Aku menelan saliva susan payah saat kaki jenjang ini sudah mendekati pintu kamar. Kecepatan melangkah mendadak berubah perlahan, ya allah kuatkan indra penciumanku.
Clek.
Knop pintu ku putar dengan pelan, nampak Jingga tengah terduduk di depan meja rias dengan membelakangiku."Assalamualaikum," ujarku berusaha menahan nafas, aromanya sudah tercium khas sebelum aku mendekat.
Buru-buru aku mengoleskan sedikit balsem beraroma mint ke bawah hidung yang ku bawa di saku celanaku sebelum Jingga menoleh.
"Akang sudah pulang?" Basa-basinya yang terdengar begitu basi ditelinga ini.
"Iya, aku mau mandi" ujarku seraya cepat menyambar handuk yang menggantung di kastok samping pintu kamar mandi, sementara tas yang ku bawa kerja itu sudah terlepas di samping meja belajar.
Jingga mengangguk, "Jingga buatin teh ya," ujarnya sebelum aku benar-benar menghilang ke kamar mandi.
"Jangan lupa ya lilin aroma terapinya di nyalain" ujarku.
Jingga tersenyum, wajah memerah entah kenapa. "Iya kang, yasudah akang mandinya jangan lama ya. Jingga tunggu,"
"Iya," ketusku berlalu ke kamar mandi.
Apa katanya? Mandinya jangan lama? Bagaimana mau bersih kalau mandinya tidak lama? Asal kalian tau, aku tipikal orang yang mandinya kalau gak sampai setengah jam rasanya belum bersih.
Seusai membersihkan tubuh, aku keluar dengan balutan handuk yang menutupi area pinggang ke bawah. Lupa, tadi gak sekalian bawa baju ganti gara-gara gadis itu.
Mataku seketika terpejam menghirup udara dalam-dalam, tidak biasanya lilin terapi yang selalu ku gunakan menguarkan wangi yang khas dengan begitu menyengat. Aroma tubuh istriku juga tidak mendominasi.
"Akang ..." Panggilan menggoda seketika menyadarkanku.
Mataku terbuka lebar, mulut ini menganga saat melihat ke arah suara.
"Udah selesai mandinya?" tanyanya mendekat.
Seketika kakiku refleks memundurkan langkah, pandanganku teredar melihat sekeliling kamar yang agak berbeda. Aroma lilin terapi koleksiku ternyata sudah dinyalakan semua. Semua! Bukan hanya satu, pantesan wanginya begitu menyengat.
Jingga tersenyum begitu manis, berjalan semakin mendekat. Tubuh rampingnya kini terbalut gaun transparan berwarna merah menyala, rambut sebahunya dibiarkan tergerai.
"Kamu ngap-" seketika lidahku kelu. Tidak! Mataku sekarang sudah ternoda.
"Jingga sudah siap kang, lilin aroma terapi yang akang minta juga sudah aku nyalakan semua." Ujarnya.
Aku tersentak, bersandar pada tembok dingin saat Jingga semakin mendekat.
"Sebentar, maksud kamu?" tanyaku berusaha untuk menahan diri agar tidak tergoda dengan tubuh seksinya.
Jingga tersenyum, "akanh kalau mau minta jatah gak usah oake kode buat aku nyalain lilin arom terapi. Jingga sudah menjadi istrimu, milikmu yang bisa kapan saja kamu ..."
"Tunggu," selaku.
Alamaaa, ternyata dia salah paham. Aku menyuruh menyalakannya bukan untuk meminta hak ku, tapi untuk menyelamatkan indra penciumanku. Tapi sejak kapan lilin aroma terapi sebagai teman untuk ... hubungan suami istri?
"Kenapa kang, wajahnya kok tegang gitu?" tanya Jingga.
"Kamu duduk dulu di ranjang sana, akang mau dibaju dulu."
"Loh, gak usah atuh kang. Ngapain, kan ujung-ujungnya ..."
Aku mendelik sebal, sungguh gadis dihadapanku ini begitu liar. Apa jangan-jangan dia sudah menahan hasratnya selama ini? Ah tidak, ini sungguh mimpi buruk.
"Aku tidak meminta hakku jingga. Aku hanya meminta kamu menyalakan lilin, itu saja. Lagi pula ini masih sore, sebentar lagi memasuki adzan magrib" jelasku kesal.
Seketika raut wajahnya berubah menjadi sendu. "Maaf kang, Jingga pikir. Tapi gak papa kok, Jingga udah siap kang kalau akang mau"
Aku panas dingin mendengar penawarannya, laki-laki normal yang tahan dengan godaan perempuan apalagi dia dengan suka rela menawarkannya. Tapi, mengingat aroma tubuhnya seketika membuatku lemas.
