Di tengah hingar-bingar musik dan cahaya remang-remang, Lucas Zander Maxime duduk santai di sofa kulit mewah. Bourbon di tangannya terasa hangat di tenggorokan, menghilangkan sedikit ketegangan dari aksinya malam itu. Ia terbiasa dengan adrenalin dan kekacauan, namun kini ia hanya ingin menikmati ketenangan sementara.
Saat Lucas melirik ke arah pintu, seorang wanita bergaun hitam mencuri perhatiannya. Anggun, percaya diri, dan tampak berbeda dari perempuan-perempuan lain di tempat itu. Wanita itu berjalan dengan langkah tenang dan memancarkan aura yang sulit diabaikan. Tatapan Lucas bertahan lebih lama dari seharusnya—dan saat wanita itu melihat ke arahnya, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis. Tanpa ragu, Lucas memberi isyarat dengan mengangkat gelasnya sedikit. Wanita itu menangkap sinyal dan, dengan senyum yang masih bertahan, berjalan mendekat. Ia mengambil tempat di sofa di hadapan Lucas, menggerakkan rambutnya ke belakang telinga dengan gerakan ringan. "Kau baru di sini ya?" tanya Lucas, suaranya rendah namun penuh kesan mendalam. Wanita itu tersenyum samar, "Ya aku baru pertama kali datang ke tempat ini. Kau sendiri?" Lucas berbicara sambil menyesap minumannya, "Aku sering ke sini... kalau sedang ingin merasa tenang. Tapi biasanya aku tak pernah melihat seseorang seperti dirimu di sini." "Seseorang seperti aku?" ia mengangkat alisnya, sedikit menantang. "Maksudmu?" tanyanya heran. Lucas terkekeh, senyumnya melengkung kecil. "Cantik, pintar, dan... terlihat tak mudah didekati." Wanita itu tertawa ringan. "Kau cukup berani menyimpulkan itu hanya dari satu pertemuan." Lucas mencondongkan tubuhnya sedikit, "Tapi aku yakin kesimpulanku itu tidak salah." Seketika, suasana terasa lebih santai di antara mereka. Lucas meletakkan gelasnya di meja, lalu menyandarkan tubuhnya dengan nyaman. Tatapannya tak lepas dari mata Numa, seakan mencari sesuatu yang lebih dalam dari sekadar percakapan ringan. Lucas kembali mulai bicara, "Kita sudah saling bicara, tapi aku belum tahu siapa namamu." Wanita itu tersenyum, menyadari inilah saatnya ia memainkan perannya dengan sempurna. "Namaku Numa... Numa Kamala." Lucas mengangguk, seolah-olah menyimpan nama itu di ingatannya. "Numa, ya? Nama yang unik." "Dan siapa yang kuajak bicara malam ini? Kau belum mengenalkan dirimu," tanya Numa. Lucas menatapnya sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Lucas Zander Maxime." Ia menyeringai tipis. "Tapi kau bisa memanggilku Lucas!" Numa berpura-pura tak terpengaruh, "Nama yang cukup terkenal di kota ini." Lucas tertawa kecil, "Jadi, kau tahu siapa aku?" Numa mengangkat bahunya, "Siapa yang tidak tahu? Kau cukup terkenal... dengan segala reputasimu." Lucas menyipitkan mata, tersenyum penuh arti. "Dan itu tidak membuatmu takut?" Numa menatap langsung ke mata Lucas dan berbicara, "Haruskah aku merasa takut?" Lucas terdiam sejenak, menikmati keberanian wanita di depannya. Kebanyakan orang menghindar atau bersikap gugup di hadapannya. Tapi Numa? Ia justru tampak nyaman dan percaya diri. "Kau menarik, Numa. Sangat berbeda dari yang lain," ucap Lucas. Numa tertawa pelan, menyembunyikan keterampilannya dalam memanipulasi suasana. "Mungkin karena aku tidak mudah menilai orang hanya dari apa yang dikatakan orang lain." "Itu cara pandang yang... langka." Lucas