Lucas membawa Numa ke penthouse pribadinya, sebuah tempat mewah di puncak gedung tinggi dengan pemandangan kota yang gemerlap di malam hari. Interiornya elegan dan modern, dipenuhi furnitur mahal yang dipilih dengan selera tinggi. Jendela besar membingkai langit kota dengan sempurna, memberikan nuansa privat namun tak terpisahkan dari kehidupan malam di luar sana.
Saat mereka memasuki penthouse, Lucas melepaskan jasnya dan melemparkannya ke sofa. Ia melirik Numa yang berdiri di dekat pintu, tampak sedikit gugup meskipun berusaha terlihat santai. “Buat dirimu nyaman!" ucap Lucas sambil berjalan menuju dapur kecil di sudut ruangan. “Mau minum apa? Anggur atau champagne?” Numa tersenyum tipis. “Champagne sepertinya cocok malam ini.” Lucas membuka sebotol champagne dengan gerakan cekatan, menuangkannya ke dua gelas kristal dan kembali ke ruang utama. Ia menyerahkan satu gelas pada Numa, menatapnya dengan intens. Numa menyesap minumannya, berusaha mengendalikan diri agar tidak terlihat terlalu tegang. Ia tahu bahwa setiap langkahnya malam ini penting—Lucas harus merasa nyaman dan percaya, tanpa curiga sedikit pun. “Kau terlihat gugup,” kata Lucas sambil duduk di sofa dan menepuk tempat kosong di sampingnya. “Tenang saja. Aku tidak menggigit.” Numa tertawa kecil, lalu mengambil tempat di sebelahnya. “Maaf, aku hanya tidak terbiasa berada di tempat semewah ini.” Lucas mengangkat alisnya, matanya penuh rasa ingin tahu. “Kau pasti bercanda. Wanita seperti kau pasti sudah sering diajak ke tempat-tempat seperti ini.” “Tidak seberapa,” jawab Numa sambil tersenyum lembut. “Tapi, penthouse ini memang luar biasa. Pemandangannya juga...” Lucas mengangguk, mengalihkan pandangannya ke jendela besar di hadapannya. “Aku suka berada di sini. Tempat ini membuatku merasa seperti sedang mengendalikan semuanya, melihat dunia dari atas.” Numa menatap Lucas dengan lebih dalam. Sekilas, ia bisa merasakan bahwa di balik sosok keras dan dingin pria itu, ada seseorang yang menikmati kekuasaan namun juga menyimpan kesepian. Mungkin ini adalah titik lemah yang bisa ia manfaatkan—mendekatinya bukan hanya sebagai agen, tapi sebagai seseorang yang bisa mengisi kekosongan itu. Lucas menoleh kembali ke arahnya, dan untuk beberapa saat, mereka hanya saling bertatapan tanpa kata. Ada ketegangan yang tak bisa diabaikan di antara mereka, ketegangan yang memicu sesuatu di dalam diri Numa, meski ia tahu itu salah. “Kau tahu, aku jarang membawa orang ke sini,” kata Lucas dengan nada lebih lembut. “Tapi aku merasa berbeda saat bersamamu.” Numa menelan ludah. Ia tahu bahwa ia harus berhati-hati agar tidak terlalu terjebak dalam permainan ini. Tapi entah mengapa, perhatian Lucas yang intens membuatnya merasa rentan. Ia harus tetap fokus—ini semua hanya bagian dari rencana. “Kenapa berbeda?” Numa akhirnya bertanya, mencoba menggali lebih dalam. Lucas menyesap champagne-nya sebelum menjawab, “Aku merasa kau bukan seperti wanita-wanita lain. Ada sesuatu dalam dirimu yang membuatku ingin lebih mengenalmu, lebih dekat denganmu." Numa menahan napas. Kata-kata itu terasa terlalu nyata, dan ia harus menegaskan pada dirinya sendiri bahwa ini hanya tipu daya, meski sebagian kecil dari hatinya mulai meragukan itu. Lucas menurunkan gelasnya dan mengulurkan tangan, menyentuh lembut jemari