Malam itu Kimberly tidak bisa memejamkan mata. Ia gelisah, berguling ke kiri dan kanan seolah tak menemukan kenyamanan dalam tidurnya.Ia juga sudah berusaha menghubungi nomor telepon Malik berulang kali, tapi panggilannya dialihkan. Pesannya hanya centang satu. Ketakutan Kimberly semakin menyeruak di dalam hatinya, ia takut Malik marah dan kecewa hingga pria itu tidak mau memaafkannya.Kimberly menghabiskan malam itu dengan melamun sendirian sambil bersandar pada headboard ranjang. Hingga pukul tiga dini hari akhirnya matanya mau terpejam dan ia terlelap. Lalu alarm memaksanya bangun pukul delapan pagi, tapi Kimberly kehilangan semangat untuk menjalani akhir pekannya.Tiba-tiba Kimberly ingat bahwa ia memiliki janji bertemu dengan Malik di sebuah café pagi ini—yang ia rencanakan kemarin siang di telepon bersama Malik, akhirnya Kimberly terpaksa menyeret langkahnya ke kamar mandi dengan gontai.Tubuhnya terasa jauh lebih segar setelah mandi. Ia sarapan bersama orang tua dan adiknya. B
“Apa Neverland mau terima tawaran kerjasama kita? Saya dengar, CEO Neverland jarang terjun langsung ke lapangan. Dia selalu mengutus sekretarisnya dalam hal apapun,” ujar Kimberly.Ia mendecak lidah, bersandar di punggung kursi sambil geleng-geleng kepala. “Biar saya tebak, kemungkinan besar CEO Neverland adalah anak yang lahir dengan sendok emas. Dia nggak pernah bekerja, alias selalu makan gaji buta. Atau mungkin dia nggak mampu jadi CEO, makanya selalu mengandalkan sekretarisnya.”Di sampingnya, Archer terkekeh-kekeh mendengar celotehan sekretaris sekaligus putrinya itu.“Kamu akan terkejut setelah tahu siapa pemilik sekaligus CEO Neverland, Kimberly,” ujar Archer, menyebut nama Kimberly dengan formal di saat jam kerja seperti saat ini.“Anda sudah bertemu sebelumnya dengan orang itu?”“Hm. Dua kali.” Archer mengangguk, tersenyum penuh arti pada Kimberly.Perempuan berpakaian formal itu pun mengesah panjang. “Wow! Dua kali dan Anda sama sekali nggak memberitahu saya?” gerutunya den
Malik tidak berbicara apa-apa. Ia hanya menatap Kimberly yang mengolesi lukanya dengan cairan antiseptik, lalu menutupinya dengan plester.“Sulit banget ya buat jawab pertanyaan aku?” tanya Kimberly saat Malik tak kunjung menjawab pertanyaannya mengenai penyebab luka di tangan pria itu.Kimberly tidak tahu, bahwa sebenarnya luka itu akibat Malik menonjok dinding dan kaca hingga pecah, di rumahnya. Dan Kimberly-lah yang menjadi penyebab emosi Malik tak terkendali.“Bukan sesuatu yang penting yang harus kamu tahu,” jawab Malik dengan ekspresi dingin.Kimberly menggigit bibir bawahnya, ia tidak suka dengan suasana canggung dan mencekam seperti ini.“Beri aku waktu untuk menjelaskan semuanya padamu,” gumam Kimberly seraya menarik tangannya setelah selesai menempelkan plester di tangan Malik. “Kalau memang kamu nggak mau lama-lama berbicara sama aku, seenggaknya beri waktu aku sepuluh menit. Nggak-” Kimberly menggeleng cepat. “Maksudku lima menit. Itu sudah lebih dari cukup.”Satu sudut bi
Kimberly menatap Malik dan Risa bergantian dengan hati mencelos. Tenggorokannya tercekat saat bertanya, “Kenapa dia ada di sini? Apa rumahmu jadi tempat penampungan wanita, Malik?” Ia tersenyum miris.“Hai... kamu Kimberly, ‘kan? Yang kemarin ketemu di restoran itu?” tanya Risa saat Malik tak kunjung menanggapi pertanyaan Kimberly."Ya, kamu benar," jawab Kimberly dengan ekspresi datar. "Kita bertemu saat kamu menjemput calon kekasihmu."“Ah, pantas saja aku merasa familiar.” Risa terkekeh-kekeh, lalu menatap Malik dan bertanya, “Apa dia masih belum tahu tentang hubungan kita, Malik?”Malik tidak menjawab.Risa mendekati Malik, lalu mengalungkan kedua lengannya di leher pria itu dan mengecup pipinya cukup lama.Kimberly membelalak. Kedua belah telapak tangannya mengepal kuat dan bergetar. Napasnya mulai terasa memburu akibat rasa sesak yang terus menyerangnya tanpa henti.“Jadi kalian berdua sedang berkencan?” Suara Kimberly terdengar bergetar.“Aku sudah memutuskan untuk menerima Mali
