Tok ...
Tok ... Tok ... Mata memejam, tanganku meremas kuat ujung kemeja ketika kepala hakim sudah mengetokan palu sebanyak tiga kali. Hal itu menandakan kalau sidang perceraianku dan Jingga sudah berakhir. Putusan menunjukan bahwa aku resmi sudah tidak lagi menyandang status sebagai kepala keluarga. Baik secara hukum mau pun agama. Ya tuhan, inikah akhir dari rumah tanggaku? Sungguh menyedihkan! Ekor mataku melirik ke sebelah, dimana Jingga dan aku sama-sama hadir pada sidang terakhir kami. Ku lihat senyuman mengembang di wajahnya saat hakim membacakan putusan tentang hak asuh anak jatuh padanya. Ya, itu memang kemauanku. Putraku lebih baik diasuh oleh ibunya dibanding harus bersama pria brengsek ini. Aku berdiri saat persidangan kami telah usai, mendekat kearahnya untuk saling berjabat tangan. Mengikhlaskan dan menbesakan semua gundah gulana di hati yang selama ini bersarang. "Selamat menyemat statusLima tahun kemudian ... Pada akhirnya, aku hancur sendirian. Menggenggam luka yang menusuk bagai duri tajam setiap harinya. Aku pikir setelah berpisah dengan Jingga dan menikahi wanita yang ku cintai dimasa lalu, kehidupanku akan membaik. Rupanya, aku salah besar. Perangai Sinta yang gila harta membuat rumah tangga kami tak bertahan lama. Hanya enam bulan, itu pun diwarnai dengan huru-hara pertengkaran akibat ekonomiku yang semakin hari semakin memburuk. Ia tidak tahan, mengamuk dan menyalahkanku mengapa aku memberikan semua hartaku pada Jingga. Padahal Sinta mau menikah denganku hanya karena aku sudah mapan, masalah cinta? Rupanya tak sepenting itu baginya. Cinta hanyalah omong kosong tanpa harta, baginya. Aku diam, tak melawan. Mungkin, itu karma untuk ku. Tahun-tahun berikutnya, setelah status duda ku sandang. Aku berusaha bangkit, kembali sibuk bekerja dari sekolah ke sekolah lain. Ya, aku k
Lima tahun kemudian ...Pada akhirnya, aku hancur sendirian. Menggenggam luka yang menusuk bagai duri tajam setiap harinya. Aku pikir setelah berpisah dengan Jingga dan menikahi wanita yang ku cintai dimasa lalu, kehidupanku akan membaik. Rupanya, aku salah besar.Perangai Sinta yang gila harta membuat rumah tangga kami tak bertahan lama. Hanya enam bulan, itu pun diwarnai dengan huru-hara pertengkaran akibat ekonomiku yang semakin hari semakin memburuk. Ia tidak tahan, mengamuk dan menyalahkanku mengapa aku memberikan semua hartaku pada Jingga. Padahal Sinta mau menikah denganku hanya karena aku sudah mapan, masalah cinta? Rupanya tak sepenting itu baginya. Cinta hanyalah omong kosong tanpa harta, baginya. Aku diam, tak melawan. Mungkin, itu karma untuk ku. Tahun-tahun berikutnya, setelah status duda ku sandang. Aku berusaha bangkit, kembali sibuk bekerja dari sekolah ke sekolah lain. Ya, aku kembali mengajar seperti saat bujanga
"Akang, habis ini kita mau bulan madu kemana? Gak papa kang, sebagai ungkapan syukur, semua biaya biar Jingga yang tanggung" .Glek.Aku berusaha menelan saliva susah payah saat Jingga yang tengah menghapus make up sehabis resepsi ini berujar dengan menatapku dari pantulan cerminnya."Bulan madu?" Aku bertanya dengan mengerutkan kening, berpikir lebih jauh. Ah, boro-boro bulan madu, untuk menyentuhnya saja aku belum berani."Iya bulan madu, kang Ahmad mau kan bulan madu?" ujarnya beranjak mendekatiku yang tengah duduk ditepi ranjang dengan memainkan ponsel ditangan.Semakin Jingga mendekat, aku berusaha menahan napas. Bukan karna grogi, tapi karena indra penciumanku begitu peka dengan aroma tubuh gadis itu. Cukup agak bau, mungkin karena selama ini kehidupan Jingga tidak luput dari aktivitas peternakannya, jadi aroma tubuhnya agak sedikit berbeda dari kebanyakan wanita yang aku kenal."Kang, kenapa diam aja?" Ia bertanya seraya duduk di sampingku."Boro-boro bulan madu, dekat dengan k
