Bagian 2
Pov: Mila
Pesan masuk dari Mas Ben membuat mataku mengernyit. Ternyata benar apa yang dikatakan Fahri, teman sepekerjaan Mas Ben, mantan kekasih Fika, yang sekarang sudah tak bekerja lagi karena kasus penggelapan dana perusahaan. Fahri berbuat demikian karena cinta butanya dengan Fika. Ia rela berbuat apa saja, sampai harus menggelapkan dana perusahaan hanya untuk memanjakan Fika dengan harta, wanita yang berhasil menggoda Mas Ben hingga mau dijadikan istri keduanya.
Dua tahun yang lalu, saat aku merayu Mas Ben untuk membalik nama tabungan dan rumah yang masih tertulis atas namanya menjadi atas namaku dengan keterangan sebagai hadiah atau hibah yang ia berikan untukku, istrinya. Dengan perjanjian, semua aset atas namaku merupakan hak untukku dan tidak termasuk sebagai harta bersama. Perjanjian tersebut ditandantangani oleh aku dan Mas Ben di hadapan notaris.
---
"Mas, temanku ditinggal menikah lagi dengan suaminya," ucapku saat menemaninya duduk di depan teras dengan secangkir kopi kesukaannya.
"Lalu?" katanya dengan mata tetap melihat ponsel.
"Kasihan, Mas! Sekarang dia dan anaknya mengontrak. Hidupnya sangat kekurangan. Aku takut, kamu nanti akan seperti itu. Mendapatkan wanita lain, meninggalkan aku dan Radit. Lalu hidup kami akan sengsara."
Sengaja kubuat sedih gaya bicaraku. Mas Ben yang melihat wajahku sendu dengan mata sudah berkaca, kini beralih memandangku. Kedua telapak tangannya membingkai wajahku. Di hadapkan wajahku mendekati wajahnya. Matanya begitu lekat menatapku.
"Wanita yang sangat aku cintai, cuma kamu. Di hati ini cuma ada kamu. Jangan pernah berpikir aku akan meninggalkanmu. Terlintas untuk menyelingkuhimu pun aku tak pernah. Jangan berpikir kejauhan, aku tak mau melihat wajah cantik istriku menjadi muram karena ini."
Mendengar kata-katanya, serasa ingin kutarik bibir ini untuk tersenyum. Tapi, kuurungkan. Aku tak cukup puas hanya dengan kata-kata manisnya saja. Karena ke depannya, aku tak akan tahu Mas Ben akan terus setia denganku atau tidak. Melihat hubungan kami yang sering terpisah jarak karena penugasan yang selalu berpindah tempat.
Apalagi, sejak Mas Ben melarangku untuk ikut kemana dia ditugaskan. Aku seperti kehilangan rasa percayaku dengannya.
"Tapi, Mas ... bukan hanya kata-kata manismu yang aku mau. Aku butuh bukti, agar kamu tak bisa macam-macam denganku."
"Bukti apa? Kurang bukti apa lagi aku untukmu?"
"Aku mau kamu hadiahi rumah ini dan tabungan! Balik nama semua menjadi atas namaku."
Kali ini Mas Ben yang mengernyitkan matanya. Ia seperti tak percaya dengan permintaanku barusan. Tak lama, ia tersenyum. Membuatku ikut tersenyum tipis memandangnya.
"Oke. Kalau memang itu yang kamu mau! Sebelum aku kembali bertugas. Aku akan menghubungi notaris agar segera mengurus pembalik namaan rumah ini atas nama kamu."
"Itu akan menjadi harta bersama? Tetap saja, kalau nanti suatu saat kamu lupa diri, pasti aku dan Radit yang tetap akan sengsara."
Aku mencoba memancingnya. Karena yang aku ingin, bukan cuma membalik nama rumah ini menjadi atas namaku. Itu tak cukup membuatku tenang.
"Adek Mila yang sangat Mas sayangi. Lalu maumu itu apa, biar kamu merasa nyaman?"
