Share

Istriku Ternyata Agen Rahasia
Istriku Ternyata Agen Rahasia
Penulis: Patrick Star

Bab 1

Di tengah hingar-bingar musik dan cahaya remang-remang, Lucas Zander Maxime duduk santai di sofa kulit mewah. Bourbon di tangannya terasa hangat di tenggorokan, menghilangkan sedikit ketegangan dari aksinya malam itu. Ia terbiasa dengan adrenalin dan kekacauan, namun kini ia hanya ingin menikmati ketenangan sementara.

Saat Lucas melirik ke arah pintu, seorang wanita bergaun hitam mencuri perhatiannya. Anggun, percaya diri, dan tampak berbeda dari perempuan-perempuan lain di tempat itu. Wanita itu berjalan dengan langkah tenang dan memancarkan aura yang sulit diabaikan. Tatapan Lucas bertahan lebih lama dari seharusnya—dan saat wanita itu melihat ke arahnya, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis.

Tanpa ragu, Lucas memberi isyarat dengan mengangkat gelasnya sedikit. Wanita itu menangkap sinyal dan, dengan senyum yang masih bertahan, berjalan mendekat. Ia mengambil tempat di sofa di hadapan Lucas, menggerakkan rambutnya ke belakang telinga dengan gerakan ringan.

"Kau baru di sini ya?" tanya Lucas, suaranya rendah namun penuh kesan mendalam.

Wanita itu tersenyum samar, "Ya aku baru pertama kali datang ke tempat ini. Kau sendiri?"

Lucas berbicara sambil menyesap minumannya, "Aku sering ke sini... kalau sedang ingin merasa tenang. Tapi biasanya aku tak pernah melihat seseorang seperti dirimu di sini."

"Seseorang seperti aku?" ia mengangkat alisnya, sedikit menantang. "Maksudmu?" tanyanya heran.

Lucas terkekeh, senyumnya melengkung kecil. "Cantik, pintar, dan... terlihat tak mudah didekati."

Wanita itu tertawa ringan. "Kau cukup berani menyimpulkan itu hanya dari satu pertemuan."

Lucas mencondongkan tubuhnya sedikit, "Tapi aku yakin kesimpulanku itu tidak salah."

Seketika, suasana terasa lebih santai di antara mereka. Lucas meletakkan gelasnya di meja, lalu menyandarkan tubuhnya dengan nyaman. Tatapannya tak lepas dari mata Numa, seakan mencari sesuatu yang lebih dalam dari sekadar percakapan ringan.

Lucas kembali mulai bicara, "Kita sudah saling bicara, tapi aku belum tahu siapa namamu."

Wanita itu tersenyum, menyadari inilah saatnya ia memainkan perannya dengan sempurna. "Namaku Numa... Numa Kamala."

Lucas mengangguk, seolah-olah menyimpan nama itu di ingatannya. "Numa, ya? Nama yang unik."

"Dan siapa yang kuajak bicara malam ini? Kau belum mengenalkan dirimu," tanya Numa.

Lucas menatapnya sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Lucas Zander Maxime." Ia menyeringai tipis. "Tapi kau bisa memanggilku Lucas!"

Numa berpura-pura tak terpengaruh, "Nama yang cukup terkenal di kota ini."

Lucas tertawa kecil, "Jadi, kau tahu siapa aku?"

Numa mengangkat bahunya, "Siapa yang tidak tahu? Kau cukup terkenal... dengan segala reputasimu."

Lucas menyipitkan mata, tersenyum penuh arti. "Dan itu tidak membuatmu takut?"

Numa menatap langsung ke mata Lucas dan berbicara, "Haruskah aku merasa takut?"

Lucas terdiam sejenak, menikmati keberanian wanita di depannya. Kebanyakan orang menghindar atau bersikap gugup di hadapannya. Tapi Numa? Ia justru tampak nyaman dan percaya diri.

"Kau menarik, Numa. Sangat berbeda dari yang lain," ucap Lucas.

