"Akang, habis ini kita mau bulan madu kemana? Gak papa kang, sebagai ungkapan syukur, semua biaya biar Jingga yang tanggung" .
Glek.
Aku berusaha menelan saliva susah payah saat Jingga yang tengah menghapus make up sehabis resepsi ini berujar dengan menatapku dari pantulan cerminnya."Bulan madu?" Aku bertanya dengan mengerutkan kening, berpikir lebih jauh. Ah, boro-boro bulan madu, untuk menyentuhnya saja aku belum berani.
"Iya bulan madu, kang Ahmad mau kan bulan madu?" ujarnya beranjak mendekatiku yang tengah duduk ditepi ranjang dengan memainkan ponsel ditangan.
Semakin Jingga mendekat, aku berusaha menahan napas. Bukan karna grogi, tapi karena indra penciumanku begitu peka dengan aroma tubuh gadis itu. Cukup agak bau, mungkin karena selama ini kehidupan Jingga tidak luput dari aktivitas peternakannya, jadi aroma tubuhnya agak sedikit berbeda dari kebanyakan wanita yang aku kenal.
"Kang, kenapa diam aja?" Ia bertanya seraya duduk di sampingku.
"Boro-boro bulan madu, dekat dengan kamu aja akang harus tahan napas apalagi bulan madu? Mungkin napas akang sudah kehabisan neng. Mandi dong neng, kalau perlu sabunnya satu batang perhari, biar wangi"
Ingin aku mengatakan hal itu, tapi aku tak kuasa jika harus menyakiti wanita yang kini sudah menyandang status istriku. Takut tiba-tiba aroma tubuhnya mendadak menjadi wangi semerbak aroma mawar melati. Kan takut, iya takutnya dia jelmaan nyai pantai selatan.
"Neng, akang gerah nih. Akang duluan yang mandi ya?" Izinku berusaha untuk menghindar.
Tanpa menunggu persetujuan, aku berlari terbirit-birit memasuki kamar mandi hotel yang cukup megah ini. Ah seandainya aku tidak bernadzar seperti ini, aku mungkin saat ini hidupku masih baik-baik saja dengan segala aktivitas ku.
Flsback on.
"Kalau tahun ini aku masih gak lulus tes CPNS, akan aku nikahi perawan tua di desa ini" aku berucap dengan tegas seraya menatap buku-buku latihan soal seperti hari-hari biasanya sebagai persiapan menghadapi ujian tes CPNS yang akan diadakan seminggu lagi.
Sudah lima kali aku mendaftar, tetapi nihil. Aku masih saja belum lulus juga, padahal persiapanku sudah dikatakan matang. Belajar dengan giat, berkas sudah lengkap tapi apalah daya tangan tak sampai. Masih belum rezeki.
"Kalau ngomong gak usah sembarangan Mad, itu jatuhnya nadzar. Bapak gak tanggung jawab ya," ucap Bapak seraya menjitak kepalaku gemas.
"Yang benar saja, kamu mau menikahi juragan jingga? Anaknya almarhum mpok Alfa?" Sementara disampingnya, emak menyahut dengan pekikan kaget. Matanya melotot, kepalanya menggeleng-geleng tak percaya.
"Emang perawan tua di desa ini cuma dia doang mak?" Aku bertanya heran, sekaget itu kah bidadari tak bersayapku.
Bapak tersenyum mengejek, dari tatapannya aku menduga jika pertanyaanku itu akan mendapatkan jawaban yang tidak akan aku inginkan.
"Siapa lagi Mad, hanya dia. Semua gadis di desa ini kan gede dikit udah dinikahin, kalau enggak ya pada pergi ke kota. Ya, cuma dia. Kamu yakin?"
Nah kan, benar saja dugaanku.
"Biar saja Mak, biar bapak sendiri yang akan melamarkan untuknya nanti. Lagi pula, Sobari pamannya neng jingga itu sahabat dekat bapak pasti gak sulit buat dapatin restunya, ya walaupun keadaan kita jauh berbeda." ucap Bapak seraya tertawa sumbang.