Jangan menyesali apa yang terjadi, itu semua sudah menjadi takdirmu. Apa yang menurutmu baik, belum tentu menurut Allah baik begitu pun sebaliknya.***Kedua netraku mengerjap-ngerjap saat cahaya silau menyembur menyerang indra penglihatanku. Perlahan-lahan netra ini terbuka, nampak seorang gadis berdiri berkacak pinggang disampingku.Aku tersenyum, sejak kapan bidadari ini datang kehadapanku? Apa aku masih terhanyut dalam mimpi. Tapi tunggu, bidadari secantik ini mengapa aromanya terasa berbeda? Agak sedikit aneh."Kang, jangan senyum-senyum. Jingga marah sama akang, subuh akang telat, malam pertama juga enggak!" seketika aku tersadar mendengar suara cempreng yang keluar dari mulut itu.Alamak ... Ini hari pertama aku menjadi suami tapi malah sudah ada pertengkaran. Tapi, ah bodo amat. Lagi pula aku tidak menyukainya."Malah diam lagi, akang mandi sana. Shalat subuh, gak papa kaya shalat dhuha juga daripada enggak" tegurnya menyingkap selimut yang menutupi tubuhku. Aku menghela nafa
Hari libur yang harusnya menyenangkan ini, berganti menjadi suram. Sarapan pagi yang biasanya terasa begitu nikmat, malah kini tak berselera saat aku melihat emak yang begitu asik menghidangkan semua makanan kesukaanku pada gadis yang baru ku bawa tadi. Air muka Emak sama Jingga rupanya tidak jauh berbeda, sama-sama berseri seakan tengah berbahagia padahal apa yang sedang mereka bahagiakan? Baru saja bertemu dan semeja makan untuk sarapan bersama? Ah, tentu tidak mungkin. Asal kalian tau, mereka sering bertemu diladang."Mak, nanti Jingga mau belajar bikin sambal kaya gini. Seriusan ini enak banget," Jingga berucap dengan tangannya mengelap keringat, aku bergidik ngeri melihat butir-butir keringatnya yang nampak sebesar biji jagung. Sudah ku pastikan aroma parfum vanilaku tadi kini sudah bercampur dengan keringatnya. Ah, sebau apa nantinya. "Tenang aja neng, jangankan buat sambal yang gampang kaya gini. Buat rendang, opor ayam sama semur jengkol juga akan emak ajarin. Tenang, kamu k
"Suram amat, baru juga nikah. Belum malam pertama lu ya?" Aku menoleh malas kearah suara, memberi ringisan saat melihat Ujang yang merupakan sahabat karib sekaligus rekan kerja ku itu tengah duduk di hadapanku dengan senyum mengejeknya."Kalau udah dapat jatah, jangan lupa ya cerita sama gue. Penasaran sih gimana rasanya tuh si Juragan Jingga" lanjutnya dengan senyum menyeringai, tangannya terulur menyerahkan bungkusan kado berbentuk kotak kecil. Wajahnya tersenyum menyeringai. "Apaan nih?" tanyaku penasaran, dari bentuknya yang kecil sih sudah dipastikan isinya sekotak perhiasan, tapi ... Ah gak mungkin. Si Ujang kan orangnya pelit, mana mungkin bisa ngasih hadiah semahal itu. "Alat kontra-"Shit. Sebelum Ujang melanjutkan ucapannya, aku lebih dulu berdiri memberikan tinjuan pada pipi kirinya. "Wait, wait, santai atuh bro. Kan gua mah ngedukung elu biar dapat enaknya doang gak dapat anaknya. Gue yakin lu gak mau kan punya anak dari si Juragan Jingga. Makannya gue kasih kado itu,
