Malik memandangi cincin putih berpermata satu yang sedang ia pegang dengan ibu jari dan jari telunjuk.Bibirnya mengulas senyum kecil, ia penasaran akan seperti apa reaksi Kimberly nanti setelah ia memberikan cincin ini kepadanya?Namun sampai saat ini Malik belum menemukan waktu yang tepat.Hanya saja ia merasa tak bisa menunda terlalu lama. Dua minggu lagi ia akan kembali ke Andorra. Dan sebelum itu, ia harus mengatakan perasaannya yang sesungguhnya kepada Kimberly, terlepas dari Kimberly akan menerimanya atau tidak.“Cincin buat siapa? Kimberly?”Pertanyaan Arsya yang baru saja duduk di hadapannya membuat Malik seketika mendongak dan tersenyum pada adiknya itu.“Gimana menurutmu? Cantik?” tanya Malik, hanya untuk memastikan cincin pilihannya tidak salah dan benar-benar disukai wanita.Arsya tersenyum, mengamati cincin di tangan Malik sebentar, lalu mengangguk. “Cantik dan mewah,” pujinya, “aku yakin Kimberly akan suka.”Tidak perlu pusing memikirkan untuk siapa cincin itu, Arsya bi
“Halo? Malik, kenapa diam aja? Atau emang teleponnya nggak ada suaranya?” tanya Kimberly saat ia tak kunjung mendengar suara Malik di ujung sana.“Iya, aku dengar.”Kimberly mengurungkan niatnya untuk menutup sambungan telepon—karena ia pikir sedang ada gangguan, tatkala Malik akhirnya bersuara.“Kalau dengar kenapa diam aja dari tadi?” gerutu Kimberly sembari menyuruh sopir agar keluar dari mobil, yang baru saja berhenti di depan rumah orang tuanya.“Nggak apa-apa, cuma sedang meresapi suara kamu yang bikin aku… semakin rindu.”Ya Tuhan… pipi Kimberly seketika berubah merah seolah-olah aliran darah mengalir deras ke wajahnya itu.Ia mengulum senyum, menunduk malu meski Malik tak ada di hadapannya. Entah ke mana perginya kata-kata dingin dan pedas yang dulu sering Malik lontarkan kepadanya. Kini mulutnya berubah menjadi semanis madu.“Jangan bikin anak orang jadi ge-er, Malik. Kalau aku masuk ICU karena sesak napas, gimana coba?” kelakar Kimberly.Malik tertawa kecil. “Gampang, kok. N
“Apa yang harus aku lakukan?” gumam Kimberly seraya menutupi wajahnya dengan bantal.“Nggak ada cara lain lagi selain kamu ngaku, Kim.” Deby menatap cemas pada sahabatnya yang sejak datang ke rumahnya, terus murung dan bengong seperti orang kesambet. “Itu satu-satunya cara supaya nanti Malik nggak marah ke kamu. Kalau kamu jelasin semuanya, aku yakin dia bakal ngerti kok.”Kimberly memejamkan mata di bawah bantal, membiarkan rongga dadanya yang sudah sesak, kini semakin sesak karena kurangnya pasokan oksigen.“Kamu yakin dia nggak bakal marah, By?” Suara Kimberly terdengar teredam.“Yakin sembilan puluh persen,” jawab Deby, yang sebenarnya keyakinannya itu fifty-fifty karena Kimberly sudah membohongi Malik terlalu jauh. Namun tak mungkin Deby menakut-nakuti Kimberly mengenai keyakinannya itu. “Jangan ditunda-tunda lagi, Kim. Lagian kenapa sih kamu nggak jujur aja sama dia dari awal? Ya minimal mata kamu nggak usah ditutupi gitu pake softlens hitam di depan Malik.”Kimberly melepaskan
Kimberly duduk memeluk lutut, bersandar pada pintu kamarnya sambil menggigit bibir bawah dengan perasaan tak karuan.Setelah Malik melepaskan jabatan tangannya tiga puluh menit yang lalu, Kimberly langsung bergegas masuk ke kamar dan mengurung diri. Ia tak sanggup berlama-lama ada di dekat Malik.Dadanya terasa sesak, Kimberly tidak bisa membaca apakah Malik marah kepadanya atau tidak.Namun, tatapan tajam yang sempat Malik layangkan kepadanya membuat Kimberly merasa yakin jika pria itu marah.Kimberly membenamkan wajahnya di atas lutut, matanya berkaca-kaca.Andai saja bisa, ia ingin berharap bahwa ini hanyalah mimpi. Lalu ia akan terbangun dalam situasi seperti semula—di mana Malik belum tahu siapa dirinya, biar Kimberly yang memberitahu mengenai kebohongannya. Dengan begitu semuanya tidak akan menjadi serumit sekarang.Sayang, nasi sudah menjadi bubur. Kimberly hanya bisa berharap pria itu mau mendengarkan penjelasan darinya, nanti.“Sayang, sudah mandinya, Nak? Kita makan dulu yuk
