Bagian 5
Pov: Ben
Prag!
Kubanting ponselku ketika Mila mengakhiri panggilan dariku begitu saja. Tanpa sedikitpun memberi kesempatanku untuk terus bicara, berusaha meyakinkannya, agar semua baik-baik saja. Aku benar-benar merasa kehilangan sosok Mila yang selalu bersikap lembut denganku.
"Dia pikir, dia siapa? Aku mengemis cinta padanya? Kalau saja aku tak semudah itu memberikan semua padanya, yang ada dia yang akan mengemis dan berlutut agar tetap bersamaku. Bahkan dimadu pun kurasa dia akan diam saja!"
Aku marah. Hatiku menggebu ketika Mila dengan sombong menolak itikad baikku untuk bicara dengan kepala dingin, memperbaiki semua. Dia menolak maafku. Menolak semua permohonanku walau aku sudah merendahkan harga diriku sendiri.
"Lihat saja, Mil! Aku akan bertahan dengan Fika! Aku akan membuatmu menyesal merelakanku bersama Fika! Akan kubuat kamu yang mengemis memintaku untuk kembali!"
Brak!
Aku keluar kamar. Pintunya kututup dengan kencang, membuat telinga ini puas mendengar suara bisingnya. Kucari Fika ke sekeliling rumah. Rumah yang difasilitasi oleh perusahaan dan sudah dua bulan kutempati bersama Fika.
Kulihat Fika tengah bersantai di sofa dengan memainkan ponselnya. Wajahnya nampak datar. Tak ada satupun guratan sedih ataupun senang yang ia tampakkan. Kuhela nafas untuk meredam amarahku yang masih tersisa.
"Fik ...," ucapku hati-hati saat sudah duduk di sampingnya yang kemudian kubelai rambut panjangnya dengan lembut.
Wajahnya menoleh. Menatapku. Tapi hanya beberapa saat. Kemudian ia kembali memainkan ponselnya. Tak terucap sepatah katapun dari bibirnya.
"Fika ... Hey ...," kataku lagi dengan mengusap dan mengacak rambutnya.
Rambutnya yang kuacak-acak, langsung ia rapikan kembali. Wajahnya menyiratkan kemarahan. Hingga tak ada satu garispun senyumnya kulihat. Meski begitu, masih saja kulihat wajahnya begitu cantik dan menggoda. Hasrat itu kemudian muncul lagi. Rasanya ingin segera kujamah dirinya, hingga tak setitikpun akan kulewatkan.
"Kenapa melihatku seperti itu, Mas? Sana, jauh-jauh. Aku sedang tak mau ditemani!"
"Kamu cantik sekali! Wajah ditekuk pun tetap membuatku bergairah. Ayolah ... Kita kembali ke kamar. Ini malam pengantin kita. Atau, mau kugendong agar sampai ke ranjang?"
"Tidak! Kamu sendiri tadi yang bilang sudah tak berselera! Sudah ... Pergi sana! Aku tidak mau kamu ganggu!"
Aku terus merayunya. Menatap matanya lekat-lekat. Hasratku seakan menggebu, pesona Fika malam ini dengan sekejap membuatku melupakan masalah yang baru saja terjadi antara aku dan Mila. Berulang kali Fika membuang wajahnya dariku. Tak membuatku menyerah, tapi semakin kupaksa untuk tetap terus memandangku.
Kini wajahku sudah benar-benar berada dekat sekali dengan wajahnya. Aku menatap matanya, begitupun Fika. Meski marah, binar matanya kulihat penuh dengan hasrat saat menatapku lekat. Jarak kami semakin mendekat. Hembusan nafasku dengan nafasnya seakan beradu. Hingga kami saling memandang mesra. Tak ada lagi jarak antara kami.
***
"Mas, bagaimana kalau kamu dipecat dari pekerjaanmu?"
