Bagian 1
Pov: Ben
[Dek, sudah kutransfer ke rekeningmu, ya! Jatah bulanan untukmu, untuk tabungan, juga ibuku!]
Kukirim pesan singkat dengan foto bukti transfer bernominal 8 juta melalui aplikasi berwarna hijau pada Mila, wanita yang sudah lima tahun menjadi istriku. Ia sebatang kara, anak tunggal, dan yatim piatu. Ayah dan ibunya sudah meninggal sejak ia masih gadis.
Aku bekerja sebagai ahli teknik pada perusahaan pertambangan. Kerjaku berpindah tempat. Mengikuti lokasi proyek yang akan dikerjakan. Sewaktu belum memiliki anak, Mila selalu ikut kemana aku di tempatkan. Tapi sejak ia mengandung dan kami sudah memiliki anak, aku melarangnya untuk ikut bertugas denganku.
Sebelum menikah, aku sudah memiliki rumah hunian yang cukup nyaman dan mewah untuk di tempati. Semua karena kerja kerasku sewaktu masih bujangan, yang jauh dari kehidupan anak muda yang hanya bisa berfoya-foya.
Gajiku sebagai ahli teknik pertambangan sangat cukup untuk kebutuhan keluargaku. Bahkan bisa dibilang, lebih dari cukup. Dengan gaji 15 jutaan, aku dan istriku masih bisa menabung 5 juta tiap bulannya. Sisanya untuk keperluan rumah tangga, jatah istri dan anak, juga nafkah rutin untuk ibuku.
Tapi, kali ini jatah nafkah untuk istri, anak, dan ibuku, juga keperluan rumah tangga, kukurangi. Itu karena aku berniat ingin menikah lagi. Menikah dengan wanita idaman lain, yang sudah dua bulan menjalin hubungan terlarang denganku.
Sejak dua bulan aku di tempatkan di daerah Kalimantan, aku bertemu wanita yang membuat aku jatuh cinta untuk kedua kalinya. Hasrat untuk terus memilikinya begitu dalam. Ditambah, aku yang selalu kesepian sejak jauh dengan Mila, istriku.
[Loh, Mas ... Kenapa nominalnya beda? Berkurang banyak! Jauh sekali selisihnya? Kamu salah transfer?]
Balasan pesan Mila ketika tahu nominal yang kukirim untuk jatah bulanan, kukurangi. Karena 2 jutanya untuk peganganku, biasanya uang yang kukirim sebesar 13 juta. Yang nantinya akan dibagi-bagi, untuk ditabung 5 juta, ibuku 1 juta, dan sisanya 7 juta untuk keperluannya dan Radit, putraku. Tapi kini, aku hanya mengirim sejumlah 8 juta saja. Aku tak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya. Dari jauh-jauh waktu, sudah kusiapkan alasan yang benar-benar bisa membuat Mila percaya tanpa merasa dibohongi.
[Oh iya, aku lupa kasih tahu. Kalau gajiku sekarang sudah tak sebesar kemarin. Hanya kisaran 10 jutaan. Perusahaan tambang yang kupegang, sedang berada pada masa-masa pailit. Makanya semua pekerja, termasuk aku, gajinya dipangkas. Tapi hanya untuk sementara. Doakan saja agar tak terus-terusan. Karena bisa membahayakan dapur keluarga kita!]
Aku tersenyum saat menekan tombol kirim. Rasanya tidak mungkin Mila curiga kalau aku sedang berbohong. Aku tahu sekali sifat Mila, dia wanita yang tak punya prasangka buruk dengan siapapun, apalagi denganku, suaminya sendiri.
[Ya Allah, Mas ... Yang sabar, ya. Mudah-mudahan segera berlalu. Insya Allah aku coba irit-irit agar bisa ketutup semuanya sampai akhir bulan. Terima kasih untuk keringatmu yang sudah banyak kamu korbankan, agar bisa mencukupi keluarga. Kamu sehat-sehat ya, Mas, di sana. Jika rindu, pandang saja potretku selama yang kamu mau, aku pasti akan langsung masuk ke dalam mimpimu yang indah.]
Apa? Masih saja, selalu aku disuruh memandang fotonya kalau rindu ini menerpa. Aku tersenyum lagi. Ingin sekali kubalas pesannya, bahwa aku sudah tak perlu memandang fotonya dan berhalu seakan-akan aku bisa melepas rindu yang "satu" itu hanya dengan memandang fotonya. Karena, rindu itu sudah terlampiaskan dengan kekasih yang sebentar lagi akan sah menjadi istri keduaku. Menjadi istri yang akan selalu di sampingku saat aku sedang di tempatkan ke luar pulau. Tapi jika tiba waktunya aku kembali ke rumah, istriku hanya Mila seorang.