Aku merenggut, "Gak akan terjadi itu, Ahmad pastikan. Tahun ini Ahmad akan lulus CPNS!" jawabku telak dengan penuh percaya diri.
Hari-hari berlalu, aku belajar dengan sungguh-sungguh hingga waktu tes tiba aku dengan mudah mengerjakan soal ujian tes tersebut.
Hingga waktu pengumuman kelulusan tiba, aku berdiri dengan jantung berdegup kencang menatap layar laptop.
Dan ...
Dam! Sial! Lagi-lagi aku kalah, aku dinyatakan tidak lulus tahun ini.
"Mak, segera siapkan seserahan. Malam ini bapak akan melamarkan neng jingga untuk putra tunggal kita!" Bapak berteriak kegirangan disebelahku, memanggil emak yang masih sibuk berkutat dengan cucian.
Aku menghembuskan napas nelangsa, mengapa bapak segirang itu? Harusnya dia bersedih mendapati putra kesayangnnya ini lagi, lagi harus menemui kegagalan.
Dengan nafas terengah-engah emai datang menemui kami dikamar, wajahnya nampak kembali menyiratkan kekecewaan.
"Gagal lagi Mad?" tanya emak dengan berjalan menghampiriku. Tangannya terulur menepuk pundak, menyalurkan kekuatan padaku.
Aku mengangguk lesu sebagai jawaban. "Yaudah gak papa, kamu masih anak hebatnya emak. Malam ini kita lamar juragan jingga ya" ucapnya seraya tersenyum penuh kemenangan
"Makkkk!" Aku berteriak sebagai bentuk protes.
Ini kenapa kedua orang tuaku malah mendukung nadzar yang telah diucapkan seminggu lalu? Harusnya mereka saat ini memarahi dan protes tak setuju apalagi wanita yang menjadi nadzarku ini seorang Juragan Jingga, wanita terkaya dan terkenal dengan rumor bau badannya.
"Gak usah protes, itu juga salah kamu sendiri Mad. Bapak hanya membantu kamu untuk memenuhi nadzar yang seminggu lalu kamu ucapkan" ucap Bapak menempuk pundaku.
Dan benar saja, malam ini Bapak menyuruhku untuk segera bersiap sementara emak begitu sibuk menyiapkan seserahan dan beberapa kerabat juga sudah berkumpul di teras rumah menungguku.
"Cie kang ahmad mau ngelamar seleb di desa ini" celuk Sinta sahabat kecilku yang entak kapan dia ada didepan teras berbaur dengan keluarga besarku.
Aku menghela nafas, menatapnya dalam. Andai dia tau, seandainya gadis itu belum menikah mungkin malam ini aku akan senang hati melamarnya. Tapi ah sudahlah, bukan jodoh. Ayo legowo saja.
"Bisa aja kamu Sin, dia bukan seleb. Wanita biasa seperti kamu lagi pula dia belum tentu mau juga sama saya yang hanya seorang guru honorer dari keluarga petani. Kasta kita berbeda,"
"Hus, jangan ngomong kitu Kang. Juragan Jingga baik orangnya, dia pasti mau menerima akang apa adanya"
Aku tersenyum tipis, semoga apa yang di ucapkan Sinta itu berbanding terbalik. Ya, harapanku seperti itu.
Setelah semua siap, kami pun segera bergegas dengan mobil dua buah mobil pick up yang sudah bapak sewa dari mang amin tetangga kita demi menuju rumah mewah satu-satunya yang terlihat mencolok dengan ornamen tiang tinggi menjulang khas gaya arsitek eropa.
Lagi, aku harus menelan saliva susah payah saat mendekati rumah mewah tersebut. Nampak semua orang sudah menunggu, sebuah tenda sudah berdiri kokoh dihalaman rumahnya, karpet merah tergelar di sepanjang jalan dari pintu gerbang ke pintu masuk rumahnya. Kami disambut dengan shalawat hadroh yang menggema, ah ini terlalu berlebihan.
