Aku tercengang ketika kami sudah mulai mendekati gerbang kompleks peternakan milik Jingga, nampak pintu gerbang berbahan besi itu menjulang tinggi diatasnya tertulis nama Jingga's Farm, sekelilingnya tembok kokoh menjulang dengan ram kawat anti maling diatasnya. Ah, semewah ini rupanya. Pantesan saja julukan juragan Jingga tersemat di namanya.
"Bentar ya kang, aku buka dulu kuncinya" ujarnya turun dari motor tanpa menunggu persetujuanku.
Aku mengangguk, memperhatikan bagaimana gerbang semewah dan sekokoh itu hendak dibukanya. Apakah kompleks peternakan semewah ini tidak memiliki security? Kenapa harus Jingga yang memegang kendali semuanya?
"Ayo kang masuk," ujarnya mempersilahkan.
Aku mengangguk, mendorong motor butut bapak ini memasuki area peternakan semakin dalam, diikuti Jingga yang sudah selesai menutup pintu gerbang.
"Kang, motornya biar di simpan di sini saja ya, kita ke sananya naik sepeda aja" ujarnya menunjuk ke area parkir yang ternyata ada beberapa sepeda motor dan sepeda ontel yang sudah terparkir.
Aku menelan saliva susah payah saat melihat merk sepeda yang ah ... Harganya bahkan lebih mahal dari motor butut milik bapak yang ku bawa ini."Seriusan Jing, emang bakalan keburu tolongin teman kamu itu melahirkan kalau pakai sepeda kaya gini?" tanyaku tak yakin saat aku masih belum melihat atap rumah milik si jejen di kompleks peternakan ini.
Jingga tersenyum, mengambil salah satu sepeda yang terparkir. "Bakalan kang, ayo biar Jingga aja yang bonceng," tawarnya.
"Enggak, biar kita masing-masing aja naik sepedanya nanti kamu duluan biar akang yang ikutin dibelakang" tolak ku. Gengsi banget harus di bonceng sama perempuan satu ini, apalagi melihat tubuhnya yang kecil membuat aku tidak percaya dengan kemampuannya.
"Oke, akang ikutin ya biar Jingga duluan. Ayo" ajaknya.
Kami pun berpisah, Jingga melaju dengan sepeda ontelnya yang tampaknya sangat terawat. Aku mengikuti di belakang, mencoba beradaptasi dengan sepeda yang terasa lebih halus dan mahal dibandingkan motor bututku. Jalanan menuju ke bagian dalam peternakan cukup nyaman, meski aku harus mengakui bahwa sepeda itu jauh lebih cepat dan efisien dibandingkan motor tua milik bapak.
Selama perjalanan, aku memerhatikan sekeliling. Area peternakan ini benar-benar luas dan terawat dengan baik. Ada beberapa padang rumput yang hijau, serta kandang-kandang dengan hewan-hewan yang terlihat sehat. Aku mulai merasa sedikit terkesan dengan pengelolaan peternakan ini. Apakah benar Jingga yang merawatnya seorang diri? Ah, aku tidak percaya. Sungguh!
"Jing, ini rumahnya si Jejen dimana? Masih jauh?" tanyaku setengah berteriak ketika mata ini tak mendapati bangunan berbentuk rumah sedari tadi, hanya beberapa gazebo saja yang kami lewati.
"Sebentar lagi kang," jawabnya sekilas menoleh ke arahku.
Aku mengangguk ketika mata ini mendapati satu bangunan rumah panggung yang unik, mungkin sekarang si Jejen sedang kesakitan di sana."Ayo kang, belok sini' ujarnya saat aku hendak lurus ke arah rumah panggung itu.
Kami berbelok ke jalan kecil yang mengarah ke sebuah bangunan sederhana di pinggir ladang. Jalan setapak ini dikelilingi oleh tanaman hijau dan beberapa kandang kecil. Sambil mengayuh sepeda, aku memperhatikan sekeliling yang semakin sepi dan tenang.
Jingga memimpin dengan cepat, dan akhirnya kami sampai di depan sebuah kandang besar, eh tunggu dulu mengapa malah ke kandang besar? Bukannya mau bantu si jejen melahirkan? Rumahnya yang tadikan?
"Jing, kenapa kita berhenti di sini?" tanyaku penasaran.
"Ya kan mau bantu lahirannya si Jejen" ujarnya santai memarkirkan sepedanya yang aku ikuti.
