Bagian 3
Pov: Fika
Malam ini, aku sangat bahagia. Mas Ben begitu hangat menyambutku dengan cintanya. Matanya yang menatapku penuh hasrat, membuatku semakin ingin terus memilikinya. Semakin ingin menjadi satu-satunya miliknya. Namun, saat raga ini sudah pasrah menerima cintanya, Mas Ben secara tiba-tiba tak meneruskannya. Ponsel miliknya yang berdering, membuatnya beralih dariku.
Hanya karena suara ponsel berdering, Mas Ben rela melewatkan bibirku yang sudah basah oleh cintanya. Wajahnya kulihat gusar. Ada garis ketakutan yang tersirat setelah menatap lekat layar ponselnya.
"Siapa, Mas? Mila?" kataku yang langsung mendekatinya
Hening. Tak ada jawaban.
"Mas?" tanyaku lagi ketika Mas Ben tak menjawab kata-kataku.
Mas Ben menarik nafas panjang, yang kemudian kudengar helaan nafas beratnya ia hentakkan melalui mulut. Melihat sikapnya seperti ini, aku semakin cemas. Rasanya seperti ada yang mengganjal di hati Mas Ben hingga wajah yang tadinya berbinar, kini berubah gundah.
"Mila minta cerai. Dia tahu aku menikah lagi," katanya yang akhirnya bersuara.
Tak terasa bibirku tertarik membuat wajah ini tersenyum bahagia. Memang ini yang aku harapkan. Menjadi satu-satunya istri Mas Ben. Istri dari kepala teknik pertambangan di perusahaan tersohor. Kabar gembira yang membuat hati ini semakin berbunga. Hadiah pernikahan yang sangat menakjubkan.
Rasanya dadaku penuh. Saking terlalu senang, hingga sulit bernafas normal. Mila, istri pertama Mas Ben memang bodoh. Dia mau begitu saja melepaskan Mas Ben yang benar-benar sudah terbukti kemapanannya. Selain wajah yang tampan, Mas Ben pria idaman yang kuimpikan sejak masih bersama Fahri. Aku tak menyangka hingga bisa menikah dengannya. Walau saat ini masih menjadi istri keduanya, tapi sebentar lagi, statusku akan berubah menjadi istri satu-satunya Mas Ben.
"Ya kalau dia minta cerai, turuti saja, Mas! Kamu kan sudah punya aku, buat apa lagi dirinya?" kataku merayu dan memeluk Mas Ben dengan mengecup bibirnya lembut.
Baru kali ini Mas Ben tak membalas kecupanku. Biasanya saat kukecup, ia langsung membalasnya dengan pagutan mesra yang membuat raga ini melayang.
"Aku sangat mencintaimu, Mas! Kamu cukup denganku, kita nikmati saja malam bahagia ini," ucapku lagi sehabis mengecupnya.
Bukan membalas kecupanku, Mas Ben justru memaksa rangkulanku untuk lepas dari pelukannya.
"Aku tak berselera, Fik! Aku kepikiran terus dengan Mila dan anakku. Aku tidak mau berpisah dengannya!"
"Lalu maumu apa, Mas? Bukankah kamu mencintaiku juga? Kalau Mila sudah meminta cerai, itu artinya kamu sudah tak lagi dihargai. Kamu sudah tidak penting lagi di hatinya. Sudahlah, lupakan saja istri pertama yang akan kamu ceraikan itu. Bercintalah denganku! Agar semua beban yang ada di kepalamu hilang."
Aku terus merayu Mas Ben agar tak memikirkan perempuan itu lagi. Aku ingin Mas Ben benar-benar menjadi milikku seutuhnya. Kupeluk lagi tubuhnya yang masih tercium aroma parfum. Dengan harapan, Mas Ben kembali penuh hasrat.
"Kamu ini apa-apaan, sih? Sudah kubilang, aku sudah tak berselera! Lepaskan! Aku mau langsung tidur saja, besok pagi-pagi sekali aku harus langsung terbang ke Jakarta. Menemui istri dan anakku!"
Kali ini aku didorong sedikit kuat. Hingga tubuh ini terjerembab di atas ranjang. Mas Ben benar-benar keterlaluan. Ia seolah tak menganggap aku yang baru saja menjadi istrinya yang sah. Dengan hati yang penuh rasa emosi, aku berdiri mendekatinya. Menatap lekat wajahnya yang masih kulihat kegusaran.
