Lucas tiba di markasnya, sebuah mansion mewah di pinggiran kota yang dilengkapi dengan keamanan tingkat tinggi. Pintu gerbang besar yang terbuat dari besi otomatis terbuka, memperlihatkan halaman luas dengan air mancur yang memancarkan cahaya keemasan. Mobil hitam yang dikendarainya berhenti tepat di depan pintu utama. Seorang pelayan membukakan pintu mobil, dan Lucas keluar dengan gaya khasnya—tenang, penuh percaya diri, namun selalu terlihat mematikan.
Begitu ia memasuki ruangan utama, langkahnya disambut oleh suara tumit sepatu Aurel, seorang wanita berambut hitam panjang dengan wajah serius namun memikat. Aurel adalah salah satu pekerja paling dipercaya di bisnis Lucas, memiliki bakat mengurus segala hal, mulai dari operasional hingga manajemen keuangan. Wanita itu sudah menunggu dengan dokumen di tangannya, siap memberikan laporan harian. "Selamat malam, tuan Lucas! Bisnis kita semakin berkembang pesat. Operasi pengiriman terakhir berjalan mulus, dan beberapa pelanggan besar dari Eropa sudah menandatangani kontrak eksklusif dengan kita," lapor Aurel. Lucas mengangguk pelan, senyum kepuasan terbit di wajahnya. "Bagus sekali. Itu berita yang ingin kudengar." "Selain itu, investasi di kasino-kasino lokal juga mulai memberikan keuntungan. Dalam dua bulan ke depan, kita akan mendominasi pasar hiburan di kota ini," lanjut Aurel. Lucas menatap Aurel dengan tatapan puas. "Luar biasa, Aurel. Kau benar-benar tahu cara membuatku senang." "Tentu saja, bos. Aku bekerja untuk memastikan semuanya berjalan sempurna," kata Aurel. Lucas mengambil langkah maju, matanya menyapu ruangan dengan tatapan penuh kontrol. "Karena kita berhasil melangkah sejauh ini, aku ingin merayakan malam ini. Siapkan sesuatu yang spesial." Aurel mengangkat alisnya, "Apa yang kau inginkan?" tanyanya. Lucas memutar lehernya sejenak, merasa tubuhnya mulai lelah setelah melewati hari yang panjang. "Aku ingin berendam. Siapkan beberapa wanita untuk menemaniku! Mereka harus yang terbaik, kau tahu seleraku kan?" Aurel hanya mengangguk tanpa ekspresi, meski ada sedikit kilatan ketidaksetujuan di matanya. "Aku akan mengurusnya. Wanita-wanita itu akan segera berada di ruangan spa dalam waktu satu jam." Lucas tersenyum tipis, lalu melangkah ke arah tangga besar di tengah ruangan. "Bagus. Pastikan mereka siap ketika aku selesai!" Aurel menunduk sedikit sebagai tanda hormat sebelum berbalik, meninggalkan Lucas dengan pikiran-pikirannya sendiri. ÷÷÷ Satu jam kemudian, Lucas berada di ruang spa pribadinya, ruangan besar dengan pencahayaan temaram dan aroma lavender yang menenangkan. Kolam berendamnya terbuat dari batu alam, airnya hangat dengan gelembung-gelembung kecil memijat tubuh. Lucas berbaring santai di dalam kolam, tubuh kekarnya tenggelam dalam air hangat. Beberapa wanita sudah berdiri di dekatnya, mengenakan gaun sutra tipis yang hampir transparan. Mereka tertawa kecil dan menatap Lucas dengan penuh kekaguman, berusaha memikat perhatiannya. Namun, meski dikelilingi kemewahan dan keindahan, pikiran Lucas terus kembali pada sosok Numa. Wanita itu muncul di benaknya seolah menjadi teka-teki yang belum bisa ia pahami. Wajah anggun dan senyumnya yang menggoda membuat Lucas