Gara-gara ocehan tetangga di warung kopi itu dan candaan Uajng di sekolahan, aku jadi semakin menyesal menikahi Jingga. Hatiku semakin dibuat kesal tatkala aroma tubuhnya sudah tercium beberapa meter dari keberadaannya.
Sebenarnya penyebab aroma tubuhnya itu apa sih? Apa iya harus ku suruh dia untuk berendam di air kembang tujuh rupa sehari semalam? Atau ku pinta emak buatkan ramuan khusus atau juga ku pinta si ujang buat pergi ke dukun? Arghhh menyebalkan. Aku jadi semakin tak semangat untuk memasuki rumah.
"Kamu teh kenapa, Mad? Datang-datang kisut kitu mukanya" bapak bertanya saat aku baru memasuki ruang tamu tanpa mengucapkan salam seperti biasa.
Terlalu kesal rasanya mengingat pernikahan dadakanku gara-gara bapak satu ini, padahal seandainya kalau tunangan dulu kan aku bisa menyiapkan diri untuk menerima Jingga sebagai istriku. Setidaknya seserahan yang aku bawakan untuknya, isinya pewangi semua.
"Pak, tukaran posisi yuk" pintaku dengan mendekat, menyalami tangannya yang nampak sedikit kotor akibat bumbu balado dari keripik singkong yang dimakannya.
"Mau ngapain? Beban bapak sudah banyak, mah ngerasain?" tanyanya dengan delikan, matanya kembali fokus pada layar kaca yang tengah menampilkan acara berita terkini.
Aku mendengus duduk di sebelahnya. "Gak papa beban bapak banyak, yang penting bapak menikahi ibu karena cinta dan Ahmad lihat bapak bahagia"
"Kamu teh jangan lihat kebahagiaan orang dari kaca mata telanjang. Siapa tau dibalik kebahagiaan itu ada banyak derita dan pengorbanan yang di lalu. Jangan asal menyimpulkan!"
"Tapi benerkan bapak bahagia nikah sama emak? Sementara aku baru juga dua hari, udah pengen nyerah" keluhku.
Bapak menoleh, tangannya yang agak kotor itu seketika mendarat di kemeja putihku. "Hus, jangan ngomong sembarangan kamu. Istri kamu itu cantik, pintar, langsing punya harta yang gak akan habis tujuh turunan, patut di syukuri"
"Tapi bau pak, percuma sekali punya wajah cantik dan seksi kalau badannya bau! Mana tahan aku," sungutku berapi-api.
Iya sih, aku akui Jingga emang punya wajah yang tidak membosankan, cantik ditambah lesung pipitnya di sebelah kiri. Warna tubuhnya eksotis, ia juga pintar. Aku akui, baru dua hari menikah aja dia sudah membuat jurnal dengan di dalamnya berisi visi-misi pernikahan yang tidak semua orang bisa melakukan hal itu. Tapi, ya tetap aja ia punya satu kekurangan yaitu aroma tubuhnya.
Bapak menatapku dengan tatapan serius, lalu menghela napas panjang. "Mad, itu kekurangan istrimu yang harus kamu perbaiki. Coba cari solusinya jangan cuma ngeluh kaya gini, dia itu anak yang baik hanya saja terlalu bekerja keras yang membuatnya kenjadi seperti ini. Bapak yakin kekurangannya bisa di sembuhkan asal kamu mau berusaha mencari solusi"
Aku terdiam, merenungkan kata-katanya.
"Mad, menikah itu ibadah seumur hidup. Itu artinya kamu harus bisa membimbing istri kamu, bukan hanya masalah ibadah akhirat tapi juga masalah duniawi. Sebagai suami kamu juga mempunyai kewajiban untuk mempercantik istrimu seperti membelikannya pakaian setiap bulannya atau kebutuhan lainnya, kamu juga harus mencintainya, memberikan kasih sayang terhadapnya. Pernikahan kamu memang agak terpaksa, tapi kamu jangan sampai membuat istrimu itu menangis dan menderita. Dosa itu, nanti kamu kena adzab baru tau rasa" Lanjut terjeda sejenak saat ia kembali mengunyah keripik singkong.