"Ini masih sore Jingga" ujarku dengan jari telunjuk mendorong keningnya yang sontak membuat tubuh Jingga mundur dengan pelan.
Ah, ini kesempatanku untuk kabur.
"Gak papa atuh kang, sore-sore juga." protesnya.
Aku bergegas menuju lemari pakaian. Segera memakaikan kaus putih dan celana pendek dihadapannya. Bodo amat, aku tidak malu sama sekali terhadapnya.
"Waktunya sedikit!" ketusku mencari-cari alasan.
"Oh, yaudah nanti malam aja ya kang. Biar nanti malam jadi malam pertama kita, Jingga yakin akang akan puas dengan servisan Jingga"
"Terserah," putusku lemas.
Jingga bersorak senang,"akang mau makan apa malam ini? Biar Jingga yang siapin"
"Gak usah, emak sudah masakkan? Biar saya makan yang ada aja, ganti bajumu. Akang keluar ya mau temuin bapak, dari tadi belum kelihatan siapa tau ada kerjaan yang harus akang bantu" ujarku kembali beralasan, padahal aku tadi sudah bertemu bapak dan bapak tidak sedang mengerjakan sesuatu.
Aku melangkah keluar dari kamar dengan cepat, berusaha menghindari tatapan Jingga yang penuh harapan. Dengan langkah cepat aku menuju ruang tamu, menghela napas panjang. Kejadian barusan membuatku merasa seperti terjebak dalam situasi yang tak terduga. Aku berusaha menenangkan diri dan menyusun rencana untuk malam nanti.
***
Malam ini hatiku begitu resah tat kala mengingat permintaan Jingga tadi sore. Ya salam, apa aku harus melepaskan keperjakaan ini pada gadis yang bau itu? Apa nanti tubuhku bakalan sepertinya? Ah, tidak ... Aku belum rela.Beberapa kali aku melihat Jingga yang tengah menunggu dengan fokus memainkan ponsel, mungkin tengah membalas beberapa pesan disana. Sementara aku masih sibuk duduk di meja belajar ditemani laptop tua untuk menyiapkan bahan ajar besok pagi.
Sudah jam setengah sepuluh tapi ia masih setia duduk setengah berbaring dengan mata begitu fokus dengan ponsel di gengamannya yang berlogo apel setengah habis di gigit itu. Ekspresinya nampak muram entah apa yang terjadi, apa dia bete menungguku begitu lama?
"Huh," terdengar hembusan napas kasar keluar dari mulutnya entah kenapa.
"Kang, masih lama tidak?"
Deg.
Jantung kembali berdetak tak karuan, menoleh kearahnya yang tengah misuh-misuh disana.
"Sebentar lagi Jing, kenapa?" Aku berusaha menjawab setenang mungkin.
"Kang, aku mau izin"
Glek.
Aku menelan saliva susah payah saat mendengar penuturan Jingga. Apa gadis itu tengah meminta izin agar aku segera mempercepat pekerjaanku biar malam pertama kami cepat-cepat dilaksanakan?"Izin apa, Jing?" tanyaku gemetar.
Jingga tak segera menjawab, ia malah beranjak menuju lemari. Dibukanya lemari tersebut, telunjuknya menunjuk ke sisi kanan dan kiri dari dalam lemari tersebut. Biar ku tebak, apa ia akan berganti pakaian sekarang? Apa ia tengah memilih lingerie mana yang cocok untuknya malam ini?
Ah, mengapa gadis itu masih belum menyerah sih. Jujur saja, malam ini aku masih belum siap untuk memenuhi kewajibanku terhadapnya. Tolong ya allah, kasih kesempatan sekali saja untuk aku bisa menyembuhkan aroma tubuhnya dulu sebelum kami benar-benar menjadi suami istri yang utuh. Aku mohon ya allah.
