Share

Menerima takdir?

last update Last Updated: 2024-10-08 12:50:42

Jangan menyesali apa yang terjadi, itu semua sudah menjadi takdirmu. Apa yang menurutmu baik, belum tentu menurut Allah baik begitu pun sebaliknya.

***

Kedua netraku mengerjap-ngerjap saat cahaya silau menyembur menyerang indra penglihatanku. Perlahan-lahan netra ini terbuka, nampak seorang gadis berdiri berkacak pinggang disampingku.

Aku tersenyum, sejak kapan bidadari ini datang kehadapanku? Apa aku masih terhanyut dalam mimpi. Tapi tunggu, bidadari secantik ini mengapa aromanya terasa berbeda? Agak sedikit aneh.

"Kang, jangan senyum-senyum. Jingga marah sama akang, subuh akang telat, malam pertama juga enggak!" seketika aku tersadar mendengar suara cempreng yang keluar dari mulut itu.

Alamak ... Ini hari pertama aku menjadi suami tapi malah sudah ada pertengkaran. Tapi, ah bodo amat. Lagi pula aku tidak menyukainya.

"Malah diam lagi, akang mandi sana. Shalat subuh, gak papa kaya shalat dhuha juga daripada enggak" tegurnya menyingkap selimut yang menutupi tubuhku. 

Aku menghela nafas, beranjak dari pembaringan. Lalu pergi ke kamar mandi.

Seusai membersihkan tubuh, aku tak mengindahkan perkataan Jingga untuk menunaikan shalat subuh. Toh, ini waktunya sudah lewat jam juga sudah menunjukan pukul setengah delapan.

"Kang, sarapan dulu tadi aku ambilin makanan di dapur" serunya dengan menunjukan berbagai makanan aneh yang tertata di meja.

Aku menggeleng, tak selera saat melihat sepotong ikan mentah tersaji dipiring dengan daun kecil sebagai hiasan diatasnya.

"Kenapa kang? Akang gak suka sama makanan ini?" Ia bertanya dengan raut wajah penuh kesedihan.

"Bukannya gak suka, tapi akang gak biasa sarapan, Jing. Kamu aja yang makan, habis ini kita pulang kerumah orang tua saya ya" ujarku berusaha untuk tidak menyinggung perasaannya.

"Ini rumah saya kang, dan sudah menjadi rumah akang juga. Kenapa harus pulang kerumah orang tua akang?" Gadis itu bertanya dengan raut wajah penasaran. Ikan mentah yang hendak di sentuhnya itu, ia urungkan.

Aku mengangguk, memang benar rumah besar ini miliknya tapi sebagai laki-laki seharusnya aku yang memberikannya tempat tinggal yang layak. Aku tidak harga diriku di injak-injak jika suatu saat nanti kami bertengkar dan membawa-bawa harta kekayaan sebagai bagian pembahasan dari pertengkaran kami.

"Saya tidak biasa tinggal dirumah sebesar ini apalagi paman dan bibimu serta anak-anak dan menantunya ikut tinggal disini, saya tidak nyaman. Kamu mau ya ikut saya?"

Sebenarnya tidak masalah kalau aku tinggal di rumah mewah tapi penghuni dirumah ini bukan hanya Jingga seorang melainkan  lima orang anggota kepala keluarga. Jujur saja, aku tidak terlalu suka keramaian.

Jingga menghela nafas dalam, ia mendekat tepat saat aku menyemprotkan parfum beraroma Vanila ketubuhku. Ah ini kesempatan baik, buru-buru aku dengan pura-pura tak sengaja menyemprotkan parfum ke tubuh Jingga hingga gadis itu memekik kaget.

"Akang, apa-apaan ini? Aku gak suka wangi vanila, eneug" ujarnya memprotes dengan kedua tangan terangkat menyilang ,wajahnya menunduk dengan mata terpejam.

Maaf. Pagi ini aku harus menyelamatkan indra penciuman ini, nafasku juga harus menghirup udara segar bukan udara yang tercemar.

"Maaf gak sengaja Jing, tapi vanila ini wanginya segar kok. Akang jamin, wanginya gak terlalu menyengat. Lagian ini aroma khas tubuh akang loh ... Kamu harus terbiasa" rayuku.

Wajah gadis itu sekarang sudah memerah bak tomat rebus, senyumnya mengembang entah kenapa.

"Maaf," ujarnya. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.

