Hari libur yang harusnya menyenangkan ini, berganti menjadi suram. Sarapan pagi yang biasanya terasa begitu nikmat, malah kini tak berselera saat aku melihat emak yang begitu asik menghidangkan semua makanan kesukaanku pada gadis yang baru ku bawa tadi.
Air muka Emak sama Jingga rupanya tidak jauh berbeda, sama-sama berseri seakan tengah berbahagia padahal apa yang sedang mereka bahagiakan? Baru saja bertemu dan semeja makan untuk sarapan bersama? Ah, tentu tidak mungkin. Asal kalian tau, mereka sering bertemu diladang.
"Mak, nanti Jingga mau belajar bikin sambal kaya gini. Seriusan ini enak banget," Jingga berucap dengan tangannya mengelap keringat, aku bergidik ngeri melihat butir-butir keringatnya yang nampak sebesar biji jagung. Sudah ku pastikan aroma parfum vanilaku tadi kini sudah bercampur dengan keringatnya. Ah, sebau apa nantinya.
"Tenang aja neng, jangankan buat sambal yang gampang kaya gini. Buat rendang, opor ayam sama semur jengkol juga akan emak ajarin. Tenang, kamu kan putri emak sekarng. Masakan yang paling enak yang pernah emak buat juga bakalan emak turunin resepnya ke kamu. Biar nanti si Ahmad gak makan di luar" jawab Emak penuh semangat, mengabaikan kenyataan bahwa wajahku kini memucat mendengar semua itu.
"Gak usah mak!" refleks aku menjawab dengan setengah berteriak.
Bayangkan saja, makanan kesukaanku bercampur dengan aroma keringat Jingga nantinya. Ini jelas bencana kuliner.
Melihat reaksiku, Emak dan Jingga saling bertukar tatapan penuh kebingungan. "Kenapa kang, akang gak suka Jingga masakin?" tanyanya dengan raut wajah penuh kesedihan yang sangat dramatis. Alah, akting itu pasti.
"Apa ari kamu Ahmad? Orang mah enak dimasakin sama istri, ini malah gak mau. Iya, masakan emak emang paling enak, tapi nanti masakan istri kamu bakalan yang paling enak. Emak pastiin itu," kata Emak sambil mengulurkan tangannya untuk mengambil mendoan yang hendak ku makan. Aku merasa seperti pahlawan yang kalah perang, tak bisa melawan keputusan emak..
"Ini buat neng Jingga, kamu makan yang lain" tegurnya dengan nada penuh perintah tanpa merasa bersalah.
Alamaa, ini ibu siapa sih sebenarnya? Padahal itu mendoang kesukaan ku banget. Mak, tolonglah kesihan anakmu ini.
"Udah kamu mah makan bala-bala aja, emak mu lagi senang punya anggota keluarga baru. Jangan di ganggu," Bapak yang sedari tadi makan dengan tenang menegur dengan kekehan sembari memberikan satu buah bala-bala kepiringku.
"Pak," mataku berbinar, cukup terharu dengan perlakuannya. Setidaknya ada bapak yang masih menyayangi pria apes ini.
Aku membawa bala-bala ke teras, berusaha untuk bersantai sambil menikmati sinar matahari pagi yang cerah. Namun, sepertinya tak ada yang bisa menenangkan hari ini.
Setelah sarapan pagi yang kacau, aku memutuskan untuk berkeliling kampung sendiri, berharap udara segar dapat menghilangkan stresku. Langkahku membawa aku melewati jalan-jalan kecil yang tenang, namun tiba-tiba aku mendengar suara ramai dari sebuah warung kopi di sudut jalan.
Aku melirik dan melihat beberapa tetangga berkumpul, mereka tampaknya sedang berdiskusi dengan cukup meriah. Aku mendekat sedikit untuk mendengar lebih jelas.
"Eh, semalam kalian datang gak ke pernikahan dadakan si Ahmad sama Juragan Jingga?" kata seorang tetangga dengan suara nyaring.