"Maksud kamu? Jangan bilang kalau si Jejen itu ..."ujarku penuh kecurigaan, mata ini memicing menatapnya penuh intimidasi.
Deretan gigi putih itu nampak terlihat, untuk pertama kalinya aku melihat senyum pepsodent dari seorang juragan Jingga, istriku itu. "Iya dugaan akang benar, si Jejen nama sapi betina kesayanganku. Aku dapat kabar dari Mail, katanya dia mau melahirkan. Dia sudah menunggu disana. Ayo kang," ajaknya.
Aku mendengus sebal, selama ini, aku benar-benar mengira bahwa "si Jejen" adalah manusia. Rasa malu mulai menyelimuti diriku saat aku menyadari betapa salah pahamnya aku. Ah, kalau tau sedari tadi aku tidak akan rela mengantarnya malam-malam begini apalagi menemui para binatang yang kurang aku sukai.
Jujur saja selama ini, meskipun bapak memiliki beberapa ekor sapi tapi aku tidak pernah sekali pun membantunya ikut andil mengurus sapi tersebut, hanya cukup membantunya mengambil rumput di ladang, itu pun hanya sesekali kalau bapak tengah sakit sebab aku merasa agak jijik, apalagi melihat kotorannya. Ah, menyebalkan.
"Jingga tunggu!" teriakku saat Jingga sudah memasuki kandang ternak tersebut.
Jingga berhenti dan menoleh ke arahku, tampak agak bingung dengan nada suaraku yang tiba-tiba menjadi tegas. "Ada apa, kang?"
Aku menghela napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. "Akang tidak pernah terbiasa dengan hal ini Jing, apa disini ada masker dan sepatu but?" tanyaku.
Jingga mengangguk, "tentu kang, ayo ikut Jingga dulu. Nanti kita pinta Mail buat ambilkan"
"Teh Jingga, kenapa ih meni lama pisan. Itu si Jejen dari tadi udah hulang-huleng. Mail gak tau harus gimana," protes Mail, adik satu-satunya istriku.
Jingga dengan tersenyum ramah menepuk pundak Mail. "Kamu teh udah harus belajar nanganin yang kaya gini Il, ini kan nantinya akan jadi tanggung jawab kamu juga."
"Tapi teh, Mail kan baru juga kelas satu SMA. Gak paham dengan hal kaya begini," protesnya tak terima.
Dengan lembut Jingga mengusap kepala adiknya itu penuh kasih sayang. "Iya, nanti belajar sama teteh. Yaudah, sekarang kamu ambilin peralatan medis yang udah teteh siapkan beberapa hari lalu di rumah panggung sekalian sama sepatu but buat kang Ahmad sama masker ya jangan lupa" ujarnya seraya melirikku yang kini berusaha menutup hidung dengan kupluk jaket yang ku pake.Mail segera berlari ke rumah panggung untuk mengambil peralatan yang diminta. Aku berdiri di luar kandang, mencoba menenangkan diri sambil memikirkan cara agar bisa beradaptasi dengan situasi ini. Tak jauh dari tempatku berdiri, Jingga mempersiapkan segala sesuatu dengan cekatan, tampak sangat berpengalaman dalam menghadapi situasi seperti ini.
Beberapa menit kemudian, Mail kembali dengan membawa sepatu bot dan masker. Jingga mengulurkan sepatu bot dan masker kepadaku. "Ini, kang. Pakai yang ini supaya tetap bersih dan nyaman. Akang tunggu di sini saja ya, biar aku dan Mail yang masuk kandang,"
Aku mengangguk, memasang sepatu bot dan masker dengan agak canggung. Sementara Jingga dan Mail sudah kembali memasuki kandang Si Jejen. Si Jejen tampak gelisah di sudut kandang, dan aku bisa melihat bahwa proses kelahiran sudah mulai mendekati puncaknya. Jingga berusaha menenangkan si Jejen sambil memeriksa kondisi hewan itu.
"Kamu yang tenang ya Jen, kami disini buat bantu kamu." ujar Jingga dengan suara lembut, seolah-olah berbicara pada teman dekatnya dengan mengusap kepala si Jejen dengan penuh perhatian, beberapa kali aku melihat kepalanya dengan kepala si Jejen saling bersentuhan seolah tidak ada kata jijik.