Numa tertawa pelan, menyembunyikan keterampilannya dalam memanipulasi suasana. "Mungkin karena aku tidak mudah menilai orang hanya dari apa yang dikatakan orang lain."

"Itu cara pandang yang... langka." Lucas mengamati wajah Numa dengan seksama. "Lalu, apa alasanmu berada di sini malam ini?" tanyanya.

"Aku hanya mencari suasana baru. Hidup ini kadang terlalu monoton, bukan?" jawab Numa dengan santai.

Lucas menyandarkan tubuhnya, merasa semakin nyaman dengan wanita di depannya. "Kau tahu," ucapnya perlahan, "Aku rasa aku menyukai caramu memandang dunia."

Numa tersenyum kecil. "Dan aku rasa, kau bukan seperti yang mereka katakan."

Lucas terdiam sesaat, tatapannya berubah serius. "Atau mungkin kau belum melihat semua sisi gelapku."

Numa berbicara sambil menyesap minumannya, "Aku tak takut dengan kegelapan."

Lucas terkekeh, merasa semakin terpesona. "Berbahaya sekali wanita sepertimu."

"Berbahaya bagaimana?" tanya Numa.

Lucas tersenyum tipis, "Kau bisa membuatku tidak ingin melepaskanmu."

Mereka saling bertukar pandang, dan dalam keheningan sesaat itu, ada ketegangan samar yang sulit dijelaskan. Numa tahu bahwa ia berhasil memancing perhatian Lucas—tapi semakin lama percakapan berlangsung, ia merasa semakin waspada pada dirinya sendiri. Tugas ini tak hanya tentang memikat Lucas. Ia harus menjaga jarak emosional agar tidak terjebak dalam pesona pria itu. Namun, Lucas terlalu berbeda dari apa yang ia bayangkan.

Lucas mengulurkan tangannya, "Bagaimana kalau kita bertemu lagi lain kali? Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu, Numa."

Numa, setelah jeda singkat, menyambut uluran tangannya. "Aku tak keberatan."

Lucas menggenggam tangannya dengan erat, matanya menatap Numa seakan menjanjikan sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan singkat. "Sampai jumpa lagi, Numa Kamala," ucapnya dengan nada rendah yang penuh arti.

Saat Numa meninggalkan klub malam itu, angin dingin malam menyambutnya. Di balik senyum yang masih menghiasi wajahnya, hatinya dipenuhi kebimbangan. Lucas Zander Maxime bukan sekadar target berbahaya—ia sosok penuh teka-teki, dan entah mengapa, Numa merasa bahwa misi ini akan lebih sulit dari yang ia kira.

÷÷÷

Setelah Numa meninggalkan klub, Lucas menyandarkan tubuhnya di sofa dan menyesap bourbon terakhir dari gelasnya. Senyum tipis menghiasi wajahnya. Ia bukan pria yang mudah terpikat, tapi pertemuan singkat tadi meninggalkan kesan mendalam. Numa bukan sekadar cantik—ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Lucas tertarik. Seolah-olah wanita itu membawa ketenangan di tengah kekacauan yang selama ini mengelilinginya.

Namun, momen itu tak berlangsung lama. Dari arah bayangan, seorang pria bertubuh kekar dengan rahang kokoh dan mata tajam mendekat. Ia adalah Vaga, kaki tangan terdekat sekaligus orang kepercayaan Lucas. Dengan langkah tenang dan mata yang waspada, Vaga menunduk sedikit ke arah bosnya dan berbisik pelan.

"Bos, aku perhatikan wanita tadi. Dia... terlihat mencurigakan," kata Vaga.

Lucas meletakkan gelasnya di meja dan menatap Vaga dengan senyum samar, seolah-olah tak terganggu oleh peringatan itu. "Mencurigakan bagaimana?"

"Dia terlalu sempurna, terlalu mudah menarik perhatianmu. Ini seperti... sebuah jebakan," jelas Vaga.

Lucas tertawa kecil, nada tawanya terdengar santai namun penuh arti. "Vaga, kau selalu terlalu paranoid."