mengamati wajah Numa dengan seksama. "Lalu, apa alasanmu berada di sini malam ini?" tanyanya. "Aku hanya mencari suasana baru. Hidup ini kadang terlalu monoton, bukan?" jawab Numa dengan santai. Lucas menyandarkan tubuhnya, merasa semakin nyaman dengan wanita di depannya. "Kau tahu," ucapnya perlahan, "Aku rasa aku menyukai caramu memandang dunia." Numa tersenyum kecil. "Dan aku rasa, kau bukan seperti yang mereka katakan." Lucas terdiam sesaat, tatapannya berubah serius. "Atau mungkin kau belum melihat semua sisi gelapku." Numa berbicara sambil menyesap minumannya, "Aku tak takut dengan kegelapan." Lucas terkekeh, merasa semakin terpesona. "Berbahaya sekali wanita sepertimu." "Berbahaya bagaimana?" tanya Numa. Lucas tersenyum tipis, "Kau bisa membuatku tidak ingin melepaskanmu." Mereka saling bertukar pandang, dan dalam keheningan sesaat itu, ada ketegangan samar yang sulit dijelaskan. Numa tahu bahwa ia berhasil memancing perhatian Lucas—tapi semakin lama percakapan berlangsung, ia merasa semakin waspada pada dirinya sendiri. Tugas ini tak hanya tentang memikat Lucas. Ia harus menjaga jarak emosional agar tidak terjebak dalam pesona pria itu. Namun, Lucas terlalu berbeda dari apa yang ia bayangkan. Lucas mengulurkan tangannya, "Bagaimana kalau kita bertemu lagi lain kali? Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu, Numa." Numa, setelah jeda singkat, menyambut uluran tangannya. "Aku tak keberatan." Lucas menggenggam tangannya dengan erat, matanya menatap Numa seakan menjanjikan sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan singkat. "Sampai jumpa lagi, Numa Kamala," ucapnya dengan nada rendah yang penuh arti. Saat Numa meninggalkan klub malam itu, angin dingin malam menyambutnya. Di balik senyum yang masih menghiasi wajahnya, hatinya dipenuhi kebimbangan. Lucas Zander Maxime bukan sekadar target berbahaya—ia sosok penuh teka-teki, dan entah mengapa, Numa merasa bahwa misi ini akan lebih sulit dari yang ia kira. ÷÷÷ Setelah Numa meninggalkan klub, Lucas menyandarkan tubuhnya di sofa dan menyesap bourbon terakhir dari gelasnya. Senyum tipis menghiasi wajahnya. Ia bukan pria yang mudah terpikat, tapi pertemuan singkat tadi meninggalkan kesan mendalam. Numa bukan sekadar cantik—ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Lucas tertarik. Seolah-olah wanita itu membawa ketenangan di tengah kekacauan yang selama ini mengelilinginya. Namun, momen itu tak berlangsung lama. Dari arah bayangan, seorang pria bertubuh kekar dengan rahang kokoh dan mata tajam mendekat. Ia adalah Vaga, kaki tangan terdekat sekaligus orang kepercayaan Lucas. Dengan langkah tenang dan mata yang waspada, Vaga menunduk sedikit ke arah bosnya dan berbisik pelan. "Bos, aku perhatikan wanita tadi. Dia... terlihat mencurigakan," kata Vaga. Lucas meletakkan gelasnya di meja dan menatap Vaga dengan senyum samar, seolah-olah tak terganggu oleh peringatan itu. "Mencurigakan bagaimana?" "Dia terlalu sempurna, terlalu mudah menarik perhatianmu. Ini seperti... sebuah jebakan," jelas Vaga. Lucas tertawa kecil, nada tawanya terdengar santai namun penuh arti. "Vaga, kau selalu terlalu paranoid." Vaga mengerutkan dahi, tampak tak nyaman. Ia telah bekerja dengan Lucas cukup lama untuk tahu bahwa firasatnya jarang salah. "Kau tahu bos, di dunia kita ini, orang yang