"Husen, datang juga rupanya. Saya mau malam ini pernikahan saja yang digelar, bukan lamaran" ujar seorang lelaki seumuran bapak yang menyambut kami, mungkin itu pamannya Jingga. Sahabatnya bapak.
"Pak," aku berbisik menegur, ini bukan rencana kita. Lagi pula kita niatnya mau melamar bukan menikahinya.
"Penghulu sudah menunggu, ayo mari-mari" ujarnya sembari merangkul tubuh bapak.
Tubuhku seketika membeku, susah untuk melangkah. Mengapa harus pernikahan? Ah bapak, kok tiba-tiba gini.
"Mak, ini seriusan Ahmad nikah?" tanyaku berbisik.
Emak mendelik, "wayahna Mad. Biar emak sama bapak tenang mening langsung nikah aja lagi pula keluarga neng Jingga maunya langsung nikah. Trauma cenah, kalau lamaran mah takut gagal lagi"
Lidahku kelu, tidak bisa memprotes apa yang emak katakan sementara tubuhku sudah diseret bapak untuk memasuki rumah mewah tersebut. Nampak semua keluarga dan karyawan yang bekerja dengan Jingga sudah menunggu kedatangan kami, termasuk petugas KUA.
"Kita langsung saja ya, supaya gak kemalaman" ujar petugas KUA saat aku ditarik paksa oleh emak untuk duduk berhadapan dengannya sementara tanganku bapak tarik untuk menerima uluran tangan paman Jingga tersebut.
"Ya ahmad Baihaki, saya nikahkan enggkau dengan keponakan saya yang bernama Jingga Putri Jalaludin Rumi binti Almarhum Jalaludin Rumi dengan maskawin seperangkat alat shalat dan mas kawin seberat lima gram emas dibayar kontan"
Aku tertegun, lidahku masih kelu untuk menjawab namun sentakan di bahu seketika membuatku refleks menjawab. "Saya terima nikah dan kawinnya Jingga Putri Jalaludin Rumi binti almarhum jalaludinrumi dengan maskawin tersebut dibayar tunai"
"Bagaimana para saksi, sah?"
"SAH ..."
***
"Kang mandinya masih lama gak? Jingga juga gerah ini pengen mandi" sahutan dari luar kamar mandi seketika membuatku tersadar, buru-buru aku menyelesaikan ritualku."Sebentar lagi neng," jawabku.
"Cepetan ya kang, akang sudah sejam lebih loh disana" sahutnya lagi.
Aku mendelik malas, seraya memakai handuk kimono yang tersedia dikamar mandi tersebut. Ya kalau bukan ada dia, mana mungkin aku mandi selama ini. Biasanya juga sepuluh atau lima belas menit paling lama.
"Udah kang?" pertanyaan bodoh itu ku dengar ketika keluar dari kamar mandi.
Aku mengangguk, menatap gadis di hadapanku yang kini sudah terbebas dari gaun penganting yang ia kenakan.
"Aku mandi dulu ya kang, jangan tidur dulu tungguin aku. Malam ini kan malam pertama kita," pesannya sembari tersenyum malu.
Aku hanya mengangguk malas menanggapi, terserah kamu saja lah Jing yang terpenting kamu senang. Tapi, bodo amat aku tidak akan menunggunya, malam ini aku akan tidur lebih awal sebagai bentuk penyesalanku karena sudah bernadzar hal gila seperti ini.