Numa. “Kau tahu, aku bukan pria yang sabar. Kalau aku menginginkan sesuatu, aku akan mendapatkannya.” Numa merasa tubuhnya menegang sesaat, tapi ia menutupi rasa gugupnya dengan senyum tipis. “Dan apa yang kau inginkan malam ini, Lucas?” Lucas tersenyum samar, lalu menarik Numa lebih dekat, hingga hanya ada sedikit jarak di antara mereka. “Aku ingin menikmati malam ini bersamamu. Tanpa kebohongan, tanpa gangguan. Hanya kita.” Numa menahan napas, mencoba menenangkan debaran jantungnya. Ia tahu bahwa ia harus berhati-hati dengan setiap langkahnya. Tapi ketika Lucas menyelipkan jemarinya ke rambutnya dan mendekatkan wajah mereka, ia tahu bahwa malam ini akan menjadi ujian terberat bagi misinya. Tanpa berkata-kata lagi, Lucas mengecup bibir Numa dengan lembut. Ciumannya tidak terburu-buru, penuh kendali namun tetap menggoda. Numa merasa tubuhnya bereaksi, meskipun ia tahu bahwa ia tidak boleh larut dalam momen ini. Namun, pesona Lucas terlalu kuat, dan untuk sejenak, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam keintiman itu. Lucas menarik diri perlahan, menatap Numa dengan sorot mata yang tajam namun lembut. “Kau baik-baik saja?” tanyanya pelan. Numa mengangguk, meski hatinya masih berdebar kencang. “Aku baik-baik saja.” “Bagus.” Lucas tersenyum puas, lalu berdiri dan mengulurkan tangannya. “Ayo, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu!" Numa menggenggam tangannya, membiarkan Lucas membawanya ke balkon besar yang menghadap seluruh kota. Angin malam menyapa lembut, membuat rambutnya sedikit berkibar. Lucas berdiri di sampingnya, menatap pemandangan kota yang gemerlap. “Kau lihat semua itu?” kata Lucas sambil menunjuk ke arah lampu-lampu yang berkilauan. “Itu semua milikku. Setiap sudut kota ini ada di bawah kendaliku.” Numa menatapnya, berusaha membaca apa yang ada di balik kata-katanya. “Dan kau tidak merasa lelah?” tanyanya pelan. Lucas tertawa kecil. “Terkadang. Tapi kekuasaan adalah candu, Numa. Begitu kau memilikinya, kau tidak ingin melepaskannya.” Numa merasa ada ketulusan dalam kata-kata Lucas, dan itu membuatnya semakin sulit memisahkan antara peran yang ia mainkan dan perasaan yang mulai tumbuh. “Dan bagaimana kalau suatu saat semuanya berubah?” tanya Numa, menatap Lucas dengan serius. Lucas menoleh padanya, senyumnya memudar sedikit. “Maksudmu?” “Bagaimana kalau kekuasaanmu hilang? Atau ada orang yang berusaha menjatuhkanmu?” Lucas menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari tahu apa maksud sebenarnya di balik pertanyaan itu. “Mereka bisa mencoba,” ujarnya dengan nada dingin. “Tapi mereka tidak akan berhasil.” Numa merasa tenggorokannya mengering. Ia tahu bahwa Lucas bukan pria biasa—ia adalah sosok yang berbahaya dan tak kenal ampun. Namun, semakin dekat ia dengan pria itu, semakin sulit baginya untuk mengingat bahwa Lucas adalah musuhnya. Dan di malam itu, di bawah langit kota yang gemerlap, Numa hanya bisa berharap bahwa ia tidak akan kehilangan kendali sebelum misinya selesai.Angin malam berembus lembut di balkon penthouse, membuat suasana semakin intim. Di tengah ketenangan itu, tiba-tiba ponsel Numa bergetar di dalam tasnya. Ia terkejut sejenak, tapi berusaha tetap tenang. Dengan cepat, ia membuka tasnya dan melihat nama Lisa tertera di layar—pesan dari rekan kerjanya di tim