Share

Gangguan malam

Penulis: AkaraLangitBiru
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-17 15:16:31

"Emang harus malam ini juga, Jing?" Aku bertanya dengan keluhan saat Jingga meminta izin setengah memaksa untuk mengantarkannya ke peternakan di ujung desa miliknya. 

"Iya, kang. Memang harus malam ini juga. Si Jejen mau ngelahirin, takutnya gak ada yang bantuin. Kata si mamang perkiraannya hari ini, dia gak bisa bantu. Malas katanya, sementara karyawanku lagi demam"

"Yaudah atuh kalau mau ngelahirin mah dibawa ke rumah sakit biar di bantu bidan, bukan malah kamu yang bantu. Emang kamu lulusan bidan juga?" Aku bertanya dengan agak sedikit terbahak. 

Ini si Jingga apa-apaan ya, masa iya dia mau bantuin orang lahiran. Aneh banget perasaan. 

"Eh si akang, ayo ah cepat kang. Kita pinjam motor butut bapak aja ya biar cepat. Kalau pake sepeda tua nanti keburu gak ketulungan" pintanya santai. 

Lah, itu enteng banget mulu. Motor butut katanya? Masih mulus gitu, cuma kerangkanya emang sengaja dilepas kan buat bawa rumput yang sehabis di sabit di gunung. Biar gak capek. 

"Iya, bentar ya akang pake jaket dulu. Kamu duluan minta izin sama bapak dan emak" titahku. 

Jingga mengangguk, ia duluan bergegas keluar kamar. Aku menghembuskan napas lega, setidaknya malam ini masih aman. Keperjakaan ku masih belum terlepas. 

"Alhamdulillah," syukurku dengan penuh senyum keluar dari kamar, bergegas menghampiri Jingga yang sudah di luar rumah. 

Terdengar suara bapak dan emak tengah asik berbincang bersama Jingga. Aku segera keluar menghampiri. 

"Mad, motor bapak kayaknya bensinnya mau abis. Nanti isi dulu ya di warung mang parman,"

Yeh, si bapak kebiasaan kalau di pinjamin motor pasti bensinnya tinggal sedikit, entah itu di sengaja atau emang kebetulan yang jelas kalau aku kepepet pinjam motornya pasti bensinnya tinggal sedikit saja. 

"Udah tau aku pak, iya nanti diisi in. Bapak tenang aja," jawabku malas. 

"Mad, hati-hati ya katanya jalan menuju sana angker. Bi wati yang cerita katanya banyak nyai-nyai berkeliaran" pesan Emak. 

Alah si emak ada-ada saja, mana ada malam-malam gini si nyai berkeliaran palingan juga udah pada molor di rumahnya masing-masing. "Iya mak iya,"

"Mak, pak kami pergi dulu ya. Maaf ini mendadak banget soalnya. Kami juga buru-buru, doain ya mak pak" pamit Jingga takzim dengan menyalami kedua tangan orang tuaku. 

Aku juga mengikutinya. "Assalamualaikum mak," seru kami sebelum benar-benar kami.

"Waalaikumsalam," jawab mereka kompak. 

Akhirnya kami pun memulai perjalanan ini melewati beberapa perkampungan. 

"Kang, katanya bensinnya mau habis. Isiin dulu atuh biar nanti Jingga yang bayar," ujar Jingga ditengah-tengah perjalanan.

Aku menggeleng, "gak usah, Jing. Ini alasan si bapak aja biar akang ganti uang bensinnya. Lagi pula ini masih banyak kok, aman" seruku setengah berteriak takutnya suara merdu ini kesilep dengan riuhnya angin malam ini.

Sepanjang perjalanan tidak ada obrolan yang berarti, kami lebih banyak diam dengan pemikiran masing-masing sembari menikmati semilir angin malam ini. 

Hingga ...

"AKANG, ITU APA?!" 

aku tersentak kaget saat Jingga berteriak ketakutan, tangannya refleks memelukku begitu erat. 

