Setelah mencoba menelepon sepuluh kali, Kai akhirnya menyerah dan pergi sendirian ke rumah orangtuanya di daerah Menteng. Kai masih menyiapkan alasan yang mungkin diterima orangtuanya—terutama ibunya, ketika mobil yang ia tumpangi sudah memasuki pelataran rumah Barata.
“Cepat sekali rasanya,” gerutu Kai sebal karena ia harus menyiapkan diri dibombardir ibunya mengenai tidak hadirnya Kristal.
“Kamu langsung pulang saja,” ujar Kai pada Rangga yang duduk di kursi depan. “Terima kasih untuk hari ini.”
Rangga menoleh dan mengangguk sopan. Ketika sopir menghentikan mobilnya, Kai segera turun sambil membuka dua kancing teratas kemejanya. Ia harus mencoba rileks agar orangtuanya tidak semakin curiga dengan ketidakhadiran Kristal saat ini.
“Pa, Ma,” panggilnya keti
Lokasi calon kantor baru Aksa ternyata tak jauh dari MouseRabit. Law firm baru Aksa berlokasi di Plaza Eightyeight, persis di sebelah Kota Kasablanka. Dari lelaki itu, Kristal tahu kalau law firm Aksa akan menempati dua lantai di gedung tersebut.“Enak banget, jam makan siang bisa makan di Kota Kasablanka,” komentar Kristal sambil duduk di sofa yang ada di ruangan Aksa.Kantor itu sudah 90% full furnished. Kristal selalu percaya dengan pilihan furnitur Aksa, tapi lelaki itu sejak dulu pasti selalu meminta pendapatnya mengenai kombinasi warna dan tata letak furniturnya.Dulu saat kuliah Aksa kerap kali bertanya entah untuk kamar di rumahnya yang terletak di kawasan Setiabudi atau apartemennya di Depok.“Makanya, kan, makin banyak alasan untuk kamu bergabung denganku
Sepanjang perjalanan pulang, Kai mengabaikan ponselnya yang beberapa kali bergetar. Pasti itu adalah mamanya yang mencari ke mana ia pergi. Padahal biasanya Kai akan pulang paling cepat satu jam setelah selesai makan malam.“Pak Kaisar.” Panggilan sopirnya membuat Kai menoleh dari jendela. “Nyonya Sonya menelepon saya, sepertinya mau bicara dengan Bapak.”“Abaikan saja,” perintah Kai dengan cepat. “Nanti saat saya sampai di rumah, saya yang telepon beliau.”Sang sopir mengangguk lalu kembali menyimpan ponselnya ke saku kemeja batik yang ia kenakan.Saat akhirnya ia sampai di rumahnya, Kai hampir saja segera berlalu saat sopirnya memanggilnya.“Pak, ini makanannya mau ditaruh di mana?”
“Kamu udah sampai rumah?”“Udah.” Kristal menjawab sambil menatap figura yang tadi sempat dipegang Kai, fotonya dengan Aksa saat wisuda S1 mereka dulu. “Makasih ya buat traktiran hari ini.”“Anytime, Princess.”Kristal tertawa kecil mendengar panggilan yang sudah lama tak ia dengar dari Aksa. Hanya Aksa yang berani memanggilnya ‘Princess’ karena orangtuanya memang cukup memanjakannya seperti seorang putri.“Ya udah, kamu istirahat gih. Thanks for today ya, Sa.”“Kamu juga istirahat ya, Ta. Good night, have a nice dream.”Setelah panggilan tersebut berakhir, Kristal pun merebahkan tubuhnya di ranjang dan memejamkan mata
“Mukamu kenapa merah begitu?”Kristal langsung merengut mendengar pertanyaan Hafi. “Merah gimana?”“Kamu demam?” Hafi menempelkan punggung tangannya di kening Kristal selama beberapa saat. “Tapi nggak panas.”“Aku nggak demam,” kilah Kristal.“Habis dicium Kai, ya?”“WHAT?!”“Ssst!” Hafi menjitak kening Kristal dengan kesal dan gemas. “Apaan, sih? Berisik banget.”“Kamu nggak usah ngomong aneh-aneh makanya!” seru Kristal kesal sambil mendorong troli belanjaan mereka dengan cepat.Hari ini jadwal kerja Kristal untungnya hanya mem