terlihat terlalu baik biasanya membawa masalah." Lucas menatap pria itu sejenak sebelum mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Asap tipis mengepul di udara, menambah suasana misterius di sekitar mereka. "Dengarkan aku, Vaga! Tidak semua orang yang menarik perhatianku harus dianggap ancaman. Terkadang... kita hanya perlu menikmati momennya." Vaga tetap dengan nada waspada, "Momen seperti ini bisa membunuh, bos." Lucas menghembuskan asap dengan perlahan, memandangi Vaga seolah-olah ia sedang berbicara dengan teman lama. "Itu bukan sesuatu yang tidak kuketahui. Tapi percayalah, aku bisa merasakan bahaya dari jauh, dan wanita itu... dia bukan ancaman." Vaga menggertakkan rahangnya, masih merasa tidak nyaman. "Aku tetap akan menyelidiki dia." Lucas menggelengkan kepala, senyumnya masih bertahan. "Jangan terlalu khawatir! Kau tahu aku tidak mudah jatuh dalam jebakan." Ia menepuk bahu Vaga dengan ringan, isyarat agar pria itu menurunkan kewaspadaannya. "Santai saja! Kalau dia memang berniat buruk, aku akan mengetahuinya lebih dulu daripada siapa pun." Meski tak sepenuhnya puas dengan jawaban itu, Vaga tak bisa membantah keputusan bosnya. Ia mengangguk perlahan dan mundur, masih dengan pikiran penuh kewaspadaan. Lucas mengamati kepergian Vaga sambil terus menikmati rokoknya. Dalam hati, ia tahu bahwa intuisi Vaga jarang salah. Namun kali ini, Lucas merasa ada sesuatu yang berbeda. Numa memang mencurigakan, tapi bukan dengan cara yang mengancam—melainkan seperti teka-teki yang ingin ia pecahkan. "Apa dirimu benar-benar seperti yang kau tampakkan, Numa? Atau... ada permainan lain di balik senyum manismu?" batin Lucas. ÷÷÷ Sementara itu, di luar klub, Numa berjalan perlahan, sepatu hak tingginya bergema di atas trotoar. Ia menahan diri untuk tidak menoleh ke belakang. Pikirannya masih penuh dengan percakapan barusan. Ia berhasil membuat kesan pertama yang baik, tapi ia tahu bahwa misi ini masih jauh dari selesai. Lucas bukan pria biasa. Ia memiliki aura yang memabukkan sekaligus mematikan. Di satu sisi, Numa harus tetap waspada agar tidak terjebak dalam pesona pria itu. Namun di sisi lain, ia harus membiarkan Lucas percaya bahwa ia benar-benar tertarik—sampai pria itu membuka celah untuknya. Saat Numa mencapai mobil hitam yang diparkir di ujung jalan, ia mengeluarkan ponsel dan mengetik pesan singkat. Numa: "Pertemuan awal berhasil. Target mulai menunjukkan ketertarikan." Pesan itu terkirim, tapi Numa tahu, ini baru permulaan. Di balik senyum dan obrolan manis tadi, ia bisa merasakan bahwa Lucas tidak sepenuhnya lengah. Mata pria itu terlalu tajam, seolah-olah ia sedang membaca sesuatu yang tersembunyi. "Permainan ini akan lebih sulit dari yang kuduga." batin Numa. Ia menyalakan mesin mobil dan melaju perlahan, meninggalkan klub dan keramaian malam. Dalam pikirannya, ia menyiapkan strategi untuk pertemuan berikutnya. Misi ini tidak hanya tentang mendekati Lucas—ia harus membuat pria itu percaya sepenuhnya, hingga tidak ada keraguan sedikit pun. Dan untuk melakukan itu, Numa harus bermain lebih cerdik daripada sebelumnya.Lucas tiba di markasnya, sebuah mansion mewah di pinggiran kota yang dilengkapi dengan keamanan tingkat tinggi. Pintu gerbang besar yang terbuat dari besi otomatis terbuka, memperlihatkan halaman luas dengan air mancur yang memancarkan