"Kamu kenapa? Ini akangnya jangan dipeluk seerat ini, sesak. Nanti motornya oleng," protesku menghentikan motor yang ku kendarai ini di pinggir jalan. 

"Akang, ayo cepat jalan aja. Kenapa harus berhenti?" tanyanya. 

Aku menoleh, melihat wajah Jingga yang berubah pucat dibawah temaram lampu jalanan.

"Kamu kenapa sih Jing, malah kaya orang ketakutan." Keluhku. 

"Ayo kang jalan lagi, Jingga gak mau lama-lama disini."

"Kenapa kamu, takut?" tanyaku curiga.

"Iya, tempatnya sepi banget. Ayo atuh kang, jalan lagi" pinta Jingga dengan tangan gemetar memaksaku agar segera bergegas pergi. 

Aku menatap Jingga yang masih gemetar sambil berusaha menenangkan dirinya. Kami baru saja melanjutkan perjalanan melewati hutan yang gelap. Tiba-tiba, di antara pepohonan, samar-samar aku melihat sosok putih melayang, namun aku berusaha setenang mungkin agar Jingga tidak terlalu ketakutan.

"AKANG, ITU APA?!" teriak Jingga sambil merapatkan tubuhnya ke sampingku, membuat motor kami hampir oleng.

Ya salam, baru juga pelukan itu terlepas ini malah kembali kurasakan tangan Jingga melingkar di perutku dengan keadaan gemetar. Bisa ku rasakan degup jantungnya begitu berdetak cepat. 

Aku menoleh dan melihat sosok putih itu mendekat dengan gerakan lambat. "Ck. Kamu bisa tenang gak? Itu bisa jadi hanya ilusi kamu"

"Ilusi apaan kang, yang jelas itu beneran. Emang akan gak takut?" tanyanya saat sosok putih itu semakin mendekat kearah kami. 

Apa katanya? Aku gak takut? Jelaslah aku juga manusia biasa yang punya rasa takut tapi perasaan itu tidak lebih besar dengan kekesalanku terhadap Jingga yang dengan lancang memeluk erat tubuh ini. Kalau sudah dipeluk gini, alamat mandi lagi. 

"Akang, gimana ini dia semakin mendekat" keluh Jingga. 

Seketika keringat dingin keluar dari tubuhku, kedua tanganku bergetar hebat saat sosok kuntilanak itu akhirnya berhenti di depan kami, melayang-layang dengan tatapan kosong. 

"Jangan ambil saya, kang ahmad saja. Saya masih banyak tanggung jawab, harta saya banyak masih belum saya habiskan"

Ditengah ketakutan, aku menghela nafas berat. Bisa-bisa dia menyombongkan diri pada mahluk halus seperti ini. Hah, orang kaya mah bebas kali ya. 

"Ambil saja dia, gak usah aku. Dia hartanya banyak, biar nanti kamu gak perlu lagi bekerja untuk nakut-nakutin orang!" kesalku. 

"Akang ih ..." Protesnya dengan mencubit pinggangku. 

Sosok kuntilanak itu melayang mendekat dengan tatapan kosong. Aku bisa merasakan Jingga yang semakin ketakutan, dan jari-jariku bergetar menahan kemarahan dan ketegangan. Namun, tiba-tiba, sesuatu yang tidak terduga terjadi.

Saat kuntilanak semakin mendekat ke arah kami, tiba-tiba ia berhenti sejenak. Sosok itu terbatuk-batuk dengan suara serak dan tidak nyaman, sambil menutup hidungnya dengan tangan putihnya yang transparan. 

"Ugh... bau apa ini?" suara kuntilanak itu terdengar terganggu, dengan ekspresi wajah yang menunjukkan ketidaknyamanan.

Aku tercengang, hampir tidak percaya dengan apa yang kulihat. Jingga, yang pada awalnya memelukku dengan panik, tampak bingung melihat reaksi sosok tersebut. "Akang, kenapa dia kayak gitu?"