Jangan menyesali apa yang terjadi, itu semua sudah menjadi takdirmu. Apa yang menurutmu baik, belum tentu menurut Allah baik begitu pun sebaliknya.***Kedua netraku mengerjap-ngerjap saat cahaya silau menyembur menyerang indra penglihatanku. Perlahan-lahan netra ini terbuka, nampak seorang gadis berdiri berkacak pinggang disampingku.Aku tersenyum, sejak kapan bidadari ini datang kehadapanku? Apa aku masih terhanyut dalam mimpi. Tapi tunggu, bidadari secantik ini mengapa aromanya terasa berbeda? Agak sedikit aneh."Kang, jangan senyum-senyum. Jingga marah sama akang, subuh akang telat, malam pertama juga enggak!" seketika aku tersadar mendengar suara cempreng yang keluar dari mulut itu.Alamak ... Ini hari pertama aku menjadi suami tapi malah sudah ada pertengkaran. Tapi, ah bodo amat. Lagi pula aku tidak menyukainya."Malah diam lagi, akang mandi sana. Shalat subuh, gak papa kaya shalat dhuha juga daripada enggak" tegurnya menyingkap selimut yang menutupi tubuhku. Aku menghela nafa
Hari libur yang harusnya menyenangkan ini, berganti menjadi suram. Sarapan pagi yang biasanya terasa begitu nikmat, malah kini tak berselera saat aku melihat emak yang begitu asik menghidangkan semua makanan kesukaanku pada gadis yang baru ku bawa tadi. Air muka Emak sama Jingga rupanya tidak jauh berbeda, sama-sama berseri seakan tengah berbahagia padahal apa yang sedang mereka bahagiakan? Baru saja bertemu dan semeja makan untuk sarapan bersama? Ah, tentu tidak mungkin. Asal kalian tau, mereka sering bertemu diladang."Mak, nanti Jingga mau belajar bikin sambal kaya gini. Seriusan ini enak banget," Jingga berucap dengan tangannya mengelap keringat, aku bergidik ngeri melihat butir-butir keringatnya yang nampak sebesar biji jagung. Sudah ku pastikan aroma parfum vanilaku tadi kini sudah bercampur dengan keringatnya. Ah, sebau apa nantinya. "Tenang aja neng, jangankan buat sambal yang gampang kaya gini. Buat rendang, opor ayam sama semur jengkol juga akan emak ajarin. Tenang, kamu k
"Suram amat, baru juga nikah. Belum malam pertama lu ya?" Aku menoleh malas kearah suara, memberi ringisan saat melihat Ujang yang merupakan sahabat karib sekaligus rekan kerja ku itu tengah duduk di hadapanku dengan senyum mengejeknya."Kalau udah dapat jatah, jangan lupa ya cerita sama gue. Penasaran sih gimana rasanya tuh si Juragan Jingga" lanjutnya dengan senyum menyeringai, tangannya terulur menyerahkan bungkusan kado berbentuk kotak kecil. Wajahnya tersenyum menyeringai. "Apaan nih?" tanyaku penasaran, dari bentuknya yang kecil sih sudah dipastikan isinya sekotak perhiasan, tapi ... Ah gak mungkin. Si Ujang kan orangnya pelit, mana mungkin bisa ngasih hadiah semahal itu. "Alat kontra-"Shit. Sebelum Ujang melanjutkan ucapannya, aku lebih dulu berdiri memberikan tinjuan pada pipi kirinya. "Wait, wait, santai atuh bro. Kan gua mah ngedukung elu biar dapat enaknya doang gak dapat anaknya. Gue yakin lu gak mau kan punya anak dari si Juragan Jingga. Makannya gue kasih kado itu,
Gara-gara ocehan tetangga di warung kopi itu dan candaan Uajng di sekolahan, aku jadi semakin menyesal menikahi Jingga. Hatiku semakin dibuat kesal tatkala aroma tubuhnya sudah tercium beberapa meter dari keberadaannya. Sebenarnya penyebab aroma tubuhnya itu apa sih? Apa iya harus ku suruh dia untuk berendam di air kembang tujuh rupa sehari semalam? Atau ku pinta emak buatkan ramuan khusus atau juga ku pinta si ujang buat pergi ke dukun? Arghhh menyebalkan. Aku jadi semakin tak semangat untuk memasuki rumah. "Kamu teh kenapa, Mad? Datang-datang kisut kitu mukanya" bapak bertanya saat aku baru memasuki ruang tamu tanpa mengucapkan salam seperti biasa. Terlalu kesal rasanya mengingat pernikahan dadakanku gara-gara bapak satu ini, padahal seandainya kalau tunangan dulu kan aku bisa menyiapkan diri untuk menerima Jingga sebagai istriku. Setidaknya seserahan yang aku bawakan untuknya, isinya pewangi semua. "Pak, tukaran posisi yuk" pintaku dengan mendekat, menyalami tangannya yang namp
