"Akang, habis ini kita mau bulan madu kemana? Gak papa kang, sebagai ungkapan syukur, semua biaya biar Jingga yang tanggung" .
Glek.
Aku berusaha menelan saliva susah payah saat Jingga yang tengah menghapus make up sehabis resepsi ini berujar dengan menatapku dari pantulan cerminnya."Bulan madu?" Aku bertanya dengan mengerutkan kening, berpikir lebih jauh. Ah, boro-boro bulan madu, untuk menyentuhnya saja aku belum berani.
"Iya bulan madu, kang Ahmad mau kan bulan madu?" ujarnya beranjak mendekatiku yang tengah duduk ditepi ranjang dengan memainkan ponsel ditangan.
Semakin Jingga mendekat, aku berusaha menahan napas. Bukan karna grogi, tapi karena indra penciumanku begitu peka dengan aroma tubuh gadis itu. Cukup agak bau, mungkin karena selama ini kehidupan Jingga tidak luput dari aktivitas peternakannya, jadi aroma tubuhnya agak sedikit berbeda dari kebanyakan wanita yang aku kenal.
"Kang, kenapa diam aja?" Ia bertanya seraya duduk di sampingku.
"Boro-boro bulan madu, dekat dengan kamu aja akang harus tahan napas apalagi bulan madu? Mungkin napas akang sudah kehabisan neng. Mandi dong neng, kalau perlu sabunnya satu batang perhari, biar wangi"
Ingin aku mengatakan hal itu, tapi aku tak kuasa jika harus menyakiti wanita yang kini sudah menyandang status istriku. Takut tiba-tiba aroma tubuhnya mendadak menjadi wangi semerbak aroma mawar melati. Kan takut, iya takutnya dia jelmaan nyai pantai selatan.
"Neng, akang gerah nih. Akang duluan yang mandi ya?" Izinku berusaha untuk menghindar.
Tanpa menunggu persetujuan, aku berlari terbirit-birit memasuki kamar mandi hotel yang cukup megah ini. Ah seandainya aku tidak bernadzar seperti ini, aku mungkin saat ini hidupku masih baik-baik saja dengan segala aktivitas ku.
Flsback on.
"Kalau tahun ini aku masih gak lulus tes CPNS, akan aku nikahi perawan tua di desa ini" aku berucap dengan tegas seraya menatap buku-buku latihan soal seperti hari-hari biasanya sebagai persiapan menghadapi ujian tes CPNS yang akan diadakan seminggu lagi.
Sudah lima kali aku mendaftar, tetapi nihil. Aku masih saja belum lulus juga, padahal persiapanku sudah dikatakan matang. Belajar dengan giat, berkas sudah lengkap tapi apalah daya tangan tak sampai. Masih belum rezeki.
"Kalau ngomong gak usah sembarangan Mad, itu jatuhnya nadzar. Bapak gak tanggung jawab ya," ucap Bapak seraya menjitak kepalaku gemas.
"Yang benar saja, kamu mau menikahi juragan jingga? Anaknya almarhum mpok Alfa?" Sementara disampingnya, emak menyahut dengan pekikan kaget. Matanya melotot, kepalanya menggeleng-geleng tak percaya.
"Emang perawan tua di desa ini cuma dia doang mak?" Aku bertanya heran, sekaget itu kah bidadari tak bersayapku.
Bapak tersenyum mengejek, dari tatapannya aku menduga jika pertanyaanku itu akan mendapatkan jawaban yang tidak akan aku inginkan.
"Siapa lagi Mad, hanya dia. Semua gadis di desa ini kan gede dikit udah dinikahin, kalau enggak ya pada pergi ke kota. Ya, cuma dia. Kamu yakin?"
Nah kan, benar saja dugaanku.
"Biar saja Mak, biar bapak sendiri yang akan melamarkan untuknya nanti. Lagi pula, Sobari pamannya neng jingga itu sahabat dekat bapak pasti gak sulit buat dapatin restunya, ya walaupun keadaan kita jauh berbeda." ucap Bapak seraya tertawa sumbang.