Kuntilanak itu terus-terusan batuk, seolah berjuang untuk menahan bau yang sangat tidak sedap. "Bujubuneng, sudah berapa tahun dia tidak mandi?" ucapnya dengan nada mengeluh, matanya menutup sejenak dan menghirup udara dengan sulit. "Aku tidak bisa... tahan bau ini."

Aku merasakan campuran antara lega dan geli. "Jingga, mungkin ada baiknya kamu mulai menjaga kebersihan," kataku, sambil mencoba menahan tawa melihat kuntilanak yang tampaknya sangat terganggu.

Sementara itu, kuntilanak melayang mundur dengan cepat, seolah terpaksa menjauh dari aroma yang menyengat. "Kalian... pergi saja dari sini!" sosok itu berteriak, suara tidak teratur dan penuh kemarahan.

Jingga, yang masih ketakutan, akhirnya melepaskan pelukan dan memandangku dengan sedikit malu. "Akang, maksud nyi kunti itu apa? Siapa yang tidak mandi bertahun-tahun?" tanyanya masih dengan nada kebingungan.

"Ayo, kita pergi sekarang sebelum ada masalah lagi," kataku, mulai menghidupkan motor dan melaju meninggalkan tempat tersebut enggan menjawab pertanyaannya. Jika nanti ku jawab dengan jujur, apa tidak sakit hatinya? Ah aku masih memiliki hati untuk tidak menyakitinya. 

Jingga, seandainya kamu sadar mungkin ucapan mahluk halus tadi membuatmu tersinggung tapi apalah daya kamu emang sepolos itu ternyata padahal mahluk halus sepertinya juga tidak tahan dengan aroma tubuhmu. Arghh

Bab terkait

  • Istriku Seorang Juragan    Malam penuh kejutan

    Aku tercengang ketika kami sudah mulai mendekati gerbang kompleks peternakan milik Jingga, nampak pintu gerbang berbahan besi itu menjulang tinggi diatasnya tertulis nama Jingga's Farm, sekelilingnya tembok kokoh menjulang dengan ram kawat anti maling diatasnya. Ah, semewah ini rupanya. Pantesan saja julukan juragan Jingga tersemat di namanya."Bentar ya kang, aku buka dulu kuncinya" ujarnya turun dari motor tanpa menunggu persetujuanku. Aku mengangguk, memperhatikan bagaimana gerbang semewah dan sekokoh itu hendak dibukanya. Apakah kompleks peternakan semewah ini tidak memiliki security? Kenapa harus Jingga yang memegang kendali semuanya? "Ayo kang masuk," ujarnya mempersilahkan. Aku mengangguk, mendorong motor butut bapak ini memasuki area peternakan semakin dalam, diikuti Jingga yang sudah selesai menutup pintu gerbang. "Kang, motornya biar di simpan di sini saja ya, kita ke sananya naik sepeda aja" ujarnya menunjuk ke area parkir yang ternyata ada beberapa sepeda motor dan sep

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-21
  • Istriku Seorang Juragan    Oh pantesan

    Byur!Tengah malam begini, akhirnya aku terpaksa membersihkan tubuh setelah dirasa cukup membantu Jingga di kandang sapi itu. Air tengah malam terasa begitu dingin, di tambah semilir angin malam yang terasa begitu kencang membuat ku ingin cepat-cepat segera mengakhiri ritual ini. Tapi tunggu, sedari tadi aku mandi mataku tak pernah berhenti mencari-cari sabun mandi di sini. Nampak hanya satu sikat gigi dan odol bertengger di tempat sabun itu, lalu tadi dia mandi pake apa? Apa cuma air saja?"JINGGA!" aku berteriak cukup kencang, sudah terlalu lama di kamar mandi nanti bisa-bisa tubuhku membeku karena ke dinginan. "Kenapa kang? Teh Jingga udah balik lagi ke kandang," sahut Mail. "Sabun mandi habis il?" tanyaku setengah berteriak. "Aduh kang, lupa. Disini kalau mandi gak pake sabun mandi, biasanya pake daun dayang. Daun nya habis ya kang di pake teteh tadi kali ya" sahutnya.Ya salam, zaman sudah secanggih ini masih mandi pake daun? Pantesan aroma tubuh Jingga tak sedap selama ini.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-22
  • Istriku Seorang Juragan    perkara panggilan sayang