Aku menelan saliva susan payah saat kaki jenjang ini sudah mendekati pintu kamar. Kecepatan melangkah mendadak berubah perlahan, ya allah kuatkan indra penciumanku. Clek. Knop pintu ku putar dengan pelan, nampak Jingga tengah terduduk di depan meja rias dengan membelakangiku. "Assalamualaikum," ujarku berusaha menahan nafas, aromanya sudah tercium khas sebelum aku mendekat. Buru-buru aku mengoleskan sedikit balsem beraroma mint ke bawah hidung yang ku bawa di saku celanaku sebelum Jingga menoleh. "Akang sudah pulang?" Basa-basinya yang terdengar begitu basi ditelinga ini. "Iya, aku mau mandi" ujarku seraya cepat menyambar handuk yang menggantung di kastok samping pintu kamar mandi, sementara tas yang ku bawa kerja itu sudah terlepas di samping meja belajar. Jingga mengangguk, "Jingga buatin teh ya," ujarnya sebelum aku benar-benar menghilang ke kamar mandi. "Jangan lupa ya lilin aroma terapinya di nyalain" ujarku. Jingga tersenyum, wajah memerah entah kenapa. "Iya kang, yasud
"Emang harus malam ini juga, Jing?" Aku bertanya dengan keluhan saat Jingga meminta izin setengah memaksa untuk mengantarkannya ke peternakan di ujung desa miliknya. "Iya, kang. Memang harus malam ini juga. Si Jejen mau ngelahirin, takutnya gak ada yang bantuin. Kata si mamang perkiraannya hari ini, dia gak bisa bantu. Malas katanya, sementara karyawanku lagi demam""Yaudah atuh kalau mau ngelahirin mah dibawa ke rumah sakit biar di bantu bidan, bukan malah kamu yang bantu. Emang kamu lulusan bidan juga?" Aku bertanya dengan agak sedikit terbahak. Ini si Jingga apa-apaan ya, masa iya dia mau bantuin orang lahiran. Aneh banget perasaan. "Eh si akang, ayo ah cepat kang. Kita pinjam motor butut bapak aja ya biar cepat. Kalau pake sepeda tua nanti keburu gak ketulungan" pintanya santai. Lah, itu enteng banget mulu. Motor butut katanya? Masih mulus gitu, cuma kerangkanya emang sengaja dilepas kan buat bawa rumput yang sehabis di sabit di gunung. Biar gak capek. "Iya, bentar ya akang p
Aku tercengang ketika kami sudah mulai mendekati gerbang kompleks peternakan milik Jingga, nampak pintu gerbang berbahan besi itu menjulang tinggi diatasnya tertulis nama Jingga's Farm, sekelilingnya tembok kokoh menjulang dengan ram kawat anti maling diatasnya. Ah, semewah ini rupanya. Pantesan saja julukan juragan Jingga tersemat di namanya."Bentar ya kang, aku buka dulu kuncinya" ujarnya turun dari motor tanpa menunggu persetujuanku. Aku mengangguk, memperhatikan bagaimana gerbang semewah dan sekokoh itu hendak dibukanya. Apakah kompleks peternakan semewah ini tidak memiliki security? Kenapa harus Jingga yang memegang kendali semuanya? "Ayo kang masuk," ujarnya mempersilahkan. Aku mengangguk, mendorong motor butut bapak ini memasuki area peternakan semakin dalam, diikuti Jingga yang sudah selesai menutup pintu gerbang. "Kang, motornya biar di simpan di sini saja ya, kita ke sananya naik sepeda aja" ujarnya menunjuk ke area parkir yang ternyata ada beberapa sepeda motor dan sep
Byur!Tengah malam begini, akhirnya aku terpaksa membersihkan tubuh setelah dirasa cukup membantu Jingga di kandang sapi itu. Air tengah malam terasa begitu dingin, di tambah semilir angin malam yang terasa begitu kencang membuat ku ingin cepat-cepat segera mengakhiri ritual ini. Tapi tunggu, sedari tadi aku mandi mataku tak pernah berhenti mencari-cari sabun mandi di sini. Nampak hanya satu sikat gigi dan odol bertengger di tempat sabun itu, lalu tadi dia mandi pake apa? Apa cuma air saja?"JINGGA!" aku berteriak cukup kencang, sudah terlalu lama di kamar mandi nanti bisa-bisa tubuhku membeku karena ke dinginan. "Kenapa kang? Teh Jingga udah balik lagi ke kandang," sahut Mail. "Sabun mandi habis il?" tanyaku setengah berteriak. "Aduh kang, lupa. Disini kalau mandi gak pake sabun mandi, biasanya pake daun dayang. Daun nya habis ya kang di pake teteh tadi kali ya" sahutnya.Ya salam, zaman sudah secanggih ini masih mandi pake daun? Pantesan aroma tubuh Jingga tak sedap selama ini.