Vaga mengerutkan dahi, tampak tak nyaman. Ia telah bekerja dengan Lucas cukup lama untuk tahu bahwa firasatnya jarang salah. "Kau tahu bos, di dunia kita ini, orang yang terlihat terlalu baik biasanya membawa masalah."

Lucas menatap pria itu sejenak sebelum mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Asap tipis mengepul di udara, menambah suasana misterius di sekitar mereka. "Dengarkan aku, Vaga! Tidak semua orang yang menarik perhatianku harus dianggap ancaman. Terkadang... kita hanya perlu menikmati momennya."

Vaga tetap dengan nada waspada, "Momen seperti ini bisa membunuh, bos."

Lucas menghembuskan asap dengan perlahan, memandangi Vaga seolah-olah ia sedang berbicara dengan teman lama. "Itu bukan sesuatu yang tidak kuketahui. Tapi percayalah, aku bisa merasakan bahaya dari jauh, dan wanita itu... dia bukan ancaman."

Vaga menggertakkan rahangnya, masih merasa tidak nyaman. "Aku tetap akan menyelidiki dia."

Lucas menggelengkan kepala, senyumnya masih bertahan. "Jangan terlalu khawatir! Kau tahu aku tidak mudah jatuh dalam jebakan." Ia menepuk bahu Vaga dengan ringan, isyarat agar pria itu menurunkan kewaspadaannya. "Santai saja! Kalau dia memang berniat buruk, aku akan mengetahuinya lebih dulu daripada siapa pun."

Meski tak sepenuhnya puas dengan jawaban itu, Vaga tak bisa membantah keputusan bosnya. Ia mengangguk perlahan dan mundur, masih dengan pikiran penuh kewaspadaan.

Lucas mengamati kepergian Vaga sambil terus menikmati rokoknya. Dalam hati, ia tahu bahwa intuisi Vaga jarang salah. Namun kali ini, Lucas merasa ada sesuatu yang berbeda. Numa memang mencurigakan, tapi bukan dengan cara yang mengancam—melainkan seperti teka-teki yang ingin ia pecahkan.

"Apa dirimu benar-benar seperti yang kau tampakkan, Numa? Atau... ada permainan lain di balik senyum manismu?" batin Lucas.

÷÷÷

Sementara itu, di luar klub, Numa berjalan perlahan, sepatu hak tingginya bergema di atas trotoar. Ia menahan diri untuk tidak menoleh ke belakang. Pikirannya masih penuh dengan percakapan barusan.

Ia berhasil membuat kesan pertama yang baik, tapi ia tahu bahwa misi ini masih jauh dari selesai. Lucas bukan pria biasa. Ia memiliki aura yang memabukkan sekaligus mematikan. Di satu sisi, Numa harus tetap waspada agar tidak terjebak dalam pesona pria itu. Namun di sisi lain, ia harus membiarkan Lucas percaya bahwa ia benar-benar tertarik—sampai pria itu membuka celah untuknya.

Saat Numa mencapai mobil hitam yang diparkir di ujung jalan, ia mengeluarkan ponsel dan mengetik pesan singkat.

Numa: "Pertemuan awal berhasil. Target mulai menunjukkan ketertarikan."

Pesan itu terkirim, tapi Numa tahu, ini baru permulaan. Di balik senyum dan obrolan manis tadi, ia bisa merasakan bahwa Lucas tidak sepenuhnya lengah. Mata pria itu terlalu tajam, seolah-olah ia sedang membaca sesuatu yang tersembunyi.

"Permainan ini akan lebih sulit dari yang kuduga." batin Numa.

Ia menyalakan mesin mobil dan melaju perlahan, meninggalkan klub dan keramaian malam. Dalam pikirannya, ia menyiapkan strategi untuk pertemuan berikutnya. Misi ini tidak hanya tentang mendekati Lucas—ia harus membuat pria itu percaya sepenuhnya, hingga tidak ada keraguan sedikit pun. Dan untuk melakukan itu, Numa harus bermain lebih cerdik daripada sebelumnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status