    Hari libur yang harusnya menyenangkan ini, berganti menjadi suram. Bagaimana tidak, sepagi ini saat aku hendak pulang ke rumah, mata ini tak sengaja melihat Jingga tengah asik membersihkan kandang kelinci bersama seorang lelaki yang seumuran dengan ku. Namanya Yudi. Mereka terlihat begitu akrab, saling membantu satu sama lain seperti karyawan dan majikan yang tengah kerja sama. Tapi, tunggu dulu. Gelagat Yudi agak aneh, ia terus saja mengikuti Jingga kemana pun bahkan ku lihat ia seperti tengah mencari perhatian pada istriku itu. Dari matanya sih terhilat tampan, tapi gak tau kalau maskernya di buka mungkin ketampanannya akan berkurang drastis, jauh berbeda dari aku yang akan tetap tampan bahkan lebih tampan darinya. "Yud, kamu tolong satuin si Moly sama si Mily. Kayaknya si Mily udah waktunya kawin" ujar Jingga yang ku dengar samar-samar. Lelaki itu mengangguk, ia membuka salah satu kandang kelinci dan mengambilnya. "Ini teh, lucu ya kaya teteh" ucap Yudi sambil memegang see

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-22
  • Istriku Seorang Juragan    perdebatan kecil

    Jingga tetaplah Jingga, meski mandi berjam-jam dengan sabun beraroma strawbery milikku tetap saja aroma tubuhnya menguar tidak sedap entah kenapa. Padahal mandinya juga baru selesai dua jam yang lalu. Aku misuh-misuh saat Jingga mendekati, emak sama bapak entah kemana sedari pulang tadi tak kelihatan batang hidungnya. "Kamu kenapa sih kang, kok kaya gak suka gitu dekat sama aku?" Jingga bertanya dengan raut wajah sedih saat aku menggeser dudukku dengan sangat jauh dari arahnya. Aku mengedikkan bahu sebagai jawaban, kedua netra ini terus fokus menatap layar kaca yang menampilkan serial naruto kesukaanku. "Kang," panggilnya lagi, namun kali ini ia menyerah tak lagi mendekatiku. Aku mendengus sebal, "apa sih? Lagi fokus juga" keluhku. "Akang dari tadi belum sarapan, minum juga Jingga gak lihat tadi. Mau dibikini menu sarapan apa?" tawarnya. Mendengar tawaran itu, bukannya senang jelas aku malah menolak dengan gelengan tegas. "Gak usah!" Ucapku sembari terus fokus menon

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-23
  • Istriku Seorang Juragan    perhatian Jingga

    Hachim ... Uhuk ... Uhuk ... Tengah malam begini, aku tidak berhenti bersin dan batu-batuk. Tubuhku rasanya remuk, udara malam bahkan terasa begitu menusuk hingga selimut tebal yang ku gunakan tak terasa di tubuh ini. Kepalaku rasanya cenat-cenut, perutku seolah tengah diobok-obok tak karuan. Hoek .. Ah, akhirnya keluar juga. Jingga yang tertidur di sebelahku rupanya kini sudah sigap membantu mengelap muntahan di selimut yang ku kenakan. "Ya allah akang, ini suhu tubuhnya tinggi sekali" samar ku dengar suara kepanikannya sembari memegang termometer yang entah kapan diletakam di ketiakku. Aku menoleh,"tolong ambilkan air hangat" pintaku lemas. Jingga mengangguk, segera ia menghilang dari pandanganku. Sembari menunggu, aku kembali hendak berbaring namun lilin aroma terapi yang kunyalakan rupanya sudah padam, alamat bahaya ini. Bisa-bisa sakitku tambah parah. Buru-buru aku terpaksa kembali bangun dan sege