Aku merenggut, "Gak akan terjadi itu, Ahmad pastikan. Tahun ini Ahmad akan lulus CPNS!" jawabku telak dengan penuh percaya diri.
Hari-hari berlalu, aku belajar dengan sungguh-sungguh hingga waktu tes tiba aku dengan mudah mengerjakan soal ujian tes tersebut.
Hingga waktu pengumuman kelulusan tiba, aku berdiri dengan jantung berdegup kencang menatap layar laptop.
Dan ...
Dam! Sial! Lagi-lagi aku kalah, aku dinyatakan tidak lulus tahun ini.
"Mak, segera siapkan seserahan. Malam ini bapak akan melamarkan neng jingga untuk putra tunggal kita!" Bapak berteriak kegirangan disebelahku, memanggil emak yang masih sibuk berkutat dengan cucian.
Aku menghembuskan napas nelangsa, mengapa bapak segirang itu? Harusnya dia bersedih mendapati putra kesayangnnya ini lagi, lagi harus menemui kegagalan.
Dengan nafas terengah-engah emai datang menemui kami dikamar, wajahnya nampak kembali menyiratkan kekecewaan.
"Gagal lagi Mad?" tanya emak dengan berjalan menghampiriku. Tangannya terulur menepuk pundak, menyalurkan kekuatan padaku.
Aku mengangguk lesu sebagai jawaban. "Yaudah gak papa, kamu masih anak hebatnya emak. Malam ini kita lamar juragan jingga ya" ucapnya seraya tersenyum penuh kemenangan
"Makkkk!" Aku berteriak sebagai bentuk protes.
Ini kenapa kedua orang tuaku malah mendukung nadzar yang telah diucapkan seminggu lalu? Harusnya mereka saat ini memarahi dan protes tak setuju apalagi wanita yang menjadi nadzarku ini seorang Juragan Jingga, wanita terkaya dan terkenal dengan rumor bau badannya.
"Gak usah protes, itu juga salah kamu sendiri Mad. Bapak hanya membantu kamu untuk memenuhi nadzar yang seminggu lalu kamu ucapkan" ucap Bapak menempuk pundaku.
Dan benar saja, malam ini Bapak menyuruhku untuk segera bersiap sementara emak begitu sibuk menyiapkan seserahan dan beberapa kerabat juga sudah berkumpul di teras rumah menungguku.
"Cie kang ahmad mau ngelamar seleb di desa ini" celuk Sinta sahabat kecilku yang entak kapan dia ada didepan teras berbaur dengan keluarga besarku.
Aku menghela nafas, menatapnya dalam. Andai dia tau, seandainya gadis itu belum menikah mungkin malam ini aku akan senang hati melamarnya. Tapi ah sudahlah, bukan jodoh. Ayo legowo saja.
"Bisa aja kamu Sin, dia bukan seleb. Wanita biasa seperti kamu lagi pula dia belum tentu mau juga sama saya yang hanya seorang guru honorer dari keluarga petani. Kasta kita berbeda,"
"Hus, jangan ngomong kitu Kang. Juragan Jingga baik orangnya, dia pasti mau menerima akang apa adanya"
Aku tersenyum tipis, semoga apa yang di ucapkan Sinta itu berbanding terbalik. Ya, harapanku seperti itu.
Setelah semua siap, kami pun segera bergegas dengan mobil dua buah mobil pick up yang sudah bapak sewa dari mang amin tetangga kita demi menuju rumah mewah satu-satunya yang terlihat mencolok dengan ornamen tiang tinggi menjulang khas gaya arsitek eropa.
Lagi, aku harus menelan saliva susah payah saat mendekati rumah mewah tersebut. Nampak semua orang sudah menunggu, sebuah tenda sudah berdiri kokoh dihalaman rumahnya, karpet merah tergelar di sepanjang jalan dari pintu gerbang ke pintu masuk rumahnya. Kami disambut dengan shalawat hadroh yang menggema, ah ini terlalu berlebihan.