cahaya keemasan. Mobil hitam yang dikendarainya berhenti tepat di depan pintu utama. Seorang pelayan membukakan pintu mobil, dan Lucas keluar dengan gaya khasnya—tenang, penuh percaya diri, namun selalu terlihat mematikan. Begitu ia memasuki ruangan utama, langkahnya disambut oleh suara tumit sepatu Aurel, seorang wanita berambut hitam panjang dengan wajah serius namun memikat. Aurel adalah salah satu pekerja paling dipercaya di bisnis Lucas, memiliki bakat mengurus segala hal, mulai dari operasional hingga manajemen keuangan. Wanita itu sudah menunggu dengan dokumen di tangannya, siap memberikan laporan harian. "Selamat malam, tuan Lucas! Bisnis kita semakin berkembang pesat. Operasi pengiriman terakhir berjalan mulus, dan beberapa pelanggan besar da
Pagi masih terasa dingin ketika Aurel berdiri di depan pintu kamar Lucas. Ia mengetuk dua kali, lalu menunggu. Suara langkah kaki terdengar dari dalam, dan tak lama kemudian pintu terbuka. Lucas muncul dengan tubuh kekar dan rambut acak-acakan, hanya mengenakan celana panjang kasual."Ada apa, Aurel?" tanya Lucas dengan suara serak.Aurel memandangnya dengan dingin, lalu berkata, "Barang yang kita pesan hampir tiba di pelabuhan. Seharusnya kapal mereka merapat dalam beberapa jam."Mendengar itu, Lucas segera siaga. Matanya menyipit, dan ia merenggangkan bahu, seolah rasa kantuknya hilang seketika. "Apakah semuanya berjalan sesuai rencana?""Sejauh ini, iya. Tapi kita harus bergerak cepat. Jika tidak mau ada masalah."Lucas mengangguk. Ia segera mengambil ponsel dari meja samping dan menelepon Vaga, tangan kanan sekaligus orang yang paling dipercayainya dalam urusan lapangan. Sambungan tersambung dalam beberapa detik."Vaga," kata Lucas tegas, "barang kita hampir sampai di pelabuhan. A
Numa duduk di sudut club yang remang-remang, membaur dengan keramaian. Asap rokok dan dentuman musik mengisi udara, membuat tempat itu terasa penuh energi malam. Pakaian yang dikenakannya malam ini jauh lebih menggoda—gaun hitam ketat dengan belahan tinggi di paha dan punggung terbuka, memamerkan pesonanya tanpa terlihat terlalu mencolok. Ia sudah tahu Lucas mungkin akan kembali ke sini, dan ia harus memastikan misi ini tetap berjalan dengan sempurna.Beberapa jam sebelumnya, Numa menerima pesan penting dari rekannya yang sedang menyelidiki aktivitas di pelabuhan. Foto-foto yang dikirim menunjukkan beberapa pria dengan truk besar sedang memuat peti-peti mencurigakan. Truk itu teridentifikasi menuju ke gudang yang dikenal sebagai salah satu titik distribusi barang ilegal milik Lucas."Barang itu sudah sampai. Lucas menggerakkan sesuatu yang besar," kata rekannya melalui telepon singkat.Numa tahu bahwa ini adalah celah untuk menggali informasi lebih dalam. Jika ia bisa mendekatkan diri
Lucas membawa Numa ke penthouse pribadinya, sebuah tempat mewah di puncak gedung tinggi dengan pemandangan kota yang gemerlap di malam hari. Interiornya elegan dan modern, dipenuhi furnitur mahal yang dipilih dengan selera tinggi. Jendela besar membingkai langit kota dengan sempurna, memberikan nuansa privat namun tak terpisahkan dari kehidupan malam di luar sana. Saat mereka memasuki penthouse, Lucas melepaskan jasnya dan melemparkannya ke sofa. Ia melirik Numa yang berdiri di dekat pintu, tampak sedikit gugup meskipun berusaha terlihat santai. “Buat dirimu nyaman!" ucap Lucas sambil berjalan menuju dapur kecil di sudut ruangan. “Mau minum apa? Anggur atau champagne?” Numa tersenyum tipis. “Champagne sepertinya cocok malam ini.” Lucas membuka sebotol champagne dengan gerakan cekatan, menuangkannya ke dua gelas kristal dan kembali ke ruang utama. Ia menyerahkan satu gelas pada Numa, menatapnya dengan intens. Numa menyesap minumannya, berusaha mengendalikan diri agar tidak terlihat