Selain hari Rabu, Kristal juga membenci hari Jumat.“Siang, Bu Kristal. Caramel Signature Chocolate-nya satu, ya?”Kristal meringis saat barista yang bertugas di MAXX Coffee gedung Big Screen langsung menyebut pesanannya. “Iya, Caramel Signature Chocolate-nya satu, ya, Mas.”“Oke, ditunggu, ya, Bu.”Kristal mengangguk dan berlalu mencari meja yang tidak berpenghuni. Hari ini ia kembali ke Big Screen untuk mem-follow up kasus Olla. Rabu dan Jumat menjadi pilihannya untuk datang ke Big Screen.“Kristal.”Ketika namanya dipanggil, Kristal mengambil minuman pesanannya dan kembali duduk berhadapan dengan laptopnya. Ia mencoba menghabiskan waktu dan mengalihkan pikirannya pada pekerjaan
Jika ditanya kepada sepuluh lelaki, apa mereka menginginkan Olla Christine menjadi pasangan mereka, maka ada sembilan lelaki yang menjawab ‘iya’.“Semua laki-laki menginginkanku, tapi kenapa Kai jadi satu dari sepuluh lelaki yang menolakku?”Manajer yang sudah bekerja dengan Olla sejak setahun yang lalu itu hanya bisa mendengarkan dan sesekali mengangguk sebagai tanda respons untuk Olla. Di balik senyum manis dan keramahan yang luar biasa di depan kamera, Olla adalah perempuan bertemperamen tinggi yang tak akan segan-segan untuk membentak orang lain.Tak peduli orang itu lebih tua atau lebih muda darinya.Sebenarnya, Brita—manajer Olla—awalnya tidak menyangka kalau Olla memang seburuk yang diceritakan mantan manajer Olla sebelumnya. Tapi ketika minggu pertama berlalu, ia tahu kalau dirinya tak akan dengan mudah untuk keluar dari neraka kecil ini.“Kamu dengerin aku nggak, sih, Bri?”“Denger, kok,” respons Brita cepat. Apalagi saat dilihatnya wajah cantik Olla sudah menatapnya dengan c
“Masih sebegitu cintanya kamu sama Cessa?”Pertanyaan yang benar-benar random itu langsung membuat Kai membuka matanya dengan terkejut. Kristal tengah menatapnya tanpa ekspresi dan hal itu benar-benar membuat Kai kebingungan.“Maksudmu?”Kristal mengedikkan dagunya ke arah meja, seketika itu Kai tahu kalau ia membiarkan majalah bersampul wajah mantan kekasihnya terlihat oleh istrinya, Kristal.“Hanya karena ada majalah yang ada dia di sini, apa itu menjadi jawaban untuk semua pertanyaanmu tentangku?”Kristal terkekeh pelan, menarik perhatian Kai yang sebelumnya tak berekspektasi kalau perempuan itu justru akan tertawa.“Kai, Kai…. Kamu tinggal jawab iya atau nggak. Tapi kamu malah mempersulit hal yang mudah.”Kristal langsung berjalan keluar dari ruangan Kai. Meninggalkan Kai yang menatapnya dengan berbagai pikiran yang berkecamuk di benaknya.Tanpa Kai ketahui, Kristal mengubah tujuannya. Dari yang tadinya ingin kembali ke ruangan tim legal, ia justru menekan tombol lift menuju lanta
“Saya Aksa, sahabat Princess sejak kuliah.”Dalam hatinya, Kai berdecak kagum. Wah, banyak juga stok nyawa lelaki ini. Bagaimana bisa ia memanggil Kristal dengan sebutan seperti itu di hadapannya?Dan Aksa bahkan tak terlihat gentar ketika Kai dengan jelas memberi batasan teritorinya. Kalau ia adalah suami Kristal, perempuan yang sedari tadi ia tatap dengan tatapan penuh pemujaan.Hal yang tak pernah Kai lakukan sebelumnya.“Kamu ngapain di sini?”Mendengar Kristal mengulang pertanyaannya, menyadarkan Kai kalau ia berhasil menjalankan rencananya. Tadi siang perempuan itu bilang kalau ia berhasil menemukan lelaki ini, ia bisa menanyakan namanya pada Kristal. Tapi Kai lebih memilih untuk mendengar nama itu disebut sang pemiliknya sendiri.“Tadi ada meeting di DBS Tower, terus ke sini karena mau beliin sandwich kesukaan kamu.” Kai mengangkat paper bag Starbucks yang ia bawa.Kristal ingin membantah kata-kata Kai, namun ia berusaha menahan dirinya. Kalau hanya untuk mencari Starbucks, bua