[Tanpa kupandangi fotomu, aku pasti akan selalu memimpikan kamu! Aku sangat mencintaimu, Mila. Lebih dari apapun!]
[Mas Ben! Kamu tuh ya, bisa saja! Sudah ah, Mas. Aku mau ambil uang yang kamu transfer, sekalian mau ke rumah ibu. Kasihan ibu, pasti sudah menunggu dan mengharapkan jatah rutin yang kamu kasih untuknya.]
[Untuk sementara, tidak usah ditabung dulu uang yang kukirim barusan. Biar cukup seperti bulan-bulan biasanya. Tidak usah dipaksa untuk irit, kalau memang kebutuhan banyak yang mendesak. Gunakan saja dulu untuk kepentinganmu dan Radit. Kalau memang ada sisa, baru kamu tabung. Berapapun itu!]
[Iya, Mas.]
Rasanya memang sangat berdosa. Membohongi Mila, apalagi soal gaji. Tapi hasrat ingin menghalalkan wanita itu, menjadikanku suami yang tak kenal dengan dosa. Aku membenarkan perbuatanku dengan dalih menghindari perbuatan dosa. Sementara dosaku karena berbohong dan berhianat terhadap istri dan anakku, tidak kuhiraukan.
Dua pekan yang lalu, aku mendapat bonus dari direktur utama atas nama perusahaan. Semua bukan karena kebetulan, tapi memang aku pantas mendapatkannya karena pekerjaanku yang kompeten.
Dari situlah awalnya niatku ingin mempersunting wanita itu. Aku punya uang yang cukup untuk modal menikahinya. Dan berfikir mengurangi jatah bulanan Mila untuk kubagi pada istri keduaku nanti.
***
Hingga tiba di hari pernikahanku dengan Fika, wanita yang telah memenuhi ruang hatiku setelah Mila. Jiwa jantanku bersorak penuh kegembiraan. Tak ada satupun garis yang menyiratkan kesedihan di wajahku dan Fika. Kami benar-benar saling mencintai. Fika sendiri tahu, aku sudah memiliki keluarga. Karena cintanya, Ia rela kujadikan istri kedua dalam kehidupanku.
Malam pernikahan kami memang tak seperti malam-malam pengantin yang baru melepas masa perjaka dan kegadisannya. Aku dan Fika sudah lebih dulu melakukan hubungan berdosa itu saat masih berstatus kekasih. Namun, tetap saja malam pernikahan ini, menjadi malam yang sejak lama kurindukan. Kami akan menyalurkan hasrat cinta dalam diri dengan status pernikahan yang sah. Sebagai suami dan istri.
Cling!
Suara pesan dari ponsel kudengar. Aku baru saja ingin memagut mesra gincunya yang tipis menggoda. Namun rasa penasaran dengan masuknya pesan di ponselku, membuatku urung melakukannya. Buru-buru kuambil ponsel yang sebelumnya kuletakkan di atas nakas samping ranjang.
"Mila?" kataku pelan.
Tak menunggu waktu lagi, kubuka segera isi pesan yang ia kirim.
Ternyata Mila mengirim beberapa foto.
"Astaga!" ucapku ketika kulihat foto yang Mila kirim merupakan fotoku.
Ya. Fotoku dengan Fika yang tengah melangsungkan pernikahan. Fotoku dan Fika ketika sedang akad. Fotoku dan Fika yang tertawa bahagia di atas pelaminan.
[Aku tak terima kamu menghianati aku dan Radit seperti ini! Aku harap kamu segera pulang, dan kita urus perceraian! Ingat, kamu pulang hanya mengurus perceraian, tanpa membawa apapun yang ada padaku, Radit, dan rumah ini. Cukup kemasi pakaian-pakaianmu!]
Mataku terbelalak hingga menelan salivaku. Aku langsung teringat, dua tahun yang lalu ketika Mila berhasil merayuku agar mau memindahkan semua tabungan yang semula atas namaku menjadi namanya, dan membalik nama rumah mewah yang sekarang sedang ia tempati dengan Radit menjadi namanya.
=====
Bersambung ....