"Husen, datang juga rupanya. Saya mau malam ini pernikahan saja yang digelar, bukan lamaran" ujar seorang lelaki seumuran bapak yang menyambut kami, mungkin itu pamannya Jingga. Sahabatnya bapak.
"Pak," aku berbisik menegur, ini bukan rencana kita. Lagi pula kita niatnya mau melamar bukan menikahinya.
"Penghulu sudah menunggu, ayo mari-mari" ujarnya sembari merangkul tubuh bapak.
Tubuhku seketika membeku, susah untuk melangkah. Mengapa harus pernikahan? Ah bapak, kok tiba-tiba gini.
"Mak, ini seriusan Ahmad nikah?" tanyaku berbisik.
Emak mendelik, "wayahna Mad. Biar emak sama bapak tenang mening langsung nikah aja lagi pula keluarga neng Jingga maunya langsung nikah. Trauma cenah, kalau lamaran mah takut gagal lagi"
Lidahku kelu, tidak bisa memprotes apa yang emak katakan sementara tubuhku sudah diseret bapak untuk memasuki rumah mewah tersebut. Nampak semua keluarga dan karyawan yang bekerja dengan Jingga sudah menunggu kedatangan kami, termasuk petugas KUA.
"Kita langsung saja ya, supaya gak kemalaman" ujar petugas KUA saat aku ditarik paksa oleh emak untuk duduk berhadapan dengannya sementara tanganku bapak tarik untuk menerima uluran tangan paman Jingga tersebut.
"Ya ahmad Baihaki, saya nikahkan enggkau dengan keponakan saya yang bernama Jingga Putri Jalaludin Rumi binti Almarhum Jalaludin Rumi dengan maskawin seperangkat alat shalat dan mas kawin seberat lima gram emas dibayar kontan"
Aku tertegun, lidahku masih kelu untuk menjawab namun sentakan di bahu seketika membuatku refleks menjawab. "Saya terima nikah dan kawinnya Jingga Putri Jalaludin Rumi binti almarhum jalaludinrumi dengan maskawin tersebut dibayar tunai"
"Bagaimana para saksi, sah?"
"SAH ..."
***
"Kang mandinya masih lama gak? Jingga juga gerah ini pengen mandi" sahutan dari luar kamar mandi seketika membuatku tersadar, buru-buru aku menyelesaikan ritualku."Sebentar lagi neng," jawabku.
"Cepetan ya kang, akang sudah sejam lebih loh disana" sahutnya lagi.
Aku mendelik malas, seraya memakai handuk kimono yang tersedia dikamar mandi tersebut. Ya kalau bukan ada dia, mana mungkin aku mandi selama ini. Biasanya juga sepuluh atau lima belas menit paling lama.
"Udah kang?" pertanyaan bodoh itu ku dengar ketika keluar dari kamar mandi.
Aku mengangguk, menatap gadis di hadapanku yang kini sudah terbebas dari gaun penganting yang ia kenakan.
"Aku mandi dulu ya kang, jangan tidur dulu tungguin aku. Malam ini kan malam pertama kita," pesannya sembari tersenyum malu.
Aku hanya mengangguk malas menanggapi, terserah kamu saja lah Jing yang terpenting kamu senang. Tapi, bodo amat aku tidak akan menunggunya, malam ini aku akan tidur lebih awal sebagai bentuk penyesalanku karena sudah bernadzar hal gila seperti ini.
