Pagi masih terasa dingin ketika Aurel berdiri di depan pintu kamar Lucas. Ia mengetuk dua kali, lalu menunggu. Suara langkah kaki terdengar dari dalam, dan tak lama kemudian pintu terbuka. Lucas muncul dengan tubuh kekar dan rambut acak-acakan, hanya mengenakan celana panjang kasual.
"Ada apa, Aurel?" tanya Lucas dengan suara serak. Aurel memandangnya dengan dingin, lalu berkata, "Barang yang kita pesan hampir tiba di pelabuhan. Seharusnya kapal mereka merapat dalam beberapa jam." Mendengar itu, Lucas segera siaga. Matanya menyipit, dan ia merenggangkan bahu, seolah rasa kantuknya hilang seketika. "Apakah semuanya berjalan sesuai rencana?" "Sejauh ini, iya. Tapi kita harus bergerak cepat. Jika tidak mau ada masalah." Lucas mengangguk. Ia segera mengambil ponsel dari meja samping dan menelepon Vaga, tangan kanan sekaligus orang yang paling dipercayainya dalam urusan lapangan. Sambungan tersambung dalam beberapa detik. "Vaga," kata Lucas tegas, "barang kita hampir sampai di pelabuhan. Aku ingin kau yang langsung mengurus semuanya." Vaga di seberang telepon menjawab dengan nada serius, "Tentu, bos. Apa ada instruksi khusus?" Lucas berjalan ke jendela besar di kamarnya, menatap ke luar dengan mata tajam. "Pastikan tidak ada yang salah! Barang itu harus sampai dengan utuh dan tidak boleh tercium pihak berwajib. Jika ada yang terlihat mencurigakan, segera bereskan sebelum masalah muncul!" "Dimengerti," jawab Vaga mantap. "Aku akan kerahkan beberapa orang terbaik kita." Lucas mengakhiri panggilan dan meletakkan ponselnya di atas meja. Ia berbalik ke arah Aurel. "Kau pastikan jalur distribusi di sini sudah siap! Aku tidak mau ada hambatan setelah barang tiba." Aurel mengangguk. "Sudah diatur, bos. Gudang sudah disterilkan dan tim distribusi siap bekerja kapan saja." Lucas tersenyum tipis. "Bagus. Aku suka jika segalanya berjalan rapi." ÷÷÷ Di pelabuhan, Vaga sudah berada di lokasi. Ia berdiri di tepi dermaga, ditemani oleh beberapa pria berbadan kekar dengan senjata tersembunyi di balik jaket mereka. Mereka mengenakan topi dan kacamata hitam, mencoba berbaur dengan suasana hiruk-pikuk pelabuhan. "Pastikan semuanya dalam posisi," kata Vaga kepada anak buahnya. "Kita tidak mau ada kesalahan." Seorang pria bertubuh besar mengangguk. "Semua sudah siap, Vaga. Tim di pintu masuk juga siaga." Vaga menatap ke arah laut, melihat kapal besar mulai mendekat ke dermaga. Ia merogoh ponselnya dan mengirim pesan singkat kepada Lucas : Kapal hampir merapat. Semuanya terkendali. Di mansion, Lucas membaca pesan itu dan menghela napas lega. Ia menyesap segelas kopi yang disiapkan pelayan. Namun, pikirannya masih sedikit terganggu oleh pertemuannya dengan Numa. Wajah wanita itu terus berkelebat di benaknya seperti teka-teki yang belum terpecahkan. Aurel yang memperhatikan ekspresi Lucas berkata, "Apa ada masalah?" Lucas meletakkan gelas kopinya dan menyandarkan tubuh di sofa. "Tidak, hanya sedikit... pikiran." Aurel menatapnya tajam. "Tentang wanita yang kau temui tadi malam?" Lucas meliriknya sekilas, lalu mengangkat bahu. "Mungkin." Aurel menyipitkan mata, tidak terlalu suka dengan topik itu, tapi ia tak mengatakan apa-apa. Ia tahu Lucas terlalu cerdik untuk terjebak oleh emosi, tapi wanita seperti Numa selalu membawa bahaya yang tak terduga. "Jangan terlalu banyak memikirkan orang asing!" kata Aurel akhirnya. "Itu