***

Setelah obrolan itu, kami memutuskan untuk segera bergegas pergi. Gadis itu menurut, ia juga memilih untuk tidak sarapan. Kami pergi ke desa sebelah dengan sepeda ontel butut milikku yang entah sejak kapan sudah nangkring dihalaman rumahnya, mungkin bapak yang mengantarkannya.

"Kang masih lama? Aku jalan aja ya, lagian kenapa sih harus naik sepeda? Kan motor sama mobil ada di garasi tinggal akang pake"

Aku mendelik sebal dengan mengayuh pelan sepeda tua ini, perangainya mulai terlihat pantas saja ia bertahan dengan status perawan tuanya toh siapa pun laki-laki yang mendekatinya tidak akan tahan dengan aroma emm ... Tubuhnya dan sifat sombongnya.

"Sebentar lagi kok, lagi pula romantisan kaya gini atuh Jing daripada naik mobil atau motor kan kamu gak bisa lama-lama peluk akangnya" alibiki dengan mata melihat kearah perut yang kini sudah dilingkari tangan mungilnya. Alamaaaa, harus mandi dua kali ini mah mungkin dengan rendaman bunga tujuh rupa, ide yang bagus.

"Akang ini memang ajaib, baru juga sehari menikah sudah berusaha membuat segalanya terasa romantis. Padahal aku udah bilang, sepeda ini bikin aku pegal-pegal."

Halah pegal-pegal juga kamu nikmatin kan? Enak bener ini tangan memeluk tubuhku. Aku yakin, kali ini Jingga tengah tersenyum dengan rona wajah yang memerah, menahan malu seperti tadi pagi.

Keringat mulai bercucuran di tubuhku saat kami sudah melewati ladang hijau dan rumah-rumah kecil yang tampak damai. Tidak ada lagi obrolan, kami saling diam dengan bergelut pada pemikiran masing-masing.

Sesampainya di halaman rumah, nampak bapak yang tengah asik memandikan burung love bird kesayangannya itu terperanjat menghampiri kami.

"Makkk, menantu kita datang!" teriaknya beliau tersenyum ramah pada Jingga yang tengah berdiri disampingku.

Emak berlari tergopoh-gopoh datang dari arah belakang rumah dengan sedikit menyingkap gamis lusuhnya.

"MasyaAllah, menantuku sudah datang. Ayo nak, emak sudah masak banyak hari ini" sambutnya dengan lembut menarik tubuh Jingga untuk memeluknya.

Jingga tersenyum, membalas pelukan emak. "Apa kabar mak, sehat?" basa-basinya yang jelas sudah tau kalau keadaan emak sekarang baik-baik saja.

Emak mengangguk, menggiring menantu barunya memasuki rumah sederhana kami. "Neng, emak masak semur jengkol sama ikan asin kesukaan kamu. Cobain deh spesial"

"Wah beneran mak? Sama sambal juga? Sambal matah buatan emak enak banget soalnya" antusiasnya Jingga saat emak menggiringnya untuk menuju meja makan sementara aku dan bapak berjalan mengikuti dari belakang.

"Pasti atuh neng, itu mah menu yang tidak boleh dilewatkan" keduanya berbicara begitu akrab, mungkin karena sesama teman ngaso di ladang. Entahlah, aku tak tau bagaimana awal kedekatan mereka.

Aku merenggut kesal menghadapi keakraban keduanya. Sesekali terdengar kekehan kecil dan senyuman dari keduanya.

"Jangan cemberut gitu atuh Mad, lihat tuh emak kamu gak pernah sesenang ini sebelumnya. Mulai sekarang kamu harus terima takdir kamu ini, apa yang menurutmu baik belum tentu menurut Allah baik begitu pun sebaliknya, siapa tau Jingga itu pilihan terbaik yang Allah kirimkan buat keluarga kita. Terima takdirmu Mad!" ujar Bapak menyenggol tubuhku pelan.

Lagi, aku harus menarik nafas dalam-dalam. Apa katanya? Menerima takdir? Huh! Ingin rasanya aku protes, takdir apaan? Seburuk ini, harusnya aku lawan bukan malah menerimanya.