"Kamu anggap aku apa, Mas? Sekarang bukan hanya dia yang menjadi istrimu. Aku juga istrimu! Kita baru saja menikah, kamu sudah mau pergi meninggalkan aku sendiri di sini? Apa yang membuat kamu ingin cepat-cepat kembali ke istri pertamamu? Apa yang membuatmu merasa cemas seperti ini? Memang apa yang Mila katakan selain meminta cerai? Apa?"
Mas Ben semakin gusar. Tangannya mencengkeram erat kepalanya. Seperti tengah menjambak rambut yang kemudian ia tekan pada kepala. Aku semakin yakin, ada yang tak beres dengan pesan yang dikirim Mila padanya. Hingga Mas Ben menjadi seperti ini.
Tak buang waktu, kuraih ponsel Mas Ben yang sebelumnya sudah ia letakkan kembali ke atas nakas. Dengan cepat, kubuka pesan masuk dari Mila.
'Apa?! Jadi Mas Ben disuruh angkat kaki dari rumahnya? Bukankah itu milik Mas Ben? Karena yang kudengar kabar, Mas Ben sudah memiliki rumah sebelum menikah dengan Mila. Dasar perempuan tak tau diri!'
"Kamu diam saja, Mas? Mila mengusirmu dari rumahmu sendiri?"
Mendengar aku bicara, Mas Ben yang tengah duduk di sisi ranjang menopang wajahnya dengan menyandarkan tangan ke wajah kusutnya, langsung menoleh ke arahku. Ia kemudian berdiri dengan tubuh menghadapku.
"Itu sudah bukan rumahku! Rumah dan tabungan sudah atas namanya sejak dua tahun yang lalu. Begitu juga mobil di rumah yang baru saja kubeli enam bulan yang lalu. Itu kubeli atas nama Mila, sebagai hadiah ulangtahun pernikahanku dengannya."
Aku menganga. Kata-kata Mas Ben membuat dadaku terasa sesak. Kupijat kecil keningku dengan jempol dan telunjuk yang mendadak terasa sakit. Aku benar-benar tak percaya Mas Ben bisa sebodoh ini. Mudah sekali menyerahkan semuanya untuk Mila. Kalau seperti ini kondisinya, aku tak akan mendapat apa-apa yang kukira semua masih milik Mas Ben.
"Astaga, Mas?! Kamu menikahiku, dengan semua harta yang kamu punya sudah kamu berikan ke Mila? Kamu laki-laki yang pintar merayu, tapi bodoh dalam mempertahankan hartamu sendiri!"
"Apa kamu bilang? Aku bodoh? Kurang ajar sekali kamu! Baru sehari aku menjadi suamimu, sudah kelihatan sikapmu yang tak mau menghargaiku!"
"Loh. Memang itu kan kenyataannya? Kamu punya apa sekarang? Hanya membawa dirimu saja!"
"Lalu apa maumu? Kamu pun ingin seperti Mila? MEMINTA CERAI DARIKU? BEGITU?"
Aku sempat memejamkan mata ketika Mas Ben berteriak sangat keras di hadapanku. Wajahnya terlihat marah. Tangannya kulihat mengepal begitu erat.
"Jangan samakan aku dengan istri pertamamu itu! Aku tidak sudi disamakan dengan dia!"
"Jelas ... Jelas tidak sama! Mila meminta cerai denganku karena aku tidak setia. Dan kamu? Kalau sampai kamu meminta cerai juga denganku, sudah dipastikan, kamu meminta cerai denganku karena aku tidak lagi berharta! IYA KANNNNN?"
Aku tak mau menjawab. Aku memilih diam dan pergi keluar kamar.
Rasa kecewaku sudah mendalam. Impianku menjadi istri satu-satunya Mas Ben yang bergelimang harta, lenyap begitu saja. Apalagi impian menjadi istri dari kepala teknik pertambangan, tak akan mampu kugapai. Mila pasti tidak tinggal diam. Ia akan membuat laporan ke perusahaan Mas Ben, kalau Mas Ben menikah diam-diam dengan wanita lain tanpa sepengetahuannya apalagi persetujuannya sebagai istri pertama Mas Ben.
Dengan sekejap, Mas Ben pasti akan langsung dipecat secara tidak hormat. Hancur sudah impian yang sudah kurajut. Kepalaku seperti mau pecah. Malam pengantin yang seharusnya membuat hati ini bahagia merasakan cinta yang sudah menyatu dalam ikatan pernikahan, justru menjadi malam yang membuat hati begitu perih menerima kenyataan yang nampak di depan mata.
=====
Bersambung ....