"Teteh, ini kaki anaknya udah keluar satu" pekikan si Mail sontak saja membuat Jingga terperanjat mendekati.
"Bantu teteh buat tarik kakinya ya il, sebentar teteh periksa dulu" ujarnya dengan segera melepaskan jaket tersisa hanya kaus lengan pendek yang di pakainya, rambut yang sedari tadi di kuncirnya kini kia gelung dengan asal.
Tangannya ia masukkan kedalam kandungan si Jejen dengan hati-hati, memeriksa posisi anak sapi yang baru lahir. Suasana di dalam kandang menjadi tegang, namun Jingga tampak sangat fokus dan tenang. Mail, dengan penuh perhatian, mengikuti instruksi Jingga, berusaha membantu semampunya.
"Il, kamu pegang kakinya dengan hati-hati. Jangan terlalu kuat, tapi juga jangan terlalu lembut," ujar Jingga, suaranya tetap lembut namun tegas.
Mail mengikuti instruksi dengan hati-hati, sementara Jingga terus memeriksa dan menyesuaikan posisi anak sapi di dalam rahim si Jejen. Aku bisa melihat bahwa pekerjaan ini membutuhkan keahlian dan ketelitian yang tinggi, dan aku semakin mengagumi keteguhan Jingga dalam menghadapi situasi ini.
"Baik, Il. Sekarang tarik perlahan, sambil teteh dorong sedikit dari sini ya," perintah Jingga.
"Teteh susah, Mail belum terbiasa"
"Kamu pasti bisa Il, ayo ..."
"Tapi teh, Mail agak kesusahan tangan Mail tiba-tiba keram" adunya. Ku lihat matanya berkaca-kaca.
Ah, apa aku harus diam saja melihat situasi seperti ini? Tidak, aku harus membantunya!
Aku mengambil napas dalam-dalam, memutuskan untuk melangkah ke dalam kandang meskipun rasa jijik dan canggung masih terasa. Aku mendekati Jingga dan Mail yang tampak kebingungan, lalu memutuskan untuk mengulurkan tangan."Jingga, biar akang bantu," kataku, mencoba terdengar yakin meskipun aku merasa agak kaku.
Jingga menoleh ke arahku dengan tatapan penuh harapan. "Baiklah, Kang Ahmad. Tolong pegang kaki anak sapi ini dan tarik perlahan. Mail, coba istirahat sejenak, aku akan bantu di sini."
Dengan hati-hati, aku menyentuh kaki anak sapi yang sudah sebagian keluar dari rahim si Jejen. Meskipun terasa asing dan tidak nyaman, aku berusaha untuk mengikuti instruksi Jingga. Jingga mulai mendorong dengan lembut dari luar, sementara aku dan Mail menarik kaki anak sapi dengan perlahan namun stabil.Rasa tekanan dan ketegangan di dalam kandang semakin terasa, namun Jingga terus memberikan semangat dan arahan. "Tarik sedikit lagi, Kang Ahmad. Jangan terlalu kuat, tapi pastikan tetap konsisten"
"Alhamdulillah," ucap kami bersamaan ketika anak sapi itu sudah lahir dengan selamat kedunia ini.
Ku lihat Jingga begitu kegirangan, ia lalu segera membersihkan lendir dari tubuh anak sapi dengan handuk bersih, dan memastikan bahwa hewan kecil itu mulai bernapas dengan baik.
Sementara itu si Jejen tampak lebih tenang dan rileks setelah proses kelahiran selesai. Jingga mengelus kepala si Jejen dengan lembut, memberikan rasa nyaman pada sapi betina itu. "Hebat Jen, Jingga bangga" ujarnya.
"Akhirnya selesai juga," ucap Mail dengan senyuman puas.
"Terimakasih kang sudah membantu, biasanya teteh sama kang Yudi yang menangani hal ini. Biasanya kalau gak ada kang Yudi, teteh sendiri yang nanganin. Sekali lagi terimakasih ya kang"Aku tersenyum canggung sambil berjalan mendekati keran untuk membersihkan tanganku. "Sama-sama il, eh emang pegawai teteh kamu cuma si Yudi doang il? Yang lain gak ada gitu?"
Mail berjalan mendekat, "yang lain ada cuma tugasnya beda-beda, itu pun mereka di pekerjakan sama si mamang dan harus nurutin apa kata si mamang bukan si teteh makannya teteh gak bisa bebas sama karyawannya padahal yang gaji dia."
