Share

Menerima takdir?

Penulis: AkaraLangitBiru
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Jangan menyesali apa yang terjadi, itu semua sudah menjadi takdirmu. Apa yang menurutmu baik, belum tentu menurut Allah baik begitu pun sebaliknya.

***

Kedua netraku mengerjap-ngerjap saat cahaya silau menyembur menyerang indra penglihatanku. Perlahan-lahan netra ini terbuka, nampak seorang gadis berdiri berkacak pinggang disampingku.

Aku tersenyum, sejak kapan bidadari ini datang kehadapanku? Apa aku masih terhanyut dalam mimpi. Tapi tunggu, bidadari secantik ini mengapa aromanya terasa berbeda? Agak sedikit aneh.

"Kang, jangan senyum-senyum. Jingga marah sama akang, subuh akang telat, malam pertama juga enggak!" seketika aku tersadar mendengar suara cempreng yang keluar dari mulut itu.

Alamak ... Ini hari pertama aku menjadi suami tapi malah sudah ada pertengkaran. Tapi, ah bodo amat. Lagi pula aku tidak menyukainya.

"Malah diam lagi, akang mandi sana. Shalat subuh, gak papa kaya shalat dhuha juga daripada enggak" tegurnya menyingkap selimut yang menutupi tubuhku. 

Aku menghela nafas, beranjak dari pembaringan. Lalu pergi ke kamar mandi.

Seusai membersihkan tubuh, aku tak mengindahkan perkataan Jingga untuk menunaikan shalat subuh. Toh, ini waktunya sudah lewat jam juga sudah menunjukan pukul setengah delapan.

"Kang, sarapan dulu tadi aku ambilin makanan di dapur" serunya dengan menunjukan berbagai makanan aneh yang tertata di meja.

Aku menggeleng, tak selera saat melihat sepotong ikan mentah tersaji dipiring dengan daun kecil sebagai hiasan diatasnya.

"Kenapa kang? Akang gak suka sama makanan ini?" Ia bertanya dengan raut wajah penuh kesedihan.

"Bukannya gak suka, tapi akang gak biasa sarapan, Jing. Kamu aja yang makan, habis ini kita pulang kerumah orang tua saya ya" ujarku berusaha untuk tidak menyinggung perasaannya.

"Ini rumah saya kang, dan sudah menjadi rumah akang juga. Kenapa harus pulang kerumah orang tua akang?" Gadis itu bertanya dengan raut wajah penasaran. Ikan mentah yang hendak di sentuhnya itu, ia urungkan.

Aku mengangguk, memang benar rumah besar ini miliknya tapi sebagai laki-laki seharusnya aku yang memberikannya tempat tinggal yang layak. Aku tidak harga diriku di injak-injak jika suatu saat nanti kami bertengkar dan membawa-bawa harta kekayaan sebagai bagian pembahasan dari pertengkaran kami.

"Saya tidak biasa tinggal dirumah sebesar ini apalagi paman dan bibimu serta anak-anak dan menantunya ikut tinggal disini, saya tidak nyaman. Kamu mau ya ikut saya?"

Sebenarnya tidak masalah kalau aku tinggal di rumah mewah tapi penghuni dirumah ini bukan hanya Jingga seorang melainkan  lima orang anggota kepala keluarga. Jujur saja, aku tidak terlalu suka keramaian.

Jingga menghela nafas dalam, ia mendekat tepat saat aku menyemprotkan parfum beraroma Vanila ketubuhku. Ah ini kesempatan baik, buru-buru aku dengan pura-pura tak sengaja menyemprotkan parfum ke tubuh Jingga hingga gadis itu memekik kaget.

"Akang, apa-apaan ini? Aku gak suka wangi vanila, eneug" ujarnya memprotes dengan kedua tangan terangkat menyilang ,wajahnya menunduk dengan mata terpejam.

Maaf. Pagi ini aku harus menyelamatkan indra penciuman ini, nafasku juga harus menghirup udara segar bukan udara yang tercemar.

"Maaf gak sengaja Jing, tapi vanila ini wanginya segar kok. Akang jamin, wanginya gak terlalu menyengat. Lagian ini aroma khas tubuh akang loh ... Kamu harus terbiasa" rayuku.

Wajah gadis itu sekarang sudah memerah bak tomat rebus, senyumnya mengembang entah kenapa.