Bagian 4Pov: MilaWajah Radit yang kulihat tersenyum tipis meski tengah tertidur pulas, membuatku ikut tersenyum memandangnya. Dia 'lah penyemangatku, teman hidupku, ketika Mas Ben pergi untuk bekerja. Bukan waktu yang singkat Mas Ben pergi meninggalkan kami berdua karena pekerjaannya. Butuh waktu berbulan-bulan untuk aku dan Radit menahan rindu yang setiap waktu menjelma menjadi rasa cemas.Ya. Kecemasan kalau rindu ini tak akan terbalas. Apa yang kutakutkan, malam ini menjadi nyata. Rindu untuknya kurasa semu. Aku memang merindukannya, berharap ia pulang, kembali dengan wajah tersenyum, menjemput rindu yang sudah cukup lama bersemayam dalam hati. Namun harapan itu sirna. Bersamaan dengan perihnya luka yang telah merobek rindu ini."Bunda ...."Radit yang terbangun dan kemudian melihatku di hadapannya, langsung memanggilku."Iya, sayang? Kamu kenapa bangun? Haus? Mau minum? Biar bunda ambilkan, ya!"Radit mejawab dengan anggukan. Se
Bagian 5Pov: BenPrag!Kubanting ponselku ketika Mila mengakhiri panggilan dariku begitu saja. Tanpa sedikitpun memberi kesempatanku untuk terus bicara, berusaha meyakinkannya, agar semua baik-baik saja. Aku benar-benar merasa kehilangan sosok Mila yang selalu bersikap lembut denganku."Dia pikir, dia siapa? Aku mengemis cinta padanya? Kalau saja aku tak semudah itu memberikan semua padanya, yang ada dia yang akan mengemis dan berlutut agar tetap bersamaku. Bahkan dimadu pun kurasa dia akan diam saja!"Aku marah. Hatiku menggebu ketika Mila dengan sombong menolak itikad baikku untuk bicara dengan kepala dingin, memperbaiki semua. Dia menolak maafku. Menolak semua permohonanku walau aku sudah merendahkan harga diriku sendiri."Lihat saja, Mil! Aku akan bertahan dengan Fika! Aku akan membuatmu menyesal merelakanku bersama Fika! Akan kubuat kamu yang mengemis memintaku untuk kembali!"Brak!Aku keluar kamar. Pintunya kututup deng
Bagian 6Pov: Mila"Assalamualaikum ...."Suara pintu dibuka dan seseorang mengucap salam terdengar. Aku yang sedang menemani Radit bermain, berdiri dan melangkah ke sumber suara. Sosok wanita paruh baya menenteng rantang susun tengah melangkah dengan mata seperti mencari penghuni rumah ini. Dia Ibu dari Mas Ben, Ibu mertuaku, Neneknya Radit."Waalaikumsalam!" ucapku menimpali.Aku segera berdiri. Menghampirinya dan meraih jemarinya yang kemudian kukecup lembut."Ibu kenapa tidak bilang dulu kalau mau ke sini? 'Kan bisa aku jemput. Ke sini naik apa, Bu? Bawa mobil sendiri?" kataku lalu segera menenteng rantang yang Ibu bawa, kemudian menggandeng tangan ibu dan melangkah mendekati Radit yang tengah asik bermain."Ibu masih trauma kalau bawa mobil sendiri. Sekarang 'kan mudah, pesan taksi online, langsung naik dari depan rumah. Jadi tidak perlu dijemput lagi. Ibu yang mau main ke sini kok, malah kamu yang repot jemput!" ujar Ibu menepuk
Bagian 7Pov: MilaSudah tiga hari aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Niatan ingin melaporkan Mas Ben ke atasannya, masih begitu terasa mengganjal hati ini. Tapi malam ini, aku sudah bisa mengambil keputusan. Pun dengan tidurku yang akan nyenyak malam ini.Esok, akan kuberanikan diri untuk melapor ke perusahaan Mas Ben. Meski Mas Ben selalu berpindah-pindah tugas, kantor pusat perusahaannya ada di Jakarta. Tidak jauh dari tempat tinggalku. Hanya membutuhkan waktu sekitar 45 menit perjalanan.***"Mbak ... Saya titip Radit, ya! Ada urusan yang harus saya kerjakan," kataku pada Mbak Siti yang tengah asik menyuapi Radit sarapan."Iya, Bu.""Bunda mau kemana?" Radit langsung bertanya dengan mulut yang masih penuh makanan."Bunda ada urusan sebentar. Anak kecil tidak dibolehkan ikut. Jadi, kamu di sini saja, main sama Mbak Siti. Ya!"Tak sulit membuat Radit untuk mengerti. Dia mengangguk, membuatku tersenyum menatapnya.