Related chapters

  • Istriku Seorang Juragan    Gosip tetangga

    Hari libur yang harusnya menyenangkan ini, berganti menjadi suram. Sarapan pagi yang biasanya terasa begitu nikmat, malah kini tak berselera saat aku melihat emak yang begitu asik menghidangkan semua makanan kesukaanku pada gadis yang baru ku bawa tadi. Air muka Emak sama Jingga rupanya tidak jauh berbeda, sama-sama berseri seakan tengah berbahagia padahal apa yang sedang mereka bahagiakan? Baru saja bertemu dan semeja makan untuk sarapan bersama? Ah, tentu tidak mungkin. Asal kalian tau, mereka sering bertemu diladang."Mak, nanti Jingga mau belajar bikin sambal kaya gini. Seriusan ini enak banget," Jingga berucap dengan tangannya mengelap keringat, aku bergidik ngeri melihat butir-butir keringatnya yang nampak sebesar biji jagung. Sudah ku pastikan aroma parfum vanilaku tadi kini sudah bercampur dengan keringatnya. Ah, sebau apa nantinya. "Tenang aja neng, jangankan buat sambal yang gampang kaya gini. Buat rendang, opor ayam sama semur jengkol juga akan emak ajarin. Tenang, kamu k

    Last Updated : 2024-10-08
  • Istriku Seorang Juragan    Hadiah pernikahan

    "Suram amat, baru juga nikah. Belum malam pertama lu ya?" Aku menoleh malas kearah suara, memberi ringisan saat melihat Ujang yang merupakan sahabat karib sekaligus rekan kerja ku itu tengah duduk di hadapanku dengan senyum mengejeknya."Kalau udah dapat jatah, jangan lupa ya cerita sama gue. Penasaran sih gimana rasanya tuh si Juragan Jingga" lanjutnya dengan senyum menyeringai, tangannya terulur menyerahkan bungkusan kado berbentuk kotak kecil. Wajahnya tersenyum menyeringai. "Apaan nih?" tanyaku penasaran, dari bentuknya yang kecil sih sudah dipastikan isinya sekotak perhiasan, tapi ... Ah gak mungkin. Si Ujang kan orangnya pelit, mana mungkin bisa ngasih hadiah semahal itu. "Alat kontra-"Shit. Sebelum Ujang melanjutkan ucapannya, aku lebih dulu berdiri memberikan tinjuan pada pipi kirinya. "Wait, wait, santai atuh bro. Kan gua mah ngedukung elu biar dapat enaknya doang gak dapat anaknya. Gue yakin lu gak mau kan punya anak dari si Juragan Jingga. Makannya gue kasih kado itu,

    Last Updated : 2024-10-08
  • Istriku Seorang Juragan    Petuah bapak

    Gara-gara ocehan tetangga di warung kopi itu dan candaan Uajng di sekolahan, aku jadi semakin menyesal menikahi Jingga. Hatiku semakin dibuat kesal tatkala aroma tubuhnya sudah tercium beberapa meter dari keberadaannya. Sebenarnya penyebab aroma tubuhnya itu apa sih? Apa iya harus ku suruh dia untuk berendam di air kembang tujuh rupa sehari semalam? Atau ku pinta emak buatkan ramuan khusus atau juga ku pinta si ujang buat pergi ke dukun? Arghhh menyebalkan. Aku jadi semakin tak semangat untuk memasuki rumah. "Kamu teh kenapa, Mad? Datang-datang kisut kitu mukanya" bapak bertanya saat aku baru memasuki ruang tamu tanpa mengucapkan salam seperti biasa. Terlalu kesal rasanya mengingat pernikahan dadakanku gara-gara bapak satu ini, padahal seandainya kalau tunangan dulu kan aku bisa menyiapkan diri untuk menerima Jingga sebagai istriku. Setidaknya seserahan yang aku bawakan untuknya, isinya pewangi semua. "Pak, tukaran posisi yuk" pintaku dengan mendekat, menyalami tangannya yang namp

    Last Updated : 2024-10-08
  • Istriku Seorang Juragan    Malam pertama?

