"Emang harus malam ini juga, Jing?" Aku bertanya dengan keluhan saat Jingga meminta izin setengah memaksa untuk mengantarkannya ke peternakan di ujung desa miliknya.
"Iya, kang. Memang harus malam ini juga. Si Jejen mau ngelahirin, takutnya gak ada yang bantuin. Kata si mamang perkiraannya hari ini, dia gak bisa bantu. Malas katanya, sementara karyawanku lagi demam"
"Yaudah atuh kalau mau ngelahirin mah dibawa ke rumah sakit biar di bantu bidan, bukan malah kamu yang bantu. Emang kamu lulusan bidan juga?" Aku bertanya dengan agak sedikit terbahak.
Ini si Jingga apa-apaan ya, masa iya dia mau bantuin orang lahiran. Aneh banget perasaan.
"Eh si akang, ayo ah cepat kang. Kita pinjam motor butut bapak aja ya biar cepat. Kalau pake sepeda tua nanti keburu gak ketulungan" pintanya santai.
Lah, itu enteng banget mulu. Motor butut katanya? Masih mulus gitu, cuma kerangkanya emang sengaja dilepas kan buat bawa rumput yang sehabis di sabit di gunung. Biar gak capek.
"Iya, bentar ya akang pake jaket dulu. Kamu duluan minta izin sama bapak dan emak" titahku.
Jingga mengangguk, ia duluan bergegas keluar kamar. Aku menghembuskan napas lega, setidaknya malam ini masih aman. Keperjakaan ku masih belum terlepas.
"Alhamdulillah," syukurku dengan penuh senyum keluar dari kamar, bergegas menghampiri Jingga yang sudah di luar rumah.
Terdengar suara bapak dan emak tengah asik berbincang bersama Jingga. Aku segera keluar menghampiri.
"Mad, motor bapak kayaknya bensinnya mau abis. Nanti isi dulu ya di warung mang parman,"
Yeh, si bapak kebiasaan kalau di pinjamin motor pasti bensinnya tinggal sedikit, entah itu di sengaja atau emang kebetulan yang jelas kalau aku kepepet pinjam motornya pasti bensinnya tinggal sedikit saja.
"Udah tau aku pak, iya nanti diisi in. Bapak tenang aja," jawabku malas.
"Mad, hati-hati ya katanya jalan menuju sana angker. Bi wati yang cerita katanya banyak nyai-nyai berkeliaran" pesan Emak.
Alah si emak ada-ada saja, mana ada malam-malam gini si nyai berkeliaran palingan juga udah pada molor di rumahnya masing-masing. "Iya mak iya,"
"Mak, pak kami pergi dulu ya. Maaf ini mendadak banget soalnya. Kami juga buru-buru, doain ya mak pak" pamit Jingga takzim dengan menyalami kedua tangan orang tuaku.
Aku juga mengikutinya. "Assalamualaikum mak," seru kami sebelum benar-benar kami.
"Waalaikumsalam," jawab mereka kompak.
Akhirnya kami pun memulai perjalanan ini melewati beberapa perkampungan.
"Kang, katanya bensinnya mau habis. Isiin dulu atuh biar nanti Jingga yang bayar," ujar Jingga ditengah-tengah perjalanan.
Aku menggeleng, "gak usah, Jing. Ini alasan si bapak aja biar akang ganti uang bensinnya. Lagi pula ini masih banyak kok, aman" seruku setengah berteriak takutnya suara merdu ini kesilep dengan riuhnya angin malam ini.
Sepanjang perjalanan tidak ada obrolan yang berarti, kami lebih banyak diam dengan pemikiran masing-masing sembari menikmati semilir angin malam ini.
Hingga ...
"AKANG, ITU APA?!"
aku tersentak kaget saat Jingga berteriak ketakutan, tangannya refleks memelukku begitu erat.
"Kamu kenapa? Ini akangnya jangan dipeluk seerat ini, sesak. Nanti motornya oleng," protesku menghentikan motor yang ku kendarai ini di pinggir jalan.
"Akang, ayo cepat jalan aja. Kenapa harus berhenti?" tanyanya.
Aku menoleh, melihat wajah Jingga yang berubah pucat dibawah temaram lampu jalanan.
"Kamu kenapa sih Jing, malah kaya orang ketakutan." Keluhku.
"Ayo kang jalan lagi, Jingga gak mau lama-lama disini."
"Kenapa kamu, takut?" tanyaku curiga.
"Iya, tempatnya sepi banget. Ayo atuh kang, jalan lagi" pinta Jingga dengan tangan gemetar memaksaku agar segera bergegas pergi.