Aku masih di atas ranjang dengan duduk bersandar pada bantal yang disusun di kepala ranjang. Fika memelukku dengan kepala bersandar di dada. Sementara aku, asik memainkan rambutnya yang masih berantakan dan dibiarkan terurai.
"Aku dipecat? Tidak akan mungkin, Fik. Kamu tenang saja."
"Mila pasti tidak tinggal diam, Mas! Bagaimana kalau nanti dia membuat laporan ke perusahaan tentang pernikahan kita? Pokoknya kalau sampai kamu dipecat, aku lebih baik mundur! Aku tidak sanggup jika kamu mengajakku hidup sengsara denganmu!" katanya dengan wajah ketus yang ia dongakan.
"Lihat saja nanti. Aku tidak akan dipecat! Aku akan membuatmu bahagia hidup bersamaku. Percaya!" ucapku meyakinkannya.
Tekadku sudah bulat. Akan kukabulkan keinginan Mila untuk bercerai denganku. Sehabis masa tugas yang hanya tersisa dua pekan ke depan, aku akan langsung mengurus semuanya. Mengurus perceraianku dengannya.
'Akan kubuat kamu menderita setelah bercerai denganku, Mil! Hingga tak ada segaris pun senyum yang tersisa di wajahmu! Akan ku balas penghinaan yang sudah kamu tancapkan dalam hatiku. Hingga kamu menyesal dan memohon kepadaku!'
Aku tersenyum. Mendekap erat Fika yang sudah memejamkan mata dengan gelayut mimpi indahnya.
***
"Mas, kamu masih punya sedikit simpanan uang?" kata Fika saat aku baru saja menyuapkan makanan sarapan pagi ke mulutku.
Tak langsung kujawab. Kuhabiskan dulu makananku di mulut agar lebih nyaman saat berbicara.
"Loh, jatah gajian ku yang aku kurangi lima juta untuk Mila 'kan aku kasih ke kamu semua. Seminggu sebelumnya saat aku mendapat bonus dari atasan, seluruhnya juga aku kasih ke kamu untuk menyiapkan pernikahan kita. Apa habis semuanya?" kataku yang langsung mengambil gelas berisi air mineral di hadapanku untuk kuminum.
"Ya habis lah, Mas! Uang lima juta itu kan sudah dua minggu yang lalu. Uang bonusmu yang seratus juta, ya sudah habis juga untuk acara pernikahan. Aku tak pegang uang sepeserpun saat ini, Mas!"
"Acara pernikahan kita tidak mewah. Tidak menyewa gedung juga. Hanya catering yang kulihat sederhana. Bagaimana bisa uang segitu habis untuk catering dan perlengkapan acara pernikahan yang kurasa sangat sederhana itu?"
"Jadi kamu tidak percaya denganku, Mas? Dengan keluargaku? Kamu kira aku menggelapkan uangmu untuk kepentinganku dan juga keluargaku sendiri?"
Obrolan kami sudah menegang. Hingga selera makanku di pagi hari menjadi hilang. Dengan sendok dan garpu masih kupegang, aku menghela nafas, mencoba menahan emosi agar tak terus berlanjut dan semakin berselisih paham.
"Lalu kamu kemanakan uang itu? Harusnya masih sisa dan bisa menjadi peganganmu sambil menunggu gajianku."
"Uang yang sudah kamu kasih, tidak pantas kamu tanyakan seperti itu, Mas! Mau aku kemanakan uangnya, itu sudah bukan lagi menjadi urusanmu!" ucapnya ketus dan sedikit membentak.
Kata-kata Fika membuatku kesal. Masih saja kata-katanya seperti wanita yang tak bisa menghargai suaminya. Dia seperti tidak menyadari dengan siapa dia bicara.
"Kalau kamu bicara itu sudah bukan lagi menjadi urusanku, ya sudah. Akupun sudah tak peduli kamu memegang uang saat ini ataupun tidak! Karena sudah bukan lagi menjadi urusanku jika uang yang sudah kuberikan tidak cukup untuk satu bulan!"
