidak membalas, dia berbalik menuju gang masuk setelah menyerahkan kantong kain. Iveryne menatap bergantian antara punggung pria itu dan kantong kain di tangannya. Tunggu! Bukankah pria itu yang menjatuhkan gulungan perkamen dan kantong koin.“Tuan! Hei!”Demi dewi Hecate!Beda tinggi mereka hanya satu kepala.Iveryne termasuk tinggi! Kakinya! Entah terbuat dari apa, dia mengambil belati—yang entah sejak kapan dan punya siapa, tergeletak di jalan. Tiga pria tadi juga sudah tidak ada di sana lagi.SRETT!Sangat terpaksa! Tangannya dengan lihai melempar belati tadi, jaraknya agak meleset, niatnya cuma ingin memberi peringatan agar berhenti, tapi tanpa sadar belati itu menggores sisi tudung jubahnya, oh astaga, apakah ini akan jadi masalah lain?Bertumpu pada kedua lututnya, Iveryne mengatur nafas kemudian melukis senyum bersalah. “Maaf, saya tidak bermaksud merusak jubah anda. Anda bisa meminta ganti rugi ke toko Baerd. Dan … ini.” Dia mengulurkan gulungan perkamen dan juga kantong kain berisi koin. “Anda sempat menjatuhkannya di pasar.” Pria itu malah menatapnya balik.Merasa tak ada respon, Iveryne berinisiatif mengambil tangan pemuda itu, meletakkan barang bawaannya dan mundur. “Terimakasih sudah menolong saya, dengan ini … kita impas.” Dia pergi tanpa berniat memperpanjang percakapan. Lagipula orang itu tidak ada niatan menjawabnya. Iveryne tidak mau ambil pusing, yang penting adalah, dia tidak punya hutang budi. Toh dia sampai kesana karena mengejar sang pemilik koin dan perkam
Wilder Aleander Valdez—teman masa kecilnya yang Iveryne baru ingat ketika Estelle menceritakannya hari itu, ketika pertemuan pertama mereka setelah lima tahun. Ejekan pendek yang dulunya tersemat rapi pada nama tengah Wilder beralih secara tiba-tiba, Iveryne-lah yang menyandangnya sekarang dengan tidak rela.Penyesalan selalu muncul di akhir, dan ini, karma waktu!Pukulan dan hembusan nafas kasar adalah hal lumrah ketika bertemu Wilder. Pria itu rupanya berniat balas dendam. menyapa, dia tidak lupa menambahkan kata, “Ternyata pertumbuhanmu berhenti di situ-situ saja, ya?” Hei! Bukan salahnya tidak bertumbuh tinggi lagi!Setidaknya, dia masih lebih tinggi dari Nalaeryn.Minggu pertama, Iveryne cukup senang bertemu Wilder, pergi ke tempat-tempat yang penuh kenangan masa kecil yang indah. Tapi pada Minggu berikutnya, dia harus menarik kembali kata-katanya! Pria sialan ini selalu mengekorinya, dan setiap Iveryne membawa belanjaan. Saat dari pasar, dia akan berkata, “Kemari, biar aku bawa
Dia memberikan roti mentega dan susu hangat setelah membujuk ibunya makan. Estelle merasa lemas akhir-akhir ini, sudah dari minggu yang lalu sebenarnya. Healer yang Nalaeryn panggil mengatakan bahwa Estelle kelelahan. Tapi Iveryne dan Nalaeryn merasa ini lebih dari itu. “Ivy … Ada yang ingin ibu tunjukkan padamu.” Estelle menahan tangan putrinya yang berniat meletakkan handuk basah guna mengurangi panas tubuhnya. Iveryne menatapnya bimbang, rasa panas di tangan ibunya menjalar, membelai halus permukaan kulitnya.“Tidak bisakah—” “Ini penting, sayang. Lebih penting dari hidup kita berdua.” Dahi Iveryne berkerut dalam, dia kurang suka ketika sang ibu berkata demikian. Akhirnya, dia coba mengiyakan, rasa perasaannya ikut andil kali ini, entah mengapa pikirannya menjadi tidak tenang.Mereka menuju pojok ruangan. Tepat di depan cermin setinggi dua meter. Dengan arahan Estelle, Iveryne memindahkan letak cermin, sementara ibunya menyalakan lentera penerangan. Estelle memutar kenop pintu y