Aku menatap Jingga yang masih gemetar sambil berusaha menenangkan dirinya. Kami baru saja melanjutkan perjalanan melewati hutan yang gelap. Tiba-tiba, di antara pepohonan, samar-samar aku melihat sosok putih melayang, namun aku berusaha setenang mungkin agar Jingga tidak terlalu ketakutan.
"AKANG, ITU APA?!" teriak Jingga sambil merapatkan tubuhnya ke sampingku, membuat motor kami hampir oleng.
Ya salam, baru juga pelukan itu terlepas ini malah kembali kurasakan tangan Jingga melingkar di perutku dengan keadaan gemetar. Bisa ku rasakan degup jantungnya begitu berdetak cepat.
Aku menoleh dan melihat sosok putih itu mendekat dengan gerakan lambat. "Ck. Kamu bisa tenang gak? Itu bisa jadi hanya ilusi kamu"
"Ilusi apaan kang, yang jelas itu beneran. Emang akan gak takut?" tanyanya saat sosok putih itu semakin mendekat kearah kami.
Apa katanya? Aku gak takut? Jelaslah aku juga manusia biasa yang punya rasa takut tapi perasaan itu tidak lebih besar dengan kekesalanku terhadap Jingga yang dengan lancang memeluk erat tubuh ini. Kalau sudah dipeluk gini, alamat mandi lagi.
"Akang, gimana ini dia semakin mendekat" keluh Jingga.
Seketika keringat dingin keluar dari tubuhku, kedua tanganku bergetar hebat saat sosok kuntilanak itu akhirnya berhenti di depan kami, melayang-layang dengan tatapan kosong.
"Jangan ambil saya, kang ahmad saja. Saya masih banyak tanggung jawab, harta saya banyak masih belum saya habiskan"
Ditengah ketakutan, aku menghela nafas berat. Bisa-bisa dia menyombongkan diri pada mahluk halus seperti ini. Hah, orang kaya mah bebas kali ya.
"Ambil saja dia, gak usah aku. Dia hartanya banyak, biar nanti kamu gak perlu lagi bekerja untuk nakut-nakutin orang!" kesalku.
"Akang ih ..." Protesnya dengan mencubit pinggangku.
Sosok kuntilanak itu melayang mendekat dengan tatapan kosong. Aku bisa merasakan Jingga yang semakin ketakutan, dan jari-jariku bergetar menahan kemarahan dan ketegangan. Namun, tiba-tiba, sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Saat kuntilanak semakin mendekat ke arah kami, tiba-tiba ia berhenti sejenak. Sosok itu terbatuk-batuk dengan suara serak dan tidak nyaman, sambil menutup hidungnya dengan tangan putihnya yang transparan.
"Ugh... bau apa ini?" suara kuntilanak itu terdengar terganggu, dengan ekspresi wajah yang menunjukkan ketidaknyamanan.
Aku tercengang, hampir tidak percaya dengan apa yang kulihat. Jingga, yang pada awalnya memelukku dengan panik, tampak bingung melihat reaksi sosok tersebut. "Akang, kenapa dia kayak gitu?"
Kuntilanak itu terus-terusan batuk, seolah berjuang untuk menahan bau yang sangat tidak sedap. "Bujubuneng, sudah berapa tahun dia tidak mandi?" ucapnya dengan nada mengeluh, matanya menutup sejenak dan menghirup udara dengan sulit. "Aku tidak bisa... tahan bau ini."
Aku merasakan campuran antara lega dan geli. "Jingga, mungkin ada baiknya kamu mulai menjaga kebersihan," kataku, sambil mencoba menahan tawa melihat kuntilanak yang tampaknya sangat terganggu.
Sementara itu, kuntilanak melayang mundur dengan cepat, seolah terpaksa menjauh dari aroma yang menyengat. "Kalian... pergi saja dari sini!" sosok itu berteriak, suara tidak teratur dan penuh kemarahan.
Jingga, yang masih ketakutan, akhirnya melepaskan pelukan dan memandangku dengan sedikit malu. "Akang, maksud nyi kunti itu apa? Siapa yang tidak mandi bertahun-tahun?" tanyanya masih dengan nada kebingungan.
"Ayo, kita pergi sekarang sebelum ada masalah lagi," kataku, mulai menghidupkan motor dan melaju meninggalkan tempat tersebut enggan menjawab pertanyaannya. Jika nanti ku jawab dengan jujur, apa tidak sakit hatinya? Ah aku masih memiliki hati untuk tidak menyakitinya.