"Oke! Aku jujur. Uang bonus yang kamu berikan padaku, setengahnya kupakai untuk membayar cicilan utangku. Aku minta maaf, tidak meminta izin dulu padamu," ucapnya yang terlihat penuh hati-hati.
Mendengar ucapannya, aku menganga. Wanita yang sudah menjadi istri di hadapanku, memiliki utang yang cicilannya saja sebesar lima puluh juta. Bagaimana dengan hutang keselurahnnya? Selera makanku sudah benar-benar hilang.
Prang!
Kubanting garpu dan sendok yang sejak tadi hanya kupegang dengan keras ke piring. Wajahku memerah.
"Cicilan utang lima puluh juta? Kamu punya hutang berapa banyak, hingga cicilannya sampai sebesar itu?"
"Lima puluh juta itu cicilan utangku selama lima bulan. Aku sudah lama tidak mencicilnya. Uang yang kupunya hanya cukup untuk merawat diri dan kebutuhan sehari-hari."
Kata-katanya semakin membuatku sulit bernafas. Aku sangat tak menduga semua ini.
"Astaga ... Fika! Kita baru kenal dua bulan, dan aku sudah harus menanggung utangmu yang sudah lima bulan tidak kamu cicil?" kataku sembari memegang kepala yang tiba-tiba terasa sakit.
Fika hanya diam dengan menundukkan wajahnya. Ia seperti takut melihatku yang sudah sangat marah padanya.
"Berapa banyak utangmu itu?" kataku lagi.
"Lima ratus juta, Mas. Sekarang sisa tiga ratus juta."
"Kamu punya utang sebanyak itu? Sudah gila kamu, ya?"
Aku langsung beranjak dan melangkah meninggalkannya. Rasanya kepalaku mau pecah setelah mendapati kenyataan yang hadir di depan mataku.
"Mau kemana, Mas? Habiskan dulu sarapannya!"
"Selera makanku sudah tidak ada! Aku ingin keluar menghirup udara segar supaya sakit di kepalaku hilang!"
"Tapi, Mas! Mas ...!"
Tanpa peduli panggilannya lagi, aku tetap terus pergi meninggalkannya.
Rasanya tak ada semangat lagi dalam diri ini. Aku benar-benar salah memilih wanita yang langsung kujadikan istri dan telah membuat rumah tanggaku dengan Mila hancur. Menukar Mila dengan Fika, seperti menukar berlian dengan batu hitam.
=====
Bersambung ....
Bagian 6Pov: Mila"Assalamualaikum ...."Suara pintu dibuka dan seseorang mengucap salam terdengar. Aku yang sedang menemani Radit bermain, berdiri dan melangkah ke sumber suara. Sosok wanita paruh baya menenteng rantang susun tengah melangkah dengan mata seperti mencari penghuni rumah ini. Dia Ibu dari Mas Ben, Ibu mertuaku, Neneknya Radit."Waalaikumsalam!" ucapku menimpali.Aku segera berdiri. Menghampirinya dan meraih jemarinya yang kemudian kukecup lembut."Ibu kenapa tidak bilang dulu kalau mau ke sini? 'Kan bisa aku jemput. Ke sini naik apa, Bu? Bawa mobil sendiri?" kataku lalu segera menenteng rantang yang Ibu bawa, kemudian menggandeng tangan ibu dan melangkah mendekati Radit yang tengah asik bermain."Ibu masih trauma kalau bawa mobil sendiri. Sekarang 'kan mudah, pesan taksi online, langsung naik dari depan rumah. Jadi tidak perlu dijemput lagi. Ibu yang mau main ke sini kok, malah kamu yang repot jemput!" ujar Ibu menepuk
Bagian 7Pov: MilaSudah tiga hari aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Niatan ingin melaporkan Mas Ben ke atasannya, masih begitu terasa mengganjal hati ini. Tapi malam ini, aku sudah bisa mengambil keputusan. Pun dengan tidurku yang akan nyenyak malam ini.Esok, akan kuberanikan diri untuk melapor ke perusahaan Mas Ben. Meski Mas Ben selalu berpindah-pindah tugas, kantor pusat perusahaannya ada di Jakarta. Tidak jauh dari tempat tinggalku. Hanya membutuhkan waktu sekitar 45 menit perjalanan.***"Mbak ... Saya titip Radit, ya! Ada urusan yang harus saya kerjakan," kataku pada Mbak Siti yang tengah asik menyuapi Radit sarapan."Iya, Bu.""Bunda mau kemana?" Radit langsung bertanya dengan mulut yang masih penuh makanan."Bunda ada urusan sebentar. Anak kecil tidak dibolehkan ikut. Jadi, kamu di sini saja, main sama Mbak Siti. Ya!"Tak sulit membuat Radit untuk mengerti. Dia mengangguk, membuatku tersenyum menatapnya.