“Menurut kamu, gimana filmnya?”Kristal menoleh pada Kai dan menatapnya dengan penuh perhitungan. “Kamu mau jawaban jujur atau bohong?”Kai menyeringai. “Jujur dong, Babe.”“Hm….” Kristal mengusap dagunya sembari berpikir. “Alur ceritanya agak membosankan, terlalu sering dijadiin formula film-film sejenis dan nggak ada twist apa-apa.“Perkembangan karakternya juga nol. Padahal film atau buku itu akan bener-bener seperti ‘film dan buku’ ketika karakternya berkembang—menurutku tapi ini, ya.“Kayaknya kalau bukan karena kamu yang ngajak, aku nggak bakal mau nonton, deh.”Kai
Kai menatap istrinya untuk waktu yang lama. Kristal bukannya tidak sadar kalau suaminya yang tengah duduk di tepi ranjang tengah mengamatinya yang kini sedang memoles wajahnya dengan riasan.“Kenapa, sih, Mas?” Akhirnya Kristal tidak tahan untuk angkat bicara. “Lipstikku menor banget, ya?”Kai tergelak seraya menggeleng. “Nggak, red looks so good on you.”Perempuan yang hari ini mengenakan atasan plisket berwarna biru langit dan midi skirt hitam tersebut menatap Kai dengan curiga. “Terus? Kok ngelihatin aku kayak gitu banget?”“Soalnya kamu cantik.”“Basi, Mas.”Kai kembali tertawa. Kristal yang sudah selesai pun beranjak ke ranjang dan duduk di sa
Kristal menatap deretan buku yang ada di ruang santai di lantai dua. Hari telah beranjak siang saat ia naik ke lantai atas untuk mengambil laptopnya dan mulai mengerjakan pekerjaannya.Akan tetapi, ia malah terdistraksi oleh rak buku yang penuh dengan buku anak-anak dan buku dongeng di ruang santai. Baru minggu lalu ia dan Kai membeli banyak buku di Gramedia dan Periplus untuk anak mereka.Menunda keinginannya untuk mengambil laptop, Kristal beralih pada ruang santai dan duduk di single sofa yang terletak di depan rak tersebut.Matanya mengamati deretan buku beraneka warna dan beraneka ukuran tersebut memenuhi rak buku mereka. Kristal dan Kai berharap anak mereka nanti akan suka membaca seperti mereka berdua.Kai
“Mas, makan di luar, yuk. Mau nggak?”Hari ini adalah hari Kamis dan hari sudah menjelang sore, saat tiba-tiba Kristal menoleh padanya yang tengah meneliti dokumen untuk ia bawa meeting hari Senin minggu depan.Kristal sendiri baru menyelesaikan pekerjaannya setengah jam yang lalu dan mulai merasa bosan.Sebagai orang yang keluar rumah lima hari dalam seminggu, berada di rumah dari hari Minggu sampai Kamis seperti ini sudah mulai membuatnya jenuh.“Mau.” Kai menjawab tanpa berpikir panjang. “Mau makan di mana, Sayang?”“Pancious?” Kristal meringis karena lagi-lagi nama restoran itulah yang ia pilih. Di kepalanya hanya akan selalu ada dua tempat makan yang akan sudi ia datangi dalam mood apa saja, McDonald’s dan PanciousKai mengacak rambut Kristal dengan gemas. “Boleh.”“Kamu sibuk banget, Mas?” tanya Kristal sambil mendekat pada Kai hingga tubuh mereka bersisian, dan perempuan itu menatap laptop di depan Kai. “Masih banyak nggak kerjaannya?”“Nggak, kok,” jawab Kai untuk dua pertanya
Walau dokter mengatakan biasanya ketika proses kuretase berjalan lancar pasien bisa beraktivitas kembali setelah pulang dari rumah sakit, Kai tetap menganjurkan Kristal untuk beristirahat. Maka di sinilah Kristal, menghabiskan beberapa hari cutinya di rumah.Dalam diam Kai dan Kristal sama-sama sepakat kalau waktu istirahat bukan hanya untuk menyembuhkan diri pasca proses medis tersebut, tapi juga mengistirahatkan mental yang benar-benar lelah.“Kamu nggak ke kantor?” tanya Kristal setelah siang itu mereka tiba di rumah.“Nggak.” Kai menggeleng sambil ikut duduk di sofa, di samping Kristal. “Aku juga cuti.”Kristal mengerutkan keningnya. “Mas, aku nggak apa-apa. Kamu nggak perlu jagain aku 24 jam.”“It’s okay. Kalaupun kamu nggak butuh aku di sini, aku yang butuh kamu, Ta.”Ucapan Kai membuat Kristal terdiam selama beberapa saat. Dengan hati-hati, Kai merengkuh Kristal ke dalam dekapannya.Saat itulah, dari puluhan pelukan yang ia dapat sejak mereka dikabarkan kalau sang calon anak ya