"Emang semalam si Ahmad beneran nikahin Juragan Jingga?" tanya tetangga lain.
Aku berhenti sejenak, terkejut dengan percakapan tersebut. Rasa penasaran mendorongku untuk mendekat sedikit lagi.
"Yah katanya sih begitu, nikahannya dadakan banget ya. Mungkin si Juragan Jingga udah bunting duluan." jawab salah satu tetangga dengan nada sinis.
"Masa sih? Bukannya si Juragan itu perawan tua, tidak ada lelaki yang mau dengannya gara-gara aroma tubuhnya yang sama seperti sapi kesayangannya?"
"Ah, mungkin si Ahmad kena peletnya kali, atau dia nikahin cuma mau hartanya doang, secara kan si Ahmad itu cuma seorang guru honorer. Gajinya kecil, prustasi kali dia gak lulus-lulus CPNS makannya cari alternatif lain buat jadi kaya"
Aku tertegun, mendengar beberapa perbicangan orang-orang di warung kopi. Aku merasa seperti ditampar dengan berita konyol, wajah memerah menahan emosi. Ini semua tidak benar!
Alih-alih meluapkan amarah, aku berjalan mendekati mereka. Aku merasa tiba-tiba perlu untuk mengubah suasana menjadi sedikit panas. Dengan berlagak serius, aku memutuskan untuk ikut dalam perbincangan.
Semua mata tertuju padaku dengan tatapan bingung. Aku melanjutkan, "Iya, mereka mungkin terlihat seperti orang biasa, tapi sebenarnya mereka adalah bagian dari program reality show ternama. Jadi semua yang kalian dengar tentang pernikahan dadakan itu adalah bagian dari skrip mereka!" Kesalku dengan mengatakan perumpamaan toh, biar mereka pada mikir.
Nah kan benar saja, kepala orang-orang di warung kopi bergerak bergantian, mencoba memahami apa yang baru saja kudengar. Aku dapat melihat beberapa wajah memerah dan mulut yang terbuka lebar, menandakan bahwa mereka terkejut dengan "pengakuan" baruku.
Satu dari mereka bertanya, "Skrip? Jadi maksudnya..."
"Hahaha, Mad jangan kebanyakan ngehayal jatuhnya nanti sakit loh"
Aku mendengus, menatap salah satu ibu-ibu yang kini tertawa meremehkan. "Ibu yang jangan kebanyakan bergosip!"
"Dih kami gak bergosip ya, itu faktanya" selanya tak mau kalah.
"Fakta dan datanya tidak pernah akurat!" Ketusku menahan kesal.
"Lah, si Ahmad ngebelain si Jingga segitunya. Fakta dan datanya akurat Mad, dia bau itu faktanya!" Ujar salah satu dari mereka yang berperawakan gendut. Sejujurnya aku tidak membelanya, tapi aku mempertahankan harga diriku.
"Suruh mandi kembang tujuh rupa tiap hari Mad, biar tubuhnya gak terlalu sedap di hirup"
Aku merasakan darahku mendidih mendengar lelucon mereka tentang Jingga. Menyadari bahwa debat ini tidak akan berakhir dengan baik, aku mencoba menyudahi percakapan dengan nada tegas, "Kalau kalian mau tahu fakta sebenarnya, kenapa tidak langsung tanya ke aku daripada terus menerus bergosip?"