"Maaf," ujarnya. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.

***

Setelah obrolan itu, kami memutuskan untuk segera bergegas pergi. Gadis itu menurut, ia juga memilih untuk tidak sarapan. Kami pergi ke desa sebelah dengan sepeda ontel butut milikku yang entah sejak kapan sudah nangkring dihalaman rumahnya, mungkin bapak yang mengantarkannya.

"Kang masih lama? Aku jalan aja ya, lagian kenapa sih harus naik sepeda? Kan motor sama mobil ada di garasi tinggal akang pake"

Aku mendelik sebal dengan mengayuh pelan sepeda tua ini, perangainya mulai terlihat pantas saja ia bertahan dengan status perawan tuanya toh siapa pun laki-laki yang mendekatinya tidak akan tahan dengan aroma emm ... Tubuhnya dan sifat sombongnya.

"Sebentar lagi kok, lagi pula romantisan kaya gini atuh Jing daripada naik mobil atau motor kan kamu gak bisa lama-lama peluk akangnya" alibiki dengan mata melihat kearah perut yang kini sudah dilingkari tangan mungilnya. Alamaaaa, harus mandi dua kali ini mah mungkin dengan rendaman bunga tujuh rupa, ide yang bagus.

"Akang ini memang ajaib, baru juga sehari menikah sudah berusaha membuat segalanya terasa romantis. Padahal aku udah bilang, sepeda ini bikin aku pegal-pegal."

Halah pegal-pegal juga kamu nikmatin kan? Enak bener ini tangan memeluk tubuhku. Aku yakin, kali ini Jingga tengah tersenyum dengan rona wajah yang memerah, menahan malu seperti tadi pagi.

Keringat mulai bercucuran di tubuhku saat kami sudah melewati ladang hijau dan rumah-rumah kecil yang tampak damai. Tidak ada lagi obrolan, kami saling diam dengan bergelut pada pemikiran masing-masing.

Sesampainya di halaman rumah, nampak bapak yang tengah asik memandikan burung love bird kesayangannya itu terperanjat menghampiri kami.

"Makkk, menantu kita datang!" teriaknya beliau tersenyum ramah pada Jingga yang tengah berdiri disampingku.

Emak berlari tergopoh-gopoh datang dari arah belakang rumah dengan sedikit menyingkap gamis lusuhnya.

"MasyaAllah, menantuku sudah datang. Ayo nak, emak sudah masak banyak hari ini" sambutnya dengan lembut menarik tubuh Jingga untuk memeluknya.

Jingga tersenyum, membalas pelukan emak. "Apa kabar mak, sehat?" basa-basinya yang jelas sudah tau kalau keadaan emak sekarang baik-baik saja.

Emak mengangguk, menggiring menantu barunya memasuki rumah sederhana kami. "Neng, emak masak semur jengkol sama ikan asin kesukaan kamu. Cobain deh spesial"

"Wah beneran mak? Sama sambal juga? Sambal matah buatan emak enak banget soalnya" antusiasnya Jingga saat emak menggiringnya untuk menuju meja makan sementara aku dan bapak berjalan mengikuti dari belakang.

"Pasti atuh neng, itu mah menu yang tidak boleh dilewatkan" keduanya berbicara begitu akrab, mungkin karena sesama teman ngaso di ladang. Entahlah, aku tak tau bagaimana awal kedekatan mereka.

Aku merenggut kesal menghadapi keakraban keduanya. Sesekali terdengar kekehan kecil dan senyuman dari keduanya.

"Jangan cemberut gitu atuh Mad, lihat tuh emak kamu gak pernah sesenang ini sebelumnya. Mulai sekarang kamu harus terima takdir kamu ini, apa yang menurutmu baik belum tentu menurut Allah baik begitu pun sebaliknya, siapa tau Jingga itu pilihan terbaik yang Allah kirimkan buat keluarga kita. Terima takdirmu Mad!" ujar Bapak menyenggol tubuhku pelan.

Lagi, aku harus menarik nafas dalam-dalam. Apa katanya? Menerima takdir? Huh! Ingin rasanya aku protes, takdir apaan? Seburuk ini, harusnya aku lawan bukan malah menerimanya.