"Aku mau ikut saja kemana Mas Ben pergi!"
"Loh. Kok jadi ngawur arahnya! Sudahlah, Dek. Kamu tetap di sini saja, sama Radit. Kasihan ibu kalau jauh dari Radit. Radit kan cucu pertama dan satu-satunya untuk ibu. Masa kamu tega menjauhkan mereka?"
"Ya sudah. Beri keterangan dan perjanjian bahwa tabungan dan rumah ini kamu berikan sebagai hadiah yang kamu hibahkan untukku. Tanpa masuk ke dalam daftar harta bersama. Aku janji aku akan merawat dan menjaganya dengan baik. Karena aku memikirkan masa depan Radit."
"Ya ... Kamu atur saja nanti dengan notaris. Apapun yang kamu mau, ungkapkan. Aku tak mau membuat wajah istri kesayanganku menjadi hilang cantiknya karena memendam keinginan."
Aku tersipu malu. Mas Ben memang sangat pandai dalam berkata. Ia selalu membuatku merasa sangat dicintai. Aku melakukan ini, bukan karena merasa Mas Ben sudah berbeda dan mencoba menghianatiku. Tapi semata-mata untuk berjaga. Karena aku tak akan tahu, apa yang akan terjadi di waktu-waktu berikutnya.
---
[Mil ... Kamu harus waspada. Mas Ben mu sedang tergila-gila dengan gadis di tempat keluargaku tinggal. Gadis itu juga mantan pacarku. Ia meninggalkanku saat aku sudah tak bekerja. Lalu mengincar Mas Ben. Namanya Fika. Sudah sekitar dua bulanan aku melihat mereka sangat mesra. Seperti pasangan suami istri.]
Pesan singkat Fahri yang ia kirim padaku satu minggu sebelum Mas Ben mengurangi jatah uang bulanan yang mengaku gajinya dipangkas karena perusahaan sedang masa pailit.
Namun, aku tak percaya begitu saja dengan Mas Ben. Aku langsung menghubungi Fahri untuk menanyakan hal tersebut. Meski Fahri sudah didepak dari perusahaan, ia masih bisa mencari informasi dengan mudah perihal perusahaan.
"Halo, Mil? Kenapa?" ucapnya di sebrang mengawali obrolan pada ponsel.
"Maaf ganggu, Ri! Bisa tolong cari info soal gaji yang dipangkas karena perusahaan pailit?"
"Perusahaan siapa?"
Aku lupa menyebutkan perusahaan tempat Mas Ben bekerja. Membuat Fahri bertanya bingung.
"Perusahaan Mas Ben! Baru saja dia bilang gajinya dipangkas karena perusahaan sedang masa pailit. Makanya jatah bulanan yang ia kirim ikut terpangkas. Apa benar? Aku sih tak yakin!"
"Hahaha! Ya jelas bohong itu! Justru perusahaan itu sedang makmur-makmurnya! Kudengar-dengar juga suamimu mau naik jabatan. Dia sedang dipromosikan sebagai kepala teknik pertambangan di perusahaannya. Karena kepala teknik sebelumnya meninggal sebulan yang lalu."
"Benar-benar, ya, Mas Ben! Cinta butanya menutup rasa sayangnya terhadap keluarga. Memang secantik apa, sih, Fika itu?"
"Cantik sih relatif, Mil. Tapi pesona dan karismanya itu, yang membuat pria manapun sulit untuk menolak rayuannya. Aku saja sampai tak percaya, dulu aku mau saja dijadikan mesin uang olehnya."
"Tenang saja, Ri. Aku tidak takut dengan apa yang Mas Ben lakukan di luaran sana. Jauh-jauh hari, saat Mas Ben belum terpengaruh wanita manapun, saat Mas Ben masih sangat mencintaiku, saat Mas Ben belum dibutakan mata hatinya. Aku sudah beberapa langkah di depannya. Ya sudah, Ri. Aku mau ke rumah ibu mertuaku. Terima kasih untuk infonya. Kabari aku jika ada info yang lebih tentang mereka."