Jangan menyesali apa yang terjadi, itu semua sudah menjadi takdirmu. Apa yang menurutmu baik, belum tentu menurut Allah baik begitu pun sebaliknya.***Kedua netraku mengerjap-ngerjap saat cahaya silau menyembur menyerang indra penglihatanku. Perlahan-lahan netra ini terbuka, nampak seorang gadis berdiri berkacak pinggang disampingku.Aku tersenyum, sejak kapan bidadari ini datang kehadapanku? Apa aku masih terhanyut dalam mimpi. Tapi tunggu, bidadari secantik ini mengapa aromanya terasa berbeda? Agak sedikit aneh."Kang, jangan senyum-senyum. Jingga marah sama akang, subuh akang telat, malam pertama juga enggak!" seketika aku tersadar mendengar suara cempreng yang keluar dari mulut itu.Alamak ... Ini hari pertama aku menjadi suami tapi malah sudah ada pertengkaran. Tapi, ah bodo amat. Lagi pula aku tidak menyukainya."Malah diam lagi, akang mandi sana. Shalat subuh, gak papa kaya shalat dhuha juga daripada enggak" tegurnya menyingkap selimut yang menutupi tubuhku. Aku menghela nafa
Hari libur yang harusnya menyenangkan ini, berganti menjadi suram. Sarapan pagi yang biasanya terasa begitu nikmat, malah kini tak berselera saat aku melihat emak yang begitu asik menghidangkan semua makanan kesukaanku pada gadis yang baru ku bawa tadi. Air muka Emak sama Jingga rupanya tidak jauh berbeda, sama-sama berseri seakan tengah berbahagia padahal apa yang sedang mereka bahagiakan? Baru saja bertemu dan semeja makan untuk sarapan bersama? Ah, tentu tidak mungkin. Asal kalian tau, mereka sering bertemu diladang."Mak, nanti Jingga mau belajar bikin sambal kaya gini. Seriusan ini enak banget," Jingga berucap dengan tangannya mengelap keringat, aku bergidik ngeri melihat butir-butir keringatnya yang nampak sebesar biji jagung. Sudah ku pastikan aroma parfum vanilaku tadi kini sudah bercampur dengan keringatnya. Ah, sebau apa nantinya. "Tenang aja neng, jangankan buat sambal yang gampang kaya gini. Buat rendang, opor ayam sama semur jengkol juga akan emak ajarin. Tenang, kamu k
"Suram amat, baru juga nikah. Belum malam pertama lu ya?" Aku menoleh malas kearah suara, memberi ringisan saat melihat Ujang yang merupakan sahabat karib sekaligus rekan kerja ku itu tengah duduk di hadapanku dengan senyum mengejeknya."Kalau udah dapat jatah, jangan lupa ya cerita sama gue. Penasaran sih gimana rasanya tuh si Juragan Jingga" lanjutnya dengan senyum menyeringai, tangannya terulur menyerahkan bungkusan kado berbentuk kotak kecil. Wajahnya tersenyum menyeringai. "Apaan nih?" tanyaku penasaran, dari bentuknya yang kecil sih sudah dipastikan isinya sekotak perhiasan, tapi ... Ah gak mungkin. Si Ujang kan orangnya pelit, mana mungkin bisa ngasih hadiah semahal itu. "Alat kontra-"Shit. Sebelum Ujang melanjutkan ucapannya, aku lebih dulu berdiri memberikan tinjuan pada pipi kirinya. "Wait, wait, santai atuh bro. Kan gua mah ngedukung elu biar dapat enaknya doang gak dapat anaknya. Gue yakin lu gak mau kan punya anak dari si Juragan Jingga. Makannya gue kasih kado itu,
Gara-gara ocehan tetangga di warung kopi itu dan candaan Uajng di sekolahan, aku jadi semakin menyesal menikahi Jingga. Hatiku semakin dibuat kesal tatkala aroma tubuhnya sudah tercium beberapa meter dari keberadaannya. Sebenarnya penyebab aroma tubuhnya itu apa sih? Apa iya harus ku suruh dia untuk berendam di air kembang tujuh rupa sehari semalam? Atau ku pinta emak buatkan ramuan khusus atau juga ku pinta si ujang buat pergi ke dukun? Arghhh menyebalkan. Aku jadi semakin tak semangat untuk memasuki rumah. "Kamu teh kenapa, Mad? Datang-datang kisut kitu mukanya" bapak bertanya saat aku baru memasuki ruang tamu tanpa mengucapkan salam seperti biasa. Terlalu kesal rasanya mengingat pernikahan dadakanku gara-gara bapak satu ini, padahal seandainya kalau tunangan dulu kan aku bisa menyiapkan diri untuk menerima Jingga sebagai istriku. Setidaknya seserahan yang aku bawakan untuknya, isinya pewangi semua. "Pak, tukaran posisi yuk" pintaku dengan mendekat, menyalami tangannya yang namp