Bagian 2Pov: MilaPesan masuk dari Mas Ben membuat mataku mengernyit. Ternyata benar apa yang dikatakan Fahri, teman sepekerjaan Mas Ben, mantan kekasih Fika, yang sekarang sudah tak bekerja lagi karena kasus penggelapan dana perusahaan. Fahri berbuat demikian karena cinta butanya dengan Fika. Ia rela berbuat apa saja, sampai harus menggelapkan dana perusahaan hanya untuk memanjakan Fika dengan harta, wanita yang berhasil menggoda Mas Ben hingga mau dijadikan istri keduanya.Dua tahun yang lalu, saat aku merayu Mas Ben untuk membalik nama tabungan dan rumah yang masih tertulis atas namanya menjadi atas namaku dengan keterangan sebagai hadiah atau hibah yang ia berikan untukku, istrinya. Dengan perjanjian, semua aset atas namaku merupakan hak untukku dan tidak termasuk sebagai harta bersama. Perjanjian tersebut ditandantangani oleh aku dan Mas Ben di hadapan notaris.---"Mas, temanku ditinggal menikah lagi dengan suaminya," ucapku saat menemaninya
Bagian 3Pov: FikaMalam ini, aku sangat bahagia. Mas Ben begitu hangat menyambutku dengan cintanya. Matanya yang menatapku penuh hasrat, membuatku semakin ingin terus memilikinya. Semakin ingin menjadi satu-satunya miliknya. Namun, saat raga ini sudah pasrah menerima cintanya, Mas Ben secara tiba-tiba tak meneruskannya. Ponsel miliknya yang berdering, membuatnya beralih dariku.Hanya karena suara ponsel berdering, Mas Ben rela melewatkan bibirku yang sudah basah oleh cintanya. Wajahnya kulihat gusar. Ada garis ketakutan yang tersirat setelah menatap lekat layar ponselnya."Siapa, Mas? Mila?" kataku yang langsung mendekatinyaHening. Tak ada jawaban."Mas?" tanyaku lagi ketika Mas Ben tak menjawab kata-kataku.Mas Ben menarik nafas panjang, yang kemudian kudengar helaan nafas beratnya ia hentakkan melalui mulut. Melihat sikapnya seperti ini, aku semakin cemas. Rasanya seperti ada yang mengganjal di hati Mas Ben hingga wajah yang tadin
Bagian 4Pov: MilaWajah Radit yang kulihat tersenyum tipis meski tengah tertidur pulas, membuatku ikut tersenyum memandangnya. Dia 'lah penyemangatku, teman hidupku, ketika Mas Ben pergi untuk bekerja. Bukan waktu yang singkat Mas Ben pergi meninggalkan kami berdua karena pekerjaannya. Butuh waktu berbulan-bulan untuk aku dan Radit menahan rindu yang setiap waktu menjelma menjadi rasa cemas.Ya. Kecemasan kalau rindu ini tak akan terbalas. Apa yang kutakutkan, malam ini menjadi nyata. Rindu untuknya kurasa semu. Aku memang merindukannya, berharap ia pulang, kembali dengan wajah tersenyum, menjemput rindu yang sudah cukup lama bersemayam dalam hati. Namun harapan itu sirna. Bersamaan dengan perihnya luka yang telah merobek rindu ini."Bunda ...."Radit yang terbangun dan kemudian melihatku di hadapannya, langsung memanggilku."Iya, sayang? Kamu kenapa bangun? Haus? Mau minum? Biar bunda ambilkan, ya!"Radit mejawab dengan anggukan. Se
Bagian 5Pov: BenPrag!Kubanting ponselku ketika Mila mengakhiri panggilan dariku begitu saja. Tanpa sedikitpun memberi kesempatanku untuk terus bicara, berusaha meyakinkannya, agar semua baik-baik saja. Aku benar-benar merasa kehilangan sosok Mila yang selalu bersikap lembut denganku."Dia pikir, dia siapa? Aku mengemis cinta padanya? Kalau saja aku tak semudah itu memberikan semua padanya, yang ada dia yang akan mengemis dan berlutut agar tetap bersamaku. Bahkan dimadu pun kurasa dia akan diam saja!"Aku marah. Hatiku menggebu ketika Mila dengan sombong menolak itikad baikku untuk bicara dengan kepala dingin, memperbaiki semua. Dia menolak maafku. Menolak semua permohonanku walau aku sudah merendahkan harga diriku sendiri."Lihat saja, Mil! Aku akan bertahan dengan Fika! Aku akan membuatmu menyesal merelakanku bersama Fika! Akan kubuat kamu yang mengemis memintaku untuk kembali!"Brak!Aku keluar kamar. Pintunya kututup deng