Gara-gara ocehan tetangga di warung kopi itu dan candaan Uajng di sekolahan, aku jadi semakin menyesal menikahi Jingga. Hatiku semakin dibuat kesal tatkala aroma tubuhnya sudah tercium beberapa meter dari keberadaannya. Sebenarnya penyebab aroma tubuhnya itu apa sih? Apa iya harus ku suruh dia untuk berendam di air kembang tujuh rupa sehari semalam? Atau ku pinta emak buatkan ramuan khusus atau juga ku pinta si ujang buat pergi ke dukun? Arghhh menyebalkan. Aku jadi semakin tak semangat untuk memasuki rumah. "Kamu teh kenapa, Mad? Datang-datang kisut kitu mukanya" bapak bertanya saat aku baru memasuki ruang tamu tanpa mengucapkan salam seperti biasa. Terlalu kesal rasanya mengingat pernikahan dadakanku gara-gara bapak satu ini, padahal seandainya kalau tunangan dulu kan aku bisa menyiapkan diri untuk menerima Jingga sebagai istriku. Setidaknya seserahan yang aku bawakan untuknya, isinya pewangi semua. "Pak, tukaran posisi yuk" pintaku dengan mendekat, menyalami tangannya yang namp
Aku menelan saliva susan payah saat kaki jenjang ini sudah mendekati pintu kamar. Kecepatan melangkah mendadak berubah perlahan, ya allah kuatkan indra penciumanku. Clek. Knop pintu ku putar dengan pelan, nampak Jingga tengah terduduk di depan meja rias dengan membelakangiku. "Assalamualaikum," ujarku berusaha menahan nafas, aromanya sudah tercium khas sebelum aku mendekat. Buru-buru aku mengoleskan sedikit balsem beraroma mint ke bawah hidung yang ku bawa di saku celanaku sebelum Jingga menoleh. "Akang sudah pulang?" Basa-basinya yang terdengar begitu basi ditelinga ini. "Iya, aku mau mandi" ujarku seraya cepat menyambar handuk yang menggantung di kastok samping pintu kamar mandi, sementara tas yang ku bawa kerja itu sudah terlepas di samping meja belajar. Jingga mengangguk, "Jingga buatin teh ya," ujarnya sebelum aku benar-benar menghilang ke kamar mandi. "Jangan lupa ya lilin aroma terapinya di nyalain" ujarku. Jingga tersenyum, wajah memerah entah kenapa. "Iya kang, yasud
Lima tahun kemudian ...Pada akhirnya, aku hancur sendirian. Menggenggam luka yang menusuk bagai duri tajam setiap harinya. Aku pikir setelah berpisah dengan Jingga dan menikahi wanita yang ku cintai dimasa lalu, kehidupanku akan membaik. Rupanya, aku salah besar.Perangai Sinta yang gila harta membuat rumah tangga kami tak bertahan lama. Hanya enam bulan, itu pun diwarnai dengan huru-hara pertengkaran akibat ekonomiku yang semakin hari semakin memburuk. Ia tidak tahan, mengamuk dan menyalahkanku mengapa aku memberikan semua hartaku pada Jingga. Padahal Sinta mau menikah denganku hanya karena aku sudah mapan, masalah cinta? Rupanya tak sepenting itu baginya. Cinta hanyalah omong kosong tanpa harta, baginya. Aku diam, tak melawan. Mungkin, itu karma untuk ku. Tahun-tahun berikutnya, setelah status duda ku sandang. Aku berusaha bangkit, kembali sibuk bekerja dari sekolah ke sekolah lain. Ya, aku kembali mengajar seperti saat bujanga
Lima tahun kemudian ... Pada akhirnya, aku hancur sendirian. Menggenggam luka yang menusuk bagai duri tajam setiap harinya. Aku pikir setelah berpisah dengan Jingga dan menikahi wanita yang ku cintai dimasa lalu, kehidupanku akan membaik. Rupanya, aku salah besar. Perangai Sinta yang gila harta membuat rumah tangga kami tak bertahan lama. Hanya enam bulan, itu pun diwarnai dengan huru-hara pertengkaran akibat ekonomiku yang semakin hari semakin memburuk. Ia tidak tahan, mengamuk dan menyalahkanku mengapa aku memberikan semua hartaku pada Jingga. Padahal Sinta mau menikah denganku hanya karena aku sudah mapan, masalah cinta? Rupanya tak sepenting itu baginya. Cinta hanyalah omong kosong tanpa harta, baginya. Aku diam, tak melawan. Mungkin, itu karma untuk ku. Tahun-tahun berikutnya, setelah status duda ku sandang. Aku berusaha bangkit, kembali sibuk bekerja dari sekolah ke sekolah lain. Ya, aku k