bertanya-tanya—siapa sebenarnya Numa? Seorang wanita mendekat dan menyentuh bahunya dengan lembut. "Tuan Lucas, ada yang bisa kami lakukan untukmu?" Lucas hanya menatap wanita itu sekilas dan menggelengkan kepala. "Tidak sekarang. Kalian bisa bersantai di sini, tapi aku ingin menikmati air ini sendiri." Wanita itu terlihat kecewa, tapi mereka semua patuh. Mereka mundur, meninggalkan Lucas dengan kesendiriannya. Lucas berbisik pada dirinya sendiri, "Apa yang kau sembunyikan dariku, Numa?" Ia tahu, semakin ia memikirkan Numa, semakin besar risikonya. Tapi ada sesuatu yang membuatnya tak bisa berhenti. Mungkin ini hanya ketertarikan sesaat, tapi Lucas merasa bahwa wanita itu membawa sesuatu yang berbeda—seperti badai yang datang tanpa tanda. ÷÷÷ Sementara itu, di sudut lain kota, Numa kembali ke markas kecil agensinya. Ia duduk di depan layar monitor, memeriksa catatan misi dengan cermat. Data tentang Lucas tersebar di berbagai folder, mulai dari aktivitas ilegal hingga hubungan bisnisnya dengan mafia internasional. Namun, semakin ia membaca data, semakin ia merasa bahwa pria itu bukan sekadar target biasa. Ada sesuatu dalam diri Lucas—sesuatu yang membuat Numa merasa sedikit goyah. Seorang rekan agennya—Lisa, mendekat dengan wajah penasaran. "Bagaimana pertemuanmu tadi?" Numa berbicara dengan nada datar, "Berjalan lancar. Dia mulai menunjukkan ketertarikan." "Bagus. Tapi kau harus hati-hati, Numa! Lucas Maxime bukan tipe pria yang bisa dipermainkan. Sekali kau membuat kesalahan, dia tak akan memberi kesempatan kedua," ucap Lisa memperingatkan. Numa mengangguk, menyadari betul risiko yang ia hadapi. "Aku tahu. Tapi ini tugas kita. Aku hanya perlu membuatnya percaya lebih lama." Lisa menatapnya dengan serius. "Dan kau yakin tidak akan terjebak?" Numa terdiam sesaat. Pertanyaan itu menghantamnya dengan keras, karena meski ia tahu ini hanya misi, ada sesuatu tentang Lucas yang mengguncang keyakinannya. Tapi ia tidak punya pilihan. Ia harus menyelesaikan misi ini—atau segalanya bisa berakhir buruk. Di malam yang gelap dan penuh rahasia, dua dunia yang bertentangan terus bergerak. Lucas dan Numa, dua sosok yang seharusnya berada di sisi yang berbeda, kini semakin terikat dalam permainan berbahaya. Dan dalam permainan ini, hanya ada dua kemungkinan: kemenangan mutlak atau kehancuran total.Pagi masih terasa dingin ketika Aurel berdiri di depan pintu kamar Lucas. Ia mengetuk dua kali, lalu menunggu. Suara langkah kaki terdengar dari dalam, dan tak lama kemudian pintu terbuka. Lucas muncul dengan tubuh kekar dan rambut acak-acakan, hanya mengenakan celana panjang kasual."Ada apa, Aurel?" tanya Lucas dengan suara serak.Aurel memandangnya dengan dingin, lalu berkata, "Barang yang kita pesan hampir tiba di pelabuhan. Seharusnya kapal mereka merapat dalam beberapa jam."Mendengar itu, Lucas segera siaga. Matanya menyipit, dan ia merenggangkan bahu, seolah rasa kantuknya hilang seketika. "Apakah semuanya berjalan sesuai rencana?""Sejauh ini, iya. Tapi kita harus bergerak cepat. Jika tidak mau ada masalah."Lucas mengangguk. Ia segera mengambil ponsel dari meja samping dan menelepon Vaga, tangan kanan sekaligus orang yang paling dipercayainya dalam urusan lapangan. Sambungan tersambung dalam beberapa detik."Vaga," kata Lucas tegas, "barang kita hampir sampai di pelabuhan. A