Bagian 8Pov: Jonas"Kamu?!" katanya ketika aku dan dia saling berhadapan.Mila, itu namanya yang baru saja aku tahu dari Kartika, Resepsionis, saat menghubungiku ada wanita yang tak lain adalah istri Ben, ingin bertemu denganku karena hal penting. Mataku menatapnya tajam, kemudian mengernyit seakan tak percaya dengan apa yang aku lihat di depanku."Jadi kamu istri dari Ben? Cantik sih, tapi otakmu sedikit geser! Kasihan sekali Ben memiliki istri gilak sepertimu. Sial sekali hidupnya!" kataku dengan mata yang menatapnya dari atas ke bawah, dan dari bawah ke atas.Wajahnya tersirat marah ketika melihat aku menatapnya seperti itu. Tapi dia berusaha tenang seolah kata-kataku tadi tak berarti apapun di hatinya. Kulihat ia menarik nafas yang cukup panjang, lalu dengan hentakan pelan dikeluarkan hembusan nafasnya dari mulut. Aku tahu, dari ekspresinya, dia sangat tersiksa menahan rasa marahnya terhadapku. Melihatnya seperti itu, aku tak bisa menahan tawa
Bagian 9Pov: Ben"Mas, pokoknya besok begitu tiba di Jakarta. Kamu langsung urus perceraianmu dengan Mila. Aku tidak mau sampai mendengar kabar kamu rujuk dengannya!"Fika sedikit menyentakku dari lamunan penyesalan yang telah kulakukan pada Mila. Wanita yang selalu setia menungguku di rumah. Wanita yang selalu menyambut hangat kepulanganku dengan senyuman dan rindu yang ia kemas dengan indah sebagai hadiah kepulanganku.Hari ini hari terakhir masa tugasku. Besok hingga dua pekan ke depan, seperti yang sudah-sudah. Aku diberi waktu liburan untuk melepas rindu dengan keluarga. Tapi, rindu yang kunantikan sudah berubah. Tak akan ada lagi pelukan manja dan air mata tulus dari Mila saat melihatku pulang.Rasa semangat yang menggebu saat masa tugas habis dan menggenggam jadwal untuk pulang ke rumah, tidak lagi kurasakan. Aku seperti tersesat. Besok akan langsung pulang ke rumah yang dulu serasa seperti istana, atau berbelok ke rumah Ibu. Gelisah semaki
Bagian 10Pov: JonasSuara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Sudah beberapa hari ini aku sering tersenyum hanya karena menatap ponsel. Perasaan yang menurutku gila ini tak henti menggangguku. Semakin aku tepis, semakin nyata wajahnya bergelayut manja."Masuk ...."Pintu pun terbuka."Permisi, Pak!"Sintia, kepala bagian HRD datang dengan membawa amplop coklat di tangannya. Aku baru ingat, hari ini jadwalku untuk meng-interview calon sekretaris baru yang sebelumnya sudah lolos interview tahap awal melalui HRD.Sudah satu bulan aku bekerja tanpa sekretaris. Membuat pekerjaanku semua terbengkalai. Sekretaris lama yang juga merupakan kekasihku, kupecat tanpa kehormatan. Dia, Wilona. Menggelapkan dana perusahaan dan tertangkap mempunyai hubungan khusus dengan salah satu karyawan di kantor ini.Aku marah, kecewa, dan sakit hati. Ingin rasanya kulaporkan perbuatannya pada pihak yang berwajib. Tapi hubungan bisnis orangtuaku dengan