Tok ... Tok ... Tok ... Mata memejam, tanganku meremas kuat ujung kemeja ketika kepala hakim sudah mengetokan palu sebanyak tiga kali. Hal itu menandakan kalau sidang perceraianku dan Jingga sudah berakhir. Putusan menunjukan bahwa aku resmi sudah tidak lagi menyandang status sebagai kepala keluarga. Baik secara hukum mau pun agama. Ya tuhan, inikah akhir dari rumah tanggaku? Sungguh menyedihkan! Ekor mataku melirik ke sebelah, dimana Jingga dan aku sama-sama hadir pada sidang terakhir kami. Ku lihat senyuman mengembang di wajahnya saat hakim membacakan putusan tentang hak asuh anak jatuh padanya. Ya, itu memang kemauanku. Putraku lebih baik diasuh oleh ibunya dibanding harus bersama pria brengsek ini. Aku berdiri saat persidangan kami telah usai, mendekat kearahnya untuk saling berjabat tangan. Mengikhlaskan dan menbesakan semua gundah gulana di hati yang selama ini bersarang. "Selamat menyemat status
Pada akhirnya aku ikut bersama teh Ayu untuk pulang ke desa. Rindu yang menggebu membuat pertahananku runtuh, aku ingin bertemunya. Aku ingin segera memeluknya, mengucap maaf dan sayang padanya. Burung-burung bernyanyi menyambut hari dengan kaki bertengger di ranting pohon, sepanjang perjalanan embun dan kabut terlihat masih menyelimuti pandangan karena hujan semalam suntuk. Kedua jagoan di sampingku terus saja berceloteh, bercerita tentang aktivitas yang akan di lakukannya di desa menemani perjalanan kami. Sesampainya di pekarangan rumah, suasana nampak begitu sepi siang ini. Padahal biasanya emak dan bapak tengah bersantai ria di teras rumah bersama para pekerjanya. Kami terheran-heran saat tak ada satu pun pekerja orangtua kami yang menunggu rumah ini. "Kalian tunggu saja, biar Mas tanya tetangga kenapa rumah sepi dan kayaknya di kunci deh," ujar mas Abi menebak. Aku dan teh Ayu hanya mengangguk pasrah, malas rasanya jika harus bertemu dengan para te
Kedua mataku tiba-tiba saja terbeliak tengah malam. Keringat bercucuran sebiji jagung di keningku. Mimpi buruk itu kembali menghantuiku. Teriakan, tangis kekecewaan, dan umpatan kasar kembali menyapa alam bawah sadarku, seolah memberi signal bahwa rasa bersalah ini kian menggerogoti relung hatiku. Aku menarik napas dalam-dalam lalu terduduk begitu saja. Hujan deras disertai angin kencang membuat hawa dingin menyapa tubuhku yang kini duduk meringkuk di sofa ruang tamu. Buru-buru aku bergegas mengambil segelas air putih di dapur lalu setelah itu aku memutuskan untuk mengambil wudhu dan melaksanakan shalat malam. Shalat yang biasa Jingga kerjakan setiap malamnya. Ah, aku merindukannya. Sudah dua bulan ini, aku rutin melaksanakan shalat tahajud untuk meminta pengampunan atas dosa-dosa yang ku perbuat. Sudah dua bulan ini pula, aku memutuskan untuk tidak menghubungi keluarga di desa. Rasa malu selalu menguasai diriku saat aku merindukan mereka dan