Numa duduk di sudut club yang remang-remang, membaur dengan keramaian. Asap rokok dan dentuman musik mengisi udara, membuat tempat itu terasa penuh energi malam. Pakaian yang dikenakannya malam ini jauh lebih menggoda—gaun hitam ketat dengan belahan tinggi di paha dan punggung terbuka, memamerkan pesonanya tanpa terlihat terlalu mencolok. Ia sudah tahu Lucas mungkin akan kembali ke sini, dan ia harus memastikan misi ini tetap berjalan dengan sempurna.Beberapa jam sebelumnya, Numa menerima pesan penting dari rekannya yang sedang menyelidiki aktivitas di pelabuhan. Foto-foto yang dikirim menunjukkan beberapa pria dengan truk besar sedang memuat peti-peti mencurigakan. Truk itu teridentifikasi menuju ke gudang yang dikenal sebagai salah satu titik distribusi barang ilegal milik Lucas."Barang itu sudah sampai. Lucas menggerakkan sesuatu yang besar," kata rekannya melalui telepon singkat.Numa tahu bahwa ini adalah celah untuk menggali informasi lebih dalam. Jika ia bisa mendekatkan diri
Lucas membawa Numa ke penthouse pribadinya, sebuah tempat mewah di puncak gedung tinggi dengan pemandangan kota yang gemerlap di malam hari. Interiornya elegan dan modern, dipenuhi furnitur mahal yang dipilih dengan selera tinggi. Jendela besar membingkai langit kota dengan sempurna, memberikan nuansa privat namun tak terpisahkan dari kehidupan malam di luar sana. Saat mereka memasuki penthouse, Lucas melepaskan jasnya dan melemparkannya ke sofa. Ia melirik Numa yang berdiri di dekat pintu, tampak sedikit gugup meskipun berusaha terlihat santai. “Buat dirimu nyaman!" ucap Lucas sambil berjalan menuju dapur kecil di sudut ruangan. “Mau minum apa? Anggur atau champagne?” Numa tersenyum tipis. “Champagne sepertinya cocok malam ini.” Lucas membuka sebotol champagne dengan gerakan cekatan, menuangkannya ke dua gelas kristal dan kembali ke ruang utama. Ia menyerahkan satu gelas pada Numa, menatapnya dengan intens. Numa menyesap minumannya, berusaha mengendalikan diri agar tidak terlihat
Angin malam berembus lembut di balkon penthouse, membuat suasana semakin intim. Di tengah ketenangan itu, tiba-tiba ponsel Numa bergetar di dalam tasnya. Ia terkejut sejenak, tapi berusaha tetap tenang. Dengan cepat, ia membuka tasnya dan melihat nama Lisa tertera di layar—pesan dari rekan kerjanya di tim intelijen. Numa membaca sekilas: "Ada pergerakan di pelabuhan. Pastikan kau tetap dalam kendali." Jantung Numa berdegup kencang. Ia tahu pesan itu penting, namun keberadaannya bersama Lucas saat ini membuat situasi jadi sangat rumit. Tanpa berpikir panjang, ia segera mematikan ponselnya dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Namun, Lucas memperhatikan setiap gerakan itu dengan tatapan tajam, seperti seorang pemangsa yang mencurigai mangsanya. Ia memiringkan kepalanya sedikit dan bertanya dengan nada dingin. “Apa itu?” Numa tersenyum gugup, mencoba menenangkan dirinya. “Bukan apa-apa. Hanya pesan tak penting.” Lucas tidak segera menjawab. Ia mempersempit matanya, seakan mencob