Angin malam berembus lembut di balkon penthouse, membuat suasana semakin intim. Di tengah ketenangan itu, tiba-tiba ponsel Numa bergetar di dalam tasnya. Ia terkejut sejenak, tapi berusaha tetap tenang. Dengan cepat, ia membuka tasnya dan melihat nama Lisa tertera di layar—pesan dari rekan kerjanya di tim intelijen. Numa membaca sekilas: "Ada pergerakan di pelabuhan. Pastikan kau tetap dalam kendali." Jantung Numa berdegup kencang. Ia tahu pesan itu penting, namun keberadaannya bersama Lucas saat ini membuat situasi jadi sangat rumit. Tanpa berpikir panjang, ia segera mematikan ponselnya dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Namun, Lucas memperhatikan setiap gerakan itu dengan tatapan tajam, seperti seorang pemangsa yang mencurigai mangsanya. Ia memiringkan kepalanya sedikit dan bertanya dengan nada dingin. “Apa itu?” Numa tersenyum gugup, mencoba menenangkan dirinya. “Bukan apa-apa. Hanya pesan tak penting.” Lucas tidak segera menjawab. Ia mempersempit matanya, seakan mencob
Setelah menikmati malam yang penuh gairah, Numa merasa sudah waktunya untuk pamit. Meski ia masih harus menata perasaan dan pikirannya, yang terpenting adalah ia harus segera kembali ke markasnya sebelum seseorang mulai curiga dengan keberadaannya. Dengan nada selembut mungkin, ia berkata, "Lucas, aku harus pulang sekarang. Ini sudah cukup larut." Lucas, yang masih duduk santai di sofa dengan segelas anggur di tangan, menatap Numa sambil tersenyum kecil. "Aku antar kamu pulang." Kalimat itu langsung membuat Numa tersentak. "Tidak perlu, aku bisa sendiri," balasnya cepat. Ia tak bisa membiarkan Lucas tahu di mana ia tinggal atau siapa sebenarnya dirinya. Lucas tertawa kecil, seolah tak menganggap penolakan itu serius. "Kamu kekasihku sekarang, Numa. Tidak mungkin aku biarkan kamu pulang sendirian di tengah malam seperti ini." Numa berusaha menahan rasa panik yang mulai merayap. Otaknya berputar mencari alasan yang masuk akal, tapi Lucas tampak tak mau menerima penolakan lagi. "Aku
Perjalanan truk awal berjalan lancar hingga hampir tiba di gudang yang sudah direncanakan. Namun, firasat buruk tiba-tiba menyergap Lucas. Entah kenapa, ia merasa ada yang tidak beres. Pikirannya berputar cepat, mencoba mencari tahu dari mana perasaan ganjil itu berasal, meskipun tidak ada tanda-tanda bahaya yang jelas. Lucas tiba-tiba memberi perintah tegas, "Berhenti di sini!" Aurel, yang duduk di kursi penumpang, menoleh dengan bingung. "Ada apa, Bos?" Lucas tak memberikan penjelasan panjang. "Pindahkan semua barang ke mobil lain, sekarang juga!" Tanpa protes, Aurel segera menjalankan perintah. Ia tahu bahwa Lucas selalu bertindak cepat dan cermat, terutama dalam situasi berisiko tinggi. Ia mengeluarkan perintah pada anak buah mereka melalui radio, memastikan barang-barang segera dipindahkan tanpa kesulitan. Beberapa anak buah mereka bergerak gesit, memindahkan peti-peti barang dari truk ke dua mobil van yang sudah disiapkan. Semuanya dilakukan dalam senyap, seakan mereka suda