"Suram amat, baru juga nikah. Belum malam pertama lu ya?" Aku menoleh malas kearah suara, memberi ringisan saat melihat Ujang yang merupakan sahabat karib sekaligus rekan kerja ku itu tengah duduk di hadapanku dengan senyum mengejeknya."Kalau udah dapat jatah, jangan lupa ya cerita sama gue. Penasaran sih gimana rasanya tuh si Juragan Jingga" lanjutnya dengan senyum menyeringai, tangannya terulur menyerahkan bungkusan kado berbentuk kotak kecil. Wajahnya tersenyum menyeringai. "Apaan nih?" tanyaku penasaran, dari bentuknya yang kecil sih sudah dipastikan isinya sekotak perhiasan, tapi ... Ah gak mungkin. Si Ujang kan orangnya pelit, mana mungkin bisa ngasih hadiah semahal itu. "Alat kontra-"Shit. Sebelum Ujang melanjutkan ucapannya, aku lebih dulu berdiri memberikan tinjuan pada pipi kirinya. "Wait, wait, santai atuh bro. Kan gua mah ngedukung elu biar dapat enaknya doang gak dapat anaknya. Gue yakin lu gak mau kan punya anak dari si Juragan Jingga. Makannya gue kasih kado itu,
Gara-gara ocehan tetangga di warung kopi itu dan candaan Uajng di sekolahan, aku jadi semakin menyesal menikahi Jingga. Hatiku semakin dibuat kesal tatkala aroma tubuhnya sudah tercium beberapa meter dari keberadaannya. Sebenarnya penyebab aroma tubuhnya itu apa sih? Apa iya harus ku suruh dia untuk berendam di air kembang tujuh rupa sehari semalam? Atau ku pinta emak buatkan ramuan khusus atau juga ku pinta si ujang buat pergi ke dukun? Arghhh menyebalkan. Aku jadi semakin tak semangat untuk memasuki rumah. "Kamu teh kenapa, Mad? Datang-datang kisut kitu mukanya" bapak bertanya saat aku baru memasuki ruang tamu tanpa mengucapkan salam seperti biasa. Terlalu kesal rasanya mengingat pernikahan dadakanku gara-gara bapak satu ini, padahal seandainya kalau tunangan dulu kan aku bisa menyiapkan diri untuk menerima Jingga sebagai istriku. Setidaknya seserahan yang aku bawakan untuknya, isinya pewangi semua. "Pak, tukaran posisi yuk" pintaku dengan mendekat, menyalami tangannya yang namp
Aku menelan saliva susan payah saat kaki jenjang ini sudah mendekati pintu kamar. Kecepatan melangkah mendadak berubah perlahan, ya allah kuatkan indra penciumanku. Clek. Knop pintu ku putar dengan pelan, nampak Jingga tengah terduduk di depan meja rias dengan membelakangiku. "Assalamualaikum," ujarku berusaha menahan nafas, aromanya sudah tercium khas sebelum aku mendekat. Buru-buru aku mengoleskan sedikit balsem beraroma mint ke bawah hidung yang ku bawa di saku celanaku sebelum Jingga menoleh. "Akang sudah pulang?" Basa-basinya yang terdengar begitu basi ditelinga ini. "Iya, aku mau mandi" ujarku seraya cepat menyambar handuk yang menggantung di kastok samping pintu kamar mandi, sementara tas yang ku bawa kerja itu sudah terlepas di samping meja belajar. Jingga mengangguk, "Jingga buatin teh ya," ujarnya sebelum aku benar-benar menghilang ke kamar mandi. "Jangan lupa ya lilin aroma terapinya di nyalain" ujarku. Jingga tersenyum, wajah memerah entah kenapa. "Iya kang, yasud