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-23
  • Istriku Seorang Juragan    perhatian jingga 2

    Sudah seminggu ini aku terbaring di kamar dengan rasa sakit yang sudah mulai mereda. Kata dokter, aku terserang penyakit tipes yang mengharuskan aku mendapatkan perawatan yang tepat namun aku memilih untuk di rawat di rumah saja. Bukan apa, aku gak mau semua orang kesusahan karena sakit ku ini. Sudah seminggu ini pula, aku mendapatkan perhatian lebih dari Jingga. Ia begitu telaten merawat ku, hingga ia rela begadang demi menjagaku. Masalah emak sama bapak? Mereka jelas mengomeli, katanya aku tak pandai menjaga kesehatan, tak pandai menjaga pola makan dan tidur teratur padahal penyakit siapa yang tau datangnya kapan. Hari ini badanku sudah merasa mendingan, dan meminta Jingga untuk tidak perlu terlalu ketat menjagaku. Masalah aroma tubuhnya? Jelas aku masih terganggu, tapi tidak terlalu. Kini aromanya agak sedikit berkurang mungkin karena hidungku masih tersumbat kali ya, jadinya tidak terlalu menyengat di indra penciumanku. "Akang makan dulu ya buburnya

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24
  • Istriku Seorang Juragan    bertanggung jawab?

    Aku mendengus saat silau matahari pagi dari jendela kamar ini menganggu tidur damaiku. Perlahan kedua bola mata ini mengerjap, membuka dengan perlahan. Lagi, aku menghela nafas dama saat tak ku dapati bagian kasur sebelah kanan ini sudah kosong tak ada keberadaan sosok perempuan yang sudah seminggu lebih satu hari ini menemani dan setia merawatku. "Sudah jam sembilan rupanya," gumamku saat tak sengaja netra ini memandang jam dinding tepat di berhadapan denganku. Seketika sudut bibir ini membentuk lengkungan saat netra ini menangkap sebuah kertas kecil yang di tindih menggunakan kunci dengan gantungan boneka sapi . Biar ku tebak, pasti ulahnya Jingga yang akhir-akhir ini selalu saja memberiku pesan jika aku sudah tak mendapati dirinya ketika bangun pagi. To: Suami tersayangku From: Istri cantikmu. Kang, maaf. Jingga hari ini harus ke peternakan pagi-pagi sekali tanpa berpamitan terlebih dahulu. Jingga gak tega jika harus kembali membangunkan akang yang tertidur nyenyak, akang h

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-24
  • Istriku Seorang Juragan    2

    "Mak, ahmad butuh waktu. Semua butuh proses, gak bisa langsung jadi. Lagi pula setiap orang punya kekurangan mak" keluhku merasa terpojok dengan nasihat emak yang tiba-tiba ini. “Emak tahu, Kang, setiap orang punya kekurangan. Tapi itu bukan alasan untuk kamu terus-terusan malas!” jawab emak, nada suaranya masih penuh ketegasan. “Kalau gitu, kenapa emak tidak mengingatkan Jingga untuk lebih menjaga diri? Dia kan juga bisa berbenah,” jawabku dengan nada tak sabar. “Mad, bukannya itu yang seharusnya kamu lakukan sebagai suami? Menjadi teladan?” Emak menatapku tajam, seolah ingin menembus dinding ketidakpedulian ku. Aku mendengus, masih merasa terpojok. “Tapi kan aku sudah bilang, Ahmad bukan robot. Kita semua punya kebiasaan buruk.” "Mad, apa kamu tidak merasakan betapa jingga mencintaimu selama seminggu ini? Dia berjuang dan dengan sabar merawatmu dan apa ini?" tanya emak dengan menunjuk kunci motor yang masih berada di genggamanku. Aku terdiam tidak menjawab, emak merebut