Esok harinya, Aurel berjalan dengan langkah cepat menuju lorong kamar pribadi Lucas Zander Maxime. Pagi itu, bos mafia terganas di kota tersebut baru saja keluar dari kamarnya, mengenakan kemeja hitam yang lengan atasnya sedikit tergulung. Tatapan dinginnya tetap melekat, tapi ada sorot ketegangan di balik matanya. "Ada apa, Aurel?" tanya Lucas sambil mengancingkan kemejanya. Aurel, salah satu orang kepercayaannya, memberikan laporan padanya. "Klien besar dari luar negeri akan segera tiba, bos. Mereka siap melakukan transaksi hari ini seperti yang dijadwalkan." Mendengar kabar itu, seulas senyum tipis muncul di wajah Lucas. Ini adalah kesempatan emas, transaksi ini bisa menjadi lumbung uang besar yang akan memperkuat posisinya dalam dunia bawah tanah. "Bagus," gumam Lucas, lebih pada dirinya sendiri. Ia segera meraih ponselnya dan menelepon orang kepercayaannya, Vaga. "Siapkan tempat transaksi! Pastikan semuanya s
Setelah transaksi besar malam itu berlangsung lancar, Lucas Zander Maxime kembali ke rumah dengan perasaan puas. Senyum tersungging di bibirnya, tanda bahwa malam ini berjalan sesuai rencana. Di sisinya, Aurel mengikuti langkahnya dengan tenang, tak pernah meninggalkan Lucas sendirian saat ia bertugas.Sesampainya di ruang tamu rumah megah itu, Lucas melepas jasnya dan menyerahkannya pada Aurel. "Simpan ini!" ujarnya singkat, namun terdengar lembut dibanding biasanya. Aurel menerima jas itu dan menunduk hormat.Lucas lalu duduk di sofa dengan santai, satu kaki menyilang di atas yang lain. Ia bersandar, menyandarkan kedua tangannya di sandaran sofa dan mengisyaratkan agar Aurel duduk di sebelahnya. "Duduklah!" perintah Lucas singkat, dengan nada yang membuat Aurel tak bisa menolak.Aurel menurut dan duduk di sampingnya, menjaga jarak kecil, meski detak jantungnya sedikit berdetak cepat setiap kali berada dekat dengan bosnya. Lucas meliriknya sekil
Hari yang dinanti-nantikan oleh Lucas Zander Maxime akhirnya tiba—hari di mana transaksi besar dengan klien asing yang penuh misteri itu akan terlaksana. Malam itu, Lucas mempersiapkan dirinya dengan matang. Kemeja hitamnya disesuaikan dengan jas gelap, mempertegas kesan dingin yang selalu ia tampilkan. Dengan langkah mantap, ia melangkah keluar, diikuti oleh asistennya yang setia, Aurel. Mereka masuk ke mobil, dan perjalanan menuju tempat transaksi dimulai.Setibanya di lokasi, Lucas segera keluar dari mobil, tatapannya tajam, menyapu sekeliling untuk memastikan semuanya sesuai dengan rencana. Puluhan anak buahnya sudah berjaga di sekitar area, memastikan tidak ada gangguan yang bisa membahayakan transaksi kali ini. Aurel selalu berada satu langkah di belakang Lucas, siap untuk memenuhi segala perintah. Mereka berjalan menuju ruangan yang telah disiapkan, tempat di mana klien mereka sudah menunggu.Begitu Lucas dan Aurel memasuki ruangan, tampak seorang pria paruh baya dengan setelan
