Lucas membawa Numa ke penthouse pribadinya, sebuah tempat mewah di puncak gedung tinggi dengan pemandangan kota yang gemerlap di malam hari. Interiornya elegan dan modern, dipenuhi furnitur mahal yang dipilih dengan selera tinggi. Jendela besar membingkai langit kota dengan sempurna, memberikan nuansa privat namun tak terpisahkan dari kehidupan malam di luar sana.
Saat mereka memasuki penthouse, Lucas melepaskan jasnya dan melemparkannya ke sofa. Ia melirik Numa yang berdiri di dekat pintu, tampak sedikit gugup meskipun berusaha terlihat santai. “Buat dirimu nyaman!" ucap Lucas sambil berjalan menuju dapur kecil di sudut ruangan. “Mau minum apa? Anggur atau champagne?” Numa tersenyum tipis. “Champagne sepertinya cocok malam ini.” Lucas membuka sebotol champagne dengan gerakan cekatan, menuangkannya ke dua gelas kristal dan kembali ke ruang utama. Ia menyerahkan satu gelas pada Numa, menatapnya dengan intens. Numa menyesap minumannya, berusaha mengendalikan diri agar tidak terlihat terlalu tegang. Ia tahu bahwa setiap langkahnya malam ini penting—Lucas harus merasa nyaman dan percaya, tanpa curiga sedikit pun. “Kau terlihat gugup,” kata Lucas sambil duduk di sofa dan menepuk tempat kosong di sampingnya. “Tenang saja. Aku tidak menggigit.” Numa tertawa kecil, lalu mengambil tempat di sebelahnya. “Maaf, aku hanya tidak terbiasa berada di tempat semewah ini.” Lucas mengangkat alisnya, matanya penuh rasa ingin tahu. “Kau pasti bercanda. Wanita seperti kau pasti sudah sering diajak ke tempat-tempat seperti ini.” “Tidak seberapa,” jawab Numa sambil tersenyum lembut. “Tapi, penthouse ini memang luar biasa. Pemandangannya juga...” Lucas mengangguk, mengalihkan pandangannya ke jendela besar di hadapannya. “Aku suka berada di sini. Tempat ini membuatku merasa seperti sedang mengendalikan semuanya, melihat dunia dari atas.” Numa menatap Lucas dengan lebih dalam. Sekilas, ia bisa merasakan bahwa di balik sosok keras dan dingin pria itu, ada seseorang yang menikmati kekuasaan namun juga menyimpan kesepian. Mungkin ini adalah titik lemah yang bisa ia manfaatkan—mendekatinya bukan hanya sebagai agen, tapi sebagai seseorang yang bisa mengisi kekosongan itu. Lucas menoleh kembali ke arahnya, dan untuk beberapa saat, mereka hanya saling bertatapan tanpa kata. Ada ketegangan yang tak bisa diabaikan di antara mereka, ketegangan yang memicu sesuatu di dalam diri Numa, meski ia tahu itu salah. “Kau tahu, aku jarang membawa orang ke sini,” kata Lucas dengan nada lebih lembut. “Tapi aku merasa berbeda saat bersamamu.” Numa menelan ludah. Ia tahu bahwa ia harus berhati-hati agar tidak terlalu terjebak dalam permainan ini. Tapi entah mengapa, perhatian Lucas yang intens membuatnya merasa rentan. Ia harus tetap fokus—ini semua hanya bagian dari rencana. “Kenapa berbeda?” Numa akhirnya bertanya, mencoba menggali lebih dalam. Lucas menyesap champagne-nya sebelum menjawab, “Aku merasa kau bukan seperti wanita-wanita lain. Ada sesuatu dalam dirimu yang membuatku ingin lebih mengenalmu, lebih dekat denganmu." Numa menahan napas. Kata-kata itu terasa terlalu nyata, dan ia harus menegaskan pada dirinya sendiri bahwa ini hanya tipu daya, meski sebagian kecil dari hatinya mulai meragukan itu. Lucas menurunkan gelasnya dan mengulurkan tangan, menyentuh lembut jemari Numa. “Kau tahu, aku bukan pria yang sabar. Kalau aku menginginkan sesuatu, aku akan mendapatkannya.” Numa merasa tubuhnya menegang sesaat, tapi ia menutupi rasa gugupnya dengan senyum tipis. “Dan apa yang kau inginkan malam ini, Lucas?” Lucas tersenyum samar, lalu menarik Numa lebih dekat, hingga hanya ada sedikit jarak di antara mereka. “Aku ingin menikmati malam ini bersamamu. Tanpa kebohongan, tanpa gangguan. Hanya kita.” Numa menahan napas, mencoba menenangkan