    Aku menelan saliva susan payah saat kaki jenjang ini sudah mendekati pintu kamar. Kecepatan melangkah mendadak berubah perlahan, ya allah kuatkan indra penciumanku. Clek. Knop pintu ku putar dengan pelan, nampak Jingga tengah terduduk di depan meja rias dengan membelakangiku. "Assalamualaikum," ujarku berusaha menahan nafas, aromanya sudah tercium khas sebelum aku mendekat. Buru-buru aku mengoleskan sedikit balsem beraroma mint ke bawah hidung yang ku bawa di saku celanaku sebelum Jingga menoleh. "Akang sudah pulang?" Basa-basinya yang terdengar begitu basi ditelinga ini. "Iya, aku mau mandi" ujarku seraya cepat menyambar handuk yang menggantung di kastok samping pintu kamar mandi, sementara tas yang ku bawa kerja itu sudah terlepas di samping meja belajar. Jingga mengangguk, "Jingga buatin teh ya," ujarnya sebelum aku benar-benar menghilang ke kamar mandi. "Jangan lupa ya lilin aroma terapinya di nyalain" ujarku. Jingga tersenyum, wajah memerah entah kenapa. "Iya kang, yasud

    Last Updated : 2024-10-08
  • Istriku Seorang Juragan    Gangguan malam

    "Emang harus malam ini juga, Jing?" Aku bertanya dengan keluhan saat Jingga meminta izin setengah memaksa untuk mengantarkannya ke peternakan di ujung desa miliknya. "Iya, kang. Memang harus malam ini juga. Si Jejen mau ngelahirin, takutnya gak ada yang bantuin. Kata si mamang perkiraannya hari ini, dia gak bisa bantu. Malas katanya, sementara karyawanku lagi demam""Yaudah atuh kalau mau ngelahirin mah dibawa ke rumah sakit biar di bantu bidan, bukan malah kamu yang bantu. Emang kamu lulusan bidan juga?" Aku bertanya dengan agak sedikit terbahak. Ini si Jingga apa-apaan ya, masa iya dia mau bantuin orang lahiran. Aneh banget perasaan. "Eh si akang, ayo ah cepat kang. Kita pinjam motor butut bapak aja ya biar cepat. Kalau pake sepeda tua nanti keburu gak ketulungan" pintanya santai. Lah, itu enteng banget mulu. Motor butut katanya? Masih mulus gitu, cuma kerangkanya emang sengaja dilepas kan buat bawa rumput yang sehabis di sabit di gunung. Biar gak capek. "Iya, bentar ya akang p

    Last Updated : 2024-10-17
  • Istriku Seorang Juragan    Malam penuh kejutan

    Aku tercengang ketika kami sudah mulai mendekati gerbang kompleks peternakan milik Jingga, nampak pintu gerbang berbahan besi itu menjulang tinggi diatasnya tertulis nama Jingga's Farm, sekelilingnya tembok kokoh menjulang dengan ram kawat anti maling diatasnya. Ah, semewah ini rupanya. Pantesan saja julukan juragan Jingga tersemat di namanya."Bentar ya kang, aku buka dulu kuncinya" ujarnya turun dari motor tanpa menunggu persetujuanku. Aku mengangguk, memperhatikan bagaimana gerbang semewah dan sekokoh itu hendak dibukanya. Apakah kompleks peternakan semewah ini tidak memiliki security? Kenapa harus Jingga yang memegang kendali semuanya? "Ayo kang masuk," ujarnya mempersilahkan. Aku mengangguk, mendorong motor butut bapak ini memasuki area peternakan semakin dalam, diikuti Jingga yang sudah selesai menutup pintu gerbang. "Kang, motornya biar di simpan di sini saja ya, kita ke sananya naik sepeda aja" ujarnya menunjuk ke area parkir yang ternyata ada beberapa sepeda motor dan sep

    Last Updated : 2024-10-21
  • Istriku Seorang Juragan    Oh pantesan

    Byur!Tengah malam begini, akhirnya aku terpaksa membersihkan tubuh setelah dirasa cukup membantu Jingga di kandang sapi itu. Air tengah malam terasa begitu dingin, di tambah semilir angin malam yang terasa begitu kencang membuat ku ingin cepat-cepat segera mengakhiri ritual ini. Tapi tunggu, sedari tadi aku mandi mataku tak pernah berhenti mencari-cari sabun mandi di sini. Nampak hanya satu sikat gigi dan odol bertengger di tempat sabun itu, lalu tadi dia mandi pake apa? Apa cuma air saja?"JINGGA!" aku berteriak cukup kencang, sudah terlalu lama di kamar mandi nanti bisa-bisa tubuhku membeku karena ke dinginan. "Kenapa kang? Teh Jingga udah balik lagi ke kandang," sahut Mail. "Sabun mandi habis il?" tanyaku setengah berteriak. "Aduh kang, lupa. Disini kalau mandi gak pake sabun mandi, biasanya pake daun dayang. Daun nya habis ya kang di pake teteh tadi kali ya" sahutnya.Ya salam, zaman sudah secanggih ini masih mandi pake daun? Pantesan aroma tubuh Jingga tak sedap selama ini.

