Gara-gara ocehan tetangga di warung kopi itu dan candaan Uajng di sekolahan, aku jadi semakin menyesal menikahi Jingga. Hatiku semakin dibuat kesal tatkala aroma tubuhnya sudah tercium beberapa meter dari keberadaannya.
Sebenarnya penyebab aroma tubuhnya itu apa sih? Apa iya harus ku suruh dia untuk berendam di air kembang tujuh rupa sehari semalam? Atau ku pinta emak buatkan ramuan khusus atau juga ku pinta si ujang buat pergi ke dukun? Arghhh menyebalkan. Aku jadi semakin tak semangat untuk memasuki rumah.
"Kamu teh kenapa, Mad? Datang-datang kisut kitu mukanya" bapak bertanya saat aku baru memasuki ruang tamu tanpa mengucapkan salam seperti biasa.
Terlalu kesal rasanya mengingat pernikahan dadakanku gara-gara bapak satu ini, padahal seandainya kalau tunangan dulu kan aku bisa menyiapkan diri untuk menerima Jingga sebagai istriku. Setidaknya seserahan yang aku bawakan untuknya, isinya pewangi semua.
"Pak, tukaran posisi yuk" pintaku dengan mendekat, menyalami tangannya yang nampak sedikit kotor akibat bumbu balado dari keripik singkong yang dimakannya.
"Mau ngapain? Beban bapak sudah banyak, mah ngerasain?" tanyanya dengan delikan, matanya kembali fokus pada layar kaca yang tengah menampilkan acara berita terkini.
Aku mendengus duduk di sebelahnya. "Gak papa beban bapak banyak, yang penting bapak menikahi ibu karena cinta dan Ahmad lihat bapak bahagia"
"Kamu teh jangan lihat kebahagiaan orang dari kaca mata telanjang. Siapa tau dibalik kebahagiaan itu ada banyak derita dan pengorbanan yang di lalu. Jangan asal menyimpulkan!"
"Tapi benerkan bapak bahagia nikah sama emak? Sementara aku baru juga dua hari, udah pengen nyerah" keluhku.
Bapak menoleh, tangannya yang agak kotor itu seketika mendarat di kemeja putihku. "Hus, jangan ngomong sembarangan kamu. Istri kamu itu cantik, pintar, langsing punya harta yang gak akan habis tujuh turunan, patut di syukuri"
"Tapi bau pak, percuma sekali punya wajah cantik dan seksi kalau badannya bau! Mana tahan aku," sungutku berapi-api.
Iya sih, aku akui Jingga emang punya wajah yang tidak membosankan, cantik ditambah lesung pipitnya di sebelah kiri. Warna tubuhnya eksotis, ia juga pintar. Aku akui, baru dua hari menikah aja dia sudah membuat jurnal dengan di dalamnya berisi visi-misi pernikahan yang tidak semua orang bisa melakukan hal itu. Tapi, ya tetap aja ia punya satu kekurangan yaitu aroma tubuhnya.
Bapak menatapku dengan tatapan serius, lalu menghela napas panjang. "Mad, itu kekurangan istrimu yang harus kamu perbaiki. Coba cari solusinya jangan cuma ngeluh kaya gini, dia itu anak yang baik hanya saja terlalu bekerja keras yang membuatnya kenjadi seperti ini. Bapak yakin kekurangannya bisa di sembuhkan asal kamu mau berusaha mencari solusi"
Aku terdiam, merenungkan kata-katanya.
"Mad, menikah itu ibadah seumur hidup. Itu artinya kamu harus bisa membimbing istri kamu, bukan hanya masalah ibadah akhirat tapi juga masalah duniawi. Sebagai suami kamu juga mempunyai kewajiban untuk mempercantik istrimu seperti membelikannya pakaian setiap bulannya atau kebutuhan lainnya, kamu juga harus mencintainya, memberikan kasih sayang terhadapnya. Pernikahan kamu memang agak terpaksa, tapi kamu jangan sampai membuat istrimu itu menangis dan menderita. Dosa itu, nanti kamu kena adzab baru tau rasa" Lanjut terjeda sejenak saat ia kembali mengunyah keripik singkong.
"Sudah bapak bilang, terima takdirmu. Dia sudah menjadi jodohmu, perlakukan dia sebaik-baiknya sebagai mana seorang suami memperlakukan dengan baik istrinya." bapak kembali berbicara, kali ini ia menatapku dalam seolah ada harapan besar di pelupuk matanya.