Esok harinya, Aurel berjalan dengan langkah cepat menuju lorong kamar pribadi Lucas Zander Maxime. Pagi itu, bos mafia terganas di kota tersebut baru saja keluar dari kamarnya, mengenakan kemeja hitam yang lengan atasnya sedikit tergulung. Tatapan dinginnya tetap melekat, tapi ada sorot ketegangan di balik matanya. "Ada apa, Aurel?" tanya Lucas sambil mengancingkan kemejanya. Aurel, salah satu orang kepercayaannya, memberikan laporan padanya. "Klien besar dari luar negeri akan segera tiba, bos. Mereka siap melakukan transaksi hari ini seperti yang dijadwalkan." Mendengar kabar itu, seulas senyum tipis muncul di wajah Lucas. Ini adalah kesempatan emas, transaksi ini bisa menjadi lumbung uang besar yang akan memperkuat posisinya dalam dunia bawah tanah. "Bagus," gumam Lucas, lebih pada dirinya sendiri. Ia segera meraih ponselnya dan menelepon orang kepercayaannya, Vaga. "Siapkan tempat transaksi! Pastikan semuanya s
Perjalanan truk awal berjalan lancar hingga hampir tiba di gudang yang sudah direncanakan. Namun, firasat buruk tiba-tiba menyergap Lucas. Entah kenapa, ia merasa ada yang tidak beres. Pikirannya berputar cepat, mencoba mencari tahu dari mana perasaan ganjil itu berasal, meskipun tidak ada tanda-tanda bahaya yang jelas. Lucas tiba-tiba memberi perintah tegas, "Berhenti di sini!" Aurel, yang duduk di kursi penumpang, menoleh dengan bingung. "Ada apa, Bos?" Lucas tak memberikan penjelasan panjang. "Pindahkan semua barang ke mobil lain, sekarang juga!" Tanpa protes, Aurel segera menjalankan perintah. Ia tahu bahwa Lucas selalu bertindak cepat dan cermat, terutama dalam situasi berisiko tinggi. Ia mengeluarkan perintah pada anak buah mereka melalui radio, memastikan barang-barang segera dipindahkan tanpa kesulitan. Beberapa anak buah mereka bergerak gesit, memindahkan peti-peti barang dari truk ke dua mobil van yang sudah disiapkan. Semuanya dilakukan dalam senyap, seakan mereka suda
Setelah menikmati malam yang penuh gairah, Numa merasa sudah waktunya untuk pamit. Meski ia masih harus menata perasaan dan pikirannya, yang terpenting adalah ia harus segera kembali ke markasnya sebelum seseorang mulai curiga dengan keberadaannya. Dengan nada selembut mungkin, ia berkata, "Lucas, aku harus pulang sekarang. Ini sudah cukup larut." Lucas, yang masih duduk santai di sofa dengan segelas anggur di tangan, menatap Numa sambil tersenyum kecil. "Aku antar kamu pulang." Kalimat itu langsung membuat Numa tersentak. "Tidak perlu, aku bisa sendiri," balasnya cepat. Ia tak bisa membiarkan Lucas tahu di mana ia tinggal atau siapa sebenarnya dirinya. Lucas tertawa kecil, seolah tak menganggap penolakan itu serius. "Kamu kekasihku sekarang, Numa. Tidak mungkin aku biarkan kamu pulang sendirian di tengah malam seperti ini." Numa berusaha menahan rasa panik yang mulai merayap. Otaknya berputar mencari alasan yang masuk akal, tapi Lucas tampak tak mau menerima penolakan lagi. "Aku
Angin malam berembus lembut di balkon penthouse, membuat suasana semakin intim. Di tengah ketenangan itu, tiba-tiba ponsel Numa bergetar di dalam tasnya. Ia terkejut sejenak, tapi berusaha tetap tenang. Dengan cepat, ia membuka tasnya dan melihat nama Lisa tertera di layar—pesan dari rekan kerjanya di tim intelijen. Numa membaca sekilas: "Ada pergerakan di pelabuhan. Pastikan kau tetap dalam kendali." Jantung Numa berdegup kencang. Ia tahu pesan itu penting, namun keberadaannya bersama Lucas saat ini membuat situasi jadi sangat rumit. Tanpa berpikir panjang, ia segera mematikan ponselnya dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Namun, Lucas memperhatikan setiap gerakan itu dengan tatapan tajam, seperti seorang pemangsa yang mencurigai mangsanya. Ia memiringkan kepalanya sedikit dan bertanya dengan nada dingin. “Apa itu?” Numa tersenyum gugup, mencoba menenangkan dirinya. “Bukan apa-apa. Hanya pesan tak penting.” Lucas tidak segera menjawab. Ia mempersempit matanya, seakan mencob