Bagian 8Pov: Jonas"Kamu?!" katanya ketika aku dan dia saling berhadapan.Mila, itu namanya yang baru saja aku tahu dari Kartika, Resepsionis, saat menghubungiku ada wanita yang tak lain adalah istri Ben, ingin bertemu denganku karena hal penting. Mataku menatapnya tajam, kemudian mengernyit seakan tak percaya dengan apa yang aku lihat di depanku."Jadi kamu istri dari Ben? Cantik sih, tapi otakmu sedikit geser! Kasihan sekali Ben memiliki istri gilak sepertimu. Sial sekali hidupnya!" kataku dengan mata yang menatapnya dari atas ke bawah, dan dari bawah ke atas.Wajahnya tersirat marah ketika melihat aku menatapnya seperti itu. Tapi dia berusaha tenang seolah kata-kataku tadi tak berarti apapun di hatinya. Kulihat ia menarik nafas yang cukup panjang, lalu dengan hentakan pelan dikeluarkan hembusan nafasnya dari mulut. Aku tahu, dari ekspresinya, dia sangat tersiksa menahan rasa marahnya terhadapku. Melihatnya seperti itu, aku tak bisa menahan tawa
Bagian 9Pov: Ben"Mas, pokoknya besok begitu tiba di Jakarta. Kamu langsung urus perceraianmu dengan Mila. Aku tidak mau sampai mendengar kabar kamu rujuk dengannya!"Fika sedikit menyentakku dari lamunan penyesalan yang telah kulakukan pada Mila. Wanita yang selalu setia menungguku di rumah. Wanita yang selalu menyambut hangat kepulanganku dengan senyuman dan rindu yang ia kemas dengan indah sebagai hadiah kepulanganku.Hari ini hari terakhir masa tugasku. Besok hingga dua pekan ke depan, seperti yang sudah-sudah. Aku diberi waktu liburan untuk melepas rindu dengan keluarga. Tapi, rindu yang kunantikan sudah berubah. Tak akan ada lagi pelukan manja dan air mata tulus dari Mila saat melihatku pulang.Rasa semangat yang menggebu saat masa tugas habis dan menggenggam jadwal untuk pulang ke rumah, tidak lagi kurasakan. Aku seperti tersesat. Besok akan langsung pulang ke rumah yang dulu serasa seperti istana, atau berbelok ke rumah Ibu. Gelisah semaki
Bagian 10Pov: JonasSuara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Sudah beberapa hari ini aku sering tersenyum hanya karena menatap ponsel. Perasaan yang menurutku gila ini tak henti menggangguku. Semakin aku tepis, semakin nyata wajahnya bergelayut manja."Masuk ...."Pintu pun terbuka."Permisi, Pak!"Sintia, kepala bagian HRD datang dengan membawa amplop coklat di tangannya. Aku baru ingat, hari ini jadwalku untuk meng-interview calon sekretaris baru yang sebelumnya sudah lolos interview tahap awal melalui HRD.Sudah satu bulan aku bekerja tanpa sekretaris. Membuat pekerjaanku semua terbengkalai. Sekretaris lama yang juga merupakan kekasihku, kupecat tanpa kehormatan. Dia, Wilona. Menggelapkan dana perusahaan dan tertangkap mempunyai hubungan khusus dengan salah satu karyawan di kantor ini.Aku marah, kecewa, dan sakit hati. Ingin rasanya kulaporkan perbuatannya pada pihak yang berwajib. Tapi hubungan bisnis orangtuaku dengan
Bagian 11Pov: MilaAku dan Radit sedang makan siang. Seperti biasa, Radit disuapi Mbak Siti. Makannya sangat lahap. Sebelumnya, Radit tidak mau makan sama sekali. Tapi begitu kurayu, bahwa Mas Ben akan pulang setelah makan siang. Dengan semangat Radit langsung meminta makan.Sementara aku, hanya kuputar-putar saja sendok dan garpu yang kupegang. Pikiranku melayang ke Jonas. Direktur Utama perusahaan tempat Mas Ben bekerja. Aku masih bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang Jonas yang ketus dan menyebalkan menawarkanku pekerjaan sebagai sekretarisnya. Dan untuk apa juga dia mengundangku secara langsung ke acara yang sangat penting di kantornya. Pikiranku berkecamuk, masih bertanya-tanya apa yang ada dalam pikirannya hingga ia bersikap seperti itu.Apa mungkin dia cuma ingin mengerjaiku?Begitu aku jawab, "Iya, aku mau jadi sekretarismu."Dia pasti akan langsung menertawakanku dan berkata, "Hey! Di rumahmu apa tidak punya kaca? Itu hanya lel