Bab terkait

  • Istriku Seorang Juragan    Gosip tetangga

    Hari libur yang harusnya menyenangkan ini, berganti menjadi suram. Sarapan pagi yang biasanya terasa begitu nikmat, malah kini tak berselera saat aku melihat emak yang begitu asik menghidangkan semua makanan kesukaanku pada gadis yang baru ku bawa tadi. Air muka Emak sama Jingga rupanya tidak jauh berbeda, sama-sama berseri seakan tengah berbahagia padahal apa yang sedang mereka bahagiakan? Baru saja bertemu dan semeja makan untuk sarapan bersama? Ah, tentu tidak mungkin. Asal kalian tau, mereka sering bertemu diladang."Mak, nanti Jingga mau belajar bikin sambal kaya gini. Seriusan ini enak banget," Jingga berucap dengan tangannya mengelap keringat, aku bergidik ngeri melihat butir-butir keringatnya yang nampak sebesar biji jagung. Sudah ku pastikan aroma parfum vanilaku tadi kini sudah bercampur dengan keringatnya. Ah, sebau apa nantinya. "Tenang aja neng, jangankan buat sambal yang gampang kaya gini. Buat rendang, opor ayam sama semur jengkol juga akan emak ajarin. Tenang, kamu k

  • Istriku Seorang Juragan    Hadiah pernikahan

    "Suram amat, baru juga nikah. Belum malam pertama lu ya?" Aku menoleh malas kearah suara, memberi ringisan saat melihat Ujang yang merupakan sahabat karib sekaligus rekan kerja ku itu tengah duduk di hadapanku dengan senyum mengejeknya."Kalau udah dapat jatah, jangan lupa ya cerita sama gue. Penasaran sih gimana rasanya tuh si Juragan Jingga" lanjutnya dengan senyum menyeringai, tangannya terulur menyerahkan bungkusan kado berbentuk kotak kecil. Wajahnya tersenyum menyeringai. "Apaan nih?" tanyaku penasaran, dari bentuknya yang kecil sih sudah dipastikan isinya sekotak perhiasan, tapi ... Ah gak mungkin. Si Ujang kan orangnya pelit, mana mungkin bisa ngasih hadiah semahal itu. "Alat kontra-"Shit. Sebelum Ujang melanjutkan ucapannya, aku lebih dulu berdiri memberikan tinjuan pada pipi kirinya. "Wait, wait, santai atuh bro. Kan gua mah ngedukung elu biar dapat enaknya doang gak dapat anaknya. Gue yakin lu gak mau kan punya anak dari si Juragan Jingga. Makannya gue kasih kado itu,

  • Istriku Seorang Juragan    Petuah bapak

    Gara-gara ocehan tetangga di warung kopi itu dan candaan Uajng di sekolahan, aku jadi semakin menyesal menikahi Jingga. Hatiku semakin dibuat kesal tatkala aroma tubuhnya sudah tercium beberapa meter dari keberadaannya. Sebenarnya penyebab aroma tubuhnya itu apa sih? Apa iya harus ku suruh dia untuk berendam di air kembang tujuh rupa sehari semalam? Atau ku pinta emak buatkan ramuan khusus atau juga ku pinta si ujang buat pergi ke dukun? Arghhh menyebalkan. Aku jadi semakin tak semangat untuk memasuki rumah. "Kamu teh kenapa, Mad? Datang-datang kisut kitu mukanya" bapak bertanya saat aku baru memasuki ruang tamu tanpa mengucapkan salam seperti biasa. Terlalu kesal rasanya mengingat pernikahan dadakanku gara-gara bapak satu ini, padahal seandainya kalau tunangan dulu kan aku bisa menyiapkan diri untuk menerima Jingga sebagai istriku. Setidaknya seserahan yang aku bawakan untuknya, isinya pewangi semua. "Pak, tukaran posisi yuk" pintaku dengan mendekat, menyalami tangannya yang namp

  • Istriku Seorang Juragan    Malam pertama?