Aku mengangguk tanpa sadar, petuah kali ini benar-benar menusuk ulu hatiku.
"Maaf pak, Ahmad lupa gara-gara gosip tetangga menjadikan hati Ahmad sulit menerima takdir. Ahmad gak kuat pak mendengar ocehan orang-orang tentang pernikahan Ahmad, mereka menuduh Ahmad kena pelet dan mau hartanya doang. Mereka juga membicarakan aroma tubuhnya Jingga yang sudah seperti tidak mandi selama sebulan katanya," keluhku.
Bapak menatapku dengan lembut, lalu menghela napas panjang. "Mad, setiap orang punya kekurangan. Jangan biarkan omongan orang luar mengganggu pernikahan kalian, yang penting saat ini kamu berusaha untuk memperbaikinya, buktikan pada semua orang kalau setelah menikah denganmu Jingga tidak lagi seperti apa yang mereka katakan, sebagai suami kamu harus bisa melindungi dan menjaga marwahnya. Daripada terus mengeluh menyalahkan takdir sebaiknya kamu segera cari solusi untuk menyembuhkan istrimu itu, cari tau penyebabnya lalu obati dia dengan baik"
Lagi, aku tida bisa berkata apa-apa. Petuah bapak kali ini begitu bijak. Bapak betul, alih-alih aku terus menerus mengeluh akan takdir, sebaiknya aku mencari solusi untuk masalah aroma tak sedap tubuh Jingga itu.
"Iya pak, Ahmad akan cari solusi. Terimakasih nasihatnya, setidaknya Ahmad punya pencerahan. Kalau gitu Ahmad mau ke kamar dulu ya pak,"
Bapak tersenyum, kembali fokus pada keripiknya. "Iya sana pergi, kesihan istrimu sudah menunggu disana"
Glek.
Mendengar pernyataan bapak tiba-tiba semangatku kembali memudar, petuah yang baru saja bapak sampaikan seketika menguap, hilang begitu saja entah kemana.Ah tidak. Aku belum siap.
Aku menelan saliva susan payah saat kaki jenjang ini sudah mendekati pintu kamar. Kecepatan melangkah mendadak berubah perlahan, ya allah kuatkan indra penciumanku. Clek. Knop pintu ku putar dengan pelan, nampak Jingga tengah terduduk di depan meja rias dengan membelakangiku. "Assalamualaikum," ujarku berusaha menahan nafas, aromanya sudah tercium khas sebelum aku mendekat. Buru-buru aku mengoleskan sedikit balsem beraroma mint ke bawah hidung yang ku bawa di saku celanaku sebelum Jingga menoleh. "Akang sudah pulang?" Basa-basinya yang terdengar begitu basi ditelinga ini. "Iya, aku mau mandi" ujarku seraya cepat menyambar handuk yang menggantung di kastok samping pintu kamar mandi, sementara tas yang ku bawa kerja itu sudah terlepas di samping meja belajar. Jingga mengangguk, "Jingga buatin teh ya," ujarnya sebelum aku benar-benar menghilang ke kamar mandi. "Jangan lupa ya lilin aroma terapinya di nyalain" ujarku. Jingga tersenyum, wajah memerah entah kenapa. "Iya kang, yasud
"Emang harus malam ini juga, Jing?" Aku bertanya dengan keluhan saat Jingga meminta izin setengah memaksa untuk mengantarkannya ke peternakan di ujung desa miliknya. "Iya, kang. Memang harus malam ini juga. Si Jejen mau ngelahirin, takutnya gak ada yang bantuin. Kata si mamang perkiraannya hari ini, dia gak bisa bantu. Malas katanya, sementara karyawanku lagi demam""Yaudah atuh kalau mau ngelahirin mah dibawa ke rumah sakit biar di bantu bidan, bukan malah kamu yang bantu. Emang kamu lulusan bidan juga?" Aku bertanya dengan agak sedikit terbahak. Ini si Jingga apa-apaan ya, masa iya dia mau bantuin orang lahiran. Aneh banget perasaan. "Eh si akang, ayo ah cepat kang. Kita pinjam motor butut bapak aja ya biar cepat. Kalau pake sepeda tua nanti keburu gak ketulungan" pintanya santai. Lah, itu enteng banget mulu. Motor butut katanya? Masih mulus gitu, cuma kerangkanya emang sengaja dilepas kan buat bawa rumput yang sehabis di sabit di gunung. Biar gak capek. "Iya, bentar ya akang p