Jingga povSejak perselingkuhan kang Ahmad dengan Sinta terbongkar di depan mataku, aku tak lagi bisa hidup dengan tenang dan bahagia. Setiap malam, aku selalu menangis tergugu sendirian mengurung diri di kamar. Sakit, rasanya begitu sakit.Bayangan saat tawa kang Ahmad begitu lepas bersama dengan wanita di pangkuannya membuat hatiku semakin teriris. Rasanya benci, jijik dan menyakitkan apalagi saat teringat wanita itu juga tengah mengandung, dari perutnya yang buncit mungkin usia kandungannya tak jauh berbeda denganku. Sial, begitu menyakitkan. "Teh, buka pintunya. Teteh belum makan malam teh!" Aku menoleh kearah pintu yang tertutup, suara Mail terdengar semakin menambah pesakitanku. Gara-gara kejadian itu, adikku tak jadi berangkat dan terpaksa mengubur impiannya dalam-dalam. Aku sudah memaksanya untuk tetap pergi, namun ia begitu keras kepala tak ingin meninggalkanku sendirian disini. Padahal, emak sama bapak selalu mengunjungi ku s
Sebuah tarikan kuat pada kerah bajuku membuat tubuhku terhentak kedepan, dengan mata menyala Mail. Adik iparku itu, mengangkat kerah bajuku hingga tubuh ini ikut terangkat. Lalu detik berikutnya tinjuan kuat melayang pada perutku beberapa kali. Aku diam, masih mencerna apa yang terjadi. Benarkah? Benarkah kejadiannya harus seperti ini?"Brengsek! Bajingan! Gue percaya elo seratus persen buat lindungi teh Jingga, tapi nyatanya elu buat teteh gue menderita!" teriak Mail tepat di depan wajahku. Setelah itu, sebuah dorongan kuat darinya membuat tubuhku tersungkur ke depan, mencium marmer dingin rumah ini. Air mata jatuh dari pelupuk mataku begitu saja melihat semua orang hanya menyaksikan dengan kecewa tanpa berani menghentikan pukulan Mail padaku. Kulihat Jingga tengah menangis tersedu-sedu dengan gelengan tak percaya bersama emak yang kini sudah memeluknya, berusaha menenangkan. Aku berusaha bangun, berjalan pelan mendekati dua perempua
Katakan kalau aku ini pria brengsek, pengecut dan tak tahu malu. Sudah dua hari ini aku bahkan tak pulang ke desa dan memilih menemani wanita yang tengah berbadan dua, yang ingin bermanja denganku. Kalian mungkin mengira bahwa aku sudah menikahi wanita yang ku cintai sejak lama ini, Sinta. Tapi dugaan kalian jelas salah, sampai saat ini aku masih bukan siap-siapanya. Hanya sekedar sahabat, itu saja. Hanya saja bebanku terhadapnya lebih berat saat waktu kejadian itu aku berjanji akan mengambil alih tanggung jawab Bara terhadapnya, tapi tidak untuk menikahinya dalam waktu dekat. Selama ini pula, Sinta begitu gencar mendekatiku. Berusaha mengambil hatiku kembali, ia bahkan selalu saja menjelek-jelekan istriku yang sama halnya tengah mengandung anakku. Sebenarnya aku sudah muak, ingin rasanya bersikap tak peduli namun ia selalu mengancam jika aku tak bersamanya dan tak menikah dengannya ia akan melakukan hal yang sama seperti waktu itu. Ya, bunuh diri. Bahkan ia juga selalu menagih jan
Jingga povKejadian pagi itu sungguh menyakitkan bagiku. Entah apa yang terjadi pada suamiku hingga tega bersikap demikian, meninggalkan aku yang tengah terisak pagi itu. Emak dan bapak yang saat itu masih menikmati sarapannya bahkan ikut terkejut menghampiriku saat suara bantingan pintu begitu keras dari kang Ahmad saat meninggalkanku. Terhitung, sudah dua hari sejak kejadian itu Kang Ahmad bahkan tak pulang ke rumah kami. Untungnya Mail masih belum berangkat ke Jepang, untuk menyelesaikan studinya dan mau menemani serta menghiburku saat ini. Namun rasa sedih kembali hinggap, saat aku membantu Mail mengemas barang-barangnya. Hari ini, hari terakhir ia menemaniku sebelum besok kembali bertolak ke Jepang untuk mengikuti kuliah pertamanya. "Gak ke US lagi Mad? Teteh kira saat menempuh jalur beasiswa SMA disana, kamu bakalan lanjut kuliah di sana juga," ucapku saat memikirkan bagaimana sulitnya perjuangan adik lelakiku saat mengambil keputusan waktu itu, ketika ia mengambil beasiswa d