    Aku menelan saliva susan payah saat kaki jenjang ini sudah mendekati pintu kamar. Kecepatan melangkah mendadak berubah perlahan, ya allah kuatkan indra penciumanku. Clek. Knop pintu ku putar dengan pelan, nampak Jingga tengah terduduk di depan meja rias dengan membelakangiku. "Assalamualaikum," ujarku berusaha menahan nafas, aromanya sudah tercium khas sebelum aku mendekat. Buru-buru aku mengoleskan sedikit balsem beraroma mint ke bawah hidung yang ku bawa di saku celanaku sebelum Jingga menoleh. "Akang sudah pulang?" Basa-basinya yang terdengar begitu basi ditelinga ini. "Iya, aku mau mandi" ujarku seraya cepat menyambar handuk yang menggantung di kastok samping pintu kamar mandi, sementara tas yang ku bawa kerja itu sudah terlepas di samping meja belajar. Jingga mengangguk, "Jingga buatin teh ya," ujarnya sebelum aku benar-benar menghilang ke kamar mandi. "Jangan lupa ya lilin aroma terapinya di nyalain" ujarku. Jingga tersenyum, wajah memerah entah kenapa. "Iya kang, yasud

  • Istriku Seorang Juragan    Gangguan malam

    "Emang harus malam ini juga, Jing?" Aku bertanya dengan keluhan saat Jingga meminta izin setengah memaksa untuk mengantarkannya ke peternakan di ujung desa miliknya. "Iya, kang. Memang harus malam ini juga. Si Jejen mau ngelahirin, takutnya gak ada yang bantuin. Kata si mamang perkiraannya hari ini, dia gak bisa bantu. Malas katanya, sementara karyawanku lagi demam""Yaudah atuh kalau mau ngelahirin mah dibawa ke rumah sakit biar di bantu bidan, bukan malah kamu yang bantu. Emang kamu lulusan bidan juga?" Aku bertanya dengan agak sedikit terbahak. Ini si Jingga apa-apaan ya, masa iya dia mau bantuin orang lahiran. Aneh banget perasaan. "Eh si akang, ayo ah cepat kang. Kita pinjam motor butut bapak aja ya biar cepat. Kalau pake sepeda tua nanti keburu gak ketulungan" pintanya santai. Lah, itu enteng banget mulu. Motor butut katanya? Masih mulus gitu, cuma kerangkanya emang sengaja dilepas kan buat bawa rumput yang sehabis di sabit di gunung. Biar gak capek. "Iya, bentar ya akang p

  • Istriku Seorang Juragan    Malam penuh kejutan

    Aku tercengang ketika kami sudah mulai mendekati gerbang kompleks peternakan milik Jingga, nampak pintu gerbang berbahan besi itu menjulang tinggi diatasnya tertulis nama Jingga's Farm, sekelilingnya tembok kokoh menjulang dengan ram kawat anti maling diatasnya. Ah, semewah ini rupanya. Pantesan saja julukan juragan Jingga tersemat di namanya."Bentar ya kang, aku buka dulu kuncinya" ujarnya turun dari motor tanpa menunggu persetujuanku. Aku mengangguk, memperhatikan bagaimana gerbang semewah dan sekokoh itu hendak dibukanya. Apakah kompleks peternakan semewah ini tidak memiliki security? Kenapa harus Jingga yang memegang kendali semuanya? "Ayo kang masuk," ujarnya mempersilahkan. Aku mengangguk, mendorong motor butut bapak ini memasuki area peternakan semakin dalam, diikuti Jingga yang sudah selesai menutup pintu gerbang. "Kang, motornya biar di simpan di sini saja ya, kita ke sananya naik sepeda aja" ujarnya menunjuk ke area parkir yang ternyata ada beberapa sepeda motor dan sep

  • Istriku Seorang Juragan    Oh pantesan

    Byur!Tengah malam begini, akhirnya aku terpaksa membersihkan tubuh setelah dirasa cukup membantu Jingga di kandang sapi itu. Air tengah malam terasa begitu dingin, di tambah semilir angin malam yang terasa begitu kencang membuat ku ingin cepat-cepat segera mengakhiri ritual ini. Tapi tunggu, sedari tadi aku mandi mataku tak pernah berhenti mencari-cari sabun mandi di sini. Nampak hanya satu sikat gigi dan odol bertengger di tempat sabun itu, lalu tadi dia mandi pake apa? Apa cuma air saja?"JINGGA!" aku berteriak cukup kencang, sudah terlalu lama di kamar mandi nanti bisa-bisa tubuhku membeku karena ke dinginan. "Kenapa kang? Teh Jingga udah balik lagi ke kandang," sahut Mail. "Sabun mandi habis il?" tanyaku setengah berteriak. "Aduh kang, lupa. Disini kalau mandi gak pake sabun mandi, biasanya pake daun dayang. Daun nya habis ya kang di pake teteh tadi kali ya" sahutnya.Ya salam, zaman sudah secanggih ini masih mandi pake daun? Pantesan aroma tubuh Jingga tak sedap selama ini.

