Share

Bab 3

Pagi masih terasa dingin ketika Aurel berdiri di depan pintu kamar Lucas. Ia mengetuk dua kali, lalu menunggu. Suara langkah kaki terdengar dari dalam, dan tak lama kemudian pintu terbuka. Lucas muncul dengan tubuh kekar dan rambut acak-acakan, hanya mengenakan celana panjang kasual.

"Ada apa, Aurel?" tanya Lucas dengan suara serak.

Aurel memandangnya dengan dingin, lalu berkata, "Barang yang kita pesan hampir tiba di pelabuhan. Seharusnya kapal mereka merapat dalam beberapa jam."

Mendengar itu, Lucas segera siaga. Matanya menyipit, dan ia merenggangkan bahu, seolah rasa kantuknya hilang seketika. "Apakah semuanya berjalan sesuai rencana?"

"Sejauh ini, iya. Tapi kita harus bergerak cepat. Jika tidak mau ada masalah."

Lucas mengangguk. Ia segera mengambil ponsel dari meja samping dan menelepon Vaga, tangan kanan sekaligus orang yang paling dipercayainya dalam urusan lapangan. Sambungan tersambung dalam beberapa detik.

"Vaga," kata Lucas tegas, "barang kita hampir sampai di pelabuhan. Aku ingin kau yang langsung mengurus semuanya."

Vaga di seberang telepon menjawab dengan nada serius, "Tentu, bos. Apa ada instruksi khusus?"

Lucas berjalan ke jendela besar di kamarnya, menatap ke luar dengan mata tajam. "Pastikan tidak ada yang salah! Barang itu harus sampai dengan utuh dan tidak boleh tercium pihak berwajib. Jika ada yang terlihat mencurigakan, segera bereskan sebelum masalah muncul!"

"Dimengerti," jawab Vaga mantap. "Aku akan kerahkan beberapa orang terbaik kita."

Lucas mengakhiri panggilan dan meletakkan ponselnya di atas meja. Ia berbalik ke arah Aurel. "Kau pastikan jalur distribusi di sini sudah siap! Aku tidak mau ada hambatan setelah barang tiba."

Aurel mengangguk. "Sudah diatur, bos. Gudang sudah disterilkan dan tim distribusi siap bekerja kapan saja."

Lucas tersenyum tipis. "Bagus. Aku suka jika segalanya berjalan rapi."

÷÷÷

Di pelabuhan, Vaga sudah berada di lokasi. Ia berdiri di tepi dermaga, ditemani oleh beberapa pria berbadan kekar dengan senjata tersembunyi di balik jaket mereka. Mereka mengenakan topi dan kacamata hitam, mencoba berbaur dengan suasana hiruk-pikuk pelabuhan.

"Pastikan semuanya dalam posisi," kata Vaga kepada anak buahnya. "Kita tidak mau ada kesalahan."

Seorang pria bertubuh besar mengangguk. "Semua sudah siap, Vaga. Tim di pintu masuk juga siaga."

Vaga menatap ke arah laut, melihat kapal besar mulai mendekat ke dermaga. Ia merogoh ponselnya dan mengirim pesan singkat kepada Lucas : Kapal hampir merapat. Semuanya terkendali.

Di mansion, Lucas membaca pesan itu dan menghela napas lega. Ia menyesap segelas kopi yang disiapkan pelayan. Namun, pikirannya masih sedikit terganggu oleh pertemuannya dengan Numa. Wajah wanita itu terus berkelebat di benaknya seperti teka-teki yang belum terpecahkan.

Aurel yang memperhatikan ekspresi Lucas berkata, "Apa ada masalah?"

Lucas meletakkan gelas kopinya dan menyandarkan tubuh di sofa. "Tidak, hanya sedikit... pikiran."

Aurel menatapnya tajam. "Tentang wanita yang kau temui tadi malam?"

Lucas meliriknya sekilas, lalu mengangkat bahu. "Mungkin."

Aurel menyipitkan mata, tidak terlalu suka dengan topik itu, tapi ia tak mengatakan apa-apa. Ia tahu Lucas terlalu cerdik untuk terjebak oleh emosi, tapi wanita seperti Numa selalu membawa bahaya yang tak terduga.

"Jangan terlalu banyak memikirkan orang asing!" kata Aurel akhirnya. "Itu bisa mengganggu fokusmu."

Lucas tertawa kecil, meski tanpa benar-benar menanggapi. "Kau terdengar seperti ibuku, Aurel."

Aurel mendengus. "Aku hanya memastikan kau tetap berada di jalur yang benar."

Lucas menyandarkan kepalanya ke belakang, matanya memejam sesaat. "Ya, ya. Jangan khawatir, aku tahu apa yang kulakukan!"

÷÷÷

Di pelabuhan, kapal akhirnya bersandar. Vaga bergerak cepat, memerintahkan anak buahnya untuk mengawasi proses bongkar muat. Peti-peti besar berisi barang selundupan—senjata, narkoba, dan berbagai barang ilegal lainnya—diturunkan dengan hati-hati ke truk yang sudah disiapkan.

"Semua berjalan mulus," kata salah satu anak buahnya.

Vaga mengangguk, lalu mengirim pesan kepada Lucas : Barang sudah di tangan dan sedang dalam perjalanan ke gudang.

Lucas membaca pesan itu dengan senyum puas. Ia meletakkan ponselnya dan menatap Aurel. "Sepertinya kita akan mendapat malam yang indah."

Aurel hanya tersenyum tipis. "Aku akan memastikan segalanya tetap berjalan lancar."

Lucas mengangguk pelan, merasa puas dengan bagaimana timnya bekerja. Tapi di balik semua keberhasilan ini, pikirannya masih terfokus pada sosok Numa—wanita yang datang seperti badai dan meninggalkan kesan mendalam.

Di dunia di mana pengkhianatan dan tipu muslihat adalah hal biasa, Lucas tahu ia harus berhati-hati. Namun, pesona Numa membuatnya berpikir: Apakah ia sekadar alat untuk misi berbahaya, atau mungkin sesuatu yang lebih dari itu?

Tanpa sadar, ia tersenyum tipis. "Kita lihat ke mana permainan ini akan berakhir, Numa."

Dengan pikiran yang semakin dalam tentang wanita itu, Lucas tahu bahwa pertarungan terbesarnya mungkin bukan melawan musuh di luar sana—melainkan melawan hatinya sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status