Jingga, seandainya kamu sadar mungkin ucapan mahluk halus tadi membuatmu tersinggung tapi apalah daya kamu emang sepolos itu ternyata padahal mahluk halus sepertinya juga tidak tahan dengan aroma tubuhmu. Arghh
Aku tercengang ketika kami sudah mulai mendekati gerbang kompleks peternakan milik Jingga, nampak pintu gerbang berbahan besi itu menjulang tinggi diatasnya tertulis nama Jingga's Farm, sekelilingnya tembok kokoh menjulang dengan ram kawat anti maling diatasnya. Ah, semewah ini rupanya. Pantesan saja julukan juragan Jingga tersemat di namanya."Bentar ya kang, aku buka dulu kuncinya" ujarnya turun dari motor tanpa menunggu persetujuanku. Aku mengangguk, memperhatikan bagaimana gerbang semewah dan sekokoh itu hendak dibukanya. Apakah kompleks peternakan semewah ini tidak memiliki security? Kenapa harus Jingga yang memegang kendali semuanya? "Ayo kang masuk," ujarnya mempersilahkan. Aku mengangguk, mendorong motor butut bapak ini memasuki area peternakan semakin dalam, diikuti Jingga yang sudah selesai menutup pintu gerbang. "Kang, motornya biar di simpan di sini saja ya, kita ke sananya naik sepeda aja" ujarnya menunjuk ke area parkir yang ternyata ada beberapa sepeda motor dan sep
Byur!Tengah malam begini, akhirnya aku terpaksa membersihkan tubuh setelah dirasa cukup membantu Jingga di kandang sapi itu. Air tengah malam terasa begitu dingin, di tambah semilir angin malam yang terasa begitu kencang membuat ku ingin cepat-cepat segera mengakhiri ritual ini. Tapi tunggu, sedari tadi aku mandi mataku tak pernah berhenti mencari-cari sabun mandi di sini. Nampak hanya satu sikat gigi dan odol bertengger di tempat sabun itu, lalu tadi dia mandi pake apa? Apa cuma air saja?"JINGGA!" aku berteriak cukup kencang, sudah terlalu lama di kamar mandi nanti bisa-bisa tubuhku membeku karena ke dinginan. "Kenapa kang? Teh Jingga udah balik lagi ke kandang," sahut Mail. "Sabun mandi habis il?" tanyaku setengah berteriak. "Aduh kang, lupa. Disini kalau mandi gak pake sabun mandi, biasanya pake daun dayang. Daun nya habis ya kang di pake teteh tadi kali ya" sahutnya.Ya salam, zaman sudah secanggih ini masih mandi pake daun? Pantesan aroma tubuh Jingga tak sedap selama ini.
Hari libur yang harusnya menyenangkan ini, berganti menjadi suram. Bagaimana tidak, sepagi ini saat aku hendak pulang ke rumah, mata ini tak sengaja melihat Jingga tengah asik membersihkan kandang kelinci bersama seorang lelaki yang seumuran dengan ku. Namanya Yudi. Mereka terlihat begitu akrab, saling membantu satu sama lain seperti karyawan dan majikan yang tengah kerja sama. Tapi, tunggu dulu. Gelagat Yudi agak aneh, ia terus saja mengikuti Jingga kemana pun bahkan ku lihat ia seperti tengah mencari perhatian pada istriku itu. Dari matanya sih terhilat tampan, tapi gak tau kalau maskernya di buka mungkin ketampanannya akan berkurang drastis, jauh berbeda dari aku yang akan tetap tampan bahkan lebih tampan darinya. "Yud, kamu tolong satuin si Moly sama si Mily. Kayaknya si Mily udah waktunya kawin" ujar Jingga yang ku dengar samar-samar. Lelaki itu mengangguk, ia membuka salah satu kandang kelinci dan mengambilnya. "Ini teh, lucu ya kaya teteh" ucap Yudi sambil memegang see
Jingga tetaplah Jingga, meski mandi berjam-jam dengan sabun beraroma strawbery milikku tetap saja aroma tubuhnya menguar tidak sedap entah kenapa. Padahal mandinya juga baru selesai dua jam yang lalu. Aku misuh-misuh saat Jingga mendekati, emak sama bapak entah kemana sedari pulang tadi tak kelihatan batang hidungnya. "Kamu kenapa sih kang, kok kaya gak suka gitu dekat sama aku?" Jingga bertanya dengan raut wajah sedih saat aku menggeser dudukku dengan sangat jauh dari arahnya. Aku mengedikkan bahu sebagai jawaban, kedua netra ini terus fokus menatap layar kaca yang menampilkan serial naruto kesukaanku. "Kang," panggilnya lagi, namun kali ini ia menyerah tak lagi mendekatiku. Aku mendengus sebal, "apa sih? Lagi fokus juga" keluhku. "Akang dari tadi belum sarapan, minum juga Jingga gak lihat tadi. Mau dibikini menu sarapan apa?" tawarnya. Mendengar tawaran itu, bukannya senang jelas aku malah menolak dengan gelengan tegas. "Gak usah!" Ucapku sembari terus fokus menon