  • Istriku Seorang Juragan    perkara panggilan sayang

    Hari libur yang harusnya menyenangkan ini, berganti menjadi suram. Bagaimana tidak, sepagi ini saat aku hendak pulang ke rumah, mata ini tak sengaja melihat Jingga tengah asik membersihkan kandang kelinci bersama seorang lelaki yang seumuran dengan ku. Namanya Yudi. Mereka terlihat begitu akrab, saling membantu satu sama lain seperti karyawan dan majikan yang tengah kerja sama. Tapi, tunggu dulu. Gelagat Yudi agak aneh, ia terus saja mengikuti Jingga kemana pun bahkan ku lihat ia seperti tengah mencari perhatian pada istriku itu. Dari matanya sih terhilat tampan, tapi gak tau kalau maskernya di buka mungkin ketampanannya akan berkurang drastis, jauh berbeda dari aku yang akan tetap tampan bahkan lebih tampan darinya. "Yud, kamu tolong satuin si Moly sama si Mily. Kayaknya si Mily udah waktunya kawin" ujar Jingga yang ku dengar samar-samar. Lelaki itu mengangguk, ia membuka salah satu kandang kelinci dan mengambilnya. "Ini teh, lucu ya kaya teteh" ucap Yudi sambil memegang see

Bab terbaru

  • Istriku Seorang Juragan    Apakah pantas?

    "apa?" Kedua perempuan beda usia yang tengah beradu argumen itu menatap Sinta tajam, saat gerakan tangannya menunjuk kebelakangku yang kini tengah menghela nafas panjang, begitu lelah mendengarkan keduan perempuan di hadapanku itu. "Teh, mak debatnya ditunda dulu atuh. Itu orangnya datang, sama anak-anak lagi" tegur Sinta dengan suara pelan, nyaris tak terdengar. "Eh?" Emak menoleh ke arah Sinta, rasa kesalnya begitu kentara di wajahnya namun namun matanya sudah mulai melunak, mengikuti arah tangan Sinta yang menunjuk ke belakangku. Sementara itu teh Ayu segera bungkam, tangannya dengan cepat menutup hidung mancungnya. Ah, aku paham sekarang. "Selamat pagi ..." teriakan kedua keponakanku membuat atensiku beralih, segera tubuh ini berbalik ke arah suara. Nampak, Jingga tersenyum manis menyapa kami dibelakanngnya. "Mad, jangan biarkan teteh masuk UGD lagi. Sudah sana, ajak istrimu menjauh" suara teh Ayu terdengar tegas, meski senyum manisnya masih mengembang di bibir. Matanya yan

  • Istriku Seorang Juragan    Kena pelet?

    Saat aku baru saja menginjakan kaki di ruang makan, nampak Sinta dan teh Ayu tengah asik membantu emak memasak di dapur, sementara Jingga aku tinggalkan tadi di kamar dengan sengaja. Berharap dia mengerti akan permintaanku, agar ia tak pergi ke pondok peternakannya hari ini. "Selamat pagi," sapaku ramah kepada tiga wanita yang berharga dihidupku. Ketiganya kompak menoleh, menjawab bersamaan sapaanku yang membuat aku merasa geli dan terkekeh. "Masak apa nih, pagi-pagi sekali. Wanginya bikin cacing di perut Ahmad meronta-ronta" kekehku dengan menarik satu kursi di meja pantri menghadap kearah dapur. "Masak rendang kesukaan kamu kang," jawab Sinta, wajah berbinar-binar menatapku. Aku tersenyum mendengar jawabannya. Sinta memang tahu betul apa yang membuat hatiku senang. Rendang selalu jadi hidangan favoritku, apalagi Sinta yang memasaknya. "Ah, dari dulu kamu memang tau caranya membuatku terharu ya Sin. Bisa aja deh," kataku sambil duduk, menatap piring kosong di meja yang seakan s

  • Istriku Seorang Juragan    Nurut sama suami!