“Ivy, bawakan ini.” “Tambahkan almond.”“Tepungnya kebanyakan.” “Tambahkan mentega satu sendok.” “Aku bilang satu sendok!” Astaga! Iveryne harus menambah tingkat kesabarannya, bahkan di rumah sendiri. Pagi-pagi buta, Bibi tercintanya datang ke rumah, dengan sekantong belanjaan, dan katanya ingin menjenguk ibu. Alih-alih membawa buah tangan, dia membawa banyak belanjaan dan bahan kue, dengan dalih Iveryne membantunya memasak.Nalaeryn pergi ke pasar membeli persediaan Mentega dan—Rasberi untuk Iveryne. Dua jam lebih dan gadis itu belum ada tanda-tanda akan datang. Iveryne menebak dia asik berkencan dengan calon tunangannya itu. Untungnya, pagi-pagi, Wilder membantu Bibi Zerca untuk datang kesana, jadi … dia cukup terbantu dengan pria itu, dan panas telinga secara sukarela oleh sang Bibi. Wilder bersemangat mengacaukan dapur. Sementara Bibi Zerca sibuk menceramahi Iveryne, dan Estelle dengan batuk-batuk kecil kadang terkekeh melihat ekspresi putrinya. Iveryne sudah mau berteriak ma
Iveryne menoleh cepat, dia berjarak tiga puluh meter ketika bunyi ledakan muncul dari arah rumahnya, asap hitam mengepul mengelilingi rumahnya. Tergesa-gesa, kakinya mengantarkannya kembali ke rumah, ledakan dan benda berjatuhan makin jelas ketika dia ada di pekarangan. “Tidak!” Yang membuat kakinya seketika lemas adalah ketika menaiki tangga, ketika kamar Nalaeryn kosong, perabot berserakan, dandelion beterbangan. Samar-samar, teriakan Nalaeryn sebatas ilusi.“Hentikan … “ Kesadarannya di tarik paksa, Iveryne buru-buru bangkit, berlari lagi ke kamar ibunya. Estelle bersandar di dinding, menatap lurus ke arahnya sambil menggeleng, dan sosok hitam berada di depannya. Ibunya itu kelihatan berbeda, rambut perak bercahaya dan mata biru terang yang gemerlapan seindah batu safir.Ketika sosok hitam berbalik ingin menatap sesuatu yang mengalihkan atensi Estelle. Iveryne merasakan sebuah tangan dingin menariknya ke sisi lain ruangan, pinggangnya di peluk erat dan mulutnya dibungkam tangan lai
“Akhh!” Pekikan kesakitan beradu dengan suara gedebuk nyaring. Iveryne tidak sempat menghindar. Dia baru mengambil langkah beberapa meter ketika sepasang mata merah menyala melayang ke arahnya, dan menghantamkannya ke sisi dinding kayu. Sosok setengah asap melayang dengan mata merah bercahaya, fokus pada gadis tidak berdaya yang berusaha bangkit dari posisinya. Sialnya, percuma melawan, tendangan dan pukulan hanya menembus sosok itu. Lagi-lagi sosok itu mengangkatnya, yang entah bagaimana, tidak Iveryne pahami, karena mereka tidak bersentuhan sama sekali dalam hal ini, tapi dia merasa tubuhnya mendadak sangat ringan.Terlempar, lagi! Kali ini menuju meja panjang hingga patah, dan bagian atasnya berhamburan. Iveryne terbatuk-batuk, itu bekas tepung kemarin, ketika mereka selesai membuat kue, tepungnya masih berada di sana, pada tempatnya. Nyeri dan sakit menjalar disekujur tubuhnya. Dengan satu sentakan kecil, Iveryne dengan nafas terengah melempar segenggam tepung, berusaha mengalihka
“Kapan kita kembali ke sini?” “Mustahil. Tidak aman.” Iveryne mendelik tidak percaya, sebelum Reiger mencapai tangannya, dia lebih dulu berlari tergesa-gesa menaiki tangga, menghindari beberapa bagian yang patah dan hancur. Reiger, yang masih tidak mau mereka mati sia-sia dengan sigap menahan Iveryne saat kakinya sampai pada tangga terakhir. Dengan paksa menggendongnya, tapi dia langsung menurunkannya ketika gadis itu memekik keras-keras. Dia meninju wajah Reiger dengan marah. Pinggangnya yang sakit baru saja bertubrukan dengan bahu kokoh yang keras. Sensasinya menusuk. “Sakit, sialan!” hardiknya, tangan kirinya refleks mencengkeram sisi pinggang bagian kiri. “Kita akan dapat yang lebih buruk. Kalau kita masih di sini. Para Dyord akan segera kemari, aku tak bisa melawan semuanya.” “Aku hanya perlu … mengambil pedang.” Mulut Reiger terbuka tanpa sadar, ada beberapa pertanyaan menggenang dalam benaknya. Iveryne menggeser tubuh jangkungnya setelah berkata demikian, bergegas pergi t