Bagian 11Pov: MilaAku dan Radit sedang makan siang. Seperti biasa, Radit disuapi Mbak Siti. Makannya sangat lahap. Sebelumnya, Radit tidak mau makan sama sekali. Tapi begitu kurayu, bahwa Mas Ben akan pulang setelah makan siang. Dengan semangat Radit langsung meminta makan.Sementara aku, hanya kuputar-putar saja sendok dan garpu yang kupegang. Pikiranku melayang ke Jonas. Direktur Utama perusahaan tempat Mas Ben bekerja. Aku masih bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang Jonas yang ketus dan menyebalkan menawarkanku pekerjaan sebagai sekretarisnya. Dan untuk apa juga dia mengundangku secara langsung ke acara yang sangat penting di kantornya. Pikiranku berkecamuk, masih bertanya-tanya apa yang ada dalam pikirannya hingga ia bersikap seperti itu.Apa mungkin dia cuma ingin mengerjaiku?Begitu aku jawab, "Iya, aku mau jadi sekretarismu."Dia pasti akan langsung menertawakanku dan berkata, "Hey! Di rumahmu apa tidak punya kaca? Itu hanya lel
Bagian 12Pov: JonasAcara serah terima jabatan untuk karyawan berkompeten yang terpilih di perusahaan yang aku pimpin, akan dimulai sebentar lagi. Tapi aku masih sibuk memilih kemeja, dasi, dan jas mana yang akan kupakai. Bahkan jam tangan dan sepatu pun aku bingung mesti pakai yang mana.Mila pasti datang dengan gaun dan sepatu yang cantik, juga riasan wajah yang akan membuat mata siapa saja memandang pasti terpesona dengannya.Aku tahu kalau dia wanita yang sangat memperhatikan penampilannya. Terlihat kemarin sewaktu dia datang ke kantor. Walau keperluannya hanya mengajukan laporan, Mila begitu menawan. Dia sampai bisa menarik perhatianku. Tak kentara kalau dia seorang wanita yang sudah bersuami dan memiliki anak balita.Selain menawan dan berpenampilan menarik, Mila wanita yang kuat dan tegas. Terbukti ketika dia berbicara denganku. Padahal dia tahu, aku atasan suaminya, direktur dari perusahaan tempat suaminya bekerja. Tapi sikapnya masih saja
Bagian 13Pov: MilaAku tak menyangka, Jonas akan mempermalukan Mas Ben di acara yang sangat penting seperti ini. Bagaimana kalau sampai Mas Ben berpikir macam-macam tentang aku dan Jonas. Rasa takutku bergelayut dalam dada. Aku tak mau sampai semua hal buruk yang kubayangkan terjadi.Mas Ben menatapku dengan marah yang begitu mendalam, membuat dadaku sesak hingga sulit sekali bernafas. Kemudian kulihat Mas Ben turun dari podium dengan tergesa menghampiriku. Ditariknya tanganku dengan kasar hingga aku berdiri menghadapnya."Wanita s*alan! Pantas saja kamu punya foto-foto pernikahan aku dengan Fika. Rupanya kamu ada main dengan atasanku! Foto-foto itu kamu dapatkan dari dia 'kan? Hanya demi memata-mataiku, kamu rela bermain gila dengan atasanku! Sejak kapan kamu ada main dengannya?" ucap Mas Ben berapi dengan jari menunjuk ke wajahku.Tubuhku gemetar. Hatiku sakit saat Mas Ben menuduhku yang buruk. Ketakutanku akan Mas Ben yang berpikir macam-macam