"Emang harus malam ini juga, Jing?" Aku bertanya dengan keluhan saat Jingga meminta izin setengah memaksa untuk mengantarkannya ke peternakan di ujung desa miliknya. "Iya, kang. Memang harus malam ini juga. Si Jejen mau ngelahirin, takutnya gak ada yang bantuin. Kata si mamang perkiraannya hari ini, dia gak bisa bantu. Malas katanya, sementara karyawanku lagi demam""Yaudah atuh kalau mau ngelahirin mah dibawa ke rumah sakit biar di bantu bidan, bukan malah kamu yang bantu. Emang kamu lulusan bidan juga?" Aku bertanya dengan agak sedikit terbahak. Ini si Jingga apa-apaan ya, masa iya dia mau bantuin orang lahiran. Aneh banget perasaan. "Eh si akang, ayo ah cepat kang. Kita pinjam motor butut bapak aja ya biar cepat. Kalau pake sepeda tua nanti keburu gak ketulungan" pintanya santai. Lah, itu enteng banget mulu. Motor butut katanya? Masih mulus gitu, cuma kerangkanya emang sengaja dilepas kan buat bawa rumput yang sehabis di sabit di gunung. Biar gak capek. "Iya, bentar ya akang p
Aku tercengang ketika kami sudah mulai mendekati gerbang kompleks peternakan milik Jingga, nampak pintu gerbang berbahan besi itu menjulang tinggi diatasnya tertulis nama Jingga's Farm, sekelilingnya tembok kokoh menjulang dengan ram kawat anti maling diatasnya. Ah, semewah ini rupanya. Pantesan saja julukan juragan Jingga tersemat di namanya."Bentar ya kang, aku buka dulu kuncinya" ujarnya turun dari motor tanpa menunggu persetujuanku. Aku mengangguk, memperhatikan bagaimana gerbang semewah dan sekokoh itu hendak dibukanya. Apakah kompleks peternakan semewah ini tidak memiliki security? Kenapa harus Jingga yang memegang kendali semuanya? "Ayo kang masuk," ujarnya mempersilahkan. Aku mengangguk, mendorong motor butut bapak ini memasuki area peternakan semakin dalam, diikuti Jingga yang sudah selesai menutup pintu gerbang. "Kang, motornya biar di simpan di sini saja ya, kita ke sananya naik sepeda aja" ujarnya menunjuk ke area parkir yang ternyata ada beberapa sepeda motor dan sep
Byur!Tengah malam begini, akhirnya aku terpaksa membersihkan tubuh setelah dirasa cukup membantu Jingga di kandang sapi itu. Air tengah malam terasa begitu dingin, di tambah semilir angin malam yang terasa begitu kencang membuat ku ingin cepat-cepat segera mengakhiri ritual ini. Tapi tunggu, sedari tadi aku mandi mataku tak pernah berhenti mencari-cari sabun mandi di sini. Nampak hanya satu sikat gigi dan odol bertengger di tempat sabun itu, lalu tadi dia mandi pake apa? Apa cuma air saja?"JINGGA!" aku berteriak cukup kencang, sudah terlalu lama di kamar mandi nanti bisa-bisa tubuhku membeku karena ke dinginan. "Kenapa kang? Teh Jingga udah balik lagi ke kandang," sahut Mail. "Sabun mandi habis il?" tanyaku setengah berteriak. "Aduh kang, lupa. Disini kalau mandi gak pake sabun mandi, biasanya pake daun dayang. Daun nya habis ya kang di pake teteh tadi kali ya" sahutnya.Ya salam, zaman sudah secanggih ini masih mandi pake daun? Pantesan aroma tubuh Jingga tak sedap selama ini.
Hari libur yang harusnya menyenangkan ini, berganti menjadi suram. Bagaimana tidak, sepagi ini saat aku hendak pulang ke rumah, mata ini tak sengaja melihat Jingga tengah asik membersihkan kandang kelinci bersama seorang lelaki yang seumuran dengan ku. Namanya Yudi. Mereka terlihat begitu akrab, saling membantu satu sama lain seperti karyawan dan majikan yang tengah kerja sama. Tapi, tunggu dulu. Gelagat Yudi agak aneh, ia terus saja mengikuti Jingga kemana pun bahkan ku lihat ia seperti tengah mencari perhatian pada istriku itu. Dari matanya sih terhilat tampan, tapi gak tau kalau maskernya di buka mungkin ketampanannya akan berkurang drastis, jauh berbeda dari aku yang akan tetap tampan bahkan lebih tampan darinya. "Yud, kamu tolong satuin si Moly sama si Mily. Kayaknya si Mily udah waktunya kawin" ujar Jingga yang ku dengar samar-samar. Lelaki itu mengangguk, ia membuka salah satu kandang kelinci dan mengambilnya. "Ini teh, lucu ya kaya teteh" ucap Yudi sambil memegang see
