Angin malam berembus lembut di balkon penthouse, membuat suasana semakin intim. Di tengah ketenangan itu, tiba-tiba ponsel Numa bergetar di dalam tasnya. Ia terkejut sejenak, tapi berusaha tetap tenang. Dengan cepat, ia membuka tasnya dan melihat nama Lisa tertera di layar—pesan dari rekan kerjanya di tim intelijen.
Numa membaca sekilas: "Ada pergerakan di pelabuhan. Pastikan kau tetap dalam kendali." Jantung Numa berdegup kencang. Ia tahu pesan itu penting, namun keberadaannya bersama Lucas saat ini membuat situasi jadi sangat rumit. Tanpa berpikir panjang, ia segera mematikan ponselnya dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Namun, Lucas memperhatikan setiap gerakan itu dengan tatapan tajam, seperti seorang pemangsa yang mencurigai mangsanya. Ia memiringkan kepalanya sedikit dan bertanya dengan nada dingin. “Apa itu?” Numa tersenyum gugup, mencoba menenangkan dirinya. “Bukan apa-apa. Hanya pesan tak penting.” Lucas tidak segera menjawab. Ia mempersempit matanya, seakan mencoba membaca ekspresi Numa, mencari tanda-tanda kebohongan. Pria itu sudah terlalu lama hidup dalam dunia penuh tipu daya dan pengkhianatan—instingnya tajam, dan ia selalu waspada. “Kau yakin?” tanyanya lagi, suaranya rendah namun penuh tekanan. Numa menahan napas sejenak sebelum menjawab. “Ya. Mungkin hanya pesan promosi, tidak perlu dikhawatirkan.” Lucas menatapnya beberapa detik lebih lama, lalu tersenyum tipis. “Kau terlalu cantik untuk dibebani hal-hal remeh seperti itu.” Numa menghela napas lega dalam hati, meski tahu bahwa kecurigaan Lucas mungkin belum sepenuhnya hilang. Pria itu bisa saja mencurigai sesuatu, tapi ia memilih untuk tidak menekannya lebih jauh. Lucas mendekat, menggenggam tangan Numa dengan lembut. “Mari lupakan soal ponsel itu! Aku ingin menikmati malam ini bersamamu!" Ia membawa Numa masuk ke ruang utama penthouse yang dipenuhi lampu-lampu temaram. Musik jazz lembut terdengar dari speaker tersembunyi di sudut ruangan, menciptakan atmosfer romantis yang sempurna. Lucas memandang Numa dengan mata yang menyala penuh gairah. “Maukah kau berdansa denganku?” Tanpa menunggu jawaban, Lucas menariknya ke tengah ruangan. Tubuh mereka saling mendekat, dan Numa bisa merasakan detak jantungnya semakin tak beraturan. Lucas menggerakkan tubuhnya dengan anggun, memimpin dansa itu seolah mereka sudah sering melakukannya bersama. "Ini tidak adil," gumam Numa, setengah bercanda. "Kau menari terlalu bagus." Lucas tersenyum, senyum yang penuh percaya diri dan sedikit menggoda. “Banyak hal yang bisa kulakukan dengan baik, Numa. Kau akan segera mengetahuinya." Mereka terus berdansa dengan langkah-langkah perlahan namun intim. Lucas mempererat pelukannya, membuat tubuh Numa semakin dekat dengan miliknya. Ia memutar Numa sekali, lalu menariknya kembali ke dadanya dengan gerakan yang halus namun kuat. “Sepertinya kau tidak keberatan, bukan?” Lucas berbisik di telinganya. Numa menelan ludah, mencoba mengendalikan perasaan yang campur aduk di dalam dirinya. “Aku rasa… tidak.” Saat itu juga, Lucas menghentikan gerakan mereka, dan tanpa peringatan, ia menunduk untuk mencium Numa. Bibir mereka bertemu dalam ciuman yang intens, panas, dan dalam. Ciuman itu begitu mendalam hingga Numa merasa sulit membedakan apakah ini hanya sandiwara atau