"Oke, Mil. Beres!"
Kuusap dial merah untuk mengakhiri panggilan.
Hatiku memang sakit. Sangat sakit mendengar kebohongan Mas Ben dan perselingkuhannya dengan wanita yang bernama Fika. Air mata menetes begitu saja dari pelupuk membasahi pipi. Tapi aku tak ingin air mataku lebih banyak keluar untuk mereka. Cepat-cepat kuseka air mata yang terlanjur membuat basah wajah. Kupaksa bibir ini untuk tersenyum, menghilangkan rasa sakit yang mengganjal dalam hati.
***
Dua minggu kemudian.
Di malam hari yang kurasa sangat dingin. Membuatku gelisah. Hatiku semakin merasakan kegusaran. Wajah Mas Ben selalu hadir dalam setiap hal yang aku lakukan. Aku tak tahu apa artinya. Mungkin karena rasa cemburu yang selalu memikirkan Mas Ben dan wanita itu di luar sana.
Cling!
Suara pesan masuk ke ponselku.
Segera kubuka pesan yang tertulis nama Fahri. Aku yakin, Fahri pasti memberikan info yang penting untukku.
"Astagfirullah!"
Aku tak percaya apa yang kulihat di foto yang baru saja Fahri kirim. Dadaku tiba-tiba terasa penuh, membuatku sulit bernafas.
Foto laki-laki yang aku harap bisa menggenggam erat janji pernikahan aku dengannya, kini ia membuat janji pernikahan baru pada wanita lain. Foto laki-laki yang kuharap bisa menjaga hatinya untukku, kini tengah tersenyum bahagia di pelaminan dengan wanita lain.
Aku tak mau menangis. Aku tak mau mengeluarkan air mata untuk mereka. Segera kukirim kembali foto-foto yang Fahri kirim ke ponsel Mas Ben, dengan dibubuhi pesan singkat dariku.
[Aku tak terima kamu menghianati aku dan Radit seperti ini! Aku harap kamu segera pulang, dan kita urus perceraian! Ingat, kamu pulang hanya mengurus perceraian, tanpa membawa apapun yang ada padaku, Radit, dan rumah ini. Cukup kemasi pakaian-pakaianmu!]
Kuletakkan ponselku di atas meja rias. Aku tak ingin menunggu pesan itu dibaca oleh Mas Ben. Kutinggalkan kamar dan pergi melihat Radit yang tengah tertidur pulas di kamarnya.
=====
Bersambung ....
Bagian 3Pov: FikaMalam ini, aku sangat bahagia. Mas Ben begitu hangat menyambutku dengan cintanya. Matanya yang menatapku penuh hasrat, membuatku semakin ingin terus memilikinya. Semakin ingin menjadi satu-satunya miliknya. Namun, saat raga ini sudah pasrah menerima cintanya, Mas Ben secara tiba-tiba tak meneruskannya. Ponsel miliknya yang berdering, membuatnya beralih dariku.Hanya karena suara ponsel berdering, Mas Ben rela melewatkan bibirku yang sudah basah oleh cintanya. Wajahnya kulihat gusar. Ada garis ketakutan yang tersirat setelah menatap lekat layar ponselnya."Siapa, Mas? Mila?" kataku yang langsung mendekatinyaHening. Tak ada jawaban."Mas?" tanyaku lagi ketika Mas Ben tak menjawab kata-kataku.Mas Ben menarik nafas panjang, yang kemudian kudengar helaan nafas beratnya ia hentakkan melalui mulut. Melihat sikapnya seperti ini, aku semakin cemas. Rasanya seperti ada yang mengganjal di hati Mas Ben hingga wajah yang tadin