"apa?" Kedua perempuan beda usia yang tengah beradu argumen itu menatap Sinta tajam, saat gerakan tangannya menunjuk kebelakangku yang kini tengah menghela nafas panjang, begitu lelah mendengarkan keduan perempuan di hadapanku itu. "Teh, mak debatnya ditunda dulu atuh. Itu orangnya datang, sama anak-anak lagi" tegur Sinta dengan suara pelan, nyaris tak terdengar. "Eh?" Emak menoleh ke arah Sinta, rasa kesalnya begitu kentara di wajahnya namun namun matanya sudah mulai melunak, mengikuti arah tangan Sinta yang menunjuk ke belakangku. Sementara itu teh Ayu segera bungkam, tangannya dengan cepat menutup hidung mancungnya. Ah, aku paham sekarang. "Selamat pagi ..." teriakan kedua keponakanku membuat atensiku beralih, segera tubuh ini berbalik ke arah suara. Nampak, Jingga tersenyum manis menyapa kami dibelakanngnya. "Mad, jangan biarkan teteh masuk UGD lagi. Sudah sana, ajak istrimu menjauh" suara teh Ayu terdengar tegas, meski senyum manisnya masih mengembang di bibir. Matanya yan
Saat aku baru saja menginjakan kaki di ruang makan, nampak Sinta dan teh Ayu tengah asik membantu emak memasak di dapur, sementara Jingga aku tinggalkan tadi di kamar dengan sengaja. Berharap dia mengerti akan permintaanku, agar ia tak pergi ke pondok peternakannya hari ini. "Selamat pagi," sapaku ramah kepada tiga wanita yang berharga dihidupku. Ketiganya kompak menoleh, menjawab bersamaan sapaanku yang membuat aku merasa geli dan terkekeh. "Masak apa nih, pagi-pagi sekali. Wanginya bikin cacing di perut Ahmad meronta-ronta" kekehku dengan menarik satu kursi di meja pantri menghadap kearah dapur. "Masak rendang kesukaan kamu kang," jawab Sinta, wajah berbinar-binar menatapku. Aku tersenyum mendengar jawabannya. Sinta memang tahu betul apa yang membuat hatiku senang. Rendang selalu jadi hidangan favoritku, apalagi Sinta yang memasaknya. "Ah, dari dulu kamu memang tau caranya membuatku terharu ya Sin. Bisa aja deh," kataku sambil duduk, menatap piring kosong di meja yang seakan s
Aku terbangun dengan wajah sedikit terkejut saat menoleh ke sisi tempat tidur yang menampakan wajah cemberut Jingga sepagi ini.Tanganku yang entah sejak kapan melingkar diperutnya, kini ku lepaskan dengan terburu-buru. "Kenapa?" tanyaku dengan suara serak khas bangun tidur saat terdengar suara decakan keluar dari mulut Jingga. Jingga mengedikan bahu, lalu membalikan tubuhnya membelakangiku. Aku merubah posisi tubuh ini menjadi terlentang, menatap langit-langit kamar sembari memikirkan kesalahan apa yang semalam ku perbuat padanya hingga pagi ini sudah disuguhi wajah masam darinya. Biar ku ingat-ingat lagi, perasaan semalam aku tak melakukan kesalahan apa pun padanga. Bahkan aku dengan mati-matian menahan nafsuku saat memberikan pijatan lembut pada tubuh Jingga, tapi hal yang diinginkan olehnya tak terjadi semalam gara-gara Jingga sendiri yang sudah tertidur pulas meski belum sampai lima menit aku memijatnya. Apa karena itu? Ah, padahalkan salahnya sendiri. Mengapa harus menyalahk