Bagian 6Pov: Mila"Assalamualaikum ...."Suara pintu dibuka dan seseorang mengucap salam terdengar. Aku yang sedang menemani Radit bermain, berdiri dan melangkah ke sumber suara. Sosok wanita paruh baya menenteng rantang susun tengah melangkah dengan mata seperti mencari penghuni rumah ini. Dia Ibu dari Mas Ben, Ibu mertuaku, Neneknya Radit."Waalaikumsalam!" ucapku menimpali.Aku segera berdiri. Menghampirinya dan meraih jemarinya yang kemudian kukecup lembut."Ibu kenapa tidak bilang dulu kalau mau ke sini? 'Kan bisa aku jemput. Ke sini naik apa, Bu? Bawa mobil sendiri?" kataku lalu segera menenteng rantang yang Ibu bawa, kemudian menggandeng tangan ibu dan melangkah mendekati Radit yang tengah asik bermain."Ibu masih trauma kalau bawa mobil sendiri. Sekarang 'kan mudah, pesan taksi online, langsung naik dari depan rumah. Jadi tidak perlu dijemput lagi. Ibu yang mau main ke sini kok, malah kamu yang repot jemput!" ujar Ibu menepuk
Bagian 7Pov: MilaSudah tiga hari aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Niatan ingin melaporkan Mas Ben ke atasannya, masih begitu terasa mengganjal hati ini. Tapi malam ini, aku sudah bisa mengambil keputusan. Pun dengan tidurku yang akan nyenyak malam ini.Esok, akan kuberanikan diri untuk melapor ke perusahaan Mas Ben. Meski Mas Ben selalu berpindah-pindah tugas, kantor pusat perusahaannya ada di Jakarta. Tidak jauh dari tempat tinggalku. Hanya membutuhkan waktu sekitar 45 menit perjalanan.***"Mbak ... Saya titip Radit, ya! Ada urusan yang harus saya kerjakan," kataku pada Mbak Siti yang tengah asik menyuapi Radit sarapan."Iya, Bu.""Bunda mau kemana?" Radit langsung bertanya dengan mulut yang masih penuh makanan."Bunda ada urusan sebentar. Anak kecil tidak dibolehkan ikut. Jadi, kamu di sini saja, main sama Mbak Siti. Ya!"Tak sulit membuat Radit untuk mengerti. Dia mengangguk, membuatku tersenyum menatapnya.
Bagian 8Pov: Jonas"Kamu?!" katanya ketika aku dan dia saling berhadapan.Mila, itu namanya yang baru saja aku tahu dari Kartika, Resepsionis, saat menghubungiku ada wanita yang tak lain adalah istri Ben, ingin bertemu denganku karena hal penting. Mataku menatapnya tajam, kemudian mengernyit seakan tak percaya dengan apa yang aku lihat di depanku."Jadi kamu istri dari Ben? Cantik sih, tapi otakmu sedikit geser! Kasihan sekali Ben memiliki istri gilak sepertimu. Sial sekali hidupnya!" kataku dengan mata yang menatapnya dari atas ke bawah, dan dari bawah ke atas.Wajahnya tersirat marah ketika melihat aku menatapnya seperti itu. Tapi dia berusaha tenang seolah kata-kataku tadi tak berarti apapun di hatinya. Kulihat ia menarik nafas yang cukup panjang, lalu dengan hentakan pelan dikeluarkan hembusan nafasnya dari mulut. Aku tahu, dari ekspresinya, dia sangat tersiksa menahan rasa marahnya terhadapku. Melihatnya seperti itu, aku tak bisa menahan tawa
Bagian 9Pov: Ben"Mas, pokoknya besok begitu tiba di Jakarta. Kamu langsung urus perceraianmu dengan Mila. Aku tidak mau sampai mendengar kabar kamu rujuk dengannya!"Fika sedikit menyentakku dari lamunan penyesalan yang telah kulakukan pada Mila. Wanita yang selalu setia menungguku di rumah. Wanita yang selalu menyambut hangat kepulanganku dengan senyuman dan rindu yang ia kemas dengan indah sebagai hadiah kepulanganku.Hari ini hari terakhir masa tugasku. Besok hingga dua pekan ke depan, seperti yang sudah-sudah. Aku diberi waktu liburan untuk melepas rindu dengan keluarga. Tapi, rindu yang kunantikan sudah berubah. Tak akan ada lagi pelukan manja dan air mata tulus dari Mila saat melihatku pulang.Rasa semangat yang menggebu saat masa tugas habis dan menggenggam jadwal untuk pulang ke rumah, tidak lagi kurasakan. Aku seperti tersesat. Besok akan langsung pulang ke rumah yang dulu serasa seperti istana, atau berbelok ke rumah Ibu. Gelisah semaki