Lucas membawa Numa ke penthouse pribadinya, sebuah tempat mewah di puncak gedung tinggi dengan pemandangan kota yang gemerlap di malam hari. Interiornya elegan dan modern, dipenuhi furnitur mahal yang dipilih dengan selera tinggi. Jendela besar membingkai langit kota dengan sempurna, memberikan nuansa privat namun tak terpisahkan dari kehidupan malam di luar sana. Saat mereka memasuki penthouse, Lucas melepaskan jasnya dan melemparkannya ke sofa. Ia melirik Numa yang berdiri di dekat pintu, tampak sedikit gugup meskipun berusaha terlihat santai. “Buat dirimu nyaman!" ucap Lucas sambil berjalan menuju dapur kecil di sudut ruangan. “Mau minum apa? Anggur atau champagne?” Numa tersenyum tipis. “Champagne sepertinya cocok malam ini.” Lucas membuka sebotol champagne dengan gerakan cekatan, menuangkannya ke dua gelas kristal dan kembali ke ruang utama. Ia menyerahkan satu gelas pada Numa, menatapnya dengan intens. Numa menyesap minumannya, berusaha mengendalikan diri agar tidak terlihat
Numa duduk di sudut club yang remang-remang, membaur dengan keramaian. Asap rokok dan dentuman musik mengisi udara, membuat tempat itu terasa penuh energi malam. Pakaian yang dikenakannya malam ini jauh lebih menggoda—gaun hitam ketat dengan belahan tinggi di paha dan punggung terbuka, memamerkan pesonanya tanpa terlihat terlalu mencolok. Ia sudah tahu Lucas mungkin akan kembali ke sini, dan ia harus memastikan misi ini tetap berjalan dengan sempurna.Beberapa jam sebelumnya, Numa menerima pesan penting dari rekannya yang sedang menyelidiki aktivitas di pelabuhan. Foto-foto yang dikirim menunjukkan beberapa pria dengan truk besar sedang memuat peti-peti mencurigakan. Truk itu teridentifikasi menuju ke gudang yang dikenal sebagai salah satu titik distribusi barang ilegal milik Lucas."Barang itu sudah sampai. Lucas menggerakkan sesuatu yang besar," kata rekannya melalui telepon singkat.Numa tahu bahwa ini adalah celah untuk menggali informasi lebih dalam. Jika ia bisa mendekatkan diri
Pagi masih terasa dingin ketika Aurel berdiri di depan pintu kamar Lucas. Ia mengetuk dua kali, lalu menunggu. Suara langkah kaki terdengar dari dalam, dan tak lama kemudian pintu terbuka. Lucas muncul dengan tubuh kekar dan rambut acak-acakan, hanya mengenakan celana panjang kasual."Ada apa, Aurel?" tanya Lucas dengan suara serak.Aurel memandangnya dengan dingin, lalu berkata, "Barang yang kita pesan hampir tiba di pelabuhan. Seharusnya kapal mereka merapat dalam beberapa jam."Mendengar itu, Lucas segera siaga. Matanya menyipit, dan ia merenggangkan bahu, seolah rasa kantuknya hilang seketika. "Apakah semuanya berjalan sesuai rencana?""Sejauh ini, iya. Tapi kita harus bergerak cepat. Jika tidak mau ada masalah."Lucas mengangguk. Ia segera mengambil ponsel dari meja samping dan menelepon Vaga, tangan kanan sekaligus orang yang paling dipercayainya dalam urusan lapangan. Sambungan tersambung dalam beberapa detik."Vaga," kata Lucas tegas, "barang kita hampir sampai di pelabuhan. A