Setelah menikmati malam yang penuh gairah, Numa merasa sudah waktunya untuk pamit. Meski ia masih harus menata perasaan dan pikirannya, yang terpenting adalah ia harus segera kembali ke markasnya sebelum seseorang mulai curiga dengan keberadaannya. Dengan nada selembut mungkin, ia berkata, "Lucas, aku harus pulang sekarang. Ini sudah cukup larut." Lucas, yang masih duduk santai di sofa dengan segelas anggur di tangan, menatap Numa sambil tersenyum kecil. "Aku antar kamu pulang." Kalimat itu langsung membuat Numa tersentak. "Tidak perlu, aku bisa sendiri," balasnya cepat. Ia tak bisa membiarkan Lucas tahu di mana ia tinggal atau siapa sebenarnya dirinya. Lucas tertawa kecil, seolah tak menganggap penolakan itu serius. "Kamu kekasihku sekarang, Numa. Tidak mungkin aku biarkan kamu pulang sendirian di tengah malam seperti ini." Numa berusaha menahan rasa panik yang mulai merayap. Otaknya berputar mencari alasan yang masuk akal, tapi Lucas tampak tak mau menerima penolakan lagi. "Aku
Perjalanan truk awal berjalan lancar hingga hampir tiba di gudang yang sudah direncanakan. Namun, firasat buruk tiba-tiba menyergap Lucas. Entah kenapa, ia merasa ada yang tidak beres. Pikirannya berputar cepat, mencoba mencari tahu dari mana perasaan ganjil itu berasal, meskipun tidak ada tanda-tanda bahaya yang jelas. Lucas tiba-tiba memberi perintah tegas, "Berhenti di sini!" Aurel, yang duduk di kursi penumpang, menoleh dengan bingung. "Ada apa, Bos?" Lucas tak memberikan penjelasan panjang. "Pindahkan semua barang ke mobil lain, sekarang juga!" Tanpa protes, Aurel segera menjalankan perintah. Ia tahu bahwa Lucas selalu bertindak cepat dan cermat, terutama dalam situasi berisiko tinggi. Ia mengeluarkan perintah pada anak buah mereka melalui radio, memastikan barang-barang segera dipindahkan tanpa kesulitan. Beberapa anak buah mereka bergerak gesit, memindahkan peti-peti barang dari truk ke dua mobil van yang sudah disiapkan. Semuanya dilakukan dalam senyap, seakan mereka suda
Esok harinya, Aurel berjalan dengan langkah cepat menuju lorong kamar pribadi Lucas Zander Maxime. Pagi itu, bos mafia terganas di kota tersebut baru saja keluar dari kamarnya, mengenakan kemeja hitam yang lengan atasnya sedikit tergulung. Tatapan dinginnya tetap melekat, tapi ada sorot ketegangan di balik matanya. "Ada apa, Aurel?" tanya Lucas sambil mengancingkan kemejanya. Aurel, salah satu orang kepercayaannya, memberikan laporan padanya. "Klien besar dari luar negeri akan segera tiba, bos. Mereka siap melakukan transaksi hari ini seperti yang dijadwalkan." Mendengar kabar itu, seulas senyum tipis muncul di wajah Lucas. Ini adalah kesempatan emas, transaksi ini bisa menjadi lumbung uang besar yang akan memperkuat posisinya dalam dunia bawah tanah. "Bagus," gumam Lucas, lebih pada dirinya sendiri. Ia segera meraih ponselnya dan menelepon orang kepercayaannya, Vaga. "Siapkan tempat transaksi! Pastikan semuanya s