"Sudah bapak bilang, terima takdirmu. Dia sudah menjadi jodohmu, perlakukan dia sebaik-baiknya sebagai mana seorang suami memperlakukan dengan baik istrinya." bapak kembali berbicara, kali ini ia menatapku dalam seolah ada harapan besar di pelupuk matanya.
Aku mengangguk tanpa sadar, petuah kali ini benar-benar menusuk ulu hatiku.
"Maaf pak, Ahmad lupa gara-gara gosip tetangga menjadikan hati Ahmad sulit menerima takdir. Ahmad gak kuat pak mendengar ocehan orang-orang tentang pernikahan Ahmad, mereka menuduh Ahmad kena pelet dan mau hartanya doang. Mereka juga membicarakan aroma tubuhnya Jingga yang sudah seperti tidak mandi selama sebulan katanya," keluhku.
Bapak menatapku dengan lembut, lalu menghela napas panjang. "Mad, setiap orang punya kekurangan. Jangan biarkan omongan orang luar mengganggu pernikahan kalian, yang penting saat ini kamu berusaha untuk memperbaikinya, buktikan pada semua orang kalau setelah menikah denganmu Jingga tidak lagi seperti apa yang mereka katakan, sebagai suami kamu harus bisa melindungi dan menjaga marwahnya. Daripada terus mengeluh menyalahkan takdir sebaiknya kamu segera cari solusi untuk menyembuhkan istrimu itu, cari tau penyebabnya lalu obati dia dengan baik"
Lagi, aku tida bisa berkata apa-apa. Petuah bapak kali ini begitu bijak. Bapak betul, alih-alih aku terus menerus mengeluh akan takdir, sebaiknya aku mencari solusi untuk masalah aroma tak sedap tubuh Jingga itu.
"Iya pak, Ahmad akan cari solusi. Terimakasih nasihatnya, setidaknya Ahmad punya pencerahan. Kalau gitu Ahmad mau ke kamar dulu ya pak,"
Bapak tersenyum, kembali fokus pada keripiknya. "Iya sana pergi, kesihan istrimu sudah menunggu disana"
Glek.
Mendengar pernyataan bapak tiba-tiba semangatku kembali memudar, petuah yang baru saja bapak sampaikan seketika menguap, hilang begitu saja entah kemana.Ah tidak. Aku belum siap.
Aku menelan saliva susan payah saat kaki jenjang ini sudah mendekati pintu kamar. Kecepatan melangkah mendadak berubah perlahan, ya allah kuatkan indra penciumanku. Clek. Knop pintu ku putar dengan pelan, nampak Jingga tengah terduduk di depan meja rias dengan membelakangiku. "Assalamualaikum," ujarku berusaha menahan nafas, aromanya sudah tercium khas sebelum aku mendekat. Buru-buru aku mengoleskan sedikit balsem beraroma mint ke bawah hidung yang ku bawa di saku celanaku sebelum Jingga menoleh. "Akang sudah pulang?" Basa-basinya yang terdengar begitu basi ditelinga ini. "Iya, aku mau mandi" ujarku seraya cepat menyambar handuk yang menggantung di kastok samping pintu kamar mandi, sementara tas yang ku bawa kerja itu sudah terlepas di samping meja belajar. Jingga mengangguk, "Jingga buatin teh ya," ujarnya sebelum aku benar-benar menghilang ke kamar mandi. "Jangan lupa ya lilin aroma terapinya di nyalain" ujarku. Jingga tersenyum, wajah memerah entah kenapa. "Iya kang, yasud