"Kenapa gitu harus si mamang, kan yang punya hak kamu sama teteh kamu?" tanyaku heran.
"Gak tau aku juga kang, tapi si mamang kaya yang nge hak banget sama semua ini. Asal akang tau ya aku kesihan banget deh sama si teteh""Kenapa gitu? Kan teteh kamu kaya raya, harusnya bangga dong"
Mail menggeleng, wajahnya berubah menjadi muram."Kehidupan teteh tidak seenak yang orang lihat kang, dia emang kaya tapi capek. Tiap pagi dia dipaksa si mamang buat bantuin karyawan bersihin kandang, lalu agak siangnya pergi ke ladang buat sabit rumput biar gak kekurangan, terus sorenya bantu perahin sapi dan kasih makan kelinci. Setelah itu bantu bersihin kotoran kelinci, dia gak seperti perempuan lain yang suka merawat diri pergi ke mall shoping-shoping gitu. Si Mamang orangnya jahat, kami berdua dianggap seperti babu padahal semua harta kekayaan abah itu sudah jadi hak milik kami"
Aku tertegun mendengar pernyataan Mail, ah rupanya kehidupannya tidak sebahagia yang orang-orang bilang. Mengetahui fakta yang sebenarnya tiba-tiba saja hatiku merasa iba, pantesan saja tubuhnya sekurus itu rupanya selama ini kehidupannya menderita.
Ah, malam ini benar-benar penuh kejutan. Dari yang mulai aku tau kalau si Jejen itu ternyata sapi betina, lalu aku yang tiba-tiba bisa membantu proses melahirkan si Jejen, sapi kesayangan Jingga itu hingga fakta mengejutkan yang ku dengar dari Mail. Benar-benar membuatku terkejut.
Byur!Tengah malam begini, akhirnya aku terpaksa membersihkan tubuh setelah dirasa cukup membantu Jingga di kandang sapi itu. Air tengah malam terasa begitu dingin, di tambah semilir angin malam yang terasa begitu kencang membuat ku ingin cepat-cepat segera mengakhiri ritual ini. Tapi tunggu, sedari tadi aku mandi mataku tak pernah berhenti mencari-cari sabun mandi di sini. Nampak hanya satu sikat gigi dan odol bertengger di tempat sabun itu, lalu tadi dia mandi pake apa? Apa cuma air saja?"JINGGA!" aku berteriak cukup kencang, sudah terlalu lama di kamar mandi nanti bisa-bisa tubuhku membeku karena ke dinginan. "Kenapa kang? Teh Jingga udah balik lagi ke kandang," sahut Mail. "Sabun mandi habis il?" tanyaku setengah berteriak. "Aduh kang, lupa. Disini kalau mandi gak pake sabun mandi, biasanya pake daun dayang. Daun nya habis ya kang di pake teteh tadi kali ya" sahutnya.Ya salam, zaman sudah secanggih ini masih mandi pake daun? Pantesan aroma tubuh Jingga tak sedap selama ini.
Hari libur yang harusnya menyenangkan ini, berganti menjadi suram. Bagaimana tidak, sepagi ini saat aku hendak pulang ke rumah, mata ini tak sengaja melihat Jingga tengah asik membersihkan kandang kelinci bersama seorang lelaki yang seumuran dengan ku. Namanya Yudi. Mereka terlihat begitu akrab, saling membantu satu sama lain seperti karyawan dan majikan yang tengah kerja sama. Tapi, tunggu dulu. Gelagat Yudi agak aneh, ia terus saja mengikuti Jingga kemana pun bahkan ku lihat ia seperti tengah mencari perhatian pada istriku itu. Dari matanya sih terhilat tampan, tapi gak tau kalau maskernya di buka mungkin ketampanannya akan berkurang drastis, jauh berbeda dari aku yang akan tetap tampan bahkan lebih tampan darinya. "Yud, kamu tolong satuin si Moly sama si Mily. Kayaknya si Mily udah waktunya kawin" ujar Jingga yang ku dengar samar-samar. Lelaki itu mengangguk, ia membuka salah satu kandang kelinci dan mengambilnya. "Ini teh, lucu ya kaya teteh" ucap Yudi sambil memegang see