Aku tercengang ketika kami sudah mulai mendekati gerbang kompleks peternakan milik Jingga, nampak pintu gerbang berbahan besi itu menjulang tinggi diatasnya tertulis nama Jingga's Farm, sekelilingnya tembok kokoh menjulang dengan ram kawat anti maling diatasnya. Ah, semewah ini rupanya. Pantesan saja julukan juragan Jingga tersemat di namanya."Bentar ya kang, aku buka dulu kuncinya" ujarnya turun dari motor tanpa menunggu persetujuanku. Aku mengangguk, memperhatikan bagaimana gerbang semewah dan sekokoh itu hendak dibukanya. Apakah kompleks peternakan semewah ini tidak memiliki security? Kenapa harus Jingga yang memegang kendali semuanya? "Ayo kang masuk," ujarnya mempersilahkan. Aku mengangguk, mendorong motor butut bapak ini memasuki area peternakan semakin dalam, diikuti Jingga yang sudah selesai menutup pintu gerbang. "Kang, motornya biar di simpan di sini saja ya, kita ke sananya naik sepeda aja" ujarnya menunjuk ke area parkir yang ternyata ada beberapa sepeda motor dan sep
Byur!Tengah malam begini, akhirnya aku terpaksa membersihkan tubuh setelah dirasa cukup membantu Jingga di kandang sapi itu. Air tengah malam terasa begitu dingin, di tambah semilir angin malam yang terasa begitu kencang membuat ku ingin cepat-cepat segera mengakhiri ritual ini. Tapi tunggu, sedari tadi aku mandi mataku tak pernah berhenti mencari-cari sabun mandi di sini. Nampak hanya satu sikat gigi dan odol bertengger di tempat sabun itu, lalu tadi dia mandi pake apa? Apa cuma air saja?"JINGGA!" aku berteriak cukup kencang, sudah terlalu lama di kamar mandi nanti bisa-bisa tubuhku membeku karena ke dinginan. "Kenapa kang? Teh Jingga udah balik lagi ke kandang," sahut Mail. "Sabun mandi habis il?" tanyaku setengah berteriak. "Aduh kang, lupa. Disini kalau mandi gak pake sabun mandi, biasanya pake daun dayang. Daun nya habis ya kang di pake teteh tadi kali ya" sahutnya.Ya salam, zaman sudah secanggih ini masih mandi pake daun? Pantesan aroma tubuh Jingga tak sedap selama ini.
Hari libur yang harusnya menyenangkan ini, berganti menjadi suram. Bagaimana tidak, sepagi ini saat aku hendak pulang ke rumah, mata ini tak sengaja melihat Jingga tengah asik membersihkan kandang kelinci bersama seorang lelaki yang seumuran dengan ku. Namanya Yudi. Mereka terlihat begitu akrab, saling membantu satu sama lain seperti karyawan dan majikan yang tengah kerja sama. Tapi, tunggu dulu. Gelagat Yudi agak aneh, ia terus saja mengikuti Jingga kemana pun bahkan ku lihat ia seperti tengah mencari perhatian pada istriku itu. Dari matanya sih terhilat tampan, tapi gak tau kalau maskernya di buka mungkin ketampanannya akan berkurang drastis, jauh berbeda dari aku yang akan tetap tampan bahkan lebih tampan darinya. "Yud, kamu tolong satuin si Moly sama si Mily. Kayaknya si Mily udah waktunya kawin" ujar Jingga yang ku dengar samar-samar. Lelaki itu mengangguk, ia membuka salah satu kandang kelinci dan mengambilnya. "Ini teh, lucu ya kaya teteh" ucap Yudi sambil memegang see
Jingga tetaplah Jingga, meski mandi berjam-jam dengan sabun beraroma strawbery milikku tetap saja aroma tubuhnya menguar tidak sedap entah kenapa. Padahal mandinya juga baru selesai dua jam yang lalu. Aku misuh-misuh saat Jingga mendekati, emak sama bapak entah kemana sedari pulang tadi tak kelihatan batang hidungnya. "Kamu kenapa sih kang, kok kaya gak suka gitu dekat sama aku?" Jingga bertanya dengan raut wajah sedih saat aku menggeser dudukku dengan sangat jauh dari arahnya. Aku mengedikkan bahu sebagai jawaban, kedua netra ini terus fokus menatap layar kaca yang menampilkan serial naruto kesukaanku. "Kang," panggilnya lagi, namun kali ini ia menyerah tak lagi mendekatiku. Aku mendengus sebal, "apa sih? Lagi fokus juga" keluhku. "Akang dari tadi belum sarapan, minum juga Jingga gak lihat tadi. Mau dibikini menu sarapan apa?" tawarnya. Mendengar tawaran itu, bukannya senang jelas aku malah menolak dengan gelengan tegas. "Gak usah!" Ucapku sembari terus fokus menon