Malam itu Kimberly tidak bisa memejamkan mata. Ia gelisah, berguling ke kiri dan kanan seolah tak menemukan kenyamanan dalam tidurnya.Ia juga sudah berusaha menghubungi nomor telepon Malik berulang kali, tapi panggilannya dialihkan. Pesannya hanya centang satu. Ketakutan Kimberly semakin menyeruak di dalam hatinya, ia takut Malik marah dan kecewa hingga pria itu tidak mau memaafkannya.Kimberly menghabiskan malam itu dengan melamun sendirian sambil bersandar pada headboard ranjang. Hingga pukul tiga dini hari akhirnya matanya mau terpejam dan ia terlelap. Lalu alarm memaksanya bangun pukul delapan pagi, tapi Kimberly kehilangan semangat untuk menjalani akhir pekannya.Tiba-tiba Kimberly ingat bahwa ia memiliki janji bertemu dengan Malik di sebuah café pagi ini—yang ia rencanakan kemarin siang di telepon bersama Malik, akhirnya Kimberly terpaksa menyeret langkahnya ke kamar mandi dengan gontai.Tubuhnya terasa jauh lebih segar setelah mandi. Ia sarapan bersama orang tua dan adiknya. B
“Apa Neverland mau terima tawaran kerjasama kita? Saya dengar, CEO Neverland jarang terjun langsung ke lapangan. Dia selalu mengutus sekretarisnya dalam hal apapun,” ujar Kimberly.Ia mendecak lidah, bersandar di punggung kursi sambil geleng-geleng kepala. “Biar saya tebak, kemungkinan besar CEO Neverland adalah anak yang lahir dengan sendok emas. Dia nggak pernah bekerja, alias selalu makan gaji buta. Atau mungkin dia nggak mampu jadi CEO, makanya selalu mengandalkan sekretarisnya.”Di sampingnya, Archer terkekeh-kekeh mendengar celotehan sekretaris sekaligus putrinya itu.“Kamu akan terkejut setelah tahu siapa pemilik sekaligus CEO Neverland, Kimberly,” ujar Archer, menyebut nama Kimberly dengan formal di saat jam kerja seperti saat ini.“Anda sudah bertemu sebelumnya dengan orang itu?”“Hm. Dua kali.” Archer mengangguk, tersenyum penuh arti pada Kimberly.Perempuan berpakaian formal itu pun mengesah panjang. “Wow! Dua kali dan Anda sama sekali nggak memberitahu saya?” gerutunya den
Malik tidak berbicara apa-apa. Ia hanya menatap Kimberly yang mengolesi lukanya dengan cairan antiseptik, lalu menutupinya dengan plester.“Sulit banget ya buat jawab pertanyaan aku?” tanya Kimberly saat Malik tak kunjung menjawab pertanyaannya mengenai penyebab luka di tangan pria itu.Kimberly tidak tahu, bahwa sebenarnya luka itu akibat Malik menonjok dinding dan kaca hingga pecah, di rumahnya. Dan Kimberly-lah yang menjadi penyebab emosi Malik tak terkendali.“Bukan sesuatu yang penting yang harus kamu tahu,” jawab Malik dengan ekspresi dingin.Kimberly menggigit bibir bawahnya, ia tidak suka dengan suasana canggung dan mencekam seperti ini.“Beri aku waktu untuk menjelaskan semuanya padamu,” gumam Kimberly seraya menarik tangannya setelah selesai menempelkan plester di tangan Malik. “Kalau memang kamu nggak mau lama-lama berbicara sama aku, seenggaknya beri waktu aku sepuluh menit. Nggak-” Kimberly menggeleng cepat. “Maksudku lima menit. Itu sudah lebih dari cukup.”Satu sudut bi
Kimberly menatap Malik dan Risa bergantian dengan hati mencelos. Tenggorokannya tercekat saat bertanya, “Kenapa dia ada di sini? Apa rumahmu jadi tempat penampungan wanita, Malik?” Ia tersenyum miris.“Hai... kamu Kimberly, ‘kan? Yang kemarin ketemu di restoran itu?” tanya Risa saat Malik tak kunjung menanggapi pertanyaan Kimberly."Ya, kamu benar," jawab Kimberly dengan ekspresi datar. "Kita bertemu saat kamu menjemput calon kekasihmu."“Ah, pantas saja aku merasa familiar.” Risa terkekeh-kekeh, lalu menatap Malik dan bertanya, “Apa dia masih belum tahu tentang hubungan kita, Malik?”Malik tidak menjawab.Risa mendekati Malik, lalu mengalungkan kedua lengannya di leher pria itu dan mengecup pipinya cukup lama.Kimberly membelalak. Kedua belah telapak tangannya mengepal kuat dan bergetar. Napasnya mulai terasa memburu akibat rasa sesak yang terus menyerangnya tanpa henti.“Jadi kalian berdua sedang berkencan?” Suara Kimberly terdengar bergetar.“Aku sudah memutuskan untuk menerima Mali