Bagian 4
Pov: Mila
Wajah Radit yang kulihat tersenyum tipis meski tengah tertidur pulas, membuatku ikut tersenyum memandangnya. Dia 'lah penyemangatku, teman hidupku, ketika Mas Ben pergi untuk bekerja. Bukan waktu yang singkat Mas Ben pergi meninggalkan kami berdua karena pekerjaannya. Butuh waktu berbulan-bulan untuk aku dan Radit menahan rindu yang setiap waktu menjelma menjadi rasa cemas.
Ya. Kecemasan kalau rindu ini tak akan terbalas. Apa yang kutakutkan, malam ini menjadi nyata. Rindu untuknya kurasa semu. Aku memang merindukannya, berharap ia pulang, kembali dengan wajah tersenyum, menjemput rindu yang sudah cukup lama bersemayam dalam hati. Namun harapan itu sirna. Bersamaan dengan perihnya luka yang telah merobek rindu ini.
"Bunda ...."
Radit yang terbangun dan kemudian melihatku di hadapannya, langsung memanggilku.
"Iya, sayang? Kamu kenapa bangun? Haus? Mau minum? Biar bunda ambilkan, ya!"
Radit mejawab dengan anggukan. Segera kuambil gelas berisi air yang sebelumnya sudah kusiapkan di atas nakas samping ranjang. Dibantu denganku, Radit bangkit dan duduk menyandar di kepala ranjang. Hampir setengah ia meminumnya. Kemudian, Radit kembali memejamkan mata. Ia tertidur lagi dengan pulas.
Radit sangat dekat dengan Mas Ben. Jika Mas Ben pulang, tidak ada waktu yang terlewat tanpanya. Radit selalu menghabiskan waktu bersama Mas Ben. Kedekatannya sampai pernah membuatku cemburu. Karena mereka terlalu asyik berdua tanpa peduli denganku.
Usia Radit bulan depan, tepatnya sekitar dua mingguan lagi menginjak tahun ke empat. Dua bulan yang lalu, sebelum esoknya Mas Ben meninggalkan kami bekerja. Kudengar Radit mengobrol banyak dengan Mas Ben. Teringat obrolan panjang mereka yang begitu seru, hingga aku yang awalnya sibuk dengan ponselku, mengamatinya dan menikmati obrolan mereka.
---
"Ayah ... kenapa sih, Ayah harus kerja jauh? Kan ayah jadi tidak pulang-pulang. Aku ingin Ayah pulang setiap hari. Jadi bisa terus menemaniku bermain."
Radit bicara tak menatap wajah Mas Ben. Ia berbicara sambil memainkan mainan yang ada di depannya. Tangannya terus menggerakkan mobil-mobilan, robot-robotan, dan mainan lainnya. Gaya bicaranya yang masih cadel dan polos membuat wajahnya semakin menggemaskan.
"Setahun belakangan ini 'kan Ayah pulangnya pertiga bulan. Harusnya Radit bersyukur, Ayah diberi waktu yang dekat jaraknya untuk pulang. Biasanya kan enam sampai delapan bulan. Memangnya dua minggu terus bersama Ayah masih kurang?"
Tangannya tiba-tiba berhenti. Ia letakkan mainan yang tengah ia pegang ke lantai. Radit kemudian bergelayut manja di pangkuan Mas Ben dengan senyumnya yang tertahan. Dengan sigap, Mas Ben langsung memeluk tubuh mungil Radit yang sudah menyandar pada dada Mas Ben.
"Anak Ayah wangi sekali sih? Siapa yang memandikanmu?" ucap Mas Ben sambil sesekali mencium kepala dan pipi Radit.
"Bunda," katanya dengan wajah masih terkekeh menahan tawa.
"Wah ... Ayah juga mau dong, dimandikan sama Bunda! Pasti seru! Ya, Dit, ya?" ujar Mas Ben dengan wajah menoleh dan mata melirik ke arahku.