"Emang harus malam ini juga, Jing?" Aku bertanya dengan keluhan saat Jingga meminta izin setengah memaksa untuk mengantarkannya ke peternakan di ujung desa miliknya. "Iya, kang. Memang harus malam ini juga. Si Jejen mau ngelahirin, takutnya gak ada yang bantuin. Kata si mamang perkiraannya hari ini, dia gak bisa bantu. Malas katanya, sementara karyawanku lagi demam""Yaudah atuh kalau mau ngelahirin mah dibawa ke rumah sakit biar di bantu bidan, bukan malah kamu yang bantu. Emang kamu lulusan bidan juga?" Aku bertanya dengan agak sedikit terbahak. Ini si Jingga apa-apaan ya, masa iya dia mau bantuin orang lahiran. Aneh banget perasaan. "Eh si akang, ayo ah cepat kang. Kita pinjam motor butut bapak aja ya biar cepat. Kalau pake sepeda tua nanti keburu gak ketulungan" pintanya santai. Lah, itu enteng banget mulu. Motor butut katanya? Masih mulus gitu, cuma kerangkanya emang sengaja dilepas kan buat bawa rumput yang sehabis di sabit di gunung. Biar gak capek. "Iya, bentar ya akang p
Aku tercengang ketika kami sudah mulai mendekati gerbang kompleks peternakan milik Jingga, nampak pintu gerbang berbahan besi itu menjulang tinggi diatasnya tertulis nama Jingga's Farm, sekelilingnya tembok kokoh menjulang dengan ram kawat anti maling diatasnya. Ah, semewah ini rupanya. Pantesan saja julukan juragan Jingga tersemat di namanya."Bentar ya kang, aku buka dulu kuncinya" ujarnya turun dari motor tanpa menunggu persetujuanku. Aku mengangguk, memperhatikan bagaimana gerbang semewah dan sekokoh itu hendak dibukanya. Apakah kompleks peternakan semewah ini tidak memiliki security? Kenapa harus Jingga yang memegang kendali semuanya? "Ayo kang masuk," ujarnya mempersilahkan. Aku mengangguk, mendorong motor butut bapak ini memasuki area peternakan semakin dalam, diikuti Jingga yang sudah selesai menutup pintu gerbang. "Kang, motornya biar di simpan di sini saja ya, kita ke sananya naik sepeda aja" ujarnya menunjuk ke area parkir yang ternyata ada beberapa sepeda motor dan sep
Byur!Tengah malam begini, akhirnya aku terpaksa membersihkan tubuh setelah dirasa cukup membantu Jingga di kandang sapi itu. Air tengah malam terasa begitu dingin, di tambah semilir angin malam yang terasa begitu kencang membuat ku ingin cepat-cepat segera mengakhiri ritual ini. Tapi tunggu, sedari tadi aku mandi mataku tak pernah berhenti mencari-cari sabun mandi di sini. Nampak hanya satu sikat gigi dan odol bertengger di tempat sabun itu, lalu tadi dia mandi pake apa? Apa cuma air saja?"JINGGA!" aku berteriak cukup kencang, sudah terlalu lama di kamar mandi nanti bisa-bisa tubuhku membeku karena ke dinginan. "Kenapa kang? Teh Jingga udah balik lagi ke kandang," sahut Mail. "Sabun mandi habis il?" tanyaku setengah berteriak. "Aduh kang, lupa. Disini kalau mandi gak pake sabun mandi, biasanya pake daun dayang. Daun nya habis ya kang di pake teteh tadi kali ya" sahutnya.Ya salam, zaman sudah secanggih ini masih mandi pake daun? Pantesan aroma tubuh Jingga tak sedap selama ini.