Bagian 4Pov: MilaWajah Radit yang kulihat tersenyum tipis meski tengah tertidur pulas, membuatku ikut tersenyum memandangnya. Dia 'lah penyemangatku, teman hidupku, ketika Mas Ben pergi untuk bekerja. Bukan waktu yang singkat Mas Ben pergi meninggalkan kami berdua karena pekerjaannya. Butuh waktu berbulan-bulan untuk aku dan Radit menahan rindu yang setiap waktu menjelma menjadi rasa cemas.Ya. Kecemasan kalau rindu ini tak akan terbalas. Apa yang kutakutkan, malam ini menjadi nyata. Rindu untuknya kurasa semu. Aku memang merindukannya, berharap ia pulang, kembali dengan wajah tersenyum, menjemput rindu yang sudah cukup lama bersemayam dalam hati. Namun harapan itu sirna. Bersamaan dengan perihnya luka yang telah merobek rindu ini."Bunda ...."Radit yang terbangun dan kemudian melihatku di hadapannya, langsung memanggilku."Iya, sayang? Kamu kenapa bangun? Haus? Mau minum? Biar bunda ambilkan, ya!"Radit mejawab dengan anggukan. Se
Bagian 5Pov: BenPrag!Kubanting ponselku ketika Mila mengakhiri panggilan dariku begitu saja. Tanpa sedikitpun memberi kesempatanku untuk terus bicara, berusaha meyakinkannya, agar semua baik-baik saja. Aku benar-benar merasa kehilangan sosok Mila yang selalu bersikap lembut denganku."Dia pikir, dia siapa? Aku mengemis cinta padanya? Kalau saja aku tak semudah itu memberikan semua padanya, yang ada dia yang akan mengemis dan berlutut agar tetap bersamaku. Bahkan dimadu pun kurasa dia akan diam saja!"Aku marah. Hatiku menggebu ketika Mila dengan sombong menolak itikad baikku untuk bicara dengan kepala dingin, memperbaiki semua. Dia menolak maafku. Menolak semua permohonanku walau aku sudah merendahkan harga diriku sendiri."Lihat saja, Mil! Aku akan bertahan dengan Fika! Aku akan membuatmu menyesal merelakanku bersama Fika! Akan kubuat kamu yang mengemis memintaku untuk kembali!"Brak!Aku keluar kamar. Pintunya kututup deng
Bagian 6Pov: Mila"Assalamualaikum ...."Suara pintu dibuka dan seseorang mengucap salam terdengar. Aku yang sedang menemani Radit bermain, berdiri dan melangkah ke sumber suara. Sosok wanita paruh baya menenteng rantang susun tengah melangkah dengan mata seperti mencari penghuni rumah ini. Dia Ibu dari Mas Ben, Ibu mertuaku, Neneknya Radit."Waalaikumsalam!" ucapku menimpali.Aku segera berdiri. Menghampirinya dan meraih jemarinya yang kemudian kukecup lembut."Ibu kenapa tidak bilang dulu kalau mau ke sini? 'Kan bisa aku jemput. Ke sini naik apa, Bu? Bawa mobil sendiri?" kataku lalu segera menenteng rantang yang Ibu bawa, kemudian menggandeng tangan ibu dan melangkah mendekati Radit yang tengah asik bermain."Ibu masih trauma kalau bawa mobil sendiri. Sekarang 'kan mudah, pesan taksi online, langsung naik dari depan rumah. Jadi tidak perlu dijemput lagi. Ibu yang mau main ke sini kok, malah kamu yang repot jemput!" ujar Ibu menepuk
Bagian 7Pov: MilaSudah tiga hari aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Niatan ingin melaporkan Mas Ben ke atasannya, masih begitu terasa mengganjal hati ini. Tapi malam ini, aku sudah bisa mengambil keputusan. Pun dengan tidurku yang akan nyenyak malam ini.Esok, akan kuberanikan diri untuk melapor ke perusahaan Mas Ben. Meski Mas Ben selalu berpindah-pindah tugas, kantor pusat perusahaannya ada di Jakarta. Tidak jauh dari tempat tinggalku. Hanya membutuhkan waktu sekitar 45 menit perjalanan.***"Mbak ... Saya titip Radit, ya! Ada urusan yang harus saya kerjakan," kataku pada Mbak Siti yang tengah asik menyuapi Radit sarapan."Iya, Bu.""Bunda mau kemana?" Radit langsung bertanya dengan mulut yang masih penuh makanan."Bunda ada urusan sebentar. Anak kecil tidak dibolehkan ikut. Jadi, kamu di sini saja, main sama Mbak Siti. Ya!"Tak sulit membuat Radit untuk mengerti. Dia mengangguk, membuatku tersenyum menatapnya.