"Emang harus malam ini juga, Jing?" Aku bertanya dengan keluhan saat Jingga meminta izin setengah memaksa untuk mengantarkannya ke peternakan di ujung desa miliknya. "Iya, kang. Memang harus malam ini juga. Si Jejen mau ngelahirin, takutnya gak ada yang bantuin. Kata si mamang perkiraannya hari ini, dia gak bisa bantu. Malas katanya, sementara karyawanku lagi demam""Yaudah atuh kalau mau ngelahirin mah dibawa ke rumah sakit biar di bantu bidan, bukan malah kamu yang bantu. Emang kamu lulusan bidan juga?" Aku bertanya dengan agak sedikit terbahak. Ini si Jingga apa-apaan ya, masa iya dia mau bantuin orang lahiran. Aneh banget perasaan. "Eh si akang, ayo ah cepat kang. Kita pinjam motor butut bapak aja ya biar cepat. Kalau pake sepeda tua nanti keburu gak ketulungan" pintanya santai. Lah, itu enteng banget mulu. Motor butut katanya? Masih mulus gitu, cuma kerangkanya emang sengaja dilepas kan buat bawa rumput yang sehabis di sabit di gunung. Biar gak capek. "Iya, bentar ya akang p
Aku tercengang ketika kami sudah mulai mendekati gerbang kompleks peternakan milik Jingga, nampak pintu gerbang berbahan besi itu menjulang tinggi diatasnya tertulis nama Jingga's Farm, sekelilingnya tembok kokoh menjulang dengan ram kawat anti maling diatasnya. Ah, semewah ini rupanya. Pantesan saja julukan juragan Jingga tersemat di namanya."Bentar ya kang, aku buka dulu kuncinya" ujarnya turun dari motor tanpa menunggu persetujuanku. Aku mengangguk, memperhatikan bagaimana gerbang semewah dan sekokoh itu hendak dibukanya. Apakah kompleks peternakan semewah ini tidak memiliki security? Kenapa harus Jingga yang memegang kendali semuanya? "Ayo kang masuk," ujarnya mempersilahkan. Aku mengangguk, mendorong motor butut bapak ini memasuki area peternakan semakin dalam, diikuti Jingga yang sudah selesai menutup pintu gerbang. "Kang, motornya biar di simpan di sini saja ya, kita ke sananya naik sepeda aja" ujarnya menunjuk ke area parkir yang ternyata ada beberapa sepeda motor dan sep
Byur!Tengah malam begini, akhirnya aku terpaksa membersihkan tubuh setelah dirasa cukup membantu Jingga di kandang sapi itu. Air tengah malam terasa begitu dingin, di tambah semilir angin malam yang terasa begitu kencang membuat ku ingin cepat-cepat segera mengakhiri ritual ini. Tapi tunggu, sedari tadi aku mandi mataku tak pernah berhenti mencari-cari sabun mandi di sini. Nampak hanya satu sikat gigi dan odol bertengger di tempat sabun itu, lalu tadi dia mandi pake apa? Apa cuma air saja?"JINGGA!" aku berteriak cukup kencang, sudah terlalu lama di kamar mandi nanti bisa-bisa tubuhku membeku karena ke dinginan. "Kenapa kang? Teh Jingga udah balik lagi ke kandang," sahut Mail. "Sabun mandi habis il?" tanyaku setengah berteriak. "Aduh kang, lupa. Disini kalau mandi gak pake sabun mandi, biasanya pake daun dayang. Daun nya habis ya kang di pake teteh tadi kali ya" sahutnya.Ya salam, zaman sudah secanggih ini masih mandi pake daun? Pantesan aroma tubuh Jingga tak sedap selama ini.
Hari libur yang harusnya menyenangkan ini, berganti menjadi suram. Bagaimana tidak, sepagi ini saat aku hendak pulang ke rumah, mata ini tak sengaja melihat Jingga tengah asik membersihkan kandang kelinci bersama seorang lelaki yang seumuran dengan ku. Namanya Yudi. Mereka terlihat begitu akrab, saling membantu satu sama lain seperti karyawan dan majikan yang tengah kerja sama. Tapi, tunggu dulu. Gelagat Yudi agak aneh, ia terus saja mengikuti Jingga kemana pun bahkan ku lihat ia seperti tengah mencari perhatian pada istriku itu. Dari matanya sih terhilat tampan, tapi gak tau kalau maskernya di buka mungkin ketampanannya akan berkurang drastis, jauh berbeda dari aku yang akan tetap tampan bahkan lebih tampan darinya. "Yud, kamu tolong satuin si Moly sama si Mily. Kayaknya si Mily udah waktunya kawin" ujar Jingga yang ku dengar samar-samar. Lelaki itu mengangguk, ia membuka salah satu kandang kelinci dan mengambilnya. "Ini teh, lucu ya kaya teteh" ucap Yudi sambil memegang see
