Share

Menerima takdir?

Jangan menyesali apa yang terjadi, itu semua sudah menjadi takdirmu. Apa yang menurutmu baik, belum tentu menurut Allah baik begitu pun sebaliknya.

***

Kedua netraku mengerjap-ngerjap saat cahaya silau menyembur menyerang indra penglihatanku. Perlahan-lahan netra ini terbuka, nampak seorang gadis berdiri berkacak pinggang disampingku.

Aku tersenyum, sejak kapan bidadari ini datang kehadapanku? Apa aku masih terhanyut dalam mimpi. Tapi tunggu, bidadari secantik ini mengapa aromanya terasa berbeda? Agak sedikit aneh.

"Kang, jangan senyum-senyum. Jingga marah sama akang, subuh akang telat, malam pertama juga enggak!" seketika aku tersadar mendengar suara cempreng yang keluar dari mulut itu.

Alamak ... Ini hari pertama aku menjadi suami tapi malah sudah ada pertengkaran. Tapi, ah bodo amat. Lagi pula aku tidak menyukainya.

"Malah diam lagi, akang mandi sana. Shalat subuh, gak papa kaya shalat dhuha juga daripada enggak" tegurnya menyingkap selimut yang menutupi tubuhku. 

Aku menghela nafas, beranjak dari pembaringan. Lalu pergi ke kamar mandi.

Seusai membersihkan tubuh, aku tak mengindahkan perkataan Jingga untuk menunaikan shalat subuh. Toh, ini waktunya sudah lewat jam juga sudah menunjukan pukul setengah delapan.

"Kang, sarapan dulu tadi aku ambilin makanan di dapur" serunya dengan menunjukan berbagai makanan aneh yang tertata di meja.

Aku menggeleng, tak selera saat melihat sepotong ikan mentah tersaji dipiring dengan daun kecil sebagai hiasan diatasnya.

"Kenapa kang? Akang gak suka sama makanan ini?" Ia bertanya dengan raut wajah penuh kesedihan.

"Bukannya gak suka, tapi akang gak biasa sarapan, Jing. Kamu aja yang makan, habis ini kita pulang kerumah orang tua saya ya" ujarku berusaha untuk tidak menyinggung perasaannya.

"Ini rumah saya kang, dan sudah menjadi rumah akang juga. Kenapa harus pulang kerumah orang tua akang?" Gadis itu bertanya dengan raut wajah penasaran. Ikan mentah yang hendak di sentuhnya itu, ia urungkan.

Aku mengangguk, memang benar rumah besar ini miliknya tapi sebagai laki-laki seharusnya aku yang memberikannya tempat tinggal yang layak. Aku tidak harga diriku di injak-injak jika suatu saat nanti kami bertengkar dan membawa-bawa harta kekayaan sebagai bagian pembahasan dari pertengkaran kami.

"Saya tidak biasa tinggal dirumah sebesar ini apalagi paman dan bibimu serta anak-anak dan menantunya ikut tinggal disini, saya tidak nyaman. Kamu mau ya ikut saya?"

Sebenarnya tidak masalah kalau aku tinggal di rumah mewah tapi penghuni dirumah ini bukan hanya Jingga seorang melainkan  lima orang anggota kepala keluarga. Jujur saja, aku tidak terlalu suka keramaian.

Jingga menghela nafas dalam, ia mendekat tepat saat aku menyemprotkan parfum beraroma Vanila ketubuhku. Ah ini kesempatan baik, buru-buru aku dengan pura-pura tak sengaja menyemprotkan parfum ke tubuh Jingga hingga gadis itu memekik kaget.

"Akang, apa-apaan ini? Aku gak suka wangi vanila, eneug" ujarnya memprotes dengan kedua tangan terangkat menyilang ,wajahnya menunduk dengan mata terpejam.

Maaf. Pagi ini aku harus menyelamatkan indra penciuman ini, nafasku juga harus menghirup udara segar bukan udara yang tercemar.

"Maaf gak sengaja Jing, tapi vanila ini wanginya segar kok. Akang jamin, wanginya gak terlalu menyengat. Lagian ini aroma khas tubuh akang loh ... Kamu harus terbiasa" rayuku.