Selene senang sekali saat kelahiran adiknya, sinar bulan paling cerah abad itu ketika Selene mendatangi ibunya. Argios, adik Selene mengalami pemikiran lugu, di sembunyikan dari dunia luar membuatnya bersedih setiap saat, dia tidak punya kemampuan apapun, tidak pernah diberatkan tugas, tidak bisa bergaul dengan mudah karena orang tuanya. Hyperion dan Theia sangat-sangat takut dia akan dimanfaatkan kegelapan. Apalagi saat ramalan Pythia, pendeta Apollo di Delphi yang mengatakan bahwa putra bungsu mereka akan menjadi salah satu kegelapan paling bersejarah yang memegang peran paling penting dalam pemusnahan dan pembantaian dalam skala besar-besaran.Setelah satu abad, tidak ada yang berubah, Selene meminta pada Elther—Goeron untuk menempa sebuah pedang dari cahaya bintang murni Asteria, cahaya paling terang dan keberkatan api Hestia. Pedang yang memancarkan cahaya luar biasa itu akhirnya bisa membuat sepintas senyum mengembang pada wajah Argios.Dia berlatih dengan Dewi perang, Athena, k
“Elenya ... apakah kamu tahu sesuatu tentang teman-temanku yang lain?” Iveryne terus mendesaknya untuk mengatakan sesuatu setelah beberapa saat lalu, Elenya tidak sengaja mengatakan.“Anda belum mengetahuinya? Yang Mulia Thalorin ... ” Begitu saja, tanda ada niat melanjutkan, dan akibat kata-kata itu, Iveryne kini menuntut jawaban sepenuhnya dengan sorot mata tajam.Di sisi lain, Elenya merasa terintimidasi, tapi di sisi lain, dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya ataupun mengarangnya. Berbohong dan kebenaran di sini tidak lebih seperti lumpur hisap dan jurang.Elenya menatap Iveryne dengan keraguan yang jelas terlihat di matanya. Merasa terjebak dalam dilema antara memenuhi keinginan Lunar Lady dan mematuhi janji yang telah dia buat pada Thalorin. Namun, tekanan Iveryne makin membuatnya merasa tak nyaman.Aura mengintimidasi gadis itu terlalu sulit diabaikan.Iveryne bisa merasakan gelombang kecemasan melanda Elenya, tetapi keinginannya untuk mengetahui kebenaran melebihi semua
Mereka berjalan perlahan, mengendap-endap di antara semak-semak yang rapat, menyusuri tepi danau yang gelap. Cahaya bulan yang redup menyoroti setiap gerakan mereka, menciptakan bayangan yang meliuk-liuk di atas permukaan air yang tenang.“Tidak ada yang akan tahu tentang ini,” ujar Iveryne dengan suara yang hampir tidak terdengar. Berusaha meyakinkan Elenya bahwa apa yang mereka lakukan ini untuk kebaikan, meski melanggar peraturan.Elenya mengangguk pelan, tetapi ketakutannya masih melekat erat. Dia merasa seolah-olah mereka berjalan di tepi jurang, siap untuk jatuh ke dalam ketidakpastian kapan saja. Dan mulutnya, yang hampir berbusa karena terus mengingatkan, tapi tidak pernah didengar.Iveryne tidak tergoyahkan. Dia terus maju, memimpin langkah menuju kegelapan. Meski ada ketegangan di udara, mereka terus melangkah, berusaha untuk tidak terperangkap dalam rasa takut.Saat menjauh dari danau, bayangan semakin menutupi mereka. Iveryne berhenti sejenak, mengamati sekeliling penuh ke