Alisku terangkat sebelah, saat ekor mata ini tak sengaja melihat wajah Jingga malam ini yang begitu berseri-seri mendekat kearahku yang tengah menyalakan beberapa lilin aroma terapy. Pikiranku semakin dibuat heran saat Jingga mengikuti kemana pun aku melangkah meletakan beberapa lilin aroma terapy yang baru saja ku nyalakan itu. "Kenapa lu?" tanyaku heran dengan berbalik tubuh menatapnya. Jingga tersenyum cerah menatapku, bau keringat tubuhnya kini agak memudar digantikan dengan aroma parfum milikku yang sengaja aku menyuruhnya untuk ia pakai sehabis mandi di tambah lilin aroma terapi yang lumayan bisa menyamarkan bau badannya. "Katanya tadi mau mijitin Jingga kang," ujarnya cengengesan. Kedua tangan ku lipat di dada. "Terus?""Ish," Jingga merengut kesal, bibir tipisnya mengerucut dengan mata yang mendelik. "Yaudah, ambilkan minyak urutnya di lemari sana" suruhku dengan dagu bergerak kedepan menunjukan dimana letak minyak urut yang selalu ku pakai itu. Jingga mengangguk, denga
Brugh ...Aku menjatuhkan tubuh ini begitu saja pada kasur yang sudah tak ku tempati beberapa minggu ini. Rasanya begitu nyaman bahkan rasa lelah ini ingin segera ku manjakan di ranjang kesayanganku ini. Setibanya di kamar, sungguh tubuhku rasanya begitu pegal sekali, apalagi tangan. Ah, rasanya tak karuan gara-gara sepanjanh perjalanan aku menggendong si gendut Niko, keponakanku yang super aktif dan cerdas itu. Kali ini, untuk meredakan rasa pegal aku memejamkan mata sejenak, berusaha menikmati empuknya kasur yang sudah lama tak ku tempati ini. Grep!Seketika kedua netra ini terbuka saat merasakan sebuah tangan melingkar di tubuhku. Indra penciumanku kembang kempis, merasakan bau tak sedap kembali terisap. Aku menoleh, melihat wajah Jingga yang begitu dekat denganku. "Kamu ngapain peluk-peluk saya?" tanyaku sembari menepis tangannya dari tubuku, lalu bergeser sedikit menjauh darinya. Jingga merenggut kesal, tubuhnya kembali ia dekatkan dengan tubuhku. "Yaelah kang, jingga cuma p
Seusai acara tahlil dan bermain dengan anak panti, kami memutuskan untuk pulang ke rumah emak. Malam ini, emak memaksa aku dan Jingga untuk pulang ke rumahnya, katanya emak kangen sama menantu juragannya ini. Padahal setiap hari juga ketemu, cuma gak di rumahnya. Maklum, menghindari teh Ayu biar gak kena penyakit lagi, soalnya indra penciuman teh Ayu terlalu sensitif. Tapi malam ini, mumpung teh Ayu tengah menginap di rumah Sinta, sahabat kecilku sekaligus sodara jauh kami yang kebetulan pulang ke kampung untuk sekedar mengisi hari libur mungkin. Kami pun berangkat, dengan Jingga yang terlihat sibuk memastikan kedua keponakan ku yang tengah asik tertidur lelap di pangkuanku dan pangkuannya. Sementara emak dan mail begitu asik bercerita di dengan duduk berdampingan di kursi kemudi. "Jang, kamu juga nginep atuh sesekali di rumah emak. Gak papa rumah kecil juga, yang penting bisa tidur" aku mendengar di depan kursi yang aku duduki, emak meminta agar Mail juga ikut bermalam bersama kam
