Bagian 17
Pov: Fika
Kudengar Mas Ben tengah mengobrol dengan Ibu mertuaku melalui ponsel. Wajah Mas Ben terlihat begitu senang. Obrolan yang kudengar serius diselingi sedikit candaan dari Mas Ben, membuatku penasaran.
Ketika Mas Ben selesai mengobrol dan mematikan ponselnya. Aku menghampirinya.
"Mas ... sepertinya seru sekali obrolannya? Ada apa?" kataku yang langsung ikut duduk saat Mas Ben kembali duduk.
"Rumah makan Ibu yang di Bandung 'kan tidak ada yang mengurusi. Omzetnya juga menurun belakangan ini. Memang rencananya sih, pembukaan cabang baru rumah makan Ibu yang kemarin sebagai ganti rumah makan yang di Bandung ini. Karena mau dijual. Tapi baru sekarang terjualnya," kata Mas Ben yang kemudian kembali menatap layar ponselnya.
Seperti angin segar saat mendengar Mas Ben bercerita. Kalau rumah makan itu sudah terjual, berarti Ibu mertuaku sedang memegang uang banyak. Rumah makan Ibu mertuaku semuanya besar. Bisa dipastikan berapa uang y
Bagian 1 Pov: Ben [Dek, sudah kutransfer ke rekeningmu, ya! Jatah bulanan untukmu, untuk tabungan, juga ibuku!] Kukirim pesan singkat dengan foto bukti transfer bernominal 8 juta melalui aplikasi berwarna hijau pada Mila, wanita yang sudah lima tahun menjadi istriku. Ia sebatang kara, anak tunggal, dan yatim piatu. Ayah dan ibunya sudah meninggal sejak ia masih gadis. Aku bekerja sebagai ahli teknik pada perusahaan pertambangan. Kerjaku berpindah tempat. Mengikuti lokasi proyek yang akan dikerjakan. Sewaktu belum memiliki anak, Mila selalu ikut kemana aku di tempatkan. Tapi sejak ia mengandung dan kami sudah memiliki anak, aku melarangnya untuk ikut bertugas denganku. Sebelum menikah, aku sudah memiliki rumah hunian yang cukup nyaman dan mewah untuk di tempati. Semua karena kerja kerasku sewaktu masih bujangan, yang jauh dari kehidupan anak muda yang hanya bisa berfoya-foya. Gajiku sebagai ahli teknik pertambangan sangat cukup untuk ke
Bagian 2Pov: MilaPesan masuk dari Mas Ben membuat mataku mengernyit. Ternyata benar apa yang dikatakan Fahri, teman sepekerjaan Mas Ben, mantan kekasih Fika, yang sekarang sudah tak bekerja lagi karena kasus penggelapan dana perusahaan. Fahri berbuat demikian karena cinta butanya dengan Fika. Ia rela berbuat apa saja, sampai harus menggelapkan dana perusahaan hanya untuk memanjakan Fika dengan harta, wanita yang berhasil menggoda Mas Ben hingga mau dijadikan istri keduanya.Dua tahun yang lalu, saat aku merayu Mas Ben untuk membalik nama tabungan dan rumah yang masih tertulis atas namanya menjadi atas namaku dengan keterangan sebagai hadiah atau hibah yang ia berikan untukku, istrinya. Dengan perjanjian, semua aset atas namaku merupakan hak untukku dan tidak termasuk sebagai harta bersama. Perjanjian tersebut ditandantangani oleh aku dan Mas Ben di hadapan notaris.---"Mas, temanku ditinggal menikah lagi dengan suaminya," ucapku saat menemaninya
Bagian 3Pov: FikaMalam ini, aku sangat bahagia. Mas Ben begitu hangat menyambutku dengan cintanya. Matanya yang menatapku penuh hasrat, membuatku semakin ingin terus memilikinya. Semakin ingin menjadi satu-satunya miliknya. Namun, saat raga ini sudah pasrah menerima cintanya, Mas Ben secara tiba-tiba tak meneruskannya. Ponsel miliknya yang berdering, membuatnya beralih dariku.Hanya karena suara ponsel berdering, Mas Ben rela melewatkan bibirku yang sudah basah oleh cintanya. Wajahnya kulihat gusar. Ada garis ketakutan yang tersirat setelah menatap lekat layar ponselnya."Siapa, Mas? Mila?" kataku yang langsung mendekatinyaHening. Tak ada jawaban."Mas?" tanyaku lagi ketika Mas Ben tak menjawab kata-kataku.Mas Ben menarik nafas panjang, yang kemudian kudengar helaan nafas beratnya ia hentakkan melalui mulut. Melihat sikapnya seperti ini, aku semakin cemas. Rasanya seperti ada yang mengganjal di hati Mas Ben hingga wajah yang tadin