    Aku terbangun dengan wajah sedikit terkejut saat menoleh ke sisi tempat tidur yang menampakan wajah cemberut Jingga sepagi ini.Tanganku yang entah sejak kapan melingkar diperutnya, kini ku lepaskan dengan terburu-buru. "Kenapa?" tanyaku dengan suara serak khas bangun tidur saat terdengar suara decakan keluar dari mulut Jingga. Jingga mengedikan bahu, lalu membalikan tubuhnya membelakangiku. Aku merubah posisi tubuh ini menjadi terlentang, menatap langit-langit kamar sembari memikirkan kesalahan apa yang semalam ku perbuat padanya hingga pagi ini sudah disuguhi wajah masam darinya. Biar ku ingat-ingat lagi, perasaan semalam aku tak melakukan kesalahan apa pun padanga. Bahkan aku dengan mati-matian menahan nafsuku saat memberikan pijatan lembut pada tubuh Jingga, tapi hal yang diinginkan olehnya tak terjadi semalam gara-gara Jingga sendiri yang sudah tertidur pulas meski belum sampai lima menit aku memijatnya. Apa karena itu? Ah, padahalkan salahnya sendiri. Mengapa harus menyalahk

  • Istriku Seorang Juragan    Pijat plus-plus

    Alisku terangkat sebelah, saat ekor mata ini tak sengaja melihat wajah Jingga malam ini yang begitu berseri-seri mendekat kearahku yang tengah menyalakan beberapa lilin aroma terapy. Pikiranku semakin dibuat heran saat Jingga mengikuti kemana pun aku melangkah meletakan beberapa lilin aroma terapy yang baru saja ku nyalakan itu. "Kenapa lu?" tanyaku heran dengan berbalik tubuh menatapnya. Jingga tersenyum cerah menatapku, bau keringat tubuhnya kini agak memudar digantikan dengan aroma parfum milikku yang sengaja aku menyuruhnya untuk ia pakai sehabis mandi di tambah lilin aroma terapi yang lumayan bisa menyamarkan bau badannya. "Katanya tadi mau mijitin Jingga kang," ujarnya cengengesan. Kedua tangan ku lipat di dada. "Terus?""Ish," Jingga merengut kesal, bibir tipisnya mengerucut dengan mata yang mendelik. "Yaudah, ambilkan minyak urutnya di lemari sana" suruhku dengan dagu bergerak kedepan menunjukan dimana letak minyak urut yang selalu ku pakai itu. Jingga mengangguk, denga

  • Istriku Seorang Juragan    Akang serius?

    Brugh ...Aku menjatuhkan tubuh ini begitu saja pada kasur yang sudah tak ku tempati beberapa minggu ini. Rasanya begitu nyaman bahkan rasa lelah ini ingin segera ku manjakan di ranjang kesayanganku ini. Setibanya di kamar, sungguh tubuhku rasanya begitu pegal sekali, apalagi tangan. Ah, rasanya tak karuan gara-gara sepanjanh perjalanan aku menggendong si gendut Niko, keponakanku yang super aktif dan cerdas itu. Kali ini, untuk meredakan rasa pegal aku memejamkan mata sejenak, berusaha menikmati empuknya kasur yang sudah lama tak ku tempati ini. Grep!Seketika kedua netra ini terbuka saat merasakan sebuah tangan melingkar di tubuhku. Indra penciumanku kembang kempis, merasakan bau tak sedap kembali terisap. Aku menoleh, melihat wajah Jingga yang begitu dekat denganku. "Kamu ngapain peluk-peluk saya?" tanyaku sembari menepis tangannya dari tubuku, lalu bergeser sedikit menjauh darinya. Jingga merenggut kesal, tubuhnya kembali ia dekatkan dengan tubuhku. "Yaelah kang, jingga cuma p

  • Istriku Seorang Juragan    Fakta baru

    Seusai acara tahlil dan bermain dengan anak panti, kami memutuskan untuk pulang ke rumah emak. Malam ini, emak memaksa aku dan Jingga untuk pulang ke rumahnya, katanya emak kangen sama menantu juragannya ini. Padahal setiap hari juga ketemu, cuma gak di rumahnya. Maklum, menghindari teh Ayu biar gak kena penyakit lagi, soalnya indra penciuman teh Ayu terlalu sensitif. Tapi malam ini, mumpung teh Ayu tengah menginap di rumah Sinta, sahabat kecilku sekaligus sodara jauh kami yang kebetulan pulang ke kampung untuk sekedar mengisi hari libur mungkin. Kami pun berangkat, dengan Jingga yang terlihat sibuk memastikan kedua keponakan ku yang tengah asik tertidur lelap di pangkuanku dan pangkuannya. Sementara emak dan mail begitu asik bercerita di dengan duduk berdampingan di kursi kemudi. "Jang, kamu juga nginep atuh sesekali di rumah emak. Gak papa rumah kecil juga, yang penting bisa tidur" aku mendengar di depan kursi yang aku duduki, emak meminta agar Mail juga ikut bermalam bersama kam

  • Istriku Seorang Juragan    Kebiadaan!