sesuatu yang lebih. Ia seharusnya tidak terlibat sejauh ini, namun Lucas memiliki daya tarik yang sulit ia tolak. Lucas menarik tubuhnya semakin dekat, memeluk pinggang Numa erat-erat. Numa merasakan desiran emosi yang kuat, campuran dari adrenalin, ketegangan, dan ketakutan. Ia tahu setiap detik yang dihabiskan bersama Lucas adalah langkah lebih dekat menuju bahaya, namun di saat yang sama, ia merasa semakin terjerat dalam pesona pria itu. Ciuman itu berakhir perlahan, dan Lucas menatap Numa dengan mata yang berkilat penuh keinginan. "Kau benar-benar membuatku kehilangan kendali," gumamnya dengan suara serak. Numa hanya bisa tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Mungkin itu tidak terlalu buruk," balasnya dengan nada menggoda, meski hatinya berdebar kencang. Lucas tertawa kecil, lalu mengusap pipinya dengan lembut. "Aku senang kau ada di sini malam ini, Numa. Aku tak ingin malam ini berakhir." Numa mengangguk, meski di dalam hatinya ia tahu bahwa kebersamaan ini hanya bagian dari misinya—misi yang semakin berisiko dengan setiap momen yang mereka habiskan bersama. Namun, sebelum ia bisa memikirkan lebih jauh, Lucas menariknya lagi ke dalam pelukan. Mereka kembali berdansa perlahan, kali ini dengan keintiman yang lebih mendalam, seolah-olah dunia di luar sana tak lagi penting. Tetapi di balik semua itu, Numa tahu bahwa malam ini hanyalah ketenangan sebelum badai besar datang. Di luar sana, rekan-rekannya tengah memantau pelabuhan dan mungkin menemukan sesuatu yang besar—sesuatu yang bisa menjadi akhir dari kekaisaran Lucas Zander Maxime. Dan ketika saat itu tiba, Numa harus siap. Tidak peduli seberapa jauh ia telah terlibat atau seberapa dalam perasaannya telah terjerat, tugasnya harus tetap diutamakan. Namun untuk saat ini, ia membiarkan dirinya menikmati kebersamaan dengan Lucas. Sebab di dunia yang penuh kebohongan dan pengkhianatan, momen-momen seperti ini mungkin tidak akan datang dua kali. ÷÷÷ Di tengah kehangatan malam itu, Lucas kembali mencium Numa, tapi kali ini lebih dalam dan menggairahkan. Bibir mereka bertaut dengan panas, dan mereka saling beradu lidah dengan penuh nafsu, seakan lupa bahwa dunia di luar sana masih berputar. Numa bisa merasakan tangan Lucas melingkari pinggangnya, menariknya lebih dekat, seolah tak ingin ada jarak di antara mereka. Ciuman itu semakin menuntut ketika Lucas turun ke leher Numa. Bibirnya meninggalkan jejak-jejak lembut dan gigitan kecil di sepanjang kulit Numa, membuat wanita itu menggigit bibir, menahan desahan yang hampir keluar. Setiap sentuhan Lucas seolah mengalirkan panas ke seluruh tubuhnya, membuat Numa semakin sulit membedakan apakah ini sekadar sandiwara atau ia benar-benar tenggelam dalam pesona pria itu. Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, Lucas akhirnya menghentikan gerakannya dan melirik Numa dengan senyum puas. Ia mengangkat tangannya, mematikan musik yang masih mengalun pelan dari speaker, menciptakan suasana sunyi yang hanya dipenuhi oleh napas mereka yang memburu. Lucas menggenggam kedua tangan Numa dengan erat, tatapannya lembut tapi serius. "Numa…" Suaranya rendah dan dalam, membuat dada Numa bergetar. "Aku tidak ingin ini hanya sebatas malam yang indah." Numa menelan ludah, jantungnya berdetak kencang. “Maksudmu?” tanyanya, berusaha