Hachim ... Uhuk ... Uhuk ... Tengah malam begini, aku tidak berhenti bersin dan batu-batuk. Tubuhku rasanya remuk, udara malam bahkan terasa begitu menusuk hingga selimut tebal yang ku gunakan tak terasa di tubuh ini. Kepalaku rasanya cenat-cenut, perutku seolah tengah diobok-obok tak karuan. Hoek .. Ah, akhirnya keluar juga. Jingga yang tertidur di sebelahku rupanya kini sudah sigap membantu mengelap muntahan di selimut yang ku kenakan. "Ya allah akang, ini suhu tubuhnya tinggi sekali" samar ku dengar suara kepanikannya sembari memegang termometer yang entah kapan diletakam di ketiakku. Aku menoleh,"tolong ambilkan air hangat" pintaku lemas. Jingga mengangguk, segera ia menghilang dari pandanganku. Sembari menunggu, aku kembali hendak berbaring namun lilin aroma terapi yang kunyalakan rupanya sudah padam, alamat bahaya ini. Bisa-bisa sakitku tambah parah. Buru-buru aku terpaksa kembali bangun dan sege
"Akang, habis ini kita mau bulan madu kemana? Gak papa kang, sebagai ungkapan syukur, semua biaya biar Jingga yang tanggung" .Glek.Aku berusaha menelan saliva susah payah saat Jingga yang tengah menghapus make up sehabis resepsi ini berujar dengan menatapku dari pantulan cerminnya."Bulan madu?" Aku bertanya dengan mengerutkan kening, berpikir lebih jauh. Ah, boro-boro bulan madu, untuk menyentuhnya saja aku belum berani."Iya bulan madu, kang Ahmad mau kan bulan madu?" ujarnya beranjak mendekatiku yang tengah duduk ditepi ranjang dengan memainkan ponsel ditangan.Semakin Jingga mendekat, aku berusaha menahan napas. Bukan karna grogi, tapi karena indra penciumanku begitu peka dengan aroma tubuh gadis itu. Cukup agak bau, mungkin karena selama ini kehidupan Jingga tidak luput dari aktivitas peternakannya, jadi aroma tubuhnya agak sedikit berbeda dari kebanyakan wanita yang aku kenal."Kang, kenapa diam aja?" Ia bertanya seraya duduk di sampingku."Boro-boro bulan madu, dekat dengan k
Jangan menyesali apa yang terjadi, itu semua sudah menjadi takdirmu. Apa yang menurutmu baik, belum tentu menurut Allah baik begitu pun sebaliknya.***Kedua netraku mengerjap-ngerjap saat cahaya silau menyembur menyerang indra penglihatanku. Perlahan-lahan netra ini terbuka, nampak seorang gadis berdiri berkacak pinggang disampingku.Aku tersenyum, sejak kapan bidadari ini datang kehadapanku? Apa aku masih terhanyut dalam mimpi. Tapi tunggu, bidadari secantik ini mengapa aromanya terasa berbeda? Agak sedikit aneh."Kang, jangan senyum-senyum. Jingga marah sama akang, subuh akang telat, malam pertama juga enggak!" seketika aku tersadar mendengar suara cempreng yang keluar dari mulut itu.Alamak ... Ini hari pertama aku menjadi suami tapi malah sudah ada pertengkaran. Tapi, ah bodo amat. Lagi pula aku tidak menyukainya."Malah diam lagi, akang mandi sana. Shalat subuh, gak papa kaya shalat dhuha juga daripada enggak" tegurnya menyingkap selimut yang menutupi tubuhku. Aku menghela nafa
Hari libur yang harusnya menyenangkan ini, berganti menjadi suram. Sarapan pagi yang biasanya terasa begitu nikmat, malah kini tak berselera saat aku melihat emak yang begitu asik menghidangkan semua makanan kesukaanku pada gadis yang baru ku bawa tadi. Air muka Emak sama Jingga rupanya tidak jauh berbeda, sama-sama berseri seakan tengah berbahagia padahal apa yang sedang mereka bahagiakan? Baru saja bertemu dan semeja makan untuk sarapan bersama? Ah, tentu tidak mungkin. Asal kalian tau, mereka sering bertemu diladang."Mak, nanti Jingga mau belajar bikin sambal kaya gini. Seriusan ini enak banget," Jingga berucap dengan tangannya mengelap keringat, aku bergidik ngeri melihat butir-butir keringatnya yang nampak sebesar biji jagung. Sudah ku pastikan aroma parfum vanilaku tadi kini sudah bercampur dengan keringatnya. Ah, sebau apa nantinya. "Tenang aja neng, jangankan buat sambal yang gampang kaya gini. Buat rendang, opor ayam sama semur jengkol juga akan emak ajarin. Tenang, kamu k