Aku menelan saliva susan payah saat kaki jenjang ini sudah mendekati pintu kamar. Kecepatan melangkah mendadak berubah perlahan, ya allah kuatkan indra penciumanku. Clek. Knop pintu ku putar dengan pelan, nampak Jingga tengah terduduk di depan meja rias dengan membelakangiku. "Assalamualaikum," ujarku berusaha menahan nafas, aromanya sudah tercium khas sebelum aku mendekat. Buru-buru aku mengoleskan sedikit balsem beraroma mint ke bawah hidung yang ku bawa di saku celanaku sebelum Jingga menoleh. "Akang sudah pulang?" Basa-basinya yang terdengar begitu basi ditelinga ini. "Iya, aku mau mandi" ujarku seraya cepat menyambar handuk yang menggantung di kastok samping pintu kamar mandi, sementara tas yang ku bawa kerja itu sudah terlepas di samping meja belajar. Jingga mengangguk, "Jingga buatin teh ya," ujarnya sebelum aku benar-benar menghilang ke kamar mandi. "Jangan lupa ya lilin aroma terapinya di nyalain" ujarku. Jingga tersenyum, wajah memerah entah kenapa. "Iya kang, yasud
"Emang harus malam ini juga, Jing?" Aku bertanya dengan keluhan saat Jingga meminta izin setengah memaksa untuk mengantarkannya ke peternakan di ujung desa miliknya. "Iya, kang. Memang harus malam ini juga. Si Jejen mau ngelahirin, takutnya gak ada yang bantuin. Kata si mamang perkiraannya hari ini, dia gak bisa bantu. Malas katanya, sementara karyawanku lagi demam""Yaudah atuh kalau mau ngelahirin mah dibawa ke rumah sakit biar di bantu bidan, bukan malah kamu yang bantu. Emang kamu lulusan bidan juga?" Aku bertanya dengan agak sedikit terbahak. Ini si Jingga apa-apaan ya, masa iya dia mau bantuin orang lahiran. Aneh banget perasaan. "Eh si akang, ayo ah cepat kang. Kita pinjam motor butut bapak aja ya biar cepat. Kalau pake sepeda tua nanti keburu gak ketulungan" pintanya santai. Lah, itu enteng banget mulu. Motor butut katanya? Masih mulus gitu, cuma kerangkanya emang sengaja dilepas kan buat bawa rumput yang sehabis di sabit di gunung. Biar gak capek. "Iya, bentar ya akang p
Aku tercengang ketika kami sudah mulai mendekati gerbang kompleks peternakan milik Jingga, nampak pintu gerbang berbahan besi itu menjulang tinggi diatasnya tertulis nama Jingga's Farm, sekelilingnya tembok kokoh menjulang dengan ram kawat anti maling diatasnya. Ah, semewah ini rupanya. Pantesan saja julukan juragan Jingga tersemat di namanya."Bentar ya kang, aku buka dulu kuncinya" ujarnya turun dari motor tanpa menunggu persetujuanku. Aku mengangguk, memperhatikan bagaimana gerbang semewah dan sekokoh itu hendak dibukanya. Apakah kompleks peternakan semewah ini tidak memiliki security? Kenapa harus Jingga yang memegang kendali semuanya? "Ayo kang masuk," ujarnya mempersilahkan. Aku mengangguk, mendorong motor butut bapak ini memasuki area peternakan semakin dalam, diikuti Jingga yang sudah selesai menutup pintu gerbang. "Kang, motornya biar di simpan di sini saja ya, kita ke sananya naik sepeda aja" ujarnya menunjuk ke area parkir yang ternyata ada beberapa sepeda motor dan sep
Byur!Tengah malam begini, akhirnya aku terpaksa membersihkan tubuh setelah dirasa cukup membantu Jingga di kandang sapi itu. Air tengah malam terasa begitu dingin, di tambah semilir angin malam yang terasa begitu kencang membuat ku ingin cepat-cepat segera mengakhiri ritual ini. Tapi tunggu, sedari tadi aku mandi mataku tak pernah berhenti mencari-cari sabun mandi di sini. Nampak hanya satu sikat gigi dan odol bertengger di tempat sabun itu, lalu tadi dia mandi pake apa? Apa cuma air saja?"JINGGA!" aku berteriak cukup kencang, sudah terlalu lama di kamar mandi nanti bisa-bisa tubuhku membeku karena ke dinginan. "Kenapa kang? Teh Jingga udah balik lagi ke kandang," sahut Mail. "Sabun mandi habis il?" tanyaku setengah berteriak. "Aduh kang, lupa. Disini kalau mandi gak pake sabun mandi, biasanya pake daun dayang. Daun nya habis ya kang di pake teteh tadi kali ya" sahutnya.Ya salam, zaman sudah secanggih ini masih mandi pake daun? Pantesan aroma tubuh Jingga tak sedap selama ini.