Hari yang dinanti-nantikan oleh Lucas Zander Maxime akhirnya tiba—hari di mana transaksi besar dengan klien asing yang penuh misteri itu akan terlaksana. Malam itu, Lucas mempersiapkan dirinya dengan matang. Kemeja hitamnya disesuaikan dengan jas gelap, mempertegas kesan dingin yang selalu ia tampilkan. Dengan langkah mantap, ia melangkah keluar, diikuti oleh asistennya yang setia, Aurel. Mereka masuk ke mobil, dan perjalanan menuju tempat transaksi dimulai.Setibanya di lokasi, Lucas segera keluar dari mobil, tatapannya tajam, menyapu sekeliling untuk memastikan semuanya sesuai dengan rencana. Puluhan anak buahnya sudah berjaga di sekitar area, memastikan tidak ada gangguan yang bisa membahayakan transaksi kali ini. Aurel selalu berada satu langkah di belakang Lucas, siap untuk memenuhi segala perintah. Mereka berjalan menuju ruangan yang telah disiapkan, tempat di mana klien mereka sudah menunggu.Begitu Lucas dan Aurel memasuki ruangan, tampak seorang pria paruh baya dengan setelan
Setelah transaksi besar malam itu berlangsung lancar, Lucas Zander Maxime kembali ke rumah dengan perasaan puas. Senyum tersungging di bibirnya, tanda bahwa malam ini berjalan sesuai rencana. Di sisinya, Aurel mengikuti langkahnya dengan tenang, tak pernah meninggalkan Lucas sendirian saat ia bertugas.Sesampainya di ruang tamu rumah megah itu, Lucas melepas jasnya dan menyerahkannya pada Aurel. "Simpan ini!" ujarnya singkat, namun terdengar lembut dibanding biasanya. Aurel menerima jas itu dan menunduk hormat.Lucas lalu duduk di sofa dengan santai, satu kaki menyilang di atas yang lain. Ia bersandar, menyandarkan kedua tangannya di sandaran sofa dan mengisyaratkan agar Aurel duduk di sebelahnya. "Duduklah!" perintah Lucas singkat, dengan nada yang membuat Aurel tak bisa menolak.Aurel menurut dan duduk di sampingnya, menjaga jarak kecil, meski detak jantungnya sedikit berdetak cepat setiap kali berada dekat dengan bosnya. Lucas meliriknya sekil
Hari yang dinanti-nantikan oleh Lucas Zander Maxime akhirnya tiba—hari di mana transaksi besar dengan klien asing yang penuh misteri itu akan terlaksana. Malam itu, Lucas mempersiapkan dirinya dengan matang. Kemeja hitamnya disesuaikan dengan jas gelap, mempertegas kesan dingin yang selalu ia tampilkan. Dengan langkah mantap, ia melangkah keluar, diikuti oleh asistennya yang setia, Aurel. Mereka masuk ke mobil, dan perjalanan menuju tempat transaksi dimulai.Setibanya di lokasi, Lucas segera keluar dari mobil, tatapannya tajam, menyapu sekeliling untuk memastikan semuanya sesuai dengan rencana. Puluhan anak buahnya sudah berjaga di sekitar area, memastikan tidak ada gangguan yang bisa membahayakan transaksi kali ini. Aurel selalu berada satu langkah di belakang Lucas, siap untuk memenuhi segala perintah. Mereka berjalan menuju ruangan yang telah disiapkan, tempat di mana klien mereka sudah menunggu.Begitu Lucas dan Aurel memasuki ruangan, tampak seorang pria paruh baya dengan setelan
Esok harinya, Aurel berjalan dengan langkah cepat menuju lorong kamar pribadi Lucas Zander Maxime. Pagi itu, bos mafia terganas di kota tersebut baru saja keluar dari kamarnya, mengenakan kemeja hitam yang lengan atasnya sedikit tergulung. Tatapan dinginnya tetap melekat, tapi ada sorot ketegangan di balik matanya. "Ada apa, Aurel?" tanya Lucas sambil mengancingkan kemejanya. Aurel, salah satu orang kepercayaannya, memberikan laporan padanya. "Klien besar dari luar negeri akan segera tiba, bos. Mereka siap melakukan transaksi hari ini seperti yang dijadwalkan." Mendengar kabar itu, seulas senyum tipis muncul di wajah Lucas. Ini adalah kesempatan emas, transaksi ini bisa menjadi lumbung uang besar yang akan memperkuat posisinya dalam dunia bawah tanah. "Bagus," gumam Lucas, lebih pada dirinya sendiri. Ia segera meraih ponselnya dan menelepon orang kepercayaannya, Vaga. "Siapkan tempat transaksi! Pastikan semuanya s