intelijen. Numa membaca sekilas: "Ada pergerakan di pelabuhan. Pastikan kau tetap dalam kendali." Jantung Numa berdegup kencang. Ia tahu pesan itu penting, namun keberadaannya bersama Lucas saat ini membuat situasi jadi sangat rumit. Tanpa berpikir panjang, ia segera mematikan ponselnya dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Namun, Lucas memperhatikan setiap gerakan itu dengan tatapan tajam, seperti seorang pemangsa yang mencurigai mangsanya. Ia memiringkan kepalanya sedikit dan bertanya dengan nada dingin. “Apa itu?” Numa tersenyum gugup, mencoba menenangkan dirinya. “Bukan apa-apa. Hanya pesan tak penting.” Lucas tidak segera menjawab. Ia mempersempit matanya, seakan mencob
Setelah menikmati malam yang penuh gairah, Numa merasa sudah waktunya untuk pamit. Meski ia masih harus menata perasaan dan pikirannya, yang terpenting adalah ia harus segera kembali ke markasnya sebelum seseorang mulai curiga dengan keberadaannya. Dengan nada selembut mungkin, ia berkata, "Lucas, aku harus pulang sekarang. Ini sudah cukup larut." Lucas, yang masih duduk santai di sofa dengan segelas anggur di tangan, menatap Numa sambil tersenyum kecil. "Aku antar kamu pulang." Kalimat itu langsung membuat Numa tersentak. "Tidak perlu, aku bisa sendiri," balasnya cepat. Ia tak bisa membiarkan Lucas tahu di mana ia tinggal atau siapa sebenarnya dirinya. Lucas tertawa kecil, seolah tak menganggap penolakan itu serius. "Kamu kekasihku sekarang, Numa. Tidak mungkin aku biarkan kamu pulang sendirian di tengah malam seperti ini." Numa berusaha menahan rasa panik yang mulai merayap. Otaknya berputar mencari alasan yang masuk akal, tapi Lucas tampak tak mau menerima penolakan lagi. "Aku
Perjalanan truk awal berjalan lancar hingga hampir tiba di gudang yang sudah direncanakan. Namun, firasat buruk tiba-tiba menyergap Lucas. Entah kenapa, ia merasa ada yang tidak beres. Pikirannya berputar cepat, mencoba mencari tahu dari mana perasaan ganjil itu berasal, meskipun tidak ada tanda-tanda bahaya yang jelas. Lucas tiba-tiba memberi perintah tegas, "Berhenti di sini!" Aurel, yang duduk di kursi penumpang, menoleh dengan bingung. "Ada apa, Bos?" Lucas tak memberikan penjelasan panjang. "Pindahkan semua barang ke mobil lain, sekarang juga!" Tanpa protes, Aurel segera menjalankan perintah. Ia tahu bahwa Lucas selalu bertindak cepat dan cermat, terutama dalam situasi berisiko tinggi. Ia mengeluarkan perintah pada anak buah mereka melalui radio, memastikan barang-barang segera dipindahkan tanpa kesulitan. Beberapa anak buah mereka bergerak gesit, memindahkan peti-peti barang dari truk ke dua mobil van yang sudah disiapkan. Semuanya dilakukan dalam senyap, seakan mereka suda
Esok harinya, Aurel berjalan dengan langkah cepat menuju lorong kamar pribadi Lucas Zander Maxime. Pagi itu, bos mafia terganas di kota tersebut baru saja keluar dari kamarnya, mengenakan kemeja hitam yang lengan atasnya sedikit tergulung. Tatapan dinginnya tetap melekat, tapi ada sorot ketegangan di balik matanya. "Ada apa, Aurel?" tanya Lucas sambil mengancingkan kemejanya. Aurel, salah satu orang kepercayaannya, memberikan laporan padanya. "Klien besar dari luar negeri akan segera tiba, bos. Mereka siap melakukan transaksi hari ini seperti yang dijadwalkan." Mendengar kabar itu, seulas senyum tipis muncul di wajah Lucas. Ini adalah kesempatan emas, transaksi ini bisa menjadi lumbung uang besar yang akan memperkuat posisinya dalam dunia bawah tanah. "Bagus," gumam Lucas, lebih pada dirinya sendiri. Ia segera meraih ponselnya dan menelepon orang kepercayaannya, Vaga. "Siapkan tempat transaksi! Pastikan semuanya s