Mobil yang aku dan Jingga tumpangi sekarang, rasanya begitu nyaman dan wangi apel begitu mendominasi saat pintu kaca mobil sudah ku naikan sepenuhnya. Aku memutar kunci kontak, suara mesin mobil itu menyala halus, berbeda dengan kendaraan biasa yang Jingga pakai. Sambil menatap spion, aku bisa melihat Bapak dan Mail yang masih berdiri di depan rumah, mengangguk kecil seolah memberikan restu. Sementara itu di sampingku, Jingga hanya diam, matanya menatap keluar, wajahnya agak muram.Aku melajukan mobil itu perlahan meninggalkan halaman rumah. Jalanan di luar mulai ramai. "Tidur aja lagi, perjalanan masih panjang." Suruhku berusaha membuka percakapan saat mobil mewah ini sudah memasuki jalanan perkotaan. Jingga menoleh, "gak papa?" tanyanya dengan wajah berbinar. Aku mengangguk mantap. "Serius, tidur lagi aja biar badannya enakan. Perlu aku putarkan musik buat nemenin tidurnya?" tawarku.Jingga menggeleng pelan, meski ada senyum kecil yang muncul di bibirnya. "Gak usah, kang. Cukup
"Teh ... Teteh ... A ... Pak buka pintunyaaaa!" suara teriakan dari luar terdengar begitu nyaring saat aku dan Jingga hendak keluar dari kamar. "Sebentar il," seolah sudah hafal dengan suaranya bapak yang tengah bersantai dengan secangkir teh di ruang tamu, beranjak cepat menuju pintu utama. Aku dan Jingga saling pandang, mungkin sedikit bingung dengan keributan di luar. Mail, yang biasanya pendiam dan tidak banyak bicara, tiba-tiba berteriak begitu keras. Ini pasti ada sesuatu yang serius. Aku bisa merasakan perasaan Jingga yang mulai cemas, apalagi setelah segala hal yang sudah terjadi dalam beberapa hari ini. "Mail, kenapa teriak-teriak gitu?" terdengar suara Bapak yang sedikit kesal, namun tetap ada nada cemas di dalamnya. Aku bisa mendengar langkah kaki Mail yang terburu-buru, dan kemudian pintu terbuka dengan suara berderit."Pak, teteh sama a Ahmad belum berangkat kan?" Mail masuk dengan wajah serius, bola matanya berputar kesana kemari seolah sedang mencari sesuatu.Bapak y
Jam di ponsel sudah menunjukkan pukul 8:15 pagi. Aku memandangi Jingga yang masih terlelap di sampingku, tubuhnya tertutup selimut tebal, napasnya yang tenang seolah melawan kegelisahan yang terus mengusik pikiranku.Aku menghela napas pelan, mengingat keputusan yang sudah kami buat beberapa jam yang lalu. Hari ini, kami akan menuju Jakarta. Semua yang telah kami persiapkan, baik itu mental maupun materi, terasa seperti sebuah perjalanan yang penuh ketidakpastian. Jakarta selalu memberikan harapan, tapi juga tak jarang menawarkan tantangan yang membuat siapa pun merasa tertekan. Dengan hati-hati aku duduk di tepi ranjang, menatap wajah Jingga yang masih terlelap. Ada rasa cemas yang menggelayuti pikiranku, tentang perjalanan yang akan kami tempuh, tentang masa depan kami di Jakarta, tentang segala hal yang belum sepenuhnya kami rencanakan. Aku tahu Jingga lelah, apalagi setelah semalam kami terlibat perdebatan panjang soal uang dan tempat tinggal. Tapi perjalanan ini harus dilakukan.