tetap tenang meski pikirannya berputar kencang. Lucas menatapnya penuh keyakinan. “Aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Kau berbeda.” Ia mengusap ibu jarinya di punggung tangan Numa, mencoba menyampaikan ketulusannya. "Aku ingin kau jadi milikku. Bukan untuk malam ini saja, tapi seterusnya. Maukah kau menjadi kekasihku?" Numa terkejut. Kata-kata itu seperti sambaran petir di benaknya. Ia tak pernah menyangka bahwa Lucas akan secepat ini menyatakan perasaannya. Ini adalah perkembangan besar—peluang emas untuk misinya. Jika ia menerima, maka posisinya di dekat Lucas akan semakin kuat, dan itu berarti lebih mudah baginya untuk mendapatkan semua informasi yang dibutuhkan. Namun di saat yang sama, Numa merasa gentar. Ia tahu apa artinya menjadi kekasih seorang pria seperti Lucas: keterikatan emosional, ancaman konstan, dan bahaya yang selalu mengintai. Tapi ia juga tahu bahwa tugasnya adalah prioritas, dan ini mungkin satu-satunya kesempatan terbaik yang bisa ia dapatkan. Numa menarik napas dalam-dalam dan menatap mata Lucas yang masih menunggunya dengan sabar. “Lucas…” Ia tersenyum, meski di dalam hatinya berkecamuk. “Ya, aku mau.” Lucas tersenyum lebar, lalu menarik Numa ke dalam pelukan erat, seolah ia baru saja memenangkan harta paling berharga di dunia. Di balik pelukan itu, Numa menutup mata sejenak, berusaha menenangkan pikirannya. Ia tahu, ini bukan sekadar langkah besar dalam misinya—ini adalah awal dari permainan berbahaya yang akan menguji batas dirinya. Dan ia harus siap menghadapi segalanya.Di tengah hingar-bingar musik dan cahaya remang-remang, Lucas Zander Maxime duduk santai di sofa kulit mewah. Bourbon di tangannya terasa hangat di tenggorokan, menghilangkan sedikit ketegangan dari aksinya malam itu. Ia terbiasa dengan adrenalin dan kekacauan, namun kini ia hanya ingin menikmati ketenangan sementara. Saat Lucas melirik ke arah pintu, seorang wanita bergaun hitam mencuri perhatiannya. Anggun, percaya diri, dan tampak berbeda dari perempuan-perempuan lain di tempat itu. Wanita itu berjalan dengan langkah tenang dan memancarkan aura yang sulit diabaikan. Tatapan Lucas bertahan lebih lama dari seharusnya—dan saat wanita itu melihat ke arahnya, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis. Tanpa ragu, Lucas memberi isyarat dengan mengangkat gelasnya sedikit. Wanita itu menangkap sinyal dan, dengan senyum yang masih bertahan, berjalan mendekat. Ia mengambil tempat di sofa di hadapan Lucas, menggerakkan rambutnya ke belakang telinga dengan gerakan ringan. "Kau baru di si
Lucas tiba di markasnya, sebuah mansion mewah di pinggiran kota yang dilengkapi dengan keamanan tingkat tinggi. Pintu gerbang besar yang terbuat dari besi otomatis terbuka, memperlihatkan halaman luas dengan air mancur yang memancarkan cahaya keemasan. Mobil hitam yang dikendarainya berhenti tepat di depan pintu utama. Seorang pelayan membukakan pintu mobil, dan Lucas keluar dengan gaya khasnya—tenang, penuh percaya diri, namun selalu terlihat mematikan. Begitu ia memasuki ruangan utama, langkahnya disambut oleh suara tumit sepatu Aurel, seorang wanita berambut hitam panjang dengan wajah serius namun memikat. Aurel adalah salah satu pekerja paling dipercaya di bisnis Lucas, memiliki bakat mengurus segala hal, mulai dari operasional hingga manajemen keuangan. Wanita itu sudah menunggu dengan dokumen di tangannya, siap memberikan laporan harian. "Selamat malam, tuan Lucas! Bisnis kita semakin berkembang pesat. Operasi pengiriman terakhir berjalan mulus, dan beberapa pelanggan besar da