Hari yang dinanti-nantikan oleh Lucas Zander Maxime akhirnya tiba—hari di mana transaksi besar dengan klien asing yang penuh misteri itu akan terlaksana. Malam itu, Lucas mempersiapkan dirinya dengan matang. Kemeja hitamnya disesuaikan dengan jas gelap, mempertegas kesan dingin yang selalu ia tampilkan. Dengan langkah mantap, ia melangkah keluar, diikuti oleh asistennya yang setia, Aurel. Mereka masuk ke mobil, dan perjalanan menuju tempat transaksi dimulai.Setibanya di lokasi, Lucas segera keluar dari mobil, tatapannya tajam, menyapu sekeliling untuk memastikan semuanya sesuai dengan rencana. Puluhan anak buahnya sudah berjaga di sekitar area, memastikan tidak ada gangguan yang bisa membahayakan transaksi kali ini. Aurel selalu berada satu langkah di belakang Lucas, siap untuk memenuhi segala perintah. Mereka berjalan menuju ruangan yang telah disiapkan, tempat di mana klien mereka sudah menunggu.Begitu Lucas dan Aurel memasuki ruangan, tampak seorang pria paruh baya dengan setelan
Setelah transaksi besar malam itu berlangsung lancar, Lucas Zander Maxime kembali ke rumah dengan perasaan puas. Senyum tersungging di bibirnya, tanda bahwa malam ini berjalan sesuai rencana. Di sisinya, Aurel mengikuti langkahnya dengan tenang, tak pernah meninggalkan Lucas sendirian saat ia bertugas.Sesampainya di ruang tamu rumah megah itu, Lucas melepas jasnya dan menyerahkannya pada Aurel. "Simpan ini!" ujarnya singkat, namun terdengar lembut dibanding biasanya. Aurel menerima jas itu dan menunduk hormat.Lucas lalu duduk di sofa dengan santai, satu kaki menyilang di atas yang lain. Ia bersandar, menyandarkan kedua tangannya di sandaran sofa dan mengisyaratkan agar Aurel duduk di sebelahnya. "Duduklah!" perintah Lucas singkat, dengan nada yang membuat Aurel tak bisa menolak.Aurel menurut dan duduk di sampingnya, menjaga jarak kecil, meski detak jantungnya sedikit berdetak cepat setiap kali berada dekat dengan bosnya. Lucas meliriknya sekil
Di tengah hingar-bingar musik dan cahaya remang-remang, Lucas Zander Maxime duduk santai di sofa kulit mewah. Bourbon di tangannya terasa hangat di tenggorokan, menghilangkan sedikit ketegangan dari aksinya malam itu. Ia terbiasa dengan adrenalin dan kekacauan, namun kini ia hanya ingin menikmati ketenangan sementara. Saat Lucas melirik ke arah pintu, seorang wanita bergaun hitam mencuri perhatiannya. Anggun, percaya diri, dan tampak berbeda dari perempuan-perempuan lain di tempat itu. Wanita itu berjalan dengan langkah tenang dan memancarkan aura yang sulit diabaikan. Tatapan Lucas bertahan lebih lama dari seharusnya—dan saat wanita itu melihat ke arahnya, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis. Tanpa ragu, Lucas memberi isyarat dengan mengangkat gelasnya sedikit. Wanita itu menangkap sinyal dan, dengan senyum yang masih bertahan, berjalan mendekat. Ia mengambil tempat di sofa di hadapan Lucas, menggerakkan rambutnya ke belakang telinga dengan gerakan ringan. "Kau baru di si