Jingga tetaplah Jingga, meski mandi berjam-jam dengan sabun beraroma strawbery milikku tetap saja aroma tubuhnya menguar tidak sedap entah kenapa. Padahal mandinya juga baru selesai dua jam yang lalu. Aku misuh-misuh saat Jingga mendekati, emak sama bapak entah kemana sedari pulang tadi tak kelihatan batang hidungnya. "Kamu kenapa sih kang, kok kaya gak suka gitu dekat sama aku?" Jingga bertanya dengan raut wajah sedih saat aku menggeser dudukku dengan sangat jauh dari arahnya. Aku mengedikkan bahu sebagai jawaban, kedua netra ini terus fokus menatap layar kaca yang menampilkan serial naruto kesukaanku. "Kang," panggilnya lagi, namun kali ini ia menyerah tak lagi mendekatiku. Aku mendengus sebal, "apa sih? Lagi fokus juga" keluhku. "Akang dari tadi belum sarapan, minum juga Jingga gak lihat tadi. Mau dibikini menu sarapan apa?" tawarnya. Mendengar tawaran itu, bukannya senang jelas aku malah menolak dengan gelengan tegas. "Gak usah!" Ucapku sembari terus fokus menon
Hachim ... Uhuk ... Uhuk ... Tengah malam begini, aku tidak berhenti bersin dan batu-batuk. Tubuhku rasanya remuk, udara malam bahkan terasa begitu menusuk hingga selimut tebal yang ku gunakan tak terasa di tubuh ini. Kepalaku rasanya cenat-cenut, perutku seolah tengah diobok-obok tak karuan. Hoek .. Ah, akhirnya keluar juga. Jingga yang tertidur di sebelahku rupanya kini sudah sigap membantu mengelap muntahan di selimut yang ku kenakan. "Ya allah akang, ini suhu tubuhnya tinggi sekali" samar ku dengar suara kepanikannya sembari memegang termometer yang entah kapan diletakam di ketiakku. Aku menoleh,"tolong ambilkan air hangat" pintaku lemas. Jingga mengangguk, segera ia menghilang dari pandanganku. Sembari menunggu, aku kembali hendak berbaring namun lilin aroma terapi yang kunyalakan rupanya sudah padam, alamat bahaya ini. Bisa-bisa sakitku tambah parah. Buru-buru aku terpaksa kembali bangun dan sege
Sudah seminggu ini aku terbaring di kamar dengan rasa sakit yang sudah mulai mereda. Kata dokter, aku terserang penyakit tipes yang mengharuskan aku mendapatkan perawatan yang tepat namun aku memilih untuk di rawat di rumah saja. Bukan apa, aku gak mau semua orang kesusahan karena sakit ku ini. Sudah seminggu ini pula, aku mendapatkan perhatian lebih dari Jingga. Ia begitu telaten merawat ku, hingga ia rela begadang demi menjagaku. Masalah emak sama bapak? Mereka jelas mengomeli, katanya aku tak pandai menjaga kesehatan, tak pandai menjaga pola makan dan tidur teratur padahal penyakit siapa yang tau datangnya kapan. Hari ini badanku sudah merasa mendingan, dan meminta Jingga untuk tidak perlu terlalu ketat menjagaku. Masalah aroma tubuhnya? Jelas aku masih terganggu, tapi tidak terlalu. Kini aromanya agak sedikit berkurang mungkin karena hidungku masih tersumbat kali ya, jadinya tidak terlalu menyengat di indra penciumanku. "Akang makan dulu ya buburnya
Aku mendengus saat silau matahari pagi dari jendela kamar ini menganggu tidur damaiku. Perlahan kedua bola mata ini mengerjap, membuka dengan perlahan. Lagi, aku menghela nafas dama saat tak ku dapati bagian kasur sebelah kanan ini sudah kosong tak ada keberadaan sosok perempuan yang sudah seminggu lebih satu hari ini menemani dan setia merawatku. "Sudah jam sembilan rupanya," gumamku saat tak sengaja netra ini memandang jam dinding tepat di berhadapan denganku. Seketika sudut bibir ini membentuk lengkungan saat netra ini menangkap sebuah kertas kecil yang di tindih menggunakan kunci dengan gantungan boneka sapi . Biar ku tebak, pasti ulahnya Jingga yang akhir-akhir ini selalu saja memberiku pesan jika aku sudah tak mendapati dirinya ketika bangun pagi. To: Suami tersayangku From: Istri cantikmu. Kang, maaf. Jingga hari ini harus ke peternakan pagi-pagi sekali tanpa berpamitan terlebih dahulu. Jingga gak tega jika harus kembali membangunkan akang yang tertidur nyenyak, akang h