Jingga tetaplah Jingga, meski mandi berjam-jam dengan sabun beraroma strawbery milikku tetap saja aroma tubuhnya menguar tidak sedap entah kenapa. Padahal mandinya juga baru selesai dua jam yang lalu. Aku misuh-misuh saat Jingga mendekati, emak sama bapak entah kemana sedari pulang tadi tak kelihatan batang hidungnya. "Kamu kenapa sih kang, kok kaya gak suka gitu dekat sama aku?" Jingga bertanya dengan raut wajah sedih saat aku menggeser dudukku dengan sangat jauh dari arahnya. Aku mengedikkan bahu sebagai jawaban, kedua netra ini terus fokus menatap layar kaca yang menampilkan serial naruto kesukaanku. "Kang," panggilnya lagi, namun kali ini ia menyerah tak lagi mendekatiku. Aku mendengus sebal, "apa sih? Lagi fokus juga" keluhku. "Akang dari tadi belum sarapan, minum juga Jingga gak lihat tadi. Mau dibikini menu sarapan apa?" tawarnya. Mendengar tawaran itu, bukannya senang jelas aku malah menolak dengan gelengan tegas. "Gak usah!" Ucapku sembari terus fokus menon
"pokoknya, teteh gak mau ya kalau kamu tinggal di rumah teteh sama istri kamu itu. Teteh gak mau sakit lagi, teteh kapok!"Aku mendengus kesal saat mendengar penolakan teh Ayu melalu sambungan telepon malam ini saat aku menghubungi mas Abi, untuk meminta pendapat tetang Jingga.Namun tiba-tiba suara teh Ayu, menggelegar terdengar sebuah ketidaksukaan di sana. Mungkin ia mendengar percakapan aku dan mas Abi yang meminta izin untuk sekalian menginap beberapa hari di rumahnya."Teteh jangan gitu dong. Ahmad ini adiknya teteh loh, kenapa teteh tega sekali?" tanyaku berusaha menahan emosi."Enggak ya mad. Kamu memang adik teteh, tapi untuk saat ini enggak. Kamu cari aja hotel atau apa kek, asal jangan di rumah teteh. Istri kamu itu bawa penyakit""Tega banget, awas ya teh kalau nanti teteh butuh bantuan sama ahmad. Ahmad gak akan bantu!" Ancamku berusaha untuk meluluhkan hatinya."Terserah kamu mad, yang jelas teteh gak mau ya kamu tinggal di sini. Nanti rumah teteh jadi bau, teteh gak suk
Bagaimana pun sekarang aku sudah menjadi suaminya dan aku yang bertanggung jawab atasnya sepenuhnya. Setelah perbincanganku dengan dokter, aku menemui Jingga berbicara padanya sembari menguatkannya. Aku tau ini berat, tapi kalau tidak di tangani sekarang takutnya Jingga semakin menderita akibat bau badannya yang tak kunjung hilang. Cukup aku kesihan melihatnya menjadi bahan perbincangan warga kami. "Akang serius mau bawa jingga ke Jakarta setelah ini?" Jingga bertanya saat aku mengemas pakaiannya untuk segera bergegas pulang dari rumah sakit ini. Aku menoleh, menghentikan aktivitasku. "Iya, saya mau telpon mas Abimanyu dulu. Kita bicarain ini di rumah ya," aku menatap Jingga dengan penuh keyakinan, berusaha memberi semangat padanya. Dalam matanya, aku melihat keraguan yang dalam. Itu wajar, tentu saja. Namun, aku tidak bisa membiarkan Jingga terpuruk lebih lama. Masalah ini harus segera ditangani, dan Jakarta adalah langkah terbaik untuknya."Akang... tapi, aku takut," suara Jingga