Lucas tiba di markasnya, sebuah mansion mewah di pinggiran kota yang dilengkapi dengan keamanan tingkat tinggi. Pintu gerbang besar yang terbuat dari besi otomatis terbuka, memperlihatkan halaman luas dengan air mancur yang memancarkan cahaya keemasan. Mobil hitam yang dikendarainya berhenti tepat di depan pintu utama. Seorang pelayan membukakan pintu mobil, dan Lucas keluar dengan gaya khasnya—tenang, penuh percaya diri, namun selalu terlihat mematikan. Begitu ia memasuki ruangan utama, langkahnya disambut oleh suara tumit sepatu Aurel, seorang wanita berambut hitam panjang dengan wajah serius namun memikat. Aurel adalah salah satu pekerja paling dipercaya di bisnis Lucas, memiliki bakat mengurus segala hal, mulai dari operasional hingga manajemen keuangan. Wanita itu sudah menunggu dengan dokumen di tangannya, siap memberikan laporan harian. "Selamat malam, tuan Lucas! Bisnis kita semakin berkembang pesat. Operasi pengiriman terakhir berjalan mulus, dan beberapa pelanggan besar da
Setelah transaksi besar malam itu berlangsung lancar, Lucas Zander Maxime kembali ke rumah dengan perasaan puas. Senyum tersungging di bibirnya, tanda bahwa malam ini berjalan sesuai rencana. Di sisinya, Aurel mengikuti langkahnya dengan tenang, tak pernah meninggalkan Lucas sendirian saat ia bertugas.Sesampainya di ruang tamu rumah megah itu, Lucas melepas jasnya dan menyerahkannya pada Aurel. "Simpan ini!" ujarnya singkat, namun terdengar lembut dibanding biasanya. Aurel menerima jas itu dan menunduk hormat.Lucas lalu duduk di sofa dengan santai, satu kaki menyilang di atas yang lain. Ia bersandar, menyandarkan kedua tangannya di sandaran sofa dan mengisyaratkan agar Aurel duduk di sebelahnya. "Duduklah!" perintah Lucas singkat, dengan nada yang membuat Aurel tak bisa menolak.Aurel menurut dan duduk di sampingnya, menjaga jarak kecil, meski detak jantungnya sedikit berdetak cepat setiap kali berada dekat dengan bosnya. Lucas meliriknya sekil
Hari yang dinanti-nantikan oleh Lucas Zander Maxime akhirnya tiba—hari di mana transaksi besar dengan klien asing yang penuh misteri itu akan terlaksana. Malam itu, Lucas mempersiapkan dirinya dengan matang. Kemeja hitamnya disesuaikan dengan jas gelap, mempertegas kesan dingin yang selalu ia tampilkan. Dengan langkah mantap, ia melangkah keluar, diikuti oleh asistennya yang setia, Aurel. Mereka masuk ke mobil, dan perjalanan menuju tempat transaksi dimulai.Setibanya di lokasi, Lucas segera keluar dari mobil, tatapannya tajam, menyapu sekeliling untuk memastikan semuanya sesuai dengan rencana. Puluhan anak buahnya sudah berjaga di sekitar area, memastikan tidak ada gangguan yang bisa membahayakan transaksi kali ini. Aurel selalu berada satu langkah di belakang Lucas, siap untuk memenuhi segala perintah. Mereka berjalan menuju ruangan yang telah disiapkan, tempat di mana klien mereka sudah menunggu.Begitu Lucas dan Aurel memasuki ruangan, tampak seorang pria paruh baya dengan setelan