“Lunar Lady ... “ panggil Elenya lelah. “Kita tidak bisa berada di sini, Yang Mulia Eldarion melarang siapapun masuk wilayah ini.” Dia sejak tadi hampir menggumamkan kata yang sama, berusaha membujuk Iveryne mengubah niat untuk mengeksplorasi wilayah Eldarion yang terlarang, ini sungguh salah, tidak benar!Namun, Meski Elenya mencoba keras untuk membujuk Iveryne. Gadis itu tetap teguh dengan niatnya. Dia merasa bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik larangan tersebut, dan semua itu hanya membuat rasa penasarannya semakin memuncak.Matahari tenggelam di balik cakrawala, meninggalkan langit senja menjadi gradasi warna oranye, merah, dan ungu yang indah. Bulan dan bintang-bintang muncul di langit gelap, memberikan cahaya samar yang memantulkan warna-warni di atas permukaan jalan yang tenang.Pepohonan rindang di sepanjang jalan melemparkan bayangan gelap, kontras di atas rerumputan hijau yang menyelimuti tanah. Suara hening malam hanya terganggu oleh desiran angin dan kadang-kadang
Dalam kegelapan dingin penjara yang menyedihkan, Calix, Wilder, dan Heros duduk bersama di sudut sel, wajah mereka penuh dengan ekspresi kekecewaan dan kebingungan.“Kita sudah berada di sini berjam-jam, tapi tidak ada tanda-tanda pembebasan,” keluh Wilder dengan nada frustrasi, matanya menatap ke langit-langit yang tidak terlihat.“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Calix sambil menggerutu kesal. “Aku mulai merasa seperti ini adalah akhir dari segalanya.”Heros hanya menggelengkan kepala dengan lesu. “Aku tidak tahu lagi. Semua rencana kita gagal. Kita terjebak di sini tanpa harapan.”“Kita harus tetap tenang dan bersabar,” kata Calix, mencoba menenangkan teman-temannya meskipun hatinya sendiri penuh dengan kecemasan. “Pasti ada jalan keluar. Kita hanya perlu mencari.”“Iveryne pasti dengan merindukanku,” tambah Wilder.Calix mencibir. “Pftt! Alih-alih merindukanmu, kurasa dia sedang mengkhawatirkan Reiger.” Heros, yang terus berada di sudut sambil menelungkupkan kepala di atas lipa
Ketegangan memenuhi aula. Iveryne berusaha menenangkan diri sendiri sementara tangannya bergerak gelisah dalam lengan baju kain yang panjang. Itu adalah suara Eldarion, pamannya.Iveryne segera merasa ada yang tidak beres, bahwa pamannya ini sengaja menyudutkan dirinya karena liontin mutiara di lehernya. Thalorin memandang ke arah Iveryne, tapi tetap diam. Meski dia tidak memiliki hubungan yang cukup erat dan baru bertemu dengan kakeknya, Iveryne langsung mengerti, kedudukan kakeknya penting. Penting untuk membantunya menghadapi pamannya.Iveryne menatap tidak nyaman pada pamannya. “Tidak ada kebenaran dalam tuduhan itu, Kakek. Saya tidak pernah bersekongkol dengan para Siren atau siapapun yang merugikan bangsa Elf.”Eldarion tertawa sinis. “Ah, tentu saja, kau akan membela diri. Tetapi tindakanmu telah mengkhianati kepercayaan dan keamanan bangsa ini. Bagaimana kita bisa mempercayaimu lagi?”Suasana tegang memenuhi ruangan saat pandangan semua orang bergumul dengan pertanyaan tak t
“Iveryne, apakah sesuatu mengganggumu?” Netra biru cemerlang menoleh kaget, tersentak dengan pertanyaan oleh suara asing. Dia menggeleng cepat, kemudian tersenyum kecil, berusaha untuk tetap tenang dan menetralkan diri, mencoba terbiasa lebih dulu.Iveryne melangkah di samping kakeknya, dengan langkah yang sedikit canggung, mencoba menyesuaikan diri dengan atmosfer beda. Thalorin Silverion, sosok lain yang berjalan di sampingnya, memancarkan aura yang hangat dan ramah, membuatnya sulit untuk menentukan apakah sikap itu dialamatkan padanya secara khusus atau mungkin sikap alaminya terhadap semua orang yang mereka temui. Terlepas dari itu, ketenangan dan kebaikan hati yang terpancar dari kakeknya memberikan sedikit kelegaan dalam suasana asing itu.Sementara itu, Iveryne masih tidak terbiasa dengan perhatian yang diberikan padanya oleh para Elf di sekitarnya. Ketika dia melewati mereka, baik itu Elf wanita yang lembut maupun Elf pria yang tegap, selalu menundukkan kepala dengan horm