Perjalanan truk awal berjalan lancar hingga hampir tiba di gudang yang sudah direncanakan. Namun, firasat buruk tiba-tiba menyergap Lucas. Entah kenapa, ia merasa ada yang tidak beres. Pikirannya berputar cepat, mencoba mencari tahu dari mana perasaan ganjil itu berasal, meskipun tidak ada tanda-tanda bahaya yang jelas. Lucas tiba-tiba memberi perintah tegas, "Berhenti di sini!" Aurel, yang duduk di kursi penumpang, menoleh dengan bingung. "Ada apa, Bos?" Lucas tak memberikan penjelasan panjang. "Pindahkan semua barang ke mobil lain, sekarang juga!" Tanpa protes, Aurel segera menjalankan perintah. Ia tahu bahwa Lucas selalu bertindak cepat dan cermat, terutama dalam situasi berisiko tinggi. Ia mengeluarkan perintah pada anak buah mereka melalui radio, memastikan barang-barang segera dipindahkan tanpa kesulitan. Beberapa anak buah mereka bergerak gesit, memindahkan peti-peti barang dari truk ke dua mobil van yang sudah disiapkan. Semuanya dilakukan dalam senyap, seakan mereka suda
Setelah menikmati malam yang penuh gairah, Numa merasa sudah waktunya untuk pamit. Meski ia masih harus menata perasaan dan pikirannya, yang terpenting adalah ia harus segera kembali ke markasnya sebelum seseorang mulai curiga dengan keberadaannya. Dengan nada selembut mungkin, ia berkata, "Lucas, aku harus pulang sekarang. Ini sudah cukup larut." Lucas, yang masih duduk santai di sofa dengan segelas anggur di tangan, menatap Numa sambil tersenyum kecil. "Aku antar kamu pulang." Kalimat itu langsung membuat Numa tersentak. "Tidak perlu, aku bisa sendiri," balasnya cepat. Ia tak bisa membiarkan Lucas tahu di mana ia tinggal atau siapa sebenarnya dirinya. Lucas tertawa kecil, seolah tak menganggap penolakan itu serius. "Kamu kekasihku sekarang, Numa. Tidak mungkin aku biarkan kamu pulang sendirian di tengah malam seperti ini." Numa berusaha menahan rasa panik yang mulai merayap. Otaknya berputar mencari alasan yang masuk akal, tapi Lucas tampak tak mau menerima penolakan lagi. "Aku
Angin malam berembus lembut di balkon penthouse, membuat suasana semakin intim. Di tengah ketenangan itu, tiba-tiba ponsel Numa bergetar di dalam tasnya. Ia terkejut sejenak, tapi berusaha tetap tenang. Dengan cepat, ia membuka tasnya dan melihat nama Lisa tertera di layar—pesan dari rekan kerjanya di tim intelijen. Numa membaca sekilas: "Ada pergerakan di pelabuhan. Pastikan kau tetap dalam kendali." Jantung Numa berdegup kencang. Ia tahu pesan itu penting, namun keberadaannya bersama Lucas saat ini membuat situasi jadi sangat rumit. Tanpa berpikir panjang, ia segera mematikan ponselnya dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Namun, Lucas memperhatikan setiap gerakan itu dengan tatapan tajam, seperti seorang pemangsa yang mencurigai mangsanya. Ia memiringkan kepalanya sedikit dan bertanya dengan nada dingin. “Apa itu?” Numa tersenyum gugup, mencoba menenangkan dirinya. “Bukan apa-apa. Hanya pesan tak penting.” Lucas tidak segera menjawab. Ia mempersempit matanya, seakan mencob