bisa mengganggu fokusmu." Lucas tertawa kecil, meski tanpa benar-benar menanggapi. "Kau terdengar seperti ibuku, Aurel." Aurel mendengus. "Aku hanya memastikan kau tetap berada di jalur yang benar." Lucas menyandarkan kepalanya ke belakang, matanya memejam sesaat. "Ya, ya. Jangan khawatir, aku tahu apa yang kulakukan!" ÷÷÷ Di pelabuhan, kapal akhirnya bersandar. Vaga bergerak cepat, memerintahkan anak buahnya untuk mengawasi proses bongkar muat. Peti-peti besar berisi barang selundupan—senjata, narkoba, dan berbagai barang ilegal lainnya—diturunkan dengan hati-hati ke truk yang sudah disiapkan. "Semua berjalan mulus," kata salah satu anak buahnya. Vaga mengangguk, lalu mengirim pesan kepada Lucas : Barang sudah di tangan dan sedang dalam perjalanan ke gudang. Lucas membaca pesan itu dengan senyum puas. Ia meletakkan ponselnya dan menatap Aurel. "Sepertinya kita akan mendapat malam yang indah." Aurel hanya tersenyum tipis. "Aku akan memastikan segalanya tetap berjalan lancar." Lucas mengangguk pelan, merasa puas dengan bagaimana timnya bekerja. Tapi di balik semua keberhasilan ini, pikirannya masih terfokus pada sosok Numa—wanita yang datang seperti badai dan meninggalkan kesan mendalam. Di dunia di mana pengkhianatan dan tipu muslihat adalah hal biasa, Lucas tahu ia harus berhati-hati. Namun, pesona Numa membuatnya berpikir: Apakah ia sekadar alat untuk misi berbahaya, atau mungkin sesuatu yang lebih dari itu? Tanpa sadar, ia tersenyum tipis. "Kita lihat ke mana permainan ini akan berakhir, Numa." Dengan pikiran yang semakin dalam tentang wanita itu, Lucas tahu bahwa pertarungan terbesarnya mungkin bukan melawan musuh di luar sana—melainkan melawan hatinya sendiri.Numa duduk di sudut club yang remang-remang, membaur dengan keramaian. Asap rokok dan dentuman musik mengisi udara, membuat tempat itu terasa penuh energi malam. Pakaian yang dikenakannya malam ini jauh lebih menggoda—gaun hitam ketat dengan belahan tinggi di paha dan punggung terbuka, memamerkan pesonanya tanpa terlihat terlalu mencolok. Ia sudah tahu Lucas mungkin akan kembali ke sini, dan ia harus memastikan misi ini tetap berjalan dengan sempurna.Beberapa jam sebelumnya, Numa menerima pesan penting dari rekannya yang sedang menyelidiki aktivitas di pelabuhan. Foto-foto yang dikirim menunjukkan beberapa pria dengan truk besar sedang memuat peti-peti mencurigakan. Truk itu teridentifikasi menuju ke gudang yang dikenal sebagai salah satu titik distribusi barang ilegal milik Lucas."Barang itu sudah sampai. Lucas menggerakkan sesuatu yang besar," kata rekannya melalui telepon singkat.Numa tahu bahwa ini adalah celah untuk menggali informasi lebih dalam. Jika ia bisa mendekatkan diri
Lucas membawa Numa ke penthouse pribadinya, sebuah tempat mewah di puncak gedung tinggi dengan pemandangan kota yang gemerlap di malam hari. Interiornya elegan dan modern, dipenuhi furnitur mahal yang dipilih dengan selera tinggi. Jendela besar membingkai langit kota dengan sempurna, memberikan nuansa privat namun tak terpisahkan dari kehidupan malam di luar sana. Saat mereka memasuki penthouse, Lucas melepaskan jasnya dan melemparkannya ke sofa. Ia melirik Numa yang berdiri di dekat pintu, tampak sedikit gugup meskipun berusaha terlihat santai. “Buat dirimu nyaman!" ucap Lucas sambil berjalan menuju dapur kecil di sudut ruangan. “Mau minum apa? Anggur atau champagne?” Numa tersenyum tipis. “Champagne sepertinya cocok malam ini.” Lucas membuka sebotol champagne dengan gerakan cekatan, menuangkannya ke dua gelas kristal dan kembali ke ruang utama. Ia menyerahkan satu gelas pada Numa, menatapnya dengan intens. Numa menyesap minumannya, berusaha mengendalikan diri agar tidak terlihat