“Berhenti membohongi dirimu sendiri!” Seruan kemarahan itu bergema dalam heningnya malam. Satu-satunya lawan bicara menatap datar, seakan tidak peduli sekeras apa teriakan itu terdengar.Cahaya bulan memancar terang, dua sosok berdiri di antara pepohonan yang menjulang tinggi. Desiran angin menyapu daun-daun sekitar menjadi latar belakang pertukaran kata-kata penuh kemarahan.“Kamu yang seharusnya berhenti memaksakan.” Ada penekanan dalam intonasi datar itu, mengintimidasi orang di seberang sana, dia tetap tenang, tapi pria di seberangnya menatap marah.Dua orang dan ketidakpastian jawaban, adalah masalah.Salah satu sosok, dengan netra hitam memancarkan kemarahan, menatap tajam ke arah lawan bicara. Rambut hitamnya yang terurai menyapu pipinya, menambah kesan garang pada wajah tegang.Sementara itu, sosok di hadapannya tetap tenang, dengan netra abu-abu cerah yang tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan.Netra hitam menggelap di bawah desakan kemarahan, beberapa helai rambut hitam me
Bersama dengan Reiger yang masih belum sadar sepenuhnya, Iveryne, Calix, Wilder, dan Heros memulai perjalanan menuju hutan Lunare. Elara memberikan ramuan penyembuh kepada Reiger, harapannya agar pria itu bisa bertahan dalam perjalanan.Perbatasan antara Hutan Lunare dan Arvenwood tidak terlalu jauh, tetapi tetap memerlukan perjalanan yang hati-hati. Untungnya, para Creetress dengan baik hati memberikan kuda-kuda mereka. Sebetulnya meminjamkannya, tapi seperti ucapan Iveryne, kecuali salah satu dari mereka selamat untuk mengembalikannya, atau jika tidak, kuda-kuda itu mungkin tidak akan kembali lagi.Setelah melintasi perbatasan Arvenwood, perjalanan mereka menuju Hutan Lunare semakin tidak mudah saja. Cahaya bulan yang menyinari jalan setapak memberikan sentuhan magis pada lingkungan sekitarnya, tetapi juga menyoroti bayangan-bayangan yang misterius di antara pepohonan yang rapat. Angin malam berbisik dengan suara seram, seakan menawarkan peringatan akan bahaya-bahaya yang mengint
Dalam keheningan malam yang dihiasi gemerlap cahaya bulan, Iveryne duduk di tepi tempat tidur, mengamati penuh kekhawatiran sosok Reiger yang terbaring tak berdaya di sisinya. Cahaya bulan memancar lembut memasuki kamar mereka melalui jendela terbuka, menimbulkan bayangan samar di sekitar ruangan yang tenang.Dengan hati berdebar, Iveryne mendekat pada Reiger yang tidak sadarkan diri. Luka di pinggangnya sendiri sudah hampir sembuh sepenuhnya, tetapi luka-luka yang menghiasi tubuh Reiger masih terasa sangat mengejutkan dan sangat memprihatinkan.Ia meraih tangan Reiger, menempelkan telapak tangannya pada pipi dingin pria itu. Suatu cahaya biru pucat seolah-olah memancar dari kedalaman hati Iveryne, merambat melalui urat dan pembuluh darahnya, menciptakan aliran energi magis yang lembut namun kuat.Cahaya itu mengalir ke dalam tubuh Reiger, menyatu dengan sulur-sulur hitam yang menjalar di sekitar lukanya. Namun, meskipun cahaya itu berkilau sebentar, tidak ada perubahan yang terjadi.