Share

Istriku Seorang Juragan
Istriku Seorang Juragan
Penulis: AkaraLangitBiru

Nadzar yang penuh penyesalan

"Akang, habis ini kita mau bulan madu kemana? Gak papa kang, sebagai ungkapan syukur, semua biaya biar Jingga yang tanggung" .

Glek.

Aku berusaha menelan saliva susah payah saat Jingga yang tengah menghapus make up sehabis resepsi ini berujar dengan menatapku dari pantulan cerminnya.

"Bulan madu?" Aku bertanya dengan mengerutkan kening, berpikir lebih jauh. Ah, boro-boro bulan madu, untuk menyentuhnya saja aku belum berani.

"Iya bulan madu, kang Ahmad mau kan bulan madu?" ujarnya beranjak mendekatiku yang tengah duduk ditepi ranjang dengan memainkan ponsel ditangan.

Semakin Jingga mendekat, aku berusaha menahan napas. Bukan karna grogi, tapi karena indra penciumanku begitu peka dengan aroma tubuh gadis itu. Cukup agak bau, mungkin karena selama ini kehidupan Jingga tidak luput dari aktivitas peternakannya, jadi aroma tubuhnya agak sedikit berbeda dari kebanyakan wanita yang aku kenal.

"Kang, kenapa diam aja?" Ia bertanya seraya duduk di sampingku.

"Boro-boro bulan madu, dekat dengan kamu aja akang harus tahan napas apalagi bulan madu? Mungkin napas akang sudah kehabisan neng. Mandi dong neng, kalau perlu sabunnya satu batang perhari, biar wangi"

Ingin aku mengatakan hal itu, tapi aku tak kuasa jika harus menyakiti wanita yang kini sudah menyandang status istriku. Takut tiba-tiba aroma tubuhnya mendadak menjadi wangi semerbak aroma mawar melati. Kan takut, iya takutnya dia jelmaan nyai pantai selatan.

"Neng, akang gerah nih. Akang duluan yang mandi ya?" Izinku berusaha untuk menghindar.

Tanpa menunggu persetujuan, aku berlari terbirit-birit memasuki kamar mandi hotel yang cukup megah ini. Ah seandainya aku tidak bernadzar seperti ini, aku mungkin saat ini hidupku masih baik-baik saja dengan segala aktivitas ku.

Flsback on.

"Kalau tahun ini aku masih gak lulus tes CPNS, akan aku nikahi perawan tua di desa ini" aku berucap dengan tegas seraya menatap buku-buku latihan soal seperti hari-hari biasanya sebagai persiapan menghadapi ujian tes CPNS yang akan diadakan seminggu lagi.

Sudah lima kali aku mendaftar, tetapi nihil. Aku masih saja belum lulus juga, padahal persiapanku sudah dikatakan matang. Belajar dengan giat, berkas sudah lengkap tapi apalah daya tangan tak sampai. Masih belum rezeki.

"Kalau ngomong gak usah sembarangan Mad, itu jatuhnya nadzar. Bapak gak tanggung jawab ya," ucap Bapak seraya menjitak kepalaku gemas.

"Yang benar saja, kamu mau menikahi juragan jingga? Anaknya almarhum mpok Alfa?" Sementara disampingnya, emak menyahut dengan pekikan kaget. Matanya melotot, kepalanya menggeleng-geleng tak percaya.

"Emang perawan tua di desa ini cuma dia doang mak?" Aku bertanya heran, sekaget itu kah bidadari tak bersayapku.

Bapak tersenyum mengejek, dari tatapannya aku menduga jika pertanyaanku itu akan mendapatkan jawaban yang tidak akan aku inginkan.

"Siapa lagi Mad, hanya dia. Semua gadis di desa ini kan gede dikit udah dinikahin, kalau enggak ya pada pergi ke kota. Ya, cuma dia. Kamu yakin?"

Nah kan, benar saja dugaanku.

"Biar saja Mak, biar bapak sendiri yang akan melamarkan untuknya nanti. Lagi pula, Sobari pamannya neng jingga itu sahabat dekat bapak pasti gak sulit buat dapatin restunya, ya walaupun keadaan kita jauh berbeda." ucap Bapak seraya tertawa sumbang.

Aku merenggut, "Gak akan terjadi itu, Ahmad pastikan. Tahun ini Ahmad akan lulus CPNS!" jawabku telak dengan penuh percaya diri.

Hari-hari berlalu, aku belajar dengan sungguh-sungguh hingga waktu tes tiba aku dengan mudah mengerjakan soal ujian tes tersebut.

Hingga waktu pengumuman kelulusan tiba, aku berdiri dengan jantung berdegup kencang menatap layar laptop.

Dan ...

Dam! Sial! Lagi-lagi aku kalah, aku dinyatakan tidak lulus tahun ini.

"Mak, segera siapkan seserahan. Malam ini bapak akan melamarkan neng jingga untuk putra tunggal kita!" Bapak berteriak kegirangan disebelahku, memanggil emak yang masih sibuk berkutat dengan cucian.

Aku menghembuskan napas nelangsa, mengapa bapak segirang itu? Harusnya dia bersedih mendapati putra kesayangnnya ini lagi, lagi harus menemui kegagalan.

Dengan nafas terengah-engah emai datang menemui kami dikamar, wajahnya nampak kembali menyiratkan kekecewaan.

"Gagal lagi Mad?" tanya emak dengan berjalan menghampiriku. Tangannya terulur menepuk pundak, menyalurkan kekuatan padaku.

Aku mengangguk lesu sebagai jawaban. "Yaudah gak papa, kamu masih anak hebatnya emak. Malam ini kita lamar juragan jingga ya" ucapnya seraya tersenyum penuh kemenangan

"Makkkk!" Aku berteriak sebagai bentuk protes.