    Aku memperhatikan Jingga yang kini tengah asik bermain dengan anak-anak panti sekaligus kedua keponakanku di taman selepas acara tahlil mengenang kepergian kedua orang tuanya berakhir. Sementara emak masih asik mengobrol dengan pemilik panti. Semakin di perhatikan, semakin membuatku merasa heran sendiri. Mengapa anak-anak panti bisa sedekat itu dengan Jingga, padahal bau ditubuhnya pasti cukup mengganggu indra penciumannya dan jelas hal tersebut bisa membuat siapa pun yang dekat dengannya tidak akan pernah tahan, kecuali emak, aku, mail dan keluarganya yang sudah terbiasa dengan bau tersebut. Entahlah, tapi kenyataannya anak-anak pada senang dekat dengannya. Aku menatap Jingga lebih lama. Wajahnya tampak serius, saat ia tengah menceritakan kisah salah satu tokoh pahlawan dalam islam, yaitu tentang Usamah bin Zaid yang merupakan komandan perang di zaman Rasulullah SAW yang paling muda. Beliau diangkat menjadi komandan perang oleh Rasulullah SAW di saat usianya 18 tahun. Jingga berbi

  • Istriku Seorang Juragan    Pangerannua puteri jingga

    Kehilangan memang sesuatu hal yang tidak pernah kita inginkan, tetapi sesuatu hal itu pasti terjadi. Cepat mau pun lambat. Namun pantaskah kita berlarut-larut dalam kesedihan atas kehilangan itu? Tentu tidak, bukan. Hal itu lah yang kini terjadi pada kakak beradik itu, sudah bertahun-tahun lamanya tanpa kedua orang tua membuat keduanya begitu tegar. Bahkan kini saat memperingati hari kepergiannya, mereka nampak tidak berlarut dalam kesedihan tetapi senyuman manis mereka kini terpancar nyata bersama kebahagiaan anak-anak panti disini.Emak dan kedua ponakanku juga turut serta memberikan kebahagiaan, si kecil kakang bahkan nampak akrab dengan beberapa anak panti disini ditemani oleh kakanya, Niko yang begitu overprotektif terhadap sang adik. "Akang, ngapain senyum-senyum. Ayo sini gabung," suara Jingga yang mengintrupsi didepanku itu seketika membuatku buru-buru memasang wajah datar. Aku berjalan mendekati mereka, dan duduk disebelahnya. Jingga tersenyum menatapku dengan tangannya yan

  • Istriku Seorang Juragan    bahan gibah?

    Senja hari ini begitu indah, seakan semesta telah berkompromi pada sang pemilik alam untuk aktivitasku dan Jingga yang sudah di agendakan jauh-jauh hari oleh Jingga. Ya, hari ini tepat hari dimana Jingga kehilangan kedua orang tuanya yang sudah bertahun-tahun lama. Untuk memperingati kepergian orang tuanya, setiap tahunnya Jingga dan sang adik selalu mengadakan doa di panti asuhan yang dimana semasa hidup kedua orang tuanya itu merupakan donasi terbesar disana dan sampai saat ini mungkin, bahkan bisa di bilang begitu. Kedua mata ini, masih ku perhatikan gerak-gerik Jingga yang kini tengah berdiri di depan cermin seolah tengah menatap wajahnya sendiri. Mata yang sembab, hidung memerah, kantung mata yang terlihat begitu jelasnya serta wajah yang terlihat lelahnya seolah mempresentasikan suasana hatinya. Rencananya, hari ini aku tidak akan ikut karena si Ujang tidak mau menggantikan rapat agenda tahunan sekolah tetapi melihat kondisi Jingga yang memutuskan untuk memaksa si Ujang mengga

DMCA.com Protection Status