    Last Updated : 2024-10-22
  • Istriku Seorang Juragan    perkara panggilan sayang

    Hari libur yang harusnya menyenangkan ini, berganti menjadi suram. Bagaimana tidak, sepagi ini saat aku hendak pulang ke rumah, mata ini tak sengaja melihat Jingga tengah asik membersihkan kandang kelinci bersama seorang lelaki yang seumuran dengan ku. Namanya Yudi. Mereka terlihat begitu akrab, saling membantu satu sama lain seperti karyawan dan majikan yang tengah kerja sama. Tapi, tunggu dulu. Gelagat Yudi agak aneh, ia terus saja mengikuti Jingga kemana pun bahkan ku lihat ia seperti tengah mencari perhatian pada istriku itu. Dari matanya sih terhilat tampan, tapi gak tau kalau maskernya di buka mungkin ketampanannya akan berkurang drastis, jauh berbeda dari aku yang akan tetap tampan bahkan lebih tampan darinya. "Yud, kamu tolong satuin si Moly sama si Mily. Kayaknya si Mily udah waktunya kawin" ujar Jingga yang ku dengar samar-samar. Lelaki itu mengangguk, ia membuka salah satu kandang kelinci dan mengambilnya. "Ini teh, lucu ya kaya teteh" ucap Yudi sambil memegang see

    Last Updated : 2024-10-22

Latest chapter

  • Istriku Seorang Juragan    jangan nolak

    Mobil yang aku dan Jingga tumpangi sekarang, rasanya begitu nyaman dan wangi apel begitu mendominasi saat pintu kaca mobil sudah ku naikan sepenuhnya. Aku memutar kunci kontak, suara mesin mobil itu menyala halus, berbeda dengan kendaraan biasa yang Jingga pakai. Sambil menatap spion, aku bisa melihat Bapak dan Mail yang masih berdiri di depan rumah, mengangguk kecil seolah memberikan restu. Sementara itu di sampingku, Jingga hanya diam, matanya menatap keluar, wajahnya agak muram.Aku melajukan mobil itu perlahan meninggalkan halaman rumah. Jalanan di luar mulai ramai. "Tidur aja lagi, perjalanan masih panjang." Suruhku berusaha membuka percakapan saat mobil mewah ini sudah memasuki jalanan perkotaan. Jingga menoleh, "gak papa?" tanyanya dengan wajah berbinar. Aku mengangguk mantap. "Serius, tidur lagi aja biar badannya enakan. Perlu aku putarkan musik buat nemenin tidurnya?" tawarku.Jingga menggeleng pelan, meski ada senyum kecil yang muncul di bibirnya. "Gak usah, kang. Cukup

  • Istriku Seorang Juragan    Titip teteh ya, A.

    "Teh ... Teteh ... A ... Pak buka pintunyaaaa!" suara teriakan dari luar terdengar begitu nyaring saat aku dan Jingga hendak keluar dari kamar. "Sebentar il," seolah sudah hafal dengan suaranya bapak yang tengah bersantai dengan secangkir teh di ruang tamu, beranjak cepat menuju pintu utama. Aku dan Jingga saling pandang, mungkin sedikit bingung dengan keributan di luar. Mail, yang biasanya pendiam dan tidak banyak bicara, tiba-tiba berteriak begitu keras. Ini pasti ada sesuatu yang serius. Aku bisa merasakan perasaan Jingga yang mulai cemas, apalagi setelah segala hal yang sudah terjadi dalam beberapa hari ini. "Mail, kenapa teriak-teriak gitu?" terdengar suara Bapak yang sedikit kesal, namun tetap ada nada cemas di dalamnya. Aku bisa mendengar langkah kaki Mail yang terburu-buru, dan kemudian pintu terbuka dengan suara berderit."Pak, teteh sama a Ahmad belum berangkat kan?" Mail masuk dengan wajah serius, bola matanya berputar kesana kemari seolah sedang mencari sesuatu.Bapak y