"Dan aku akan selalu di sini, Jingga. Nggak peduli apa pun yang terjadi,"Ucapan terakhirku pada Jingga, masih terngiang-ngiang di benakku. Ada rasa penyesalan di setiap kepingan ingatan itu. Sungguh itu aku? Kok bisa seorang Ahmad bisa berbicara seperti itu pada seorang perempuan yang bahkan tak aku cintai sama sekali. Mungkinkah karena aku kesihan padanya? Tapi entah mengapa setelah mengatakan hal itu ada rasa lega dihati, disamping penyesalan itu.Ah, sudahlah. Bukankah tujuanku menikah bukan untuk bercerai? Mungkin ini sebuah langkah awal dalam hubungan kami, setidaknya aku sedang belajar mencintainya.Dan hari ini, hari kedua Jingga berada di rumah sakit. Demamnya sudan turun, dokter juga sudah mengizinkan kami untuk pulang, tapi aku memaksa dokter untuk memeriksanya lebih lanjut lagi. Aku ingin tau, penyebab bau badannya yang sedari ramaja itu apa? Kok bisa baunya tak kunjung hilang, dan begitu menyengat, berbeda dengan manusia normal lainnya.Dokter menatapku dengan cermat, sea
Pov JinggaPagi ini badanku rasanya seperti terasa sangat berat, terutama di bagian perut seperti ada yang melilit erat. Sesak. Mungkin ini akibat asam lambungku naik kembali, selain demam yang tinggi ternyata setelah di observasi rupanya aku memiliki riwayat asam lambung yang kronis selain itu, entah apa lagi yang dibicarakan dokter sama kang ahmad kemarin. Katanya aku butuh pemeriksaan lebih lanjut agar riwayat penyakitku yang lain bisa di ketahui, termasuk bau badanku yang baru ku sadari setelah tak sengaja mendengar percakapan teh Ayu dengan sahabat kecilnya kang Ahmad, siapa lagi kalau bukan Sinta dan ku rasa perempuan itu mencintai suamiku.Tunggu, ini yang berat dan melilit di perutku rasanya bukan berasal dari asam lambung deh. Rasanya beda, ini seperti ...Hupt...Aku terkejut saat meraba-raba dan ku rasakan sebuah tangan melingkar di perutku. Tangan siapa? Tak mungkin tangan Mail sebesar ini dan berbulu.Melawan rasa penasaran, ku cubit saja dengan kencang tangan lancang yan
*Pov Juragan Jingga*Malam semakin sunyi, semakin sepi. Bahkan diantara kantuk dan beratnya mata terbuka, aku merasakan sesuatu di keningku, basah tapi juga tidak hangat selain itu perutku terasa berat seperti ada sesuatu yang menindih perutku.Ku buka mata yang masih benar-benar berat dan menemukan wajah seseorang diantara remang pencahayaan lampu tidur.Bibirku menarik seulas senyum saat menemukan see seseorang tertidur di sisi ranjang pesakitan dengan melingkar di perutku seolah ia tengah memelukku."Saya tulus, jangan terlalu berpikiran negatif mulu. Udah makan lagi, mumpung saya baik. Ingat, saya tulus!"Jujur saja, kata-kanya tadi siang selalu terngiang-ngiang di pikiranku. Benarkah apa yang diucapkannya memang tulus? Bahkan aku tak paham dengan perubahannya kini yang begitu peduli padaku. Agak aneh, biasanya juga kalau ia peduli itu ada maunya saja itu pun gak sampai meluk dan rela berkorban apa pun.Ini? Dia bahkan mencium bibirku. Kami berciuman tadi. Eh, benarkah itu? Aku te
Setelah kepergian Mail, kini aku hanya berdua ditemani sisa-sisa kecanggungan akibat ulah kebodohanku yang menciumnya tiba-tiba. Hening menyelimuti, kami sibuk dengan pemikiran masing-masing. Jingga masih diam dengan tak berani menatapku, sementara aku memilih untuk duduk disampingnya sembari memainkan ponsel yang tak menyenangkan sama sekali ku rasa. Kruk ... Kruk ...Aku terhenti memainkan ponsel saat suara keroncongan begitu nyaring terdengar ditelingaku. Aku menoleh ke arah Jingga, yang tampak terkejut dengan suara perutnya yang bergemuruh. Wajahnya merah, seakan-akan mencoba menutupi rasa malu yang mulai memancar dari dirinya. Aku bisa merasakan ketegangan di udara, dan seketika itu juga aku merasa agak canggung."Maaf..." ucapnya pelan, suaranya hampir tenggelam oleh rasa malu yang tak terucapkan. "Aku... lapar."Aku tersenyum tipis, mencoba meredakan suasana yang semakin kaku."makannya, jangan so soan gak mau makan, laparkan" tegurku berusaha menghalau kecanggungan. Jingga