Wajah gadis itu sekarang sudah memerah bak tomat rebus, senyumnya mengembang entah kenapa.

"Maaf," ujarnya. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.

***

Setelah obrolan itu, kami memutuskan untuk segera bergegas pergi. Gadis itu menurut, ia juga memilih untuk tidak sarapan. Kami pergi ke desa sebelah dengan sepeda ontel butut milikku yang entah sejak kapan sudah nangkring dihalaman rumahnya, mungkin bapak yang mengantarkannya.

"Kang masih lama? Aku jalan aja ya, lagian kenapa sih harus naik sepeda? Kan motor sama mobil ada di garasi tinggal akang pake"

Aku mendelik sebal dengan mengayuh pelan sepeda tua ini, perangainya mulai terlihat pantas saja ia bertahan dengan status perawan tuanya toh siapa pun laki-laki yang mendekatinya tidak akan tahan dengan aroma emm ... Tubuhnya dan sifat sombongnya.

"Sebentar lagi kok, lagi pula romantisan kaya gini atuh Jing daripada naik mobil atau motor kan kamu gak bisa lama-lama peluk akangnya" alibiki dengan mata melihat kearah perut yang kini sudah dilingkari tangan mungilnya. Alamaaaa, harus mandi dua kali ini mah mungkin dengan rendaman bunga tujuh rupa, ide yang bagus.

"Akang ini memang ajaib, baru juga sehari menikah sudah berusaha membuat segalanya terasa romantis. Padahal aku udah bilang, sepeda ini bikin aku pegal-pegal."

Halah pegal-pegal juga kamu nikmatin kan? Enak bener ini tangan memeluk tubuhku. Aku yakin, kali ini Jingga tengah tersenyum dengan rona wajah yang memerah, menahan malu seperti tadi pagi.

Keringat mulai bercucuran di tubuhku saat kami sudah melewati ladang hijau dan rumah-rumah kecil yang tampak damai. Tidak ada lagi obrolan, kami saling diam dengan bergelut pada pemikiran masing-masing.

Sesampainya di halaman rumah, nampak bapak yang tengah asik memandikan burung love bird kesayangannya itu terperanjat menghampiri kami.

"Makkk, menantu kita datang!" teriaknya beliau tersenyum ramah pada Jingga yang tengah berdiri disampingku.

Emak berlari tergopoh-gopoh datang dari arah belakang rumah dengan sedikit menyingkap gamis lusuhnya.

"MasyaAllah, menantuku sudah datang. Ayo nak, emak sudah masak banyak hari ini" sambutnya dengan lembut menarik tubuh Jingga untuk memeluknya.

Jingga tersenyum, membalas pelukan emak. "Apa kabar mak, sehat?" basa-basinya yang jelas sudah tau kalau keadaan emak sekarang baik-baik saja.

Emak mengangguk, menggiring menantu barunya memasuki rumah sederhana kami. "Neng, emak masak semur jengkol sama ikan asin kesukaan kamu. Cobain deh spesial"

"Wah beneran mak? Sama sambal juga? Sambal matah buatan emak enak banget soalnya" antusiasnya Jingga saat emak menggiringnya untuk menuju meja makan sementara aku dan bapak berjalan mengikuti dari belakang.

"Pasti atuh neng, itu mah menu yang tidak boleh dilewatkan" keduanya berbicara begitu akrab, mungkin karena sesama teman ngaso di ladang. Entahlah, aku tak tau bagaimana awal kedekatan mereka.

Aku merenggut kesal menghadapi keakraban keduanya. Sesekali terdengar kekehan kecil dan senyuman dari keduanya.

"Jangan cemberut gitu atuh Mad, lihat tuh emak kamu gak pernah sesenang ini sebelumnya. Mulai sekarang kamu harus terima takdir kamu ini, apa yang menurutmu baik belum tentu menurut Allah baik begitu pun sebaliknya, siapa tau Jingga itu pilihan terbaik yang Allah kirimkan buat keluarga kita. Terima takdirmu Mad!" ujar Bapak menyenggol tubuhku pelan.

Lagi, aku harus menarik nafas dalam-dalam. Apa katanya? Menerima takdir? Huh! Ingin rasanya aku protes, takdir apaan? Seburuk ini, harusnya aku lawan bukan malah menerimanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status