  • Istriku Seorang Juragan    Harapan

    Jam di ponsel sudah menunjukkan pukul 8:15 pagi. Aku memandangi Jingga yang masih terlelap di sampingku, tubuhnya tertutup selimut tebal, napasnya yang tenang seolah melawan kegelisahan yang terus mengusik pikiranku.Aku menghela napas pelan, mengingat keputusan yang sudah kami buat beberapa jam yang lalu. Hari ini, kami akan menuju Jakarta. Semua yang telah kami persiapkan, baik itu mental maupun materi, terasa seperti sebuah perjalanan yang penuh ketidakpastian. Jakarta selalu memberikan harapan, tapi juga tak jarang menawarkan tantangan yang membuat siapa pun merasa tertekan. Dengan hati-hati aku duduk di tepi ranjang, menatap wajah Jingga yang masih terlelap. Ada rasa cemas yang menggelayuti pikiranku, tentang perjalanan yang akan kami tempuh, tentang masa depan kami di Jakarta, tentang segala hal yang belum sepenuhnya kami rencanakan. Aku tahu Jingga lelah, apalagi setelah semalam kami terlibat perdebatan panjang soal uang dan tempat tinggal. Tapi perjalanan ini harus dilakukan.

  • Istriku Seorang Juragan    Jangan kwras kepala!

    Setelah perdebatan semalam, akhirnya keputusan di buat subuh ini. Aku yang masih kekeh untuk tidak memakai uang Jingga nyatanya kalah juga. Uang ku tidak lebih banyak darinya dan aku akui itu. Tapi, sebagai laki-laki yang ingin menjadi suami yang bertanggung jawab aku memutuskan untuk memakai uangnya separuh dan separuh lagi memakai uangku. Itu sudah menjadi keputusan kami subuh ini, setelah beberapa kali membujukku dengan lembut."Fiks ya kang, kita patungan saja"Aku mendengus saat Jingga mengulang perkataannya. "Iya, tapi nanti pas gajian saya ganti ya,""Gak usah, lagi pula ini juga penyakit Jingga. Akang gak usah mikirin itu," tolaknya lagi untuk kesekian kalinya.Aku memandang Jingga yang duduk di sebelahku, wajahnya lembut dengan senyum tipis yang selalu berhasil menenangkan hatiku. Eh apaan, sejak kapan dia manis? Ayo sadar ahmad, Jingga itu perempuan biasa. Sama seperti yang lain!"Gak bisa gitu ya, kalau kamu nolak terus. Yaudah kita putuskan tinggal di rumah teh Ayu!" Anca

  • Istriku Seorang Juragan    Jangan egois kang!

    "pokoknya, teteh gak mau ya kalau kamu tinggal di rumah teteh sama istri kamu itu. Teteh gak mau sakit lagi, teteh kapok!"Aku mendengus kesal saat mendengar penolakan teh Ayu melalu sambungan telepon malam ini saat aku menghubungi mas Abi, untuk meminta pendapat tetang Jingga.Namun tiba-tiba suara teh Ayu, menggelegar terdengar sebuah ketidaksukaan di sana. Mungkin ia mendengar percakapan aku dan mas Abi yang meminta izin untuk sekalian menginap beberapa hari di rumahnya."Teteh jangan gitu dong. Ahmad ini adiknya teteh loh, kenapa teteh tega sekali?" tanyaku berusaha menahan emosi."Enggak ya mad. Kamu memang adik teteh, tapi untuk saat ini enggak. Kamu cari aja hotel atau apa kek, asal jangan di rumah teteh. Istri kamu itu bawa penyakit""Tega banget, awas ya teh kalau nanti teteh butuh bantuan sama ahmad. Ahmad gak akan bantu!" Ancamku berusaha untuk meluluhkan hatinya."Terserah kamu mad, yang jelas teteh gak mau ya kamu tinggal di sini. Nanti rumah teteh jadi bau, teteh gak suk

  • Istriku Seorang Juragan    Tapi saya suami kamu!

    Bagaimana pun sekarang aku sudah menjadi suaminya dan aku yang bertanggung jawab atasnya sepenuhnya. Setelah perbincanganku dengan dokter, aku menemui Jingga berbicara padanya sembari menguatkannya. Aku tau ini berat, tapi kalau tidak di tangani sekarang takutnya Jingga semakin menderita akibat bau badannya yang tak kunjung hilang. Cukup aku kesihan melihatnya menjadi bahan perbincangan warga kami. "Akang serius mau bawa jingga ke Jakarta setelah ini?" Jingga bertanya saat aku mengemas pakaiannya untuk segera bergegas pulang dari rumah sakit ini. Aku menoleh, menghentikan aktivitasku. "Iya, saya mau telpon mas Abimanyu dulu. Kita bicarain ini di rumah ya," aku menatap Jingga dengan penuh keyakinan, berusaha memberi semangat padanya. Dalam matanya, aku melihat keraguan yang dalam. Itu wajar, tentu saja. Namun, aku tidak bisa membiarkan Jingga terpuruk lebih lama. Masalah ini harus segera ditangani, dan Jakarta adalah langkah terbaik untuknya."Akang... tapi, aku takut," suara Jingga

  • Istriku Seorang Juragan    Terus akunya enggak?