Ini kenapa kedua orang tuaku malah mendukung nadzar yang telah diucapkan seminggu lalu? Harusnya mereka saat ini memarahi dan protes tak setuju apalagi wanita yang menjadi nadzarku ini seorang Juragan Jingga, wanita terkaya dan terkenal dengan rumor bau badannya.

"Gak usah protes, itu juga salah kamu sendiri Mad. Bapak hanya membantu kamu untuk memenuhi nadzar yang seminggu lalu kamu ucapkan" ucap Bapak menempuk pundaku.

Dan benar saja, malam ini Bapak menyuruhku untuk segera bersiap sementara emak begitu sibuk menyiapkan seserahan dan beberapa kerabat juga sudah berkumpul di teras rumah menungguku.

"Cie kang ahmad mau ngelamar seleb di desa ini" celuk Sinta sahabat kecilku yang entak kapan dia ada didepan teras berbaur dengan keluarga besarku.

Aku menghela nafas, menatapnya dalam. Andai dia tau, seandainya gadis itu belum menikah mungkin malam ini aku akan senang hati melamarnya. Tapi ah sudahlah, bukan jodoh. Ayo legowo saja.

"Bisa aja kamu Sin, dia bukan seleb. Wanita biasa seperti kamu lagi pula dia belum tentu mau juga sama saya yang hanya seorang guru honorer dari keluarga petani. Kasta kita berbeda,"

"Hus, jangan ngomong kitu Kang. Juragan Jingga baik orangnya, dia pasti mau menerima akang apa adanya"

Aku tersenyum tipis, semoga apa yang di ucapkan Sinta itu berbanding terbalik. Ya, harapanku seperti itu.

Setelah semua siap, kami pun segera bergegas dengan mobil dua buah mobil pick up yang sudah bapak sewa dari mang amin tetangga kita demi menuju rumah mewah satu-satunya yang terlihat mencolok dengan ornamen tiang tinggi menjulang khas gaya arsitek eropa.

Lagi, aku harus menelan saliva susah payah saat mendekati rumah mewah tersebut. Nampak semua orang sudah menunggu, sebuah tenda sudah berdiri kokoh dihalaman rumahnya, karpet merah tergelar di sepanjang jalan dari pintu gerbang ke pintu masuk rumahnya. Kami disambut dengan shalawat hadroh yang menggema, ah ini terlalu berlebihan.

"Husen, datang juga rupanya. Saya mau malam ini pernikahan saja yang digelar, bukan lamaran" ujar seorang lelaki seumuran bapak yang menyambut kami, mungkin itu pamannya Jingga. Sahabatnya bapak.

"Pak," aku berbisik menegur, ini bukan rencana kita. Lagi pula kita niatnya mau melamar bukan menikahinya.

"Penghulu sudah menunggu, ayo mari-mari" ujarnya sembari merangkul tubuh bapak.

Tubuhku seketika membeku, susah untuk melangkah. Mengapa harus pernikahan? Ah bapak, kok tiba-tiba gini.

"Mak, ini seriusan Ahmad nikah?" tanyaku berbisik.

Emak mendelik, "wayahna Mad. Biar emak sama bapak tenang mening langsung nikah aja lagi pula keluarga neng Jingga maunya langsung nikah. Trauma cenah, kalau lamaran mah takut gagal lagi"

Lidahku kelu, tidak bisa memprotes apa yang emak katakan sementara tubuhku sudah diseret bapak untuk memasuki rumah mewah tersebut. Nampak semua keluarga dan karyawan yang bekerja dengan Jingga sudah menunggu kedatangan kami, termasuk petugas KUA.

"Kita langsung saja ya, supaya gak kemalaman" ujar petugas KUA saat aku ditarik paksa oleh emak untuk duduk berhadapan dengannya sementara tanganku bapak tarik untuk menerima uluran tangan paman Jingga tersebut.

"Ya ahmad Baihaki, saya nikahkan enggkau dengan keponakan saya yang bernama Jingga Putri Jalaludin Rumi binti Almarhum Jalaludin Rumi dengan maskawin seperangkat alat shalat dan mas kawin seberat lima gram emas dibayar kontan"

Aku tertegun, lidahku masih kelu untuk menjawab namun sentakan di bahu seketika membuatku refleks menjawab. "Saya terima nikah dan kawinnya Jingga Putri Jalaludin Rumi binti almarhum jalaludinrumi dengan maskawin tersebut dibayar tunai"

"Bagaimana para saksi, sah?"

"SAH ..."

***

"Kang mandinya masih lama gak? Jingga juga gerah ini pengen mandi" sahutan dari luar kamar mandi seketika membuatku tersadar, buru-buru aku menyelesaikan ritualku.

"Sebentar lagi neng," jawabku.

"Cepetan ya kang, akang sudah sejam lebih loh disana" sahutnya lagi.

Aku mendelik malas, seraya memakai handuk kimono yang tersedia dikamar mandi tersebut. Ya kalau bukan ada dia, mana mungkin aku mandi selama ini. Biasanya juga sepuluh atau lima belas menit paling lama.

"Udah kang?" pertanyaan bodoh itu ku dengar ketika keluar dari kamar mandi.

Aku mengangguk, menatap gadis di hadapanku yang kini sudah terbebas dari gaun penganting yang ia kenakan.

"Aku mandi dulu ya kang, jangan tidur dulu tungguin aku. Malam ini kan malam pertama kita," pesannya sembari tersenyum malu.

Aku hanya mengangguk malas menanggapi, terserah kamu saja lah Jing yang terpenting kamu senang. Tapi, bodo amat aku tidak akan menunggunya, malam ini aku akan tidur lebih awal sebagai bentuk penyesalanku karena sudah bernadzar hal gila seperti ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status