Pagi masih terasa dingin ketika Aurel berdiri di depan pintu kamar Lucas. Ia mengetuk dua kali, lalu menunggu. Suara langkah kaki terdengar dari dalam, dan tak lama kemudian pintu terbuka. Lucas muncul dengan tubuh kekar dan rambut acak-acakan, hanya mengenakan celana panjang kasual."Ada apa, Aurel?" tanya Lucas dengan suara serak.Aurel memandangnya dengan dingin, lalu berkata, "Barang yang kita pesan hampir tiba di pelabuhan. Seharusnya kapal mereka merapat dalam beberapa jam."Mendengar itu, Lucas segera siaga. Matanya menyipit, dan ia merenggangkan bahu, seolah rasa kantuknya hilang seketika. "Apakah semuanya berjalan sesuai rencana?""Sejauh ini, iya. Tapi kita harus bergerak cepat. Jika tidak mau ada masalah."Lucas mengangguk. Ia segera mengambil ponsel dari meja samping dan menelepon Vaga, tangan kanan sekaligus orang yang paling dipercayainya dalam urusan lapangan. Sambungan tersambung dalam beberapa detik."Vaga," kata Lucas tegas, "barang kita hampir sampai di pelabuhan. A
Numa duduk di sudut club yang remang-remang, membaur dengan keramaian. Asap rokok dan dentuman musik mengisi udara, membuat tempat itu terasa penuh energi malam. Pakaian yang dikenakannya malam ini jauh lebih menggoda—gaun hitam ketat dengan belahan tinggi di paha dan punggung terbuka, memamerkan pesonanya tanpa terlihat terlalu mencolok. Ia sudah tahu Lucas mungkin akan kembali ke sini, dan ia harus memastikan misi ini tetap berjalan dengan sempurna.Beberapa jam sebelumnya, Numa menerima pesan penting dari rekannya yang sedang menyelidiki aktivitas di pelabuhan. Foto-foto yang dikirim menunjukkan beberapa pria dengan truk besar sedang memuat peti-peti mencurigakan. Truk itu teridentifikasi menuju ke gudang yang dikenal sebagai salah satu titik distribusi barang ilegal milik Lucas."Barang itu sudah sampai. Lucas menggerakkan sesuatu yang besar," kata rekannya melalui telepon singkat.Numa tahu bahwa ini adalah celah untuk menggali informasi lebih dalam. Jika ia bisa mendekatkan diri
Lucas membawa Numa ke penthouse pribadinya, sebuah tempat mewah di puncak gedung tinggi dengan pemandangan kota yang gemerlap di malam hari. Interiornya elegan dan modern, dipenuhi furnitur mahal yang dipilih dengan selera tinggi. Jendela besar membingkai langit kota dengan sempurna, memberikan nuansa privat namun tak terpisahkan dari kehidupan malam di luar sana. Saat mereka memasuki penthouse, Lucas melepaskan jasnya dan melemparkannya ke sofa. Ia melirik Numa yang berdiri di dekat pintu, tampak sedikit gugup meskipun berusaha terlihat santai. “Buat dirimu nyaman!" ucap Lucas sambil berjalan menuju dapur kecil di sudut ruangan. “Mau minum apa? Anggur atau champagne?” Numa tersenyum tipis. “Champagne sepertinya cocok malam ini.” Lucas membuka sebotol champagne dengan gerakan cekatan, menuangkannya ke dua gelas kristal dan kembali ke ruang utama. Ia menyerahkan satu gelas pada Numa, menatapnya dengan intens. Numa menyesap minumannya, berusaha mengendalikan diri agar tidak terlihat