Aku hanya tersenyum, dan tetap membiarkan mereka terus mengobrol dan bercanda. Melihat Radit sebahagia ini saat bersama Mas Ben, membuat hatiku ikut merasakan kebahagiaannya. Hingga obrolan berpusat pada hari ulang tahun Radit.
"Ayah! Kata Bunda, aku 'kan sebentar lagi ulang tahun. Katanya ulang tahunku pas sekali dengan kepulangan Ayah nanti. Apa betul, Yah?"
"Sebentar. Ulang tahunmu itu ... 25 Agustus. Sekarang 20 Mei. Juni, Juli, Agustus. Cocok, Dit! Tepat! Pas! Tos dulu!" kata Mas Ben dengan tangan yang sudah berancang untuk tos agar Radit mengikutinya.
"Tos."
Tepukan tos yang nyaring membuat Radit tertawa riang.
"Apa nanti akan dirayakan, Yah?" tanya Radit kemudian.
"Pasti dong! Setelah Ayah pulang nanti, kita sama-sama persiapkan pesta ulang tahun untukmu, ya? Akan ada hadiah yang paling istimewa dari Ayah dan Bunda untuk Radit!"
Mas Ben menoleh ke arahku lagi saat mengakhiri kalimatnya. Aku mengangguk dan beranjak dari sofa untuk ikut bergabung dengan obrolan mereka.
"Wah wah ... ada yang sebentar lagi ulang tahun, ya? Mau apa nih kira-kira hadiahnya dari Bunda?" kataku yang sudah duduk lesehan di lantai bersama Radit dan Mas Ben.
Tak bersuara, Radit hanya tertawa malu dan menggelengkan kepalanya. Wajahnya yang terlihat manja membuatku semakin ingin menciumnya.
"Ditanya kok malah geleng? Radit mau apa nanti dari Bunda dan Ayah? Biar nanti sepulang ayah tugas, Ayah langsung belikan hadiah yang kamu mau," kataku lagi sambil mengusap lembut pipinya yang memerah.
"Tidak tahu, Bunda! Aku bingung!" katanya menggeleng lagi.
Aku dan Mas Ben tertawa serempak. Melihat wajah Radit yang bingung tengah memikirkan hadiah yang ingin dipintanya.
---
Air mataku tiba-tiba saja keluar dari pelupuk. Menetes dan jatuh membasahi wajah Radit yang tertidur pulas. Aku tak percaya, rumah tangga yang selama ini baik-baik saja, akan berakhir hanya karena seorang wanita. Aku tak pernah berselisih dengan Mas Ben, bahkan bertengkar pun tidak.
Bukan karena aku tak merelakan Mas Ben dengan wanita yang dipilihnya sekarang. Aku hanya tak rela Radit sedih dan kecewa jika tahu Ayahnya yang ia rindukan, akan kembali pulang bukan membawa hadiah ulangtahun yang indah untuknya, melainkan membawa pedang yang siap menghunus dadanya dengan rasa sakit yang tak bisa ia sembuhkan.
'Maafkan Bunda, sayang! Maafkan Bunda yang tak bisa mempertahankan semuanya. Rasanya, Bunda tidak akan sanggup mempertahankan Ayahmu, Bunda tidak kuat bila harus di madu dengan cara kotor seperti ini. Bunda lebih baik merelakan Ayahmu untuk wanita itu, daripada harus tetap bertahan menanam luka yang akan tumbuh menjadi luka-luka yang baru. Bunda sayang ... sekali dengan Radit.'
Kuakhiri kata-kataku dengan mengecup keningnya. Aku beranjak, melangkah keluar, dan kembali ke kamarku.
Tubuhku kuhempaskan ke ranjang langsung ketika tiba di kamar. Membuat raga ini semakin lemah dan ingin segera terlelap dalam pejaman mata berselimut mimpi yang indah.
Drrrtttt ... Drrrtttt ....