Lucas membawa Numa ke penthouse pribadinya, sebuah tempat mewah di puncak gedung tinggi dengan pemandangan kota yang gemerlap di malam hari. Interiornya elegan dan modern, dipenuhi furnitur mahal yang dipilih dengan selera tinggi. Jendela besar membingkai langit kota dengan sempurna, memberikan nuansa privat namun tak terpisahkan dari kehidupan malam di luar sana. Saat mereka memasuki penthouse, Lucas melepaskan jasnya dan melemparkannya ke sofa. Ia melirik Numa yang berdiri di dekat pintu, tampak sedikit gugup meskipun berusaha terlihat santai. “Buat dirimu nyaman!" ucap Lucas sambil berjalan menuju dapur kecil di sudut ruangan. “Mau minum apa? Anggur atau champagne?” Numa tersenyum tipis. “Champagne sepertinya cocok malam ini.” Lucas membuka sebotol champagne dengan gerakan cekatan, menuangkannya ke dua gelas kristal dan kembali ke ruang utama. Ia menyerahkan satu gelas pada Numa, menatapnya dengan intens. Numa menyesap minumannya, berusaha mengendalikan diri agar tidak terlihat
Numa duduk di sudut club yang remang-remang, membaur dengan keramaian. Asap rokok dan dentuman musik mengisi udara, membuat tempat itu terasa penuh energi malam. Pakaian yang dikenakannya malam ini jauh lebih menggoda—gaun hitam ketat dengan belahan tinggi di paha dan punggung terbuka, memamerkan pesonanya tanpa terlihat terlalu mencolok. Ia sudah tahu Lucas mungkin akan kembali ke sini, dan ia harus memastikan misi ini tetap berjalan dengan sempurna.Beberapa jam sebelumnya, Numa menerima pesan penting dari rekannya yang sedang menyelidiki aktivitas di pelabuhan. Foto-foto yang dikirim menunjukkan beberapa pria dengan truk besar sedang memuat peti-peti mencurigakan. Truk itu teridentifikasi menuju ke gudang yang dikenal sebagai salah satu titik distribusi barang ilegal milik Lucas."Barang itu sudah sampai. Lucas menggerakkan sesuatu yang besar," kata rekannya melalui telepon singkat.Numa tahu bahwa ini adalah celah untuk menggali informasi lebih dalam. Jika ia bisa mendekatkan diri
Pagi masih terasa dingin ketika Aurel berdiri di depan pintu kamar Lucas. Ia mengetuk dua kali, lalu menunggu. Suara langkah kaki terdengar dari dalam, dan tak lama kemudian pintu terbuka. Lucas muncul dengan tubuh kekar dan rambut acak-acakan, hanya mengenakan celana panjang kasual."Ada apa, Aurel?" tanya Lucas dengan suara serak.Aurel memandangnya dengan dingin, lalu berkata, "Barang yang kita pesan hampir tiba di pelabuhan. Seharusnya kapal mereka merapat dalam beberapa jam."Mendengar itu, Lucas segera siaga. Matanya menyipit, dan ia merenggangkan bahu, seolah rasa kantuknya hilang seketika. "Apakah semuanya berjalan sesuai rencana?""Sejauh ini, iya. Tapi kita harus bergerak cepat. Jika tidak mau ada masalah."Lucas mengangguk. Ia segera mengambil ponsel dari meja samping dan menelepon Vaga, tangan kanan sekaligus orang yang paling dipercayainya dalam urusan lapangan. Sambungan tersambung dalam beberapa detik."Vaga," kata Lucas tegas, "barang kita hampir sampai di pelabuhan. A