ClekAku tersentak saat suara knop pintu terdengar bersamaan dengan dorangan kuat menghentikan aktivitas kami. Aku lebih tepatnya."Hah ... Hah ..." Jingga menarik nafas sebanyak-banyaknya, sementara aku buru-buru agak sedikit menjauh darinya dengan tangan mengusap bibir ini.Manis.Ah, apa yang aku lakukan. Tak seharusnya aku seperti ini. Ini, sungguh menjijikan Ahmad. Bukannya aku tidak menyukainya? Lalu mengapa sikapku seolah bertolak belakang dengan perasaan ini.Tapi, aku adalah pria dewasa yang memiliki hasrat sudah lama kali ku tahan. Jujur saja, Jingga itu menarik dan mungkin saja kalau bau di tubuhnya itu tidak ada mungkin aku akan selalu meminta hak ku padanya, apalagi Jingga itu agresif semakin membuatku tertarik tetapi sayangnya gara-gara bau ditubuhnya aku bukannya betah berlama-lama malah mual dan sangat membencinya. Seiring berjalannya waktu, rasa benci itu kian terkikis oleh sikap Jingga yang begitu perhatian padaku. Segala hal yang aku inginkan pasti dia akan memenuhi
"kamu jangan diam aja dong, kelihatan banget stresnya!" Aku menegur dengan agak kesal saat suana hening menyelimuti kami berdua. Sejak kepergian kedua orang tuaku, Jingga memilih untuk berbaring namun matanya tak pernah ia pejamkan. Beberapa kali helaan nafas panjang terdengar dari mulutnya, kedua bola matanya menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong. Jingga masih tak bergeming, ia masih tetap sama. Berbaring kaku, menatap langit-langit ruang ugd. Tok ... Tok ...Suara ketukan pintu, membuatku beranjak dari duduk. Dua suster yang nampak berbalut masker berjalan menghampiri. "Pak Ahmad, istrinya sudah bisa dipindahkan ke ruang rawat ya setelah mengurus administrasinya.""Sus, saya perlu kamar vvip saja biar nyaman. Kalau perlu ruangannya yang kedap suara dan ...""Jingga, mana ada ruang vvip disini. Lagi pula cuma sebentar juga, yang biasa aja ya" bisikku menegurnya.Jingga menghela napas panjang. "Tapi kang, Jingga gak nyaman kalau harus seruangan sama orang-orang takut
Aku bergerak gelisah saat menunggu dokter memeriksa Jingga di dalam saat setelah aku memeluknya tiba-tiba Jingga pingsan di pelukanku dengan hidung mengeluarkan darah segar. Pikiranku kacau saat sudah cukup lama aku dan orangtuaku menunggu sejak Jingga memasuki ruangan ugd puskesmas terdekat. Aku tidak tau apa yang menyebabkan Jingga tiba-tiba pingsan dan mengeluarkan darah segar dari hidungnya. Mungkinkah ia selama ini memiliki penyakit yang serius? Apakah umur hidupnya tidak lama lagi? Kalau iya, itu mungkin lebih baik biar harta warisannya aku yang kuasai semua. Eh tidak! Apaan-apaan kamu Ahmad? Itu istri kamu, apa iya kamu mau jadi duda secepat ini? Tidak, bukan.Suara pintu terbuka membuat aku buru-buru mendekat, di susul emak sama bapak. "Bagaimana keadaannya dok? Apakah terjadi sesuatu yang serius padanya?" tanyaku cepat. Dokter yang baru saja keluar dengan membuka masker nya dan menghirup udara sebanyak-sebanyaknya di depanku itu menatap kami ragu. "Apakah kalian benar-bena