Suara getaran dering ponsel berbunyi, membuat mataku yang hampir terpejam kembali terbuka. Aku bangkit, berdiri dan melangkah menuju meja rias, tempat yang sebelumnya ponsel kuletakkan. Kuraih ponsel dan duduk di depan cermin.
Panggilan masuk - Mas Ben.
Hatiku kembali gundah. Aku tak mau mendengar suaranya. Kudiamkan sampai dering panggilan dari ponselku berhenti. Baru saja kubalikkan tubuh untuk kembali merebahkan tubuh ini ke atas ranjang, suara panggilan dari ponselku berdering lagi.
Kulihat layar ponsel yang menyala, masih bertuliskan namanya. Kuhela nafas untuk sedikit menenangkan hati yang gelisah ini. Sebenarnya ragu untuk menjawab panggilannya. Tapi entah kenapa, otak kananku seolah yang bekerja menggerakan tanganku untuk segera mengusap dial hijau pada layar ponsel yang terus berdering.
"Halo?" ucapku mengawali obrolan di ujung ponsel.
"Mila ... tolong dengarkan aku! Kita bisa bicarakan ini baik-baik. Aku tahu aku salah. Aku minta maaf. Kita bicarakan lagi dengan kepala dingin saat aku di rumah, ya, Mil? Tolong maafkan aku, aku sangat mencintaimu, Mil! Aku khilaf. Aku benar-benar khilaf! Aku menyesal sudah mengkhianatimu. Beri kesempatan untukku, Mil. Aku mohon!"
Suara Mas Ben yang kudengar melalui ujung ponsel, membuat hatiku semakin perih. Aku muak mendengarnya. Mendengar bicaranya yang mencoba merayuku kembali.
"Kamu dengar ya, Mas! Tidak ada dalam kamusku untuk menarik kembali semua ucapan ku! Sekali aku meminta cerai! Kita akan tetap bercerai! Tak perlu kamu mengemis maaf dan cinta lagi denganku. Karena aku bukan wanita yang dermawan dalam cinta, untuk laki-laki yang sudah berkhianat sepertimu!"
Bibirku gemetar saat lidah ini berucap. Kuakhiri panggilan dengan langsung menekan dial merah pada layar setelah kata terakhir kuucap dengan sedikit suara yang kutekan.
Aku kembali membaringkan tubuhku ke atas ranjang. Menatap langit-langit dengan mata yang sudah kurasa berembun. Buru-buru kupejamkan mata ini agar segera terlelap di peraduan dengan memeluk bunga tidur yang dapat menghilangkan sakit di dada.
=====
Bersambung ....
Bagian 5Pov: BenPrag!Kubanting ponselku ketika Mila mengakhiri panggilan dariku begitu saja. Tanpa sedikitpun memberi kesempatanku untuk terus bicara, berusaha meyakinkannya, agar semua baik-baik saja. Aku benar-benar merasa kehilangan sosok Mila yang selalu bersikap lembut denganku."Dia pikir, dia siapa? Aku mengemis cinta padanya? Kalau saja aku tak semudah itu memberikan semua padanya, yang ada dia yang akan mengemis dan berlutut agar tetap bersamaku. Bahkan dimadu pun kurasa dia akan diam saja!"Aku marah. Hatiku menggebu ketika Mila dengan sombong menolak itikad baikku untuk bicara dengan kepala dingin, memperbaiki semua. Dia menolak maafku. Menolak semua permohonanku walau aku sudah merendahkan harga diriku sendiri."Lihat saja, Mil! Aku akan bertahan dengan Fika! Aku akan membuatmu menyesal merelakanku bersama Fika! Akan kubuat kamu yang mengemis memintaku untuk kembali!"Brak!Aku keluar kamar. Pintunya kututup deng