Bagian 8Pov: Jonas"Kamu?!" katanya ketika aku dan dia saling berhadapan.Mila, itu namanya yang baru saja aku tahu dari Kartika, Resepsionis, saat menghubungiku ada wanita yang tak lain adalah istri Ben, ingin bertemu denganku karena hal penting. Mataku menatapnya tajam, kemudian mengernyit seakan tak percaya dengan apa yang aku lihat di depanku."Jadi kamu istri dari Ben? Cantik sih, tapi otakmu sedikit geser! Kasihan sekali Ben memiliki istri gilak sepertimu. Sial sekali hidupnya!" kataku dengan mata yang menatapnya dari atas ke bawah, dan dari bawah ke atas.Wajahnya tersirat marah ketika melihat aku menatapnya seperti itu. Tapi dia berusaha tenang seolah kata-kataku tadi tak berarti apapun di hatinya. Kulihat ia menarik nafas yang cukup panjang, lalu dengan hentakan pelan dikeluarkan hembusan nafasnya dari mulut. Aku tahu, dari ekspresinya, dia sangat tersiksa menahan rasa marahnya terhadapku. Melihatnya seperti itu, aku tak bisa menahan tawa
Bagian 9Pov: Ben"Mas, pokoknya besok begitu tiba di Jakarta. Kamu langsung urus perceraianmu dengan Mila. Aku tidak mau sampai mendengar kabar kamu rujuk dengannya!"Fika sedikit menyentakku dari lamunan penyesalan yang telah kulakukan pada Mila. Wanita yang selalu setia menungguku di rumah. Wanita yang selalu menyambut hangat kepulanganku dengan senyuman dan rindu yang ia kemas dengan indah sebagai hadiah kepulanganku.Hari ini hari terakhir masa tugasku. Besok hingga dua pekan ke depan, seperti yang sudah-sudah. Aku diberi waktu liburan untuk melepas rindu dengan keluarga. Tapi, rindu yang kunantikan sudah berubah. Tak akan ada lagi pelukan manja dan air mata tulus dari Mila saat melihatku pulang.Rasa semangat yang menggebu saat masa tugas habis dan menggenggam jadwal untuk pulang ke rumah, tidak lagi kurasakan. Aku seperti tersesat. Besok akan langsung pulang ke rumah yang dulu serasa seperti istana, atau berbelok ke rumah Ibu. Gelisah semaki
Bagian 10Pov: JonasSuara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Sudah beberapa hari ini aku sering tersenyum hanya karena menatap ponsel. Perasaan yang menurutku gila ini tak henti menggangguku. Semakin aku tepis, semakin nyata wajahnya bergelayut manja."Masuk ...."Pintu pun terbuka."Permisi, Pak!"Sintia, kepala bagian HRD datang dengan membawa amplop coklat di tangannya. Aku baru ingat, hari ini jadwalku untuk meng-interview calon sekretaris baru yang sebelumnya sudah lolos interview tahap awal melalui HRD.Sudah satu bulan aku bekerja tanpa sekretaris. Membuat pekerjaanku semua terbengkalai. Sekretaris lama yang juga merupakan kekasihku, kupecat tanpa kehormatan. Dia, Wilona. Menggelapkan dana perusahaan dan tertangkap mempunyai hubungan khusus dengan salah satu karyawan di kantor ini.Aku marah, kecewa, dan sakit hati. Ingin rasanya kulaporkan perbuatannya pada pihak yang berwajib. Tapi hubungan bisnis orangtuaku dengan