Malik melemparkan barang-barang yang ada di sekitarnya. Kepalan tangannya menonjok dinding dengan kuat, darahnya keluar, mengaliri jari-jarinya dan menetes ke lantai.Risa tampak ketakutan melihat emosi Malik yang tak terkendali. Ia mendekati Malik dan mencoba menggenggam tangannya untuk menenangkannya. “Hey… tenangkan dulu dirimu. Jangan begini, kamu akan semakin terluka kalau—”“Keluar!” sela Malik dengan tajam.“Tapi—”“Ah, bayaranmu?” potong Malik lagi, ia mendengus kasar, lalu masuk ke kamarnya dan kembali lagi tak lama kemudian.Ia melemparkan amplop berisi sejumlah uang ke atas meja. “Ambil dan keluar sekarang!”Risa tak bisa membantah perintah ‘kliennya’ itu sekalipun ia khawatir dengan kondisi emosi Malik. Ia segera mengambil amplop tersebut dan memastikan isinya sudah sesuai kesepakatan. Kemudian tersenyum puas.“Terima kasih. Kalau kamu butuh bantuanku, hubungi aku lagi saja.”Malik tidak memberi tanggapan apapun, sampai akhirnya Risa pergi dari hadapannya dan sempat memakai
“Gimana? Kamu tertarik jadi pembalap?”“Sempat berpikir sih buat jadi pembalap, tapi aku sudah tahu jalan hidupku bakal kayak apa kalau dewasa nanti. Papi selalu bilang aku yang bakal gantiin dia duduk di 'kursinya'.”Malik tersenyum kecil seraya menyerahkan minuman kaleng kepada Ernest, lalu ia duduk di samping anak muda itu. Malik sudah tahu jawaban yang akan keluar dari mulut Ernest seperti itu. Ia bertanya hanya sekadar basa-basi saja.Beberapa saat yang lalu Malik baru selesai mengajari Ernest bagaimana menjadi seorang pembalap. Bahkan Ernest sempat mencoba mengendarai motor khusus untuk balapan dan dia terlihat antusias.Tidak sulit mengajari Ernest, karena dia sudah bisa mengendarai motor sport sebelumnya. Dan kini mereka sedang duduk di tribun, di sirkuit yang ada di daerah Bogor.“Papimu ingin yang terbaik buat kamu, Ernest.” Malik menepuk pundak laki-laki berusia tujuh belas tahun itu.“Well, yeah! Dan untuk kesejahteraan perusahaan juga,” jawab Ernest sembari merotasi matan
Malik pulang bersama Ernest menggunakan mobil yang ia kemudikan. Sedangkan motor miliknya—yang tadi ia gunakan untuk berlatih, diangkut oleh asisten pribadinya dengan mobil pick up.“Aku antar kamu pulang sampai rumah,” ucap Malik pada Ernest saat masih di perjalanan.Ia gunakan alasan itu karena ingin menemui Kimberly di rumah Archer. Setelah mendengar penjelasan Ernest tadi, Malik sadar jika dirinya bersalah telah membuat Kimberly terluka.Egonya terlalu tinggi, sehingga ia lebih memikirkan perasaannya sendiri ketimbang perasaan Kimberly.Setibanya di rumah besar nan mewah milik Archer, sang tuan rumah menyambut Malik dengan hangat. Ernest sudah mengirim pesan pada ibunya bahwa ia diantar Malik, jadi saat mereka tiba, Feli dan Archer tampak tidak begitu terkejut melihat Malik.Mereka berbincang berempat di ruang tengah. Ernest bercerita bagaimana antusiasnya dia mencoba motor balapan.Well, motor itu bukan yang biasa Malik pakai saat di sirkuit, tapi ia gunakan untuk berlatih ketika
Malik duduk di sofa, kaki kanannya menyilang di atas kaki kiri. Punggungnya bersandar, mata hitamnya tertuju pada buku terbuka di tangannya yang tak benar-benar ia baca.Di atas meja yang ada di hadapannya terhidang sepiring kentang goreng, buah apel, cookies dan air putih. Semuanya belum tersentuh sama sekali.Sesekali Malik mengecek arloji di tangan kiri. Sudah pukul empat sore. Seharusnya para karyawan perusahaan sudah pulang di waktu ini.Malik menatap pintu sejenak, lalu menghela napas panjang dan membaca buku di tangannya lagi.Lima menit berlalu.Sepuluh menit.Dua puluh menit.Malik kembali melirik arloji, lalu menatap pintu lagi.Tak ada satu orang pun yang tahu, bahwa saat ini ia tengah menunggu kedatangan seseorang yang beberapa hari lalu selalu datang ke rumahnya di sore hari seperti sekarang, dengan tatapan terluka dan bersikeras memastikan jika tidak ada hubungan apa-apa antara Malik dan Risa.Kini, Malik berharap wanita itu akan datang lagi seperti yang lalu-lalu. Bahka