Bagian 6Pov: Mila"Assalamualaikum ...."Suara pintu dibuka dan seseorang mengucap salam terdengar. Aku yang sedang menemani Radit bermain, berdiri dan melangkah ke sumber suara. Sosok wanita paruh baya menenteng rantang susun tengah melangkah dengan mata seperti mencari penghuni rumah ini. Dia Ibu dari Mas Ben, Ibu mertuaku, Neneknya Radit."Waalaikumsalam!" ucapku menimpali.Aku segera berdiri. Menghampirinya dan meraih jemarinya yang kemudian kukecup lembut."Ibu kenapa tidak bilang dulu kalau mau ke sini? 'Kan bisa aku jemput. Ke sini naik apa, Bu? Bawa mobil sendiri?" kataku lalu segera menenteng rantang yang Ibu bawa, kemudian menggandeng tangan ibu dan melangkah mendekati Radit yang tengah asik bermain."Ibu masih trauma kalau bawa mobil sendiri. Sekarang 'kan mudah, pesan taksi online, langsung naik dari depan rumah. Jadi tidak perlu dijemput lagi. Ibu yang mau main ke sini kok, malah kamu yang repot jemput!" ujar Ibu menepuk
Bagian 7Pov: MilaSudah tiga hari aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Niatan ingin melaporkan Mas Ben ke atasannya, masih begitu terasa mengganjal hati ini. Tapi malam ini, aku sudah bisa mengambil keputusan. Pun dengan tidurku yang akan nyenyak malam ini.Esok, akan kuberanikan diri untuk melapor ke perusahaan Mas Ben. Meski Mas Ben selalu berpindah-pindah tugas, kantor pusat perusahaannya ada di Jakarta. Tidak jauh dari tempat tinggalku. Hanya membutuhkan waktu sekitar 45 menit perjalanan.***"Mbak ... Saya titip Radit, ya! Ada urusan yang harus saya kerjakan," kataku pada Mbak Siti yang tengah asik menyuapi Radit sarapan."Iya, Bu.""Bunda mau kemana?" Radit langsung bertanya dengan mulut yang masih penuh makanan."Bunda ada urusan sebentar. Anak kecil tidak dibolehkan ikut. Jadi, kamu di sini saja, main sama Mbak Siti. Ya!"Tak sulit membuat Radit untuk mengerti. Dia mengangguk, membuatku tersenyum menatapnya.
Bagian 8Pov: Jonas"Kamu?!" katanya ketika aku dan dia saling berhadapan.Mila, itu namanya yang baru saja aku tahu dari Kartika, Resepsionis, saat menghubungiku ada wanita yang tak lain adalah istri Ben, ingin bertemu denganku karena hal penting. Mataku menatapnya tajam, kemudian mengernyit seakan tak percaya dengan apa yang aku lihat di depanku."Jadi kamu istri dari Ben? Cantik sih, tapi otakmu sedikit geser! Kasihan sekali Ben memiliki istri gilak sepertimu. Sial sekali hidupnya!" kataku dengan mata yang menatapnya dari atas ke bawah, dan dari bawah ke atas.Wajahnya tersirat marah ketika melihat aku menatapnya seperti itu. Tapi dia berusaha tenang seolah kata-kataku tadi tak berarti apapun di hatinya. Kulihat ia menarik nafas yang cukup panjang, lalu dengan hentakan pelan dikeluarkan hembusan nafasnya dari mulut. Aku tahu, dari ekspresinya, dia sangat tersiksa menahan rasa marahnya terhadapku. Melihatnya seperti itu, aku tak bisa menahan tawa
Bagian 9Pov: Ben"Mas, pokoknya besok begitu tiba di Jakarta. Kamu langsung urus perceraianmu dengan Mila. Aku tidak mau sampai mendengar kabar kamu rujuk dengannya!"Fika sedikit menyentakku dari lamunan penyesalan yang telah kulakukan pada Mila. Wanita yang selalu setia menungguku di rumah. Wanita yang selalu menyambut hangat kepulanganku dengan senyuman dan rindu yang ia kemas dengan indah sebagai hadiah kepulanganku.Hari ini hari terakhir masa tugasku. Besok hingga dua pekan ke depan, seperti yang sudah-sudah. Aku diberi waktu liburan untuk melepas rindu dengan keluarga. Tapi, rindu yang kunantikan sudah berubah. Tak akan ada lagi pelukan manja dan air mata tulus dari Mila saat melihatku pulang.Rasa semangat yang menggebu saat masa tugas habis dan menggenggam jadwal untuk pulang ke rumah, tidak lagi kurasakan. Aku seperti tersesat. Besok akan langsung pulang ke rumah yang dulu serasa seperti istana, atau berbelok ke rumah Ibu. Gelisah semaki