Setelah perdebatan semalam, akhirnya keputusan di buat subuh ini. Aku yang masih kekeh untuk tidak memakai uang Jingga nyatanya kalah juga. Uang ku tidak lebih banyak darinya dan aku akui itu. Tapi, sebagai laki-laki yang ingin menjadi suami yang bertanggung jawab aku memutuskan untuk memakai uangnya separuh dan separuh lagi memakai uangku. Itu sudah menjadi keputusan kami subuh ini, setelah beberapa kali membujukku dengan lembut."Fiks ya kang, kita patungan saja"Aku mendengus saat Jingga mengulang perkataannya. "Iya, tapi nanti pas gajian saya ganti ya,""Gak usah, lagi pula ini juga penyakit Jingga. Akang gak usah mikirin itu," tolaknya lagi untuk kesekian kalinya.Aku memandang Jingga yang duduk di sebelahku, wajahnya lembut dengan senyum tipis yang selalu berhasil menenangkan hatiku. Eh apaan, sejak kapan dia manis? Ayo sadar ahmad, Jingga itu perempuan biasa. Sama seperti yang lain!"Gak bisa gitu ya, kalau kamu nolak terus. Yaudah kita putuskan tinggal di rumah teh Ayu!" Anca
"pokoknya, teteh gak mau ya kalau kamu tinggal di rumah teteh sama istri kamu itu. Teteh gak mau sakit lagi, teteh kapok!"Aku mendengus kesal saat mendengar penolakan teh Ayu melalu sambungan telepon malam ini saat aku menghubungi mas Abi, untuk meminta pendapat tetang Jingga.Namun tiba-tiba suara teh Ayu, menggelegar terdengar sebuah ketidaksukaan di sana. Mungkin ia mendengar percakapan aku dan mas Abi yang meminta izin untuk sekalian menginap beberapa hari di rumahnya."Teteh jangan gitu dong. Ahmad ini adiknya teteh loh, kenapa teteh tega sekali?" tanyaku berusaha menahan emosi."Enggak ya mad. Kamu memang adik teteh, tapi untuk saat ini enggak. Kamu cari aja hotel atau apa kek, asal jangan di rumah teteh. Istri kamu itu bawa penyakit""Tega banget, awas ya teh kalau nanti teteh butuh bantuan sama ahmad. Ahmad gak akan bantu!" Ancamku berusaha untuk meluluhkan hatinya."Terserah kamu mad, yang jelas teteh gak mau ya kamu tinggal di sini. Nanti rumah teteh jadi bau, teteh gak suk
Bagaimana pun sekarang aku sudah menjadi suaminya dan aku yang bertanggung jawab atasnya sepenuhnya. Setelah perbincanganku dengan dokter, aku menemui Jingga berbicara padanya sembari menguatkannya. Aku tau ini berat, tapi kalau tidak di tangani sekarang takutnya Jingga semakin menderita akibat bau badannya yang tak kunjung hilang. Cukup aku kesihan melihatnya menjadi bahan perbincangan warga kami. "Akang serius mau bawa jingga ke Jakarta setelah ini?" Jingga bertanya saat aku mengemas pakaiannya untuk segera bergegas pulang dari rumah sakit ini. Aku menoleh, menghentikan aktivitasku. "Iya, saya mau telpon mas Abimanyu dulu. Kita bicarain ini di rumah ya," aku menatap Jingga dengan penuh keyakinan, berusaha memberi semangat padanya. Dalam matanya, aku melihat keraguan yang dalam. Itu wajar, tentu saja. Namun, aku tidak bisa membiarkan Jingga terpuruk lebih lama. Masalah ini harus segera ditangani, dan Jakarta adalah langkah terbaik untuknya."Akang... tapi, aku takut," suara Jingga