Kristal terbangun karena rasa sakit yang membuat kepalanya juga langsung pusing. Namun, ia menahan diri untuk tidak memanggil siapa pun. Jadi yang ia lakukan hanya berdesis pelan, sepelan mungkin agar Kai tidak terbangun.Kristal bisa merasakan bagaimana Kai tertidur di samping ranjangnya, dengan posisi yang tidak nyaman. Kepalanya terkulai di sisi ranjang yang Kristal tempati dengan kedua tangannya yang menggenggam tangan Kristal.Kristal menelisik ke sekitarnya dan tidak menemukan siapa pun selain Kai. Sebenarnya beberapa jam yang lalu ia sempat terbangun, namun hanya bisa mendengar suara Julia dan Kai yang mengobrol lirih, kemudian ia jatuh tertidur lagi.Kristal mencoba menghela napas dalam-dalam. Tatapannya kini terpaku pada langit-langit kamarnya.“Kak… kok kamu tinggalin Mama sama Papa, sih? Katanya mau ketemu sama Mama sama Papa,” lirihnya dengan suara yang hampir tidak terdengar.Rasanya masih seperti mimpi saat dokter mengatakan padanya kalau janinnya tidak berkembang dan ha
[Kehamilan Kristal. Minggu kelima.]Kai yang baru pulang bekerja memanggil Kristal, saat ia tidak menemukannya di ruang tengah atau di ruang makan. “Tata?”Karena tidak ada sahutan, Kai berpikir mungkin Kristal ada di kamar. Mengingat akhir-akhir ini istrinya mudah sekali merasa mengantuk.“Mas?”Panggilan itu membuat langkahnya terhenti dan kembali turun dari dua anak tangga yang sudah ia naiki. Matanya menangkap sosok Kristal yang melongok ke arahnya dari teras samping.“Lho, di sini kamu ternyata,” ucap Kai saat menghampiri istrinya dan memeluknya. Kemudian ia mencium kening dan bibirnya seperti biasa. “Ngapain malem-malem di luar?”“Lihatin bintang.” Krista
Hari ini adalah kunjungan rutin Kristal ke dokter kandungan. Dan seperti biasa, Kai tentu menemaninya. Lelaki itu tidak pernah meninggalkan Kristal pergi sendiri di jadwal kunjungan rutinnya.Kristal merasa excited karena hari ini akan menyapa anaknya lewat USG dan mendengarkan apa kata dokter mengenai kandungannya, tapi ada sedikit keresahan yang muncul sejak semalam.Walaupun begitu, ia berusaha baik-baik saja di depan Kai karena tidak ingin membuat suaminya khawatir. Hanya saja usahanya digoyahkan dengan apa yang ia dapati pagi ini.“Sayang.” Panggilan Kai diiringi ketukan di pintu kamar mandi. “Tumben lama? Kamu nggak pingsan, kan?”“Nggak, kok.” Gema suaranya menyamarkan su
“Sayang, kamu belum mau liat-liat baju buat si Kakak?”Pertanyaan Kai membuat Kristal yang tadinya sedang melihat website Sephora untuk request makeuppada Hafi, jadi terhenti karenanya. “Baru tiga bulan, Mas.”“Iya, sih.” Kai mengangguk pelan. “Tapi kayaknya lucu nggak, sih, kalau kita mulai cicil baju bayi?”Kristal terkekeh pelan dan meninggalkan iPad Kai yang tadinya ia pinjam di atas meja.“Mas, baju bayi tuh kepakenya cuma sebentar, lho. Kan, makin lama dia makin gede. Kalau kita beli dari sekarang, nanti yang ada pas Kakak baru lahir, stok bajunya udah hampir setengah baju kita.”Kai yang baru sadar setelah mendengar ucapan Kristal langsung terkekeh malu. Ia menggaruk tengkuknya ya