Hachim ... Uhuk ... Uhuk ... Tengah malam begini, aku tidak berhenti bersin dan batu-batuk. Tubuhku rasanya remuk, udara malam bahkan terasa begitu menusuk hingga selimut tebal yang ku gunakan tak terasa di tubuh ini. Kepalaku rasanya cenat-cenut, perutku seolah tengah diobok-obok tak karuan. Hoek .. Ah, akhirnya keluar juga. Jingga yang tertidur di sebelahku rupanya kini sudah sigap membantu mengelap muntahan di selimut yang ku kenakan. "Ya allah akang, ini suhu tubuhnya tinggi sekali" samar ku dengar suara kepanikannya sembari memegang termometer yang entah kapan diletakam di ketiakku. Aku menoleh,"tolong ambilkan air hangat" pintaku lemas. Jingga mengangguk, segera ia menghilang dari pandanganku. Sembari menunggu, aku kembali hendak berbaring namun lilin aroma terapi yang kunyalakan rupanya sudah padam, alamat bahaya ini. Bisa-bisa sakitku tambah parah. Buru-buru aku terpaksa kembali bangun dan sege
Sudah seminggu ini aku terbaring di kamar dengan rasa sakit yang sudah mulai mereda. Kata dokter, aku terserang penyakit tipes yang mengharuskan aku mendapatkan perawatan yang tepat namun aku memilih untuk di rawat di rumah saja. Bukan apa, aku gak mau semua orang kesusahan karena sakit ku ini. Sudah seminggu ini pula, aku mendapatkan perhatian lebih dari Jingga. Ia begitu telaten merawat ku, hingga ia rela begadang demi menjagaku. Masalah emak sama bapak? Mereka jelas mengomeli, katanya aku tak pandai menjaga kesehatan, tak pandai menjaga pola makan dan tidur teratur padahal penyakit siapa yang tau datangnya kapan. Hari ini badanku sudah merasa mendingan, dan meminta Jingga untuk tidak perlu terlalu ketat menjagaku. Masalah aroma tubuhnya? Jelas aku masih terganggu, tapi tidak terlalu. Kini aromanya agak sedikit berkurang mungkin karena hidungku masih tersumbat kali ya, jadinya tidak terlalu menyengat di indra penciumanku. "Akang makan dulu ya buburnya
Katakan kalau aku ini pria brengsek, pengecut dan tak tahu malu. Sudah dua hari ini aku bahkan tak pulang ke desa dan memilih menemani wanita yang tengah berbadan dua, yang ingin bermanja denganku. Kalian mungkin mengira bahwa aku sudah menikahi wanita yang ku cintai sejak lama ini, Sinta. Tapi dugaan kalian jelas salah, sampai saat ini aku masih bukan siap-siapanya. Hanya sekedar sahabat, itu saja. Hanya saja bebanku terhadapnya lebih berat saat waktu kejadian itu aku berjanji akan mengambil alih tanggung jawab Bara terhadapnya, tapi tidak untuk menikahinya dalam waktu dekat. Selama ini pula, Sinta begitu gencar mendekatiku. Berusaha mengambil hatiku kembali, ia bahkan selalu saja menjelek-jelekan istriku yang sama halnya tengah mengandung anakku. Sebenarnya aku sudah muak, ingin rasanya bersikap tak peduli namun ia selalu mengancam jika aku tak bersamanya dan tak menikah dengannya ia akan melakukan hal yang sama seperti waktu itu. Ya, bunuh diri. Bahkan ia juga selalu menagih jan
Jingga povKejadian pagi itu sungguh menyakitkan bagiku. Entah apa yang terjadi pada suamiku hingga tega bersikap demikian, meninggalkan aku yang tengah terisak pagi itu. Emak dan bapak yang saat itu masih menikmati sarapannya bahkan ikut terkejut menghampiriku saat suara bantingan pintu begitu keras dari kang Ahmad saat meninggalkanku. Terhitung, sudah dua hari sejak kejadian itu Kang Ahmad bahkan tak pulang ke rumah kami. Untungnya Mail masih belum berangkat ke Jepang, untuk menyelesaikan studinya dan mau menemani serta menghiburku saat ini. Namun rasa sedih kembali hinggap, saat aku membantu Mail mengemas barang-barangnya. Hari ini, hari terakhir ia menemaniku sebelum besok kembali bertolak ke Jepang untuk mengikuti kuliah pertamanya. "Gak ke US lagi Mad? Teteh kira saat menempuh jalur beasiswa SMA disana, kamu bakalan lanjut kuliah di sana juga," ucapku saat memikirkan bagaimana sulitnya perjuangan adik lelakiku saat mengambil keputusan waktu itu, ketika ia mengambil beasiswa d