Bagian 4Pov: MilaWajah Radit yang kulihat tersenyum tipis meski tengah tertidur pulas, membuatku ikut tersenyum memandangnya. Dia 'lah penyemangatku, teman hidupku, ketika Mas Ben pergi untuk bekerja. Bukan waktu yang singkat Mas Ben pergi meninggalkan kami berdua karena pekerjaannya. Butuh waktu berbulan-bulan untuk aku dan Radit menahan rindu yang setiap waktu menjelma menjadi rasa cemas.Ya. Kecemasan kalau rindu ini tak akan terbalas. Apa yang kutakutkan, malam ini menjadi nyata. Rindu untuknya kurasa semu. Aku memang merindukannya, berharap ia pulang, kembali dengan wajah tersenyum, menjemput rindu yang sudah cukup lama bersemayam dalam hati. Namun harapan itu sirna. Bersamaan dengan perihnya luka yang telah merobek rindu ini."Bunda ...."Radit yang terbangun dan kemudian melihatku di hadapannya, langsung memanggilku."Iya, sayang? Kamu kenapa bangun? Haus? Mau minum? Biar bunda ambilkan, ya!"Radit mejawab dengan anggukan. Se
Bagian 5Pov: BenPrag!Kubanting ponselku ketika Mila mengakhiri panggilan dariku begitu saja. Tanpa sedikitpun memberi kesempatanku untuk terus bicara, berusaha meyakinkannya, agar semua baik-baik saja. Aku benar-benar merasa kehilangan sosok Mila yang selalu bersikap lembut denganku."Dia pikir, dia siapa? Aku mengemis cinta padanya? Kalau saja aku tak semudah itu memberikan semua padanya, yang ada dia yang akan mengemis dan berlutut agar tetap bersamaku. Bahkan dimadu pun kurasa dia akan diam saja!"Aku marah. Hatiku menggebu ketika Mila dengan sombong menolak itikad baikku untuk bicara dengan kepala dingin, memperbaiki semua. Dia menolak maafku. Menolak semua permohonanku walau aku sudah merendahkan harga diriku sendiri."Lihat saja, Mil! Aku akan bertahan dengan Fika! Aku akan membuatmu menyesal merelakanku bersama Fika! Akan kubuat kamu yang mengemis memintaku untuk kembali!"Brak!Aku keluar kamar. Pintunya kututup deng
Bagian 6Pov: Mila"Assalamualaikum ...."Suara pintu dibuka dan seseorang mengucap salam terdengar. Aku yang sedang menemani Radit bermain, berdiri dan melangkah ke sumber suara. Sosok wanita paruh baya menenteng rantang susun tengah melangkah dengan mata seperti mencari penghuni rumah ini. Dia Ibu dari Mas Ben, Ibu mertuaku, Neneknya Radit."Waalaikumsalam!" ucapku menimpali.Aku segera berdiri. Menghampirinya dan meraih jemarinya yang kemudian kukecup lembut."Ibu kenapa tidak bilang dulu kalau mau ke sini? 'Kan bisa aku jemput. Ke sini naik apa, Bu? Bawa mobil sendiri?" kataku lalu segera menenteng rantang yang Ibu bawa, kemudian menggandeng tangan ibu dan melangkah mendekati Radit yang tengah asik bermain."Ibu masih trauma kalau bawa mobil sendiri. Sekarang 'kan mudah, pesan taksi online, langsung naik dari depan rumah. Jadi tidak perlu dijemput lagi. Ibu yang mau main ke sini kok, malah kamu yang repot jemput!" ujar Ibu menepuk
Bagian 7Pov: MilaSudah tiga hari aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Niatan ingin melaporkan Mas Ben ke atasannya, masih begitu terasa mengganjal hati ini. Tapi malam ini, aku sudah bisa mengambil keputusan. Pun dengan tidurku yang akan nyenyak malam ini.Esok, akan kuberanikan diri untuk melapor ke perusahaan Mas Ben. Meski Mas Ben selalu berpindah-pindah tugas, kantor pusat perusahaannya ada di Jakarta. Tidak jauh dari tempat tinggalku. Hanya membutuhkan waktu sekitar 45 menit perjalanan.***"Mbak ... Saya titip Radit, ya! Ada urusan yang harus saya kerjakan," kataku pada Mbak Siti yang tengah asik menyuapi Radit sarapan."Iya, Bu.""Bunda mau kemana?" Radit langsung bertanya dengan mulut yang masih penuh makanan."Bunda ada urusan sebentar. Anak kecil tidak dibolehkan ikut. Jadi, kamu di sini saja, main sama Mbak Siti. Ya!"Tak sulit membuat Radit untuk mengerti. Dia mengangguk, membuatku tersenyum menatapnya.
Bagian 8Pov: Jonas"Kamu?!" katanya ketika aku dan dia saling berhadapan.Mila, itu namanya yang baru saja aku tahu dari Kartika, Resepsionis, saat menghubungiku ada wanita yang tak lain adalah istri Ben, ingin bertemu denganku karena hal penting. Mataku menatapnya tajam, kemudian mengernyit seakan tak percaya dengan apa yang aku lihat di depanku."Jadi kamu istri dari Ben? Cantik sih, tapi otakmu sedikit geser! Kasihan sekali Ben memiliki istri gilak sepertimu. Sial sekali hidupnya!" kataku dengan mata yang menatapnya dari atas ke bawah, dan dari bawah ke atas.Wajahnya tersirat marah ketika melihat aku menatapnya seperti itu. Tapi dia berusaha tenang seolah kata-kataku tadi tak berarti apapun di hatinya. Kulihat ia menarik nafas yang cukup panjang, lalu dengan hentakan pelan dikeluarkan hembusan nafasnya dari mulut. Aku tahu, dari ekspresinya, dia sangat tersiksa menahan rasa marahnya terhadapku. Melihatnya seperti itu, aku tak bisa menahan tawa