Bagian 10Pov: JonasSuara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Sudah beberapa hari ini aku sering tersenyum hanya karena menatap ponsel. Perasaan yang menurutku gila ini tak henti menggangguku. Semakin aku tepis, semakin nyata wajahnya bergelayut manja."Masuk ...."Pintu pun terbuka."Permisi, Pak!"Sintia, kepala bagian HRD datang dengan membawa amplop coklat di tangannya. Aku baru ingat, hari ini jadwalku untuk meng-interview calon sekretaris baru yang sebelumnya sudah lolos interview tahap awal melalui HRD.Sudah satu bulan aku bekerja tanpa sekretaris. Membuat pekerjaanku semua terbengkalai. Sekretaris lama yang juga merupakan kekasihku, kupecat tanpa kehormatan. Dia, Wilona. Menggelapkan dana perusahaan dan tertangkap mempunyai hubungan khusus dengan salah satu karyawan di kantor ini.Aku marah, kecewa, dan sakit hati. Ingin rasanya kulaporkan perbuatannya pada pihak yang berwajib. Tapi hubungan bisnis orangtuaku dengan
Bagian 11Pov: MilaAku dan Radit sedang makan siang. Seperti biasa, Radit disuapi Mbak Siti. Makannya sangat lahap. Sebelumnya, Radit tidak mau makan sama sekali. Tapi begitu kurayu, bahwa Mas Ben akan pulang setelah makan siang. Dengan semangat Radit langsung meminta makan.Sementara aku, hanya kuputar-putar saja sendok dan garpu yang kupegang. Pikiranku melayang ke Jonas. Direktur Utama perusahaan tempat Mas Ben bekerja. Aku masih bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang Jonas yang ketus dan menyebalkan menawarkanku pekerjaan sebagai sekretarisnya. Dan untuk apa juga dia mengundangku secara langsung ke acara yang sangat penting di kantornya. Pikiranku berkecamuk, masih bertanya-tanya apa yang ada dalam pikirannya hingga ia bersikap seperti itu.Apa mungkin dia cuma ingin mengerjaiku?Begitu aku jawab, "Iya, aku mau jadi sekretarismu."Dia pasti akan langsung menertawakanku dan berkata, "Hey! Di rumahmu apa tidak punya kaca? Itu hanya lel
Bagian 12Pov: JonasAcara serah terima jabatan untuk karyawan berkompeten yang terpilih di perusahaan yang aku pimpin, akan dimulai sebentar lagi. Tapi aku masih sibuk memilih kemeja, dasi, dan jas mana yang akan kupakai. Bahkan jam tangan dan sepatu pun aku bingung mesti pakai yang mana.Mila pasti datang dengan gaun dan sepatu yang cantik, juga riasan wajah yang akan membuat mata siapa saja memandang pasti terpesona dengannya.Aku tahu kalau dia wanita yang sangat memperhatikan penampilannya. Terlihat kemarin sewaktu dia datang ke kantor. Walau keperluannya hanya mengajukan laporan, Mila begitu menawan. Dia sampai bisa menarik perhatianku. Tak kentara kalau dia seorang wanita yang sudah bersuami dan memiliki anak balita.Selain menawan dan berpenampilan menarik, Mila wanita yang kuat dan tegas. Terbukti ketika dia berbicara denganku. Padahal dia tahu, aku atasan suaminya, direktur dari perusahaan tempat suaminya bekerja. Tapi sikapnya masih saja