Jingga povAku mengelus perutku yang sudah membesar, terhitung saat ini usia kandunganku sudah menginjak tujuh bulan. Itu artinya tak lama lagi, sekitar dua bulanan lagi bayi kecil yang kami tunggu akan lahir ke dunia. Ah, rasanya sungguh tak sabar. Dari hasil USG, dokter memperkirakan jika bayi yang tengah ku kandung itu berjenis kelamin laki-laki. Aku sangat bersyukur, karena ini sesuai dengan harapan kang Ahmad saat kami tengah berbulan madu waktu itu. Tapi sebenarnya, kalau pun nantinya anak kami berjenis kelamin perempuan. Kami juga tak mempermasalahkan, toh kang Ahmad bilang mau perempuan atau pun laki-laki yang penting sehat. Sejak awal hamil, kang Ahmad jadi lebih sibuk, dia bahkan tak pernah ada hanya untuk menemaniku yang ingin bermanja dengannya. Banyak sekali alasan saat aku memintanya agar tetap di rumah, bahkan entah mengapa hampir setiap minggu kang Ahmad selalu izin pergi ke kota. Katanya mau meeting dengar para investor padahal yang ku tau hal itu di lakukan rutin s
Sesampainya di rumah sakit, Sinta ditangani oleh dokter dengan baik. Beberapa alat infus dan oksigen sudah terpasang di tubuhnya sekarang. Aku menghela napas lega saat dokter mengatakan kalau dia baik-baik saja, tak ada luka serius yang ditimbulkan oleh Bara. Hanya lebam saja, dan katanya janin yang ada di rahimnya cukup kuat hingga mampu bertahan. Ya, Allah setelah pesakitan yang Sinta rasakan dan kini dia harus menerima jika dirinya tengah mengandung anak lelaki kejam itu? Sungguh rasanya aku tak rela. Jam sudah menunjukan pukul tiga pagi lebih lima belas menit saat aku memutuskan untuk keluar ruangan sebentar barang mencari udara segar sebentar. Saat aku berjalan menyusuri koridor, tiba-tiba saja aku berpapasan dengan teh Ayu yang nampak baru keluar dari ruang operasi. Wajahnya begitu lelah saat pandangan kami bertemu. Aku berusaha menunduk dan berusaha melewatinya namun sialnya cekalan tangan teh Ayu pada tanganku lebih cepat dari apa pun. "Kamu ngapain disini, sepagi ini?" t
"Ahmad, lu harus tau. Gue menderita semenjak nikah sama orang kaya, hidup gue penuh tuntutan. Rasa sakit atas perselingkuhan, kekecewaan, pengkhianatan dan saling tuduh sudah menjadi makanan gue sehari-hari disini. Gue nyesel Mad, gue kira setelah nikah sama orang kaya hidup gue bakalan enak, gak sengasara lagi kaya di desa!"Aku terdiam, dadaku rasanya sesak mendengar racauan Sinta malam ini. "Ta, udah. Lu udah mabuk, jangan diminum lagi" aku segera mencegah Sinta yang hendak membuka sebotol wine baru di genggamannya, padahal malam ini ia sudah menghabiskan sebotol penuh wine yang tadi diminta dan disajikan untukku.Sinta menggeleng, ia dengan cepat membuka segel tutup botol wine itu lalu menuangkannya ke gelas. "Gue butuh pelarian, lu jangan bilang ini ke siapa-siapa ya. Termasuk emak sama bapak, mereka pasti kecewa kalau tau gue gini"Aku menggeleng, segera merebut paksa secangkir wine yang hendak ia teguk. Cukup, aku tidak akan membiarkan orang yang kucintai merusak tubuhnya send