debaran jantungnya. Ia tahu bahwa ia harus berhati-hati dengan setiap langkahnya. Tapi ketika Lucas menyelipkan jemarinya ke rambutnya dan mendekatkan wajah mereka, ia tahu bahwa malam ini akan menjadi ujian terberat bagi misinya. Tanpa berkata-kata lagi, Lucas mengecup bibir Numa dengan lembut. Ciumannya tidak terburu-buru, penuh kendali namun tetap menggoda. Numa merasa tubuhnya bereaksi, meskipun ia tahu bahwa ia tidak boleh larut dalam momen ini. Namun, pesona Lucas terlalu kuat, dan untuk sejenak, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam keintiman itu. Lucas menarik diri perlahan, menatap Numa dengan sorot mata yang tajam namun lembut. “Kau baik-baik saja?” tanyanya pelan. Numa mengangguk, meski hatinya masih berdebar kencang. “Aku baik-baik saja.” “Bagus.” Lucas tersenyum puas, lalu berdiri dan mengulurkan tangannya. “Ayo, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu!" Numa menggenggam tangannya, membiarkan Lucas membawanya ke balkon besar yang menghadap seluruh kota. Angin malam menyapa lembut, membuat rambutnya sedikit berkibar. Lucas berdiri di sampingnya, menatap pemandangan kota yang gemerlap. “Kau lihat semua itu?” kata Lucas sambil menunjuk ke arah lampu-lampu yang berkilauan. “Itu semua milikku. Setiap sudut kota ini ada di bawah kendaliku.” Numa menatapnya, berusaha membaca apa yang ada di balik kata-katanya. “Dan kau tidak merasa lelah?” tanyanya pelan. Lucas tertawa kecil. “Terkadang. Tapi kekuasaan adalah candu, Numa. Begitu kau memilikinya, kau tidak ingin melepaskannya.” Numa merasa ada ketulusan dalam kata-kata Lucas, dan itu membuatnya semakin sulit memisahkan antara peran yang ia mainkan dan perasaan yang mulai tumbuh. “Dan bagaimana kalau suatu saat semuanya berubah?” tanya Numa, menatap Lucas dengan serius. Lucas menoleh padanya, senyumnya memudar sedikit. “Maksudmu?” “Bagaimana kalau kekuasaanmu hilang? Atau ada orang yang berusaha menjatuhkanmu?” Lucas menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba mencari tahu apa maksud sebenarnya di balik pertanyaan itu. “Mereka bisa mencoba,” ujarnya dengan nada dingin. “Tapi mereka tidak akan berhasil.” Numa merasa tenggorokannya mengering. Ia tahu bahwa Lucas bukan pria biasa—ia adalah sosok yang berbahaya dan tak kenal ampun. Namun, semakin dekat ia dengan pria itu, semakin sulit baginya untuk mengingat bahwa Lucas adalah musuhnya. Dan di malam itu, di bawah langit kota yang gemerlap, Numa hanya bisa berharap bahwa ia tidak akan kehilangan kendali sebelum misinya selesai.Angin malam berembus lembut di balkon penthouse, membuat suasana semakin intim. Di tengah ketenangan itu, tiba-tiba ponsel Numa bergetar di dalam tasnya. Ia terkejut sejenak, tapi berusaha tetap tenang. Dengan cepat, ia membuka tasnya dan melihat nama Lisa tertera di layar—pesan dari rekan kerjanya di tim intelijen. Numa membaca sekilas: "Ada pergerakan di pelabuhan. Pastikan kau tetap dalam kendali." Jantung Numa berdegup kencang. Ia tahu pesan itu penting, namun keberadaannya bersama Lucas saat ini membuat situasi jadi sangat rumit. Tanpa berpikir panjang, ia segera mematikan ponselnya dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Namun, Lucas memperhatikan setiap gerakan itu dengan tatapan tajam, seperti seorang pemangsa yang mencurigai mangsanya. Ia memiringkan kepalanya sedikit dan bertanya dengan nada dingin. “Apa itu?” Numa tersenyum gugup, mencoba menenangkan dirinya. “Bukan apa-apa. Hanya pesan tak penting.” Lucas tidak segera menjawab. Ia mempersempit matanya, seakan mencob