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-25

Bab terbaru

  • Istriku Seorang Juragan    jangan nolak

    Mobil yang aku dan Jingga tumpangi sekarang, rasanya begitu nyaman dan wangi apel begitu mendominasi saat pintu kaca mobil sudah ku naikan sepenuhnya. Aku memutar kunci kontak, suara mesin mobil itu menyala halus, berbeda dengan kendaraan biasa yang Jingga pakai. Sambil menatap spion, aku bisa melihat Bapak dan Mail yang masih berdiri di depan rumah, mengangguk kecil seolah memberikan restu. Sementara itu di sampingku, Jingga hanya diam, matanya menatap keluar, wajahnya agak muram.Aku melajukan mobil itu perlahan meninggalkan halaman rumah. Jalanan di luar mulai ramai. "Tidur aja lagi, perjalanan masih panjang." Suruhku berusaha membuka percakapan saat mobil mewah ini sudah memasuki jalanan perkotaan. Jingga menoleh, "gak papa?" tanyanya dengan wajah berbinar. Aku mengangguk mantap. "Serius, tidur lagi aja biar badannya enakan. Perlu aku putarkan musik buat nemenin tidurnya?" tawarku.Jingga menggeleng pelan, meski ada senyum kecil yang muncul di bibirnya. "Gak usah, kang. Cukup

  • Istriku Seorang Juragan    Titip teteh ya, A.

    "Teh ... Teteh ... A ... Pak buka pintunyaaaa!" suara teriakan dari luar terdengar begitu nyaring saat aku dan Jingga hendak keluar dari kamar. "Sebentar il," seolah sudah hafal dengan suaranya bapak yang tengah bersantai dengan secangkir teh di ruang tamu, beranjak cepat menuju pintu utama. Aku dan Jingga saling pandang, mungkin sedikit bingung dengan keributan di luar. Mail, yang biasanya pendiam dan tidak banyak bicara, tiba-tiba berteriak begitu keras. Ini pasti ada sesuatu yang serius. Aku bisa merasakan perasaan Jingga yang mulai cemas, apalagi setelah segala hal yang sudah terjadi dalam beberapa hari ini. "Mail, kenapa teriak-teriak gitu?" terdengar suara Bapak yang sedikit kesal, namun tetap ada nada cemas di dalamnya. Aku bisa mendengar langkah kaki Mail yang terburu-buru, dan kemudian pintu terbuka dengan suara berderit."Pak, teteh sama a Ahmad belum berangkat kan?" Mail masuk dengan wajah serius, bola matanya berputar kesana kemari seolah sedang mencari sesuatu.Bapak y

  • Istriku Seorang Juragan    Harapan

    Jam di ponsel sudah menunjukkan pukul 8:15 pagi. Aku memandangi Jingga yang masih terlelap di sampingku, tubuhnya tertutup selimut tebal, napasnya yang tenang seolah melawan kegelisahan yang terus mengusik pikiranku.Aku menghela napas pelan, mengingat keputusan yang sudah kami buat beberapa jam yang lalu. Hari ini, kami akan menuju Jakarta. Semua yang telah kami persiapkan, baik itu mental maupun materi, terasa seperti sebuah perjalanan yang penuh ketidakpastian. Jakarta selalu memberikan harapan, tapi juga tak jarang menawarkan tantangan yang membuat siapa pun merasa tertekan. Dengan hati-hati aku duduk di tepi ranjang, menatap wajah Jingga yang masih terlelap. Ada rasa cemas yang menggelayuti pikiranku, tentang perjalanan yang akan kami tempuh, tentang masa depan kami di Jakarta, tentang segala hal yang belum sepenuhnya kami rencanakan. Aku tahu Jingga lelah, apalagi setelah semalam kami terlibat perdebatan panjang soal uang dan tempat tinggal. Tapi perjalanan ini harus dilakukan.