Esok harinya, Aurel berjalan dengan langkah cepat menuju lorong kamar pribadi Lucas Zander Maxime. Pagi itu, bos mafia terganas di kota tersebut baru saja keluar dari kamarnya, mengenakan kemeja hitam yang lengan atasnya sedikit tergulung. Tatapan dinginnya tetap melekat, tapi ada sorot ketegangan di balik matanya. "Ada apa, Aurel?" tanya Lucas sambil mengancingkan kemejanya. Aurel, salah satu orang kepercayaannya, memberikan laporan padanya. "Klien besar dari luar negeri akan segera tiba, bos. Mereka siap melakukan transaksi hari ini seperti yang dijadwalkan." Mendengar kabar itu, seulas senyum tipis muncul di wajah Lucas. Ini adalah kesempatan emas, transaksi ini bisa menjadi lumbung uang besar yang akan memperkuat posisinya dalam dunia bawah tanah. "Bagus," gumam Lucas, lebih pada dirinya sendiri. Ia segera meraih ponselnya dan menelepon orang kepercayaannya, Vaga. "Siapkan tempat transaksi! Pastikan semuanya s
Perjalanan truk awal berjalan lancar hingga hampir tiba di gudang yang sudah direncanakan. Namun, firasat buruk tiba-tiba menyergap Lucas. Entah kenapa, ia merasa ada yang tidak beres. Pikirannya berputar cepat, mencoba mencari tahu dari mana perasaan ganjil itu berasal, meskipun tidak ada tanda-tanda bahaya yang jelas. Lucas tiba-tiba memberi perintah tegas, "Berhenti di sini!" Aurel, yang duduk di kursi penumpang, menoleh dengan bingung. "Ada apa, Bos?" Lucas tak memberikan penjelasan panjang. "Pindahkan semua barang ke mobil lain, sekarang juga!" Tanpa protes, Aurel segera menjalankan perintah. Ia tahu bahwa Lucas selalu bertindak cepat dan cermat, terutama dalam situasi berisiko tinggi. Ia mengeluarkan perintah pada anak buah mereka melalui radio, memastikan barang-barang segera dipindahkan tanpa kesulitan. Beberapa anak buah mereka bergerak gesit, memindahkan peti-peti barang dari truk ke dua mobil van yang sudah disiapkan. Semuanya dilakukan dalam senyap, seakan mereka suda
Setelah menikmati malam yang penuh gairah, Numa merasa sudah waktunya untuk pamit. Meski ia masih harus menata perasaan dan pikirannya, yang terpenting adalah ia harus segera kembali ke markasnya sebelum seseorang mulai curiga dengan keberadaannya. Dengan nada selembut mungkin, ia berkata, "Lucas, aku harus pulang sekarang. Ini sudah cukup larut." Lucas, yang masih duduk santai di sofa dengan segelas anggur di tangan, menatap Numa sambil tersenyum kecil. "Aku antar kamu pulang." Kalimat itu langsung membuat Numa tersentak. "Tidak perlu, aku bisa sendiri," balasnya cepat. Ia tak bisa membiarkan Lucas tahu di mana ia tinggal atau siapa sebenarnya dirinya. Lucas tertawa kecil, seolah tak menganggap penolakan itu serius. "Kamu kekasihku sekarang, Numa. Tidak mungkin aku biarkan kamu pulang sendirian di tengah malam seperti ini." Numa berusaha menahan rasa panik yang mulai merayap. Otaknya berputar mencari alasan yang masuk akal, tapi Lucas tampak tak mau menerima penolakan lagi. "Aku
Angin malam berembus lembut di balkon penthouse, membuat suasana semakin intim. Di tengah ketenangan itu, tiba-tiba ponsel Numa bergetar di dalam tasnya. Ia terkejut sejenak, tapi berusaha tetap tenang. Dengan cepat, ia membuka tasnya dan melihat nama Lisa tertera di layar—pesan dari rekan kerjanya di tim intelijen. Numa membaca sekilas: "Ada pergerakan di pelabuhan. Pastikan kau tetap dalam kendali." Jantung Numa berdegup kencang. Ia tahu pesan itu penting, namun keberadaannya bersama Lucas saat ini membuat situasi jadi sangat rumit. Tanpa berpikir panjang, ia segera mematikan ponselnya dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Namun, Lucas memperhatikan setiap gerakan itu dengan tatapan tajam, seperti seorang pemangsa yang mencurigai mangsanya. Ia memiringkan kepalanya sedikit dan bertanya dengan nada dingin. “Apa itu?” Numa tersenyum gugup, mencoba menenangkan dirinya. “Bukan apa-apa. Hanya pesan tak penting.” Lucas tidak segera menjawab. Ia mempersempit matanya, seakan mencob