"Dan aku akan selalu di sini, Jingga. Nggak peduli apa pun yang terjadi,"Ucapan terakhirku pada Jingga, masih terngiang-ngiang di benakku. Ada rasa penyesalan di setiap kepingan ingatan itu. Sungguh itu aku? Kok bisa seorang Ahmad bisa berbicara seperti itu pada seorang perempuan yang bahkan tak aku cintai sama sekali. Mungkinkah karena aku kesihan padanya? Tapi entah mengapa setelah mengatakan hal itu ada rasa lega dihati, disamping penyesalan itu.Ah, sudahlah. Bukankah tujuanku menikah bukan untuk bercerai? Mungkin ini sebuah langkah awal dalam hubungan kami, setidaknya aku sedang belajar mencintainya.Dan hari ini, hari kedua Jingga berada di rumah sakit. Demamnya sudan turun, dokter juga sudah mengizinkan kami untuk pulang, tapi aku memaksa dokter untuk memeriksanya lebih lanjut lagi. Aku ingin tau, penyebab bau badannya yang sedari ramaja itu apa? Kok bisa baunya tak kunjung hilang, dan begitu menyengat, berbeda dengan manusia normal lainnya.Dokter menatapku dengan cermat, sea
Pov JinggaPagi ini badanku rasanya seperti terasa sangat berat, terutama di bagian perut seperti ada yang melilit erat. Sesak. Mungkin ini akibat asam lambungku naik kembali, selain demam yang tinggi ternyata setelah di observasi rupanya aku memiliki riwayat asam lambung yang kronis selain itu, entah apa lagi yang dibicarakan dokter sama kang ahmad kemarin. Katanya aku butuh pemeriksaan lebih lanjut agar riwayat penyakitku yang lain bisa di ketahui, termasuk bau badanku yang baru ku sadari setelah tak sengaja mendengar percakapan teh Ayu dengan sahabat kecilnya kang Ahmad, siapa lagi kalau bukan Sinta dan ku rasa perempuan itu mencintai suamiku.Tunggu, ini yang berat dan melilit di perutku rasanya bukan berasal dari asam lambung deh. Rasanya beda, ini seperti ...Hupt...Aku terkejut saat meraba-raba dan ku rasakan sebuah tangan melingkar di perutku. Tangan siapa? Tak mungkin tangan Mail sebesar ini dan berbulu.Melawan rasa penasaran, ku cubit saja dengan kencang tangan lancang yan
*Pov Juragan Jingga*Malam semakin sunyi, semakin sepi. Bahkan diantara kantuk dan beratnya mata terbuka, aku merasakan sesuatu di keningku, basah tapi juga tidak hangat selain itu perutku terasa berat seperti ada sesuatu yang menindih perutku.Ku buka mata yang masih benar-benar berat dan menemukan wajah seseorang diantara remang pencahayaan lampu tidur.Bibirku menarik seulas senyum saat menemukan see seseorang tertidur di sisi ranjang pesakitan dengan melingkar di perutku seolah ia tengah memelukku."Saya tulus, jangan terlalu berpikiran negatif mulu. Udah makan lagi, mumpung saya baik. Ingat, saya tulus!"Jujur saja, kata-kanya tadi siang selalu terngiang-ngiang di pikiranku. Benarkah apa yang diucapkannya memang tulus? Bahkan aku tak paham dengan perubahannya kini yang begitu peduli padaku. Agak aneh, biasanya juga kalau ia peduli itu ada maunya saja itu pun gak sampai meluk dan rela berkorban apa pun.Ini? Dia bahkan mencium bibirku. Kami berciuman tadi. Eh, benarkah itu? Aku te