  • Istriku Seorang Juragan    Jangan kwras kepala!

    Setelah perdebatan semalam, akhirnya keputusan di buat subuh ini. Aku yang masih kekeh untuk tidak memakai uang Jingga nyatanya kalah juga. Uang ku tidak lebih banyak darinya dan aku akui itu. Tapi, sebagai laki-laki yang ingin menjadi suami yang bertanggung jawab aku memutuskan untuk memakai uangnya separuh dan separuh lagi memakai uangku. Itu sudah menjadi keputusan kami subuh ini, setelah beberapa kali membujukku dengan lembut."Fiks ya kang, kita patungan saja"Aku mendengus saat Jingga mengulang perkataannya. "Iya, tapi nanti pas gajian saya ganti ya,""Gak usah, lagi pula ini juga penyakit Jingga. Akang gak usah mikirin itu," tolaknya lagi untuk kesekian kalinya.Aku memandang Jingga yang duduk di sebelahku, wajahnya lembut dengan senyum tipis yang selalu berhasil menenangkan hatiku. Eh apaan, sejak kapan dia manis? Ayo sadar ahmad, Jingga itu perempuan biasa. Sama seperti yang lain!"Gak bisa gitu ya, kalau kamu nolak terus. Yaudah kita putuskan tinggal di rumah teh Ayu!" Anca

  • Istriku Seorang Juragan    Jangan egois kang!

    "pokoknya, teteh gak mau ya kalau kamu tinggal di rumah teteh sama istri kamu itu. Teteh gak mau sakit lagi, teteh kapok!"Aku mendengus kesal saat mendengar penolakan teh Ayu melalu sambungan telepon malam ini saat aku menghubungi mas Abi, untuk meminta pendapat tetang Jingga.Namun tiba-tiba suara teh Ayu, menggelegar terdengar sebuah ketidaksukaan di sana. Mungkin ia mendengar percakapan aku dan mas Abi yang meminta izin untuk sekalian menginap beberapa hari di rumahnya."Teteh jangan gitu dong. Ahmad ini adiknya teteh loh, kenapa teteh tega sekali?" tanyaku berusaha menahan emosi."Enggak ya mad. Kamu memang adik teteh, tapi untuk saat ini enggak. Kamu cari aja hotel atau apa kek, asal jangan di rumah teteh. Istri kamu itu bawa penyakit""Tega banget, awas ya teh kalau nanti teteh butuh bantuan sama ahmad. Ahmad gak akan bantu!" Ancamku berusaha untuk meluluhkan hatinya."Terserah kamu mad, yang jelas teteh gak mau ya kamu tinggal di sini. Nanti rumah teteh jadi bau, teteh gak suk

  • Istriku Seorang Juragan    Tapi saya suami kamu!

    Bagaimana pun sekarang aku sudah menjadi suaminya dan aku yang bertanggung jawab atasnya sepenuhnya. Setelah perbincanganku dengan dokter, aku menemui Jingga berbicara padanya sembari menguatkannya. Aku tau ini berat, tapi kalau tidak di tangani sekarang takutnya Jingga semakin menderita akibat bau badannya yang tak kunjung hilang. Cukup aku kesihan melihatnya menjadi bahan perbincangan warga kami. "Akang serius mau bawa jingga ke Jakarta setelah ini?" Jingga bertanya saat aku mengemas pakaiannya untuk segera bergegas pulang dari rumah sakit ini. Aku menoleh, menghentikan aktivitasku. "Iya, saya mau telpon mas Abimanyu dulu. Kita bicarain ini di rumah ya," aku menatap Jingga dengan penuh keyakinan, berusaha memberi semangat padanya. Dalam matanya, aku melihat keraguan yang dalam. Itu wajar, tentu saja. Namun, aku tidak bisa membiarkan Jingga terpuruk lebih lama. Masalah ini harus segera ditangani, dan Jakarta adalah langkah terbaik untuknya."Akang... tapi, aku takut," suara Jingga

  • Istriku Seorang Juragan    Terus akunya enggak?