Jingga tetaplah Jingga, meski mandi berjam-jam dengan sabun beraroma strawbery milikku tetap saja aroma tubuhnya menguar tidak sedap entah kenapa. Padahal mandinya juga baru selesai dua jam yang lalu. Aku misuh-misuh saat Jingga mendekati, emak sama bapak entah kemana sedari pulang tadi tak kelihatan batang hidungnya. "Kamu kenapa sih kang, kok kaya gak suka gitu dekat sama aku?" Jingga bertanya dengan raut wajah sedih saat aku menggeser dudukku dengan sangat jauh dari arahnya. Aku mengedikkan bahu sebagai jawaban, kedua netra ini terus fokus menatap layar kaca yang menampilkan serial naruto kesukaanku. "Kang," panggilnya lagi, namun kali ini ia menyerah tak lagi mendekatiku. Aku mendengus sebal, "apa sih? Lagi fokus juga" keluhku. "Akang dari tadi belum sarapan, minum juga Jingga gak lihat tadi. Mau dibikini menu sarapan apa?" tawarnya. Mendengar tawaran itu, bukannya senang jelas aku malah menolak dengan gelengan tegas. "Gak usah!" Ucapku sembari terus fokus menon
Hachim ... Uhuk ... Uhuk ... Tengah malam begini, aku tidak berhenti bersin dan batu-batuk. Tubuhku rasanya remuk, udara malam bahkan terasa begitu menusuk hingga selimut tebal yang ku gunakan tak terasa di tubuh ini. Kepalaku rasanya cenat-cenut, perutku seolah tengah diobok-obok tak karuan. Hoek .. Ah, akhirnya keluar juga. Jingga yang tertidur di sebelahku rupanya kini sudah sigap membantu mengelap muntahan di selimut yang ku kenakan. "Ya allah akang, ini suhu tubuhnya tinggi sekali" samar ku dengar suara kepanikannya sembari memegang termometer yang entah kapan diletakam di ketiakku. Aku menoleh,"tolong ambilkan air hangat" pintaku lemas. Jingga mengangguk, segera ia menghilang dari pandanganku. Sembari menunggu, aku kembali hendak berbaring namun lilin aroma terapi yang kunyalakan rupanya sudah padam, alamat bahaya ini. Bisa-bisa sakitku tambah parah. Buru-buru aku terpaksa kembali bangun dan sege
"Akang, habis ini kita mau bulan madu kemana? Gak papa kang, sebagai ungkapan syukur, semua biaya biar Jingga yang tanggung" .Glek.Aku berusaha menelan saliva susah payah saat Jingga yang tengah menghapus make up sehabis resepsi ini berujar dengan menatapku dari pantulan cerminnya."Bulan madu?" Aku bertanya dengan mengerutkan kening, berpikir lebih jauh. Ah, boro-boro bulan madu, untuk menyentuhnya saja aku belum berani."Iya bulan madu, kang Ahmad mau kan bulan madu?" ujarnya beranjak mendekatiku yang tengah duduk ditepi ranjang dengan memainkan ponsel ditangan.Semakin Jingga mendekat, aku berusaha menahan napas. Bukan karna grogi, tapi karena indra penciumanku begitu peka dengan aroma tubuh gadis itu. Cukup agak bau, mungkin karena selama ini kehidupan Jingga tidak luput dari aktivitas peternakannya, jadi aroma tubuhnya agak sedikit berbeda dari kebanyakan wanita yang aku kenal."Kang, kenapa diam aja?" Ia bertanya seraya duduk di sampingku."Boro-boro bulan madu, dekat dengan k
Jangan menyesali apa yang terjadi, itu semua sudah menjadi takdirmu. Apa yang menurutmu baik, belum tentu menurut Allah baik begitu pun sebaliknya.***Kedua netraku mengerjap-ngerjap saat cahaya silau menyembur menyerang indra penglihatanku. Perlahan-lahan netra ini terbuka, nampak seorang gadis berdiri berkacak pinggang disampingku.Aku tersenyum, sejak kapan bidadari ini datang kehadapanku? Apa aku masih terhanyut dalam mimpi. Tapi tunggu, bidadari secantik ini mengapa aromanya terasa berbeda? Agak sedikit aneh."Kang, jangan senyum-senyum. Jingga marah sama akang, subuh akang telat, malam pertama juga enggak!" seketika aku tersadar mendengar suara cempreng yang keluar dari mulut itu.Alamak ... Ini hari pertama aku menjadi suami tapi malah sudah ada pertengkaran. Tapi, ah bodo amat. Lagi pula aku tidak menyukainya."Malah diam lagi, akang mandi sana. Shalat subuh, gak papa kaya shalat dhuha juga daripada enggak" tegurnya menyingkap selimut yang menutupi tubuhku. Aku menghela nafa