"Mak, ahmad butuh waktu. Semua butuh proses, gak bisa langsung jadi. Lagi pula setiap orang punya kekurangan mak" keluhku merasa terpojok dengan nasihat emak yang tiba-tiba ini. “Emak tahu, Kang, setiap orang punya kekurangan. Tapi itu bukan alasan untuk kamu terus-terusan malas!” jawab emak, nada suaranya masih penuh ketegasan. “Kalau gitu, kenapa emak tidak mengingatkan Jingga untuk lebih menjaga diri? Dia kan juga bisa berbenah,” jawabku dengan nada tak sabar. “Mad, bukannya itu yang seharusnya kamu lakukan sebagai suami? Menjadi teladan?” Emak menatapku tajam, seolah ingin menembus dinding ketidakpedulian ku. Aku mendengus, masih merasa terpojok. “Tapi kan aku sudah bilang, Ahmad bukan robot. Kita semua punya kebiasaan buruk.” "Mad, apa kamu tidak merasakan betapa jingga mencintaimu selama seminggu ini? Dia berjuang dan dengan sabar merawatmu dan apa ini?" tanya emak dengan menunjuk kunci motor yang masih berada di genggamanku. Aku terdiam tidak menjawab, emak merebut
"Pinjam motor bapak aja ya pak," aku memohon dengan wajah memelas kearahnya. Bapak mengedikkan kedua bahunya, sedetik kemudian kepalanya menggeleng. "Ogah ah, bensinnya masih penuh. Enak dikamu itu mah," Astagfirullah bapak. Kenapa pelit sekali, sama anak sendiri ini kok itungan sih. Cihhh ... "Ahmad ganti pas nanti gajian deh pak," rayuku. Bapak tetap kukuh menggeleng,"suka lupa kamu mah kalau udah ngomong gitu teh. Gak ah, lagian kamu udah punya motor sendiri, sudah sana berangkat. Mau di pecat kamu? udah mah gak masuk seminggu ini malah ditambah acara kesiangan. Udah sana!" perintah bapak mendorongku agar segera berangkat. Dengan menggerutu tak jelas, aku berjalan cepat langsung menaiki motor pemberian Jingga yang terparkir di depan rumah itu dengan terpaksa. Tepat ketika aku menghidupkan mesin motor, deru suara yang terdengar menggema di sekelilingku, seolah menyuarakan kebangkitan hariku. Di balik jendela, kucing tetangga melirik dengan mata penuh rasa ingin tahu, m
Lima tahun kemudian ...Pada akhirnya, aku hancur sendirian. Menggenggam luka yang menusuk bagai duri tajam setiap harinya. Aku pikir setelah berpisah dengan Jingga dan menikahi wanita yang ku cintai dimasa lalu, kehidupanku akan membaik. Rupanya, aku salah besar.Perangai Sinta yang gila harta membuat rumah tangga kami tak bertahan lama. Hanya enam bulan, itu pun diwarnai dengan huru-hara pertengkaran akibat ekonomiku yang semakin hari semakin memburuk. Ia tidak tahan, mengamuk dan menyalahkanku mengapa aku memberikan semua hartaku pada Jingga. Padahal Sinta mau menikah denganku hanya karena aku sudah mapan, masalah cinta? Rupanya tak sepenting itu baginya. Cinta hanyalah omong kosong tanpa harta, baginya. Aku diam, tak melawan. Mungkin, itu karma untuk ku. Tahun-tahun berikutnya, setelah status duda ku sandang. Aku berusaha bangkit, kembali sibuk bekerja dari sekolah ke sekolah lain. Ya, aku kembali mengajar seperti saat bujanga
Lima tahun kemudian ... Pada akhirnya, aku hancur sendirian. Menggenggam luka yang menusuk bagai duri tajam setiap harinya. Aku pikir setelah berpisah dengan Jingga dan menikahi wanita yang ku cintai dimasa lalu, kehidupanku akan membaik. Rupanya, aku salah besar. Perangai Sinta yang gila harta membuat rumah tangga kami tak bertahan lama. Hanya enam bulan, itu pun diwarnai dengan huru-hara pertengkaran akibat ekonomiku yang semakin hari semakin memburuk. Ia tidak tahan, mengamuk dan menyalahkanku mengapa aku memberikan semua hartaku pada Jingga. Padahal Sinta mau menikah denganku hanya karena aku sudah mapan, masalah cinta? Rupanya tak sepenting itu baginya. Cinta hanyalah omong kosong tanpa harta, baginya. Aku diam, tak melawan. Mungkin, itu karma untuk ku. Tahun-tahun berikutnya, setelah status duda ku sandang. Aku berusaha bangkit, kembali sibuk bekerja dari sekolah ke sekolah lain. Ya, aku k