Aku memperhatikan Jingga yang kini tengah asik bermain dengan anak-anak panti sekaligus kedua keponakanku di taman selepas acara tahlil mengenang kepergian kedua orang tuanya berakhir. Sementara emak masih asik mengobrol dengan pemilik panti. Semakin di perhatikan, semakin membuatku merasa heran sendiri. Mengapa anak-anak panti bisa sedekat itu dengan Jingga, padahal bau ditubuhnya pasti cukup mengganggu indra penciumannya dan jelas hal tersebut bisa membuat siapa pun yang dekat dengannya tidak akan pernah tahan, kecuali emak, aku, mail dan keluarganya yang sudah terbiasa dengan bau tersebut. Entahlah, tapi kenyataannya anak-anak pada senang dekat dengannya. Aku menatap Jingga lebih lama. Wajahnya tampak serius, saat ia tengah menceritakan kisah salah satu tokoh pahlawan dalam islam, yaitu tentang Usamah bin Zaid yang merupakan komandan perang di zaman Rasulullah SAW yang paling muda. Beliau diangkat menjadi komandan perang oleh Rasulullah SAW di saat usianya 18 tahun. Jingga berbi
Kehilangan memang sesuatu hal yang tidak pernah kita inginkan, tetapi sesuatu hal itu pasti terjadi. Cepat mau pun lambat. Namun pantaskah kita berlarut-larut dalam kesedihan atas kehilangan itu? Tentu tidak, bukan. Hal itu lah yang kini terjadi pada kakak beradik itu, sudah bertahun-tahun lamanya tanpa kedua orang tua membuat keduanya begitu tegar. Bahkan kini saat memperingati hari kepergiannya, mereka nampak tidak berlarut dalam kesedihan tetapi senyuman manis mereka kini terpancar nyata bersama kebahagiaan anak-anak panti disini.Emak dan kedua ponakanku juga turut serta memberikan kebahagiaan, si kecil kakang bahkan nampak akrab dengan beberapa anak panti disini ditemani oleh kakanya, Niko yang begitu overprotektif terhadap sang adik. "Akang, ngapain senyum-senyum. Ayo sini gabung," suara Jingga yang mengintrupsi didepanku itu seketika membuatku buru-buru memasang wajah datar. Aku berjalan mendekati mereka, dan duduk disebelahnya. Jingga tersenyum menatapku dengan tangannya yan
Senja hari ini begitu indah, seakan semesta telah berkompromi pada sang pemilik alam untuk aktivitasku dan Jingga yang sudah di agendakan jauh-jauh hari oleh Jingga. Ya, hari ini tepat hari dimana Jingga kehilangan kedua orang tuanya yang sudah bertahun-tahun lama. Untuk memperingati kepergian orang tuanya, setiap tahunnya Jingga dan sang adik selalu mengadakan doa di panti asuhan yang dimana semasa hidup kedua orang tuanya itu merupakan donasi terbesar disana dan sampai saat ini mungkin, bahkan bisa di bilang begitu. Kedua mata ini, masih ku perhatikan gerak-gerik Jingga yang kini tengah berdiri di depan cermin seolah tengah menatap wajahnya sendiri. Mata yang sembab, hidung memerah, kantung mata yang terlihat begitu jelasnya serta wajah yang terlihat lelahnya seolah mempresentasikan suasana hatinya. Rencananya, hari ini aku tidak akan ikut karena si Ujang tidak mau menggantikan rapat agenda tahunan sekolah tetapi melihat kondisi Jingga yang memutuskan untuk memaksa si Ujang mengga