Angin malam berembus lembut di balkon penthouse, membuat suasana semakin intim. Di tengah ketenangan itu, tiba-tiba ponsel Numa bergetar di dalam tasnya. Ia terkejut sejenak, tapi berusaha tetap tenang. Dengan cepat, ia membuka tasnya dan melihat nama Lisa tertera di layar—pesan dari rekan kerjanya di tim intelijen. Numa membaca sekilas: "Ada pergerakan di pelabuhan. Pastikan kau tetap dalam kendali." Jantung Numa berdegup kencang. Ia tahu pesan itu penting, namun keberadaannya bersama Lucas saat ini membuat situasi jadi sangat rumit. Tanpa berpikir panjang, ia segera mematikan ponselnya dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Namun, Lucas memperhatikan setiap gerakan itu dengan tatapan tajam, seperti seorang pemangsa yang mencurigai mangsanya. Ia memiringkan kepalanya sedikit dan bertanya dengan nada dingin. “Apa itu?” Numa tersenyum gugup, mencoba menenangkan dirinya. “Bukan apa-apa. Hanya pesan tak penting.” Lucas tidak segera menjawab. Ia mempersempit matanya, seakan mencob
Di tengah hingar-bingar musik dan cahaya remang-remang, Lucas Zander Maxime duduk santai di sofa kulit mewah. Bourbon di tangannya terasa hangat di tenggorokan, menghilangkan sedikit ketegangan dari aksinya malam itu. Ia terbiasa dengan adrenalin dan kekacauan, namun kini ia hanya ingin menikmati ketenangan sementara. Saat Lucas melirik ke arah pintu, seorang wanita bergaun hitam mencuri perhatiannya. Anggun, percaya diri, dan tampak berbeda dari perempuan-perempuan lain di tempat itu. Wanita itu berjalan dengan langkah tenang dan memancarkan aura yang sulit diabaikan. Tatapan Lucas bertahan lebih lama dari seharusnya—dan saat wanita itu melihat ke arahnya, bibirnya melengkung membentuk senyuman tipis. Tanpa ragu, Lucas memberi isyarat dengan mengangkat gelasnya sedikit. Wanita itu menangkap sinyal dan, dengan senyum yang masih bertahan, berjalan mendekat. Ia mengambil tempat di sofa di hadapan Lucas, menggerakkan rambutnya ke belakang telinga dengan gerakan ringan. "Kau baru di si
Lucas tiba di markasnya, sebuah mansion mewah di pinggiran kota yang dilengkapi dengan keamanan tingkat tinggi. Pintu gerbang besar yang terbuat dari besi otomatis terbuka, memperlihatkan halaman luas dengan air mancur yang memancarkan cahaya keemasan. Mobil hitam yang dikendarainya berhenti tepat di depan pintu utama. Seorang pelayan membukakan pintu mobil, dan Lucas keluar dengan gaya khasnya—tenang, penuh percaya diri, namun selalu terlihat mematikan. Begitu ia memasuki ruangan utama, langkahnya disambut oleh suara tumit sepatu Aurel, seorang wanita berambut hitam panjang dengan wajah serius namun memikat. Aurel adalah salah satu pekerja paling dipercaya di bisnis Lucas, memiliki bakat mengurus segala hal, mulai dari operasional hingga manajemen keuangan. Wanita itu sudah menunggu dengan dokumen di tangannya, siap memberikan laporan harian. "Selamat malam, tuan Lucas! Bisnis kita semakin berkembang pesat. Operasi pengiriman terakhir berjalan mulus, dan beberapa pelanggan besar da