Tok ... Tok ... Tok ... Mata memejam, tanganku meremas kuat ujung kemeja ketika kepala hakim sudah mengetokan palu sebanyak tiga kali. Hal itu menandakan kalau sidang perceraianku dan Jingga sudah berakhir. Putusan menunjukan bahwa aku resmi sudah tidak lagi menyandang status sebagai kepala keluarga. Baik secara hukum mau pun agama. Ya tuhan, inikah akhir dari rumah tanggaku? Sungguh menyedihkan! Ekor mataku melirik ke sebelah, dimana Jingga dan aku sama-sama hadir pada sidang terakhir kami. Ku lihat senyuman mengembang di wajahnya saat hakim membacakan putusan tentang hak asuh anak jatuh padanya. Ya, itu memang kemauanku. Putraku lebih baik diasuh oleh ibunya dibanding harus bersama pria brengsek ini. Aku berdiri saat persidangan kami telah usai, mendekat kearahnya untuk saling berjabat tangan. Mengikhlaskan dan menbesakan semua gundah gulana di hati yang selama ini bersarang. "Selamat menyemat status
Pada akhirnya aku ikut bersama teh Ayu untuk pulang ke desa. Rindu yang menggebu membuat pertahananku runtuh, aku ingin bertemunya. Aku ingin segera memeluknya, mengucap maaf dan sayang padanya. Burung-burung bernyanyi menyambut hari dengan kaki bertengger di ranting pohon, sepanjang perjalanan embun dan kabut terlihat masih menyelimuti pandangan karena hujan semalam suntuk. Kedua jagoan di sampingku terus saja berceloteh, bercerita tentang aktivitas yang akan di lakukannya di desa menemani perjalanan kami. Sesampainya di pekarangan rumah, suasana nampak begitu sepi siang ini. Padahal biasanya emak dan bapak tengah bersantai ria di teras rumah bersama para pekerjanya. Kami terheran-heran saat tak ada satu pun pekerja orangtua kami yang menunggu rumah ini. "Kalian tunggu saja, biar Mas tanya tetangga kenapa rumah sepi dan kayaknya di kunci deh," ujar mas Abi menebak. Aku dan teh Ayu hanya mengangguk pasrah, malas rasanya jika harus bertemu dengan para te
Kedua mataku tiba-tiba saja terbeliak tengah malam. Keringat bercucuran sebiji jagung di keningku. Mimpi buruk itu kembali menghantuiku. Teriakan, tangis kekecewaan, dan umpatan kasar kembali menyapa alam bawah sadarku, seolah memberi signal bahwa rasa bersalah ini kian menggerogoti relung hatiku. Aku menarik napas dalam-dalam lalu terduduk begitu saja. Hujan deras disertai angin kencang membuat hawa dingin menyapa tubuhku yang kini duduk meringkuk di sofa ruang tamu. Buru-buru aku bergegas mengambil segelas air putih di dapur lalu setelah itu aku memutuskan untuk mengambil wudhu dan melaksanakan shalat malam. Shalat yang biasa Jingga kerjakan setiap malamnya. Ah, aku merindukannya. Sudah dua bulan ini, aku rutin melaksanakan shalat tahajud untuk meminta pengampunan atas dosa-dosa yang ku perbuat. Sudah dua bulan ini pula, aku memutuskan untuk tidak menghubungi keluarga di desa. Rasa malu selalu menguasai diriku saat aku merindukan mereka dan