    "Dan aku akan selalu di sini, Jingga. Nggak peduli apa pun yang terjadi,"Ucapan terakhirku pada Jingga, masih terngiang-ngiang di benakku. Ada rasa penyesalan di setiap kepingan ingatan itu. Sungguh itu aku? Kok bisa seorang Ahmad bisa berbicara seperti itu pada seorang perempuan yang bahkan tak aku cintai sama sekali. Mungkinkah karena aku kesihan padanya? Tapi entah mengapa setelah mengatakan hal itu ada rasa lega dihati, disamping penyesalan itu.Ah, sudahlah. Bukankah tujuanku menikah bukan untuk bercerai? Mungkin ini sebuah langkah awal dalam hubungan kami, setidaknya aku sedang belajar mencintainya.Dan hari ini, hari kedua Jingga berada di rumah sakit. Demamnya sudan turun, dokter juga sudah mengizinkan kami untuk pulang, tapi aku memaksa dokter untuk memeriksanya lebih lanjut lagi. Aku ingin tau, penyebab bau badannya yang sedari ramaja itu apa? Kok bisa baunya tak kunjung hilang, dan begitu menyengat, berbeda dengan manusia normal lainnya.Dokter menatapku dengan cermat, sea

  • Istriku Seorang Juragan    Akan terus bersama

    Pov JinggaPagi ini badanku rasanya seperti terasa sangat berat, terutama di bagian perut seperti ada yang melilit erat. Sesak. Mungkin ini akibat asam lambungku naik kembali, selain demam yang tinggi ternyata setelah di observasi rupanya aku memiliki riwayat asam lambung yang kronis selain itu, entah apa lagi yang dibicarakan dokter sama kang ahmad kemarin. Katanya aku butuh pemeriksaan lebih lanjut agar riwayat penyakitku yang lain bisa di ketahui, termasuk bau badanku yang baru ku sadari setelah tak sengaja mendengar percakapan teh Ayu dengan sahabat kecilnya kang Ahmad, siapa lagi kalau bukan Sinta dan ku rasa perempuan itu mencintai suamiku.Tunggu, ini yang berat dan melilit di perutku rasanya bukan berasal dari asam lambung deh. Rasanya beda, ini seperti ...Hupt...Aku terkejut saat meraba-raba dan ku rasakan sebuah tangan melingkar di perutku. Tangan siapa? Tak mungkin tangan Mail sebesar ini dan berbulu.Melawan rasa penasaran, ku cubit saja dengan kencang tangan lancang yan

  • Istriku Seorang Juragan    Apakah memang benar-benar tulus?

    *Pov Juragan Jingga*Malam semakin sunyi, semakin sepi. Bahkan diantara kantuk dan beratnya mata terbuka, aku merasakan sesuatu di keningku, basah tapi juga tidak hangat selain itu perutku terasa berat seperti ada sesuatu yang menindih perutku.Ku buka mata yang masih benar-benar berat dan menemukan wajah seseorang diantara remang pencahayaan lampu tidur.Bibirku menarik seulas senyum saat menemukan see seseorang tertidur di sisi ranjang pesakitan dengan melingkar di perutku seolah ia tengah memelukku."Saya tulus, jangan terlalu berpikiran negatif mulu. Udah makan lagi, mumpung saya baik. Ingat, saya tulus!"Jujur saja, kata-kanya tadi siang selalu terngiang-ngiang di pikiranku. Benarkah apa yang diucapkannya memang tulus? Bahkan aku tak paham dengan perubahannya kini yang begitu peduli padaku. Agak aneh, biasanya juga kalau ia peduli itu ada maunya saja itu pun gak sampai meluk dan rela berkorban apa pun.Ini? Dia bahkan mencium bibirku. Kami berciuman tadi. Eh, benarkah itu? Aku te

DMCA.com Protection Status