Hari libur yang harusnya menyenangkan ini, berganti menjadi suram. Bagaimana tidak, sepagi ini saat aku hendak pulang ke rumah, mata ini tak sengaja melihat Jingga tengah asik membersihkan kandang kelinci bersama seorang lelaki yang seumuran dengan ku. Namanya Yudi. Mereka terlihat begitu akrab, saling membantu satu sama lain seperti karyawan dan majikan yang tengah kerja sama. Tapi, tunggu dulu. Gelagat Yudi agak aneh, ia terus saja mengikuti Jingga kemana pun bahkan ku lihat ia seperti tengah mencari perhatian pada istriku itu. Dari matanya sih terhilat tampan, tapi gak tau kalau maskernya di buka mungkin ketampanannya akan berkurang drastis, jauh berbeda dari aku yang akan tetap tampan bahkan lebih tampan darinya. "Yud, kamu tolong satuin si Moly sama si Mily. Kayaknya si Mily udah waktunya kawin" ujar Jingga yang ku dengar samar-samar. Lelaki itu mengangguk, ia membuka salah satu kandang kelinci dan mengambilnya. "Ini teh, lucu ya kaya teteh" ucap Yudi sambil memegang see
Jingga tetaplah Jingga, meski mandi berjam-jam dengan sabun beraroma strawbery milikku tetap saja aroma tubuhnya menguar tidak sedap entah kenapa. Padahal mandinya juga baru selesai dua jam yang lalu. Aku misuh-misuh saat Jingga mendekati, emak sama bapak entah kemana sedari pulang tadi tak kelihatan batang hidungnya. "Kamu kenapa sih kang, kok kaya gak suka gitu dekat sama aku?" Jingga bertanya dengan raut wajah sedih saat aku menggeser dudukku dengan sangat jauh dari arahnya. Aku mengedikkan bahu sebagai jawaban, kedua netra ini terus fokus menatap layar kaca yang menampilkan serial naruto kesukaanku. "Kang," panggilnya lagi, namun kali ini ia menyerah tak lagi mendekatiku. Aku mendengus sebal, "apa sih? Lagi fokus juga" keluhku. "Akang dari tadi belum sarapan, minum juga Jingga gak lihat tadi. Mau dibikini menu sarapan apa?" tawarnya. Mendengar tawaran itu, bukannya senang jelas aku malah menolak dengan gelengan tegas. "Gak usah!" Ucapku sembari terus fokus menon
Hachim ... Uhuk ... Uhuk ... Tengah malam begini, aku tidak berhenti bersin dan batu-batuk. Tubuhku rasanya remuk, udara malam bahkan terasa begitu menusuk hingga selimut tebal yang ku gunakan tak terasa di tubuh ini. Kepalaku rasanya cenat-cenut, perutku seolah tengah diobok-obok tak karuan. Hoek .. Ah, akhirnya keluar juga. Jingga yang tertidur di sebelahku rupanya kini sudah sigap membantu mengelap muntahan di selimut yang ku kenakan. "Ya allah akang, ini suhu tubuhnya tinggi sekali" samar ku dengar suara kepanikannya sembari memegang termometer yang entah kapan diletakam di ketiakku. Aku menoleh,"tolong ambilkan air hangat" pintaku lemas. Jingga mengangguk, segera ia menghilang dari pandanganku. Sembari menunggu, aku kembali hendak berbaring namun lilin aroma terapi yang kunyalakan rupanya sudah padam, alamat bahaya ini. Bisa-bisa sakitku tambah parah. Buru-buru aku terpaksa kembali bangun dan sege
"Akang, habis ini kita mau bulan madu kemana? Gak papa kang, sebagai ungkapan syukur, semua biaya biar Jingga yang tanggung" .Glek.Aku berusaha menelan saliva susah payah saat Jingga yang tengah menghapus make up sehabis resepsi ini berujar dengan menatapku dari pantulan cerminnya."Bulan madu?" Aku bertanya dengan mengerutkan kening, berpikir lebih jauh. Ah, boro-boro bulan madu, untuk menyentuhnya saja aku belum berani."Iya bulan madu, kang Ahmad mau kan bulan madu?" ujarnya beranjak mendekatiku yang tengah duduk ditepi ranjang dengan memainkan ponsel ditangan.Semakin Jingga mendekat, aku berusaha menahan napas. Bukan karna grogi, tapi karena indra penciumanku begitu peka dengan aroma tubuh gadis itu. Cukup agak bau, mungkin karena selama ini kehidupan Jingga tidak luput dari aktivitas peternakannya, jadi aroma tubuhnya agak sedikit berbeda dari kebanyakan wanita yang aku kenal."Kang, kenapa diam aja?" Ia bertanya seraya duduk di sampingku."Boro-boro bulan madu, dekat dengan k