Lucas membawa Numa ke penthouse pribadinya, sebuah tempat mewah di puncak gedung tinggi dengan pemandangan kota yang gemerlap di malam hari. Interiornya elegan dan modern, dipenuhi furnitur mahal yang dipilih dengan selera tinggi. Jendela besar membingkai langit kota dengan sempurna, memberikan nuansa privat namun tak terpisahkan dari kehidupan malam di luar sana. Saat mereka memasuki penthouse, Lucas melepaskan jasnya dan melemparkannya ke sofa. Ia melirik Numa yang berdiri di dekat pintu, tampak sedikit gugup meskipun berusaha terlihat santai. “Buat dirimu nyaman!" ucap Lucas sambil berjalan menuju dapur kecil di sudut ruangan. “Mau minum apa? Anggur atau champagne?” Numa tersenyum tipis. “Champagne sepertinya cocok malam ini.” Lucas membuka sebotol champagne dengan gerakan cekatan, menuangkannya ke dua gelas kristal dan kembali ke ruang utama. Ia menyerahkan satu gelas pada Numa, menatapnya dengan intens. Numa menyesap minumannya, berusaha mengendalikan diri agar tidak terlihat
Numa duduk di sudut club yang remang-remang, membaur dengan keramaian. Asap rokok dan dentuman musik mengisi udara, membuat tempat itu terasa penuh energi malam. Pakaian yang dikenakannya malam ini jauh lebih menggoda—gaun hitam ketat dengan belahan tinggi di paha dan punggung terbuka, memamerkan pesonanya tanpa terlihat terlalu mencolok. Ia sudah tahu Lucas mungkin akan kembali ke sini, dan ia harus memastikan misi ini tetap berjalan dengan sempurna.Beberapa jam sebelumnya, Numa menerima pesan penting dari rekannya yang sedang menyelidiki aktivitas di pelabuhan. Foto-foto yang dikirim menunjukkan beberapa pria dengan truk besar sedang memuat peti-peti mencurigakan. Truk itu teridentifikasi menuju ke gudang yang dikenal sebagai salah satu titik distribusi barang ilegal milik Lucas."Barang itu sudah sampai. Lucas menggerakkan sesuatu yang besar," kata rekannya melalui telepon singkat.Numa tahu bahwa ini adalah celah untuk menggali informasi lebih dalam. Jika ia bisa mendekatkan diri
Pagi masih terasa dingin ketika Aurel berdiri di depan pintu kamar Lucas. Ia mengetuk dua kali, lalu menunggu. Suara langkah kaki terdengar dari dalam, dan tak lama kemudian pintu terbuka. Lucas muncul dengan tubuh kekar dan rambut acak-acakan, hanya mengenakan celana panjang kasual."Ada apa, Aurel?" tanya Lucas dengan suara serak.Aurel memandangnya dengan dingin, lalu berkata, "Barang yang kita pesan hampir tiba di pelabuhan. Seharusnya kapal mereka merapat dalam beberapa jam."Mendengar itu, Lucas segera siaga. Matanya menyipit, dan ia merenggangkan bahu, seolah rasa kantuknya hilang seketika. "Apakah semuanya berjalan sesuai rencana?""Sejauh ini, iya. Tapi kita harus bergerak cepat. Jika tidak mau ada masalah."Lucas mengangguk. Ia segera mengambil ponsel dari meja samping dan menelepon Vaga, tangan kanan sekaligus orang yang paling dipercayainya dalam urusan lapangan. Sambungan tersambung dalam beberapa detik."Vaga," kata Lucas tegas, "barang kita hampir sampai di pelabuhan. A