    "Dan aku akan selalu di sini, Jingga. Nggak peduli apa pun yang terjadi,"Ucapan terakhirku pada Jingga, masih terngiang-ngiang di benakku. Ada rasa penyesalan di setiap kepingan ingatan itu. Sungguh itu aku? Kok bisa seorang Ahmad bisa berbicara seperti itu pada seorang perempuan yang bahkan tak aku cintai sama sekali. Mungkinkah karena aku kesihan padanya? Tapi entah mengapa setelah mengatakan hal itu ada rasa lega dihati, disamping penyesalan itu.Ah, sudahlah. Bukankah tujuanku menikah bukan untuk bercerai? Mungkin ini sebuah langkah awal dalam hubungan kami, setidaknya aku sedang belajar mencintainya.Dan hari ini, hari kedua Jingga berada di rumah sakit. Demamnya sudan turun, dokter juga sudah mengizinkan kami untuk pulang, tapi aku memaksa dokter untuk memeriksanya lebih lanjut lagi. Aku ingin tau, penyebab bau badannya yang sedari ramaja itu apa? Kok bisa baunya tak kunjung hilang, dan begitu menyengat, berbeda dengan manusia normal lainnya.Dokter menatapku dengan cermat, sea

  • Istriku Seorang Juragan    Akan terus bersama

    Pov JinggaPagi ini badanku rasanya seperti terasa sangat berat, terutama di bagian perut seperti ada yang melilit erat. Sesak. Mungkin ini akibat asam lambungku naik kembali, selain demam yang tinggi ternyata setelah di observasi rupanya aku memiliki riwayat asam lambung yang kronis selain itu, entah apa lagi yang dibicarakan dokter sama kang ahmad kemarin. Katanya aku butuh pemeriksaan lebih lanjut agar riwayat penyakitku yang lain bisa di ketahui, termasuk bau badanku yang baru ku sadari setelah tak sengaja mendengar percakapan teh Ayu dengan sahabat kecilnya kang Ahmad, siapa lagi kalau bukan Sinta dan ku rasa perempuan itu mencintai suamiku.Tunggu, ini yang berat dan melilit di perutku rasanya bukan berasal dari asam lambung deh. Rasanya beda, ini seperti ...Hupt...Aku terkejut saat meraba-raba dan ku rasakan sebuah tangan melingkar di perutku. Tangan siapa? Tak mungkin tangan Mail sebesar ini dan berbulu.Melawan rasa penasaran, ku cubit saja dengan kencang tangan lancang yan

  • Istriku Seorang Juragan    Apakah memang benar-benar tulus?

    *Pov Juragan Jingga*Malam semakin sunyi, semakin sepi. Bahkan diantara kantuk dan beratnya mata terbuka, aku merasakan sesuatu di keningku, basah tapi juga tidak hangat selain itu perutku terasa berat seperti ada sesuatu yang menindih perutku.Ku buka mata yang masih benar-benar berat dan menemukan wajah seseorang diantara remang pencahayaan lampu tidur.Bibirku menarik seulas senyum saat menemukan see seseorang tertidur di sisi ranjang pesakitan dengan melingkar di perutku seolah ia tengah memelukku."Saya tulus, jangan terlalu berpikiran negatif mulu. Udah makan lagi, mumpung saya baik. Ingat, saya tulus!"Jujur saja, kata-kanya tadi siang selalu terngiang-ngiang di pikiranku. Benarkah apa yang diucapkannya memang tulus? Bahkan aku tak paham dengan perubahannya kini yang begitu peduli padaku. Agak aneh, biasanya juga kalau ia peduli itu ada maunya saja itu pun gak sampai meluk dan rela berkorban apa pun.Ini? Dia bahkan mencium bibirku. Kami berciuman tadi. Eh, benarkah itu? Aku te

DMCA.com Protection Status