Di tengah hingar-bingar musik dan cahaya remang-remang, Lucas Zander Maxime duduk santai di sofa kulit mewah. Bourbon di tangannya terasa hangat di tenggorokan, menghilangkan sedikit ketegangan dari aksinya malam itu. Ia terbiasa dengan adrenalin dan kekacauan, namun kini ia hanya ingin menikmati ketenangan sementara. Saat Lucas melirik ke arah pintu, seorang wanita bergaun hitam mencuri perhatiannya. Anggun, percaya diri, dan tampak berbeda dari perempuan-perempuan lain di tempat itu. Wanita itu berjalan dengan langkah tenang dan memancarkan aura yang sulit diabaikan. Tatapan Lucas bertahan lebih lama dari seharusnya—dan saat wanita itu melihat ke arahnya, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis. Tanpa ragu, Lucas memberi isyarat dengan mengangkat gelasnya sedikit. Wanita itu menangkap sinyal dan, dengan senyum yang masih bertahan, berjalan mendekat. Ia mengambil tempat di sofa di hadapan Lucas, menggerakkan rambutnya ke belakang telinga dengan gerakan ringan. "Kau baru di si
Lucas tiba di markasnya, sebuah mansion mewah di pinggiran kota yang dilengkapi dengan keamanan tingkat tinggi. Pintu gerbang besar yang terbuat dari besi otomatis terbuka, memperlihatkan halaman luas dengan air mancur yang memancarkan cahaya keemasan. Mobil hitam yang dikendarainya berhenti tepat di depan pintu utama. Seorang pelayan membukakan pintu mobil, dan Lucas keluar dengan gaya khasnya—tenang, penuh percaya diri, namun selalu terlihat mematikan. Begitu ia memasuki ruangan utama, langkahnya disambut oleh suara tumit sepatu Aurel, seorang wanita berambut hitam panjang dengan wajah serius namun memikat. Aurel adalah salah satu pekerja paling dipercaya di bisnis Lucas, memiliki bakat mengurus segala hal, mulai dari operasional hingga manajemen keuangan. Wanita itu sudah menunggu dengan dokumen di tangannya, siap memberikan laporan harian. "Selamat malam, tuan Lucas! Bisnis kita semakin berkembang pesat. Operasi pengiriman terakhir berjalan mulus, dan beberapa pelanggan besar da
Pagi masih terasa dingin ketika Aurel berdiri di depan pintu kamar Lucas. Ia mengetuk dua kali, lalu menunggu. Suara langkah kaki terdengar dari dalam, dan tak lama kemudian pintu terbuka. Lucas muncul dengan tubuh kekar dan rambut acak-acakan, hanya mengenakan celana panjang kasual."Ada apa, Aurel?" tanya Lucas dengan suara serak.Aurel memandangnya dengan dingin, lalu berkata, "Barang yang kita pesan hampir tiba di pelabuhan. Seharusnya kapal mereka merapat dalam beberapa jam."Mendengar itu, Lucas segera siaga. Matanya menyipit, dan ia merenggangkan bahu, seolah rasa kantuknya hilang seketika. "Apakah semuanya berjalan sesuai rencana?""Sejauh ini, iya. Tapi kita harus bergerak cepat. Jika tidak mau ada masalah."Lucas mengangguk. Ia segera mengambil ponsel dari meja samping dan menelepon Vaga, tangan kanan sekaligus orang yang paling dipercayainya dalam urusan lapangan. Sambungan tersambung dalam beberapa detik."Vaga," kata Lucas tegas, "barang kita hampir sampai di pelabuhan. A
Numa duduk di sudut club yang remang-remang, membaur dengan keramaian. Asap rokok dan dentuman musik mengisi udara, membuat tempat itu terasa penuh energi malam. Pakaian yang dikenakannya malam ini jauh lebih menggoda—gaun hitam ketat dengan belahan tinggi di paha dan punggung terbuka, memamerkan pesonanya tanpa terlihat terlalu mencolok. Ia sudah tahu Lucas mungkin akan kembali ke sini, dan ia harus memastikan misi ini tetap berjalan dengan sempurna.Beberapa jam sebelumnya, Numa menerima pesan penting dari rekannya yang sedang menyelidiki aktivitas di pelabuhan. Foto-foto yang dikirim menunjukkan beberapa pria dengan truk besar sedang memuat peti-peti mencurigakan. Truk itu teridentifikasi menuju ke gudang yang dikenal sebagai salah satu titik distribusi barang ilegal milik Lucas."Barang itu sudah sampai. Lucas menggerakkan sesuatu yang besar," kata rekannya melalui telepon singkat.Numa tahu bahwa ini adalah celah untuk menggali informasi lebih dalam. Jika ia bisa mendekatkan diri