Jingga povSejak perselingkuhan kang Ahmad dengan Sinta terbongkar di depan mataku, aku tak lagi bisa hidup dengan tenang dan bahagia. Setiap malam, aku selalu menangis tergugu sendirian mengurung diri di kamar. Sakit, rasanya begitu sakit.Bayangan saat tawa kang Ahmad begitu lepas bersama dengan wanita di pangkuannya membuat hatiku semakin teriris. Rasanya benci, jijik dan menyakitkan apalagi saat teringat wanita itu juga tengah mengandung, dari perutnya yang buncit mungkin usia kandungannya tak jauh berbeda denganku. Sial, begitu menyakitkan. "Teh, buka pintunya. Teteh belum makan malam teh!" Aku menoleh kearah pintu yang tertutup, suara Mail terdengar semakin menambah pesakitanku. Gara-gara kejadian itu, adikku tak jadi berangkat dan terpaksa mengubur impiannya dalam-dalam. Aku sudah memaksanya untuk tetap pergi, namun ia begitu keras kepala tak ingin meninggalkanku sendirian disini. Padahal, emak sama bapak selalu mengunjungi ku s
Sebuah tarikan kuat pada kerah bajuku membuat tubuhku terhentak kedepan, dengan mata menyala Mail. Adik iparku itu, mengangkat kerah bajuku hingga tubuh ini ikut terangkat. Lalu detik berikutnya tinjuan kuat melayang pada perutku beberapa kali. Aku diam, masih mencerna apa yang terjadi. Benarkah? Benarkah kejadiannya harus seperti ini?"Brengsek! Bajingan! Gue percaya elo seratus persen buat lindungi teh Jingga, tapi nyatanya elu buat teteh gue menderita!" teriak Mail tepat di depan wajahku. Setelah itu, sebuah dorongan kuat darinya membuat tubuhku tersungkur ke depan, mencium marmer dingin rumah ini. Air mata jatuh dari pelupuk mataku begitu saja melihat semua orang hanya menyaksikan dengan kecewa tanpa berani menghentikan pukulan Mail padaku. Kulihat Jingga tengah menangis tersedu-sedu dengan gelengan tak percaya bersama emak yang kini sudah memeluknya, berusaha menenangkan. Aku berusaha bangun, berjalan pelan mendekati dua perempua
Katakan kalau aku ini pria brengsek, pengecut dan tak tahu malu. Sudah dua hari ini aku bahkan tak pulang ke desa dan memilih menemani wanita yang tengah berbadan dua, yang ingin bermanja denganku. Kalian mungkin mengira bahwa aku sudah menikahi wanita yang ku cintai sejak lama ini, Sinta. Tapi dugaan kalian jelas salah, sampai saat ini aku masih bukan siap-siapanya. Hanya sekedar sahabat, itu saja. Hanya saja bebanku terhadapnya lebih berat saat waktu kejadian itu aku berjanji akan mengambil alih tanggung jawab Bara terhadapnya, tapi tidak untuk menikahinya dalam waktu dekat. Selama ini pula, Sinta begitu gencar mendekatiku. Berusaha mengambil hatiku kembali, ia bahkan selalu saja menjelek-jelekan istriku yang sama halnya tengah mengandung anakku. Sebenarnya aku sudah muak, ingin rasanya bersikap tak peduli namun ia selalu mengancam jika aku tak bersamanya dan tak menikah dengannya ia akan melakukan hal yang sama seperti waktu itu. Ya, bunuh diri. Bahkan ia juga selalu menagih jan
Jingga povKejadian pagi itu sungguh menyakitkan bagiku. Entah apa yang terjadi pada suamiku hingga tega bersikap demikian, meninggalkan aku yang tengah terisak pagi itu. Emak dan bapak yang saat itu masih menikmati sarapannya bahkan ikut terkejut menghampiriku saat suara bantingan pintu begitu keras dari kang Ahmad saat meninggalkanku. Terhitung, sudah dua hari sejak kejadian itu Kang Ahmad bahkan tak pulang ke rumah kami. Untungnya Mail masih belum berangkat ke Jepang, untuk menyelesaikan studinya dan mau menemani serta menghiburku saat ini. Namun rasa sedih kembali hinggap, saat aku membantu Mail mengemas barang-barangnya. Hari ini, hari terakhir ia menemaniku sebelum besok kembali bertolak ke Jepang untuk mengikuti kuliah pertamanya. "Gak ke US lagi Mad? Teteh kira saat menempuh jalur beasiswa SMA disana, kamu bakalan lanjut kuliah di sana juga," ucapku saat memikirkan bagaimana sulitnya perjuangan adik lelakiku saat mengambil keputusan waktu itu, ketika ia mengambil beasiswa d