Pada akhirnya aku kalah dengan rasa cemburuku dan berakhir terjebak satu mobil dengan si Ujang yang kini berpenampilan begitu rapi, padahal acara reuni masih beberapa jam lagi.Aku memandang nanar jalanan ibu kota yang begitu macet selepas meeting sore ini. Sementara si Ujang tengah senyam-senyum dengan gawainya, entah sedang berkirim pesan pada siapa. "Tempatnya dimana?" Aku bertanya selepas terbebas dari kemacetan. Si Ujang mendongak, ia menunjukan maps di gawainya. "Hotel Mutiara," jawabnya. "Loh, kok di hotel?" tanyaku heran."Iya, soalnya ini acara besar. Reuninya bukan hanya kelas kita saja, tapi tujuh kelas angkatan kita." Jawabnya. Aku berdecak, "pantesan. Jadi lu kekeh mau hadir soalnya si Ayu Rengganis juga bakalan datang. Kan beda kelas, gue paham sekarang"Si Ujang menjentikan jarinya dengan puas. "Itu lo paham. Katanya dia sudah jadi dokter sukses di sini, idaman kan?""Bodo amat Jang, yang gue tau istri gue yang paling idaman" kekehku.Si ujang mendelik. "Dulu aja se
Kepulanganku dan Jingga disambut bahagia suka cita oleh emak, bapak dan Mail yang sudah menunggunya di rumahku. Ketiganya begitu antusias saat kami mengabarkan bahwa sebentar lagi malaikat kecil akan turut hadir di tengah-tengah kebahagiaan ini. Tentu saja emaklah yang paling heboh, meski sudah memiliki tiga cucu dari teh Ayu namun itu tak mengurangi kebahagiaannya. Katanya, beda. Ini cucu yang paling mereka tunggu, sebab kisah percintaanku yang paling unik katanya. Ada-ada saja. "Dijaga amanahnya dengan baik Mad." Pesan bapak dengan penuh wibawa menepuk pundakku. "Iya pak, pasti itu" jawabku dengan semangat. "Gak sia-sia ya teh Mail pulang buat gantiin si Aa disana. Usaha kalian berhasil, di gempur terus ya?" ujar Mail yang berakhir dengan pertanyaan ambigunya. Emak dan bapak terkekeh mendengarnya, sementara aku dan Jingga tentu saja tersipu malu. Ada-ada saja pikiran adeknya Jingga ini. "A jaga selalu tetehku ini ya. Tetap bahagiakan dia, kalau sampe ada apa-apa Mail akan maju
Setibanya di pelabuhan, aku memutuskan untuk segera membawa Jingga ke rumah sakit terdekat guna memastikan Jika dugaan kami benar. Intuisiku mengatakan bahwa buah cintaku kini telah tumbuh dirahim istriku. Di dukung oleh Jingga yang selama di pulau buru, bawaannya selaku mual muntah setiap pagi dan moodnya selalu acak-acakan. Dan disinilah kami sekarang, di spesialis kandungan. Sebuah senyum mengembang dari bibirku saat dokter tengah melakukan usg pada perut Jingga. Wajahku membuncah bahagia ketika dokter mengatakan Jika istriku sudah mengandung selama satu bulan. Tak henti-hentinya aku mengucap syukur dan mengecup kening istriku hingga membuat sang dokter tersenyum ikut merasakan kebahagiaan kami."Kang, hentikan atuh malu sama dokter" tegur Jingga saat aku kembali mengecup keningnya, tangannya bahkan sudah nakal mencubit pinggangku.Bodo amat, aku tak peduli malah dengan sengaja aku mengecup bibirnya dan memeluknya erat. "Makasih sayang, usaha kita
Keesokan harinya setelah puas menikmati keindahan Air Terjun Waisapu, kami melanjutkan perjalanan ke Danau Biru yang sudah lama ingin dikunjungi oleh Jingga. Danau ini dikenal dengan airnya yang berwarna biru cerah, dikelilingi pepohonan hijau yang rimbun dan suasana yang sangat tenang. Ketika kami tiba di sana, kami hanya bisa terdiam sejenak, terpesona oleh pemandangan yang luar biasa. Air danau yang begitu jernih memantulkan langit yang biru, menciptakan pemandangan yang begitu damai dan menenangkan."Tempat ini benar-benar magis, Kang," ujar Jingga, matanya tak lepas dari pemandangan danau. "Aku merasa seperti berada di tempat yang sangat spesial, jauh dari hiruk-pikuk dunia." Kekehnya Jingga yang aku dengar setiap kali berada di tempat baru. Kami duduk berdua di tepi danau, menikmati keindahan alam yang ada di depan mata. Jingga bersandar di bahuku, dan kami berdua diam, membiarkan suara alam mengisi ruang di antara kami. "Aku ingin datang ke sini lagi suatu saat