Malik melemparkan barang-barang yang ada di sekitarnya. Kepalan tangannya menonjok dinding dengan kuat, darahnya keluar, mengaliri jari-jarinya dan menetes ke lantai.Risa tampak ketakutan melihat emosi Malik yang tak terkendali. Ia mendekati Malik dan mencoba menggenggam tangannya untuk menenangkannya. “Hey… tenangkan dulu dirimu. Jangan begini, kamu akan semakin terluka kalau—”“Keluar!” sela Malik dengan tajam.“Tapi—”“Ah, bayaranmu?” potong Malik lagi, ia mendengus kasar, lalu masuk ke kamarnya dan kembali lagi tak lama kemudian.Ia melemparkan amplop berisi sejumlah uang ke atas meja. “Ambil dan keluar sekarang!”Risa tak bisa membantah perintah ‘kliennya’ itu sekalipun ia khawatir dengan kondisi emosi Malik. Ia segera mengambil amplop tersebut dan memastikan isinya sudah sesuai kesepakatan. Kemudian tersenyum puas.“Terima kasih. Kalau kamu butuh bantuanku, hubungi aku lagi saja.”Malik tidak memberi tanggapan apapun, sampai akhirnya Risa pergi dari hadapannya dan sempat memakai
“Gimana? Kamu tertarik jadi pembalap?”“Sempat berpikir sih buat jadi pembalap, tapi aku sudah tahu jalan hidupku bakal kayak apa kalau dewasa nanti. Papi selalu bilang aku yang bakal gantiin dia duduk di 'kursinya'.”Malik tersenyum kecil seraya menyerahkan minuman kaleng kepada Ernest, lalu ia duduk di samping anak muda itu. Malik sudah tahu jawaban yang akan keluar dari mulut Ernest seperti itu. Ia bertanya hanya sekadar basa-basi saja.Beberapa saat yang lalu Malik baru selesai mengajari Ernest bagaimana menjadi seorang pembalap. Bahkan Ernest sempat mencoba mengendarai motor khusus untuk balapan dan dia terlihat antusias.Tidak sulit mengajari Ernest, karena dia sudah bisa mengendarai motor sport sebelumnya. Dan kini mereka sedang duduk di tribun, di sirkuit yang ada di daerah Bogor.“Papimu ingin yang terbaik buat kamu, Ernest.” Malik menepuk pundak laki-laki berusia tujuh belas tahun itu.“Well, yeah! Dan untuk kesejahteraan perusahaan juga,” jawab Ernest sembari merotasi matan
Malik pulang bersama Ernest menggunakan mobil yang ia kemudikan. Sedangkan motor miliknya—yang tadi ia gunakan untuk berlatih, diangkut oleh asisten pribadinya dengan mobil pick up.“Aku antar kamu pulang sampai rumah,” ucap Malik pada Ernest saat masih di perjalanan.Ia gunakan alasan itu karena ingin menemui Kimberly di rumah Archer. Setelah mendengar penjelasan Ernest tadi, Malik sadar jika dirinya bersalah telah membuat Kimberly terluka.Egonya terlalu tinggi, sehingga ia lebih memikirkan perasaannya sendiri ketimbang perasaan Kimberly.Setibanya di rumah besar nan mewah milik Archer, sang tuan rumah menyambut Malik dengan hangat. Ernest sudah mengirim pesan pada ibunya bahwa ia diantar Malik, jadi saat mereka tiba, Feli dan Archer tampak tidak begitu terkejut melihat Malik.Mereka berbincang berempat di ruang tengah. Ernest bercerita bagaimana antusiasnya dia mencoba motor balapan.Well, motor itu bukan yang biasa Malik pakai saat di sirkuit, tapi ia gunakan untuk berlatih ketika
Malik duduk di sofa, kaki kanannya menyilang di atas kaki kiri. Punggungnya bersandar, mata hitamnya tertuju pada buku terbuka di tangannya yang tak benar-benar ia baca.Di atas meja yang ada di hadapannya terhidang sepiring kentang goreng, buah apel, cookies dan air putih. Semuanya belum tersentuh sama sekali.Sesekali Malik mengecek arloji di tangan kiri. Sudah pukul empat sore. Seharusnya para karyawan perusahaan sudah pulang di waktu ini.Malik menatap pintu sejenak, lalu menghela napas panjang dan membaca buku di tangannya lagi.Lima menit berlalu.Sepuluh menit.Dua puluh menit.Malik kembali melirik arloji, lalu menatap pintu lagi.Tak ada satu orang pun yang tahu, bahwa saat ini ia tengah menunggu kedatangan seseorang yang beberapa hari lalu selalu datang ke rumahnya di sore hari seperti sekarang, dengan tatapan terluka dan bersikeras memastikan jika tidak ada hubungan apa-apa antara Malik dan Risa.Kini, Malik berharap wanita itu akan datang lagi seperti yang lalu-lalu. Bahka
Di saat Kimberly ingin menghindar, melupakan Malik dan mengobati luka hatinya yang menganga seorang diri, kenapa justru pria itu malah datang dan meminta maaf kepadanya?Kimberly terkejut kala mendengar permintaan maaf Malik. Ia bahkan tahu jika kata ‘maaf’ yang keluar dari bibir pria berkemeja putih itu benar-benar tulus, pertahanan Kimberly nyaris runtuh.Namun, ketika ingat bagaimana sikap kejam Malik kepadanya dan wajah Risa yang berkelebat di kepala, detik itu juga ia kembali berubah dingin dan ketus.Kimberly lantas menyuruh Malik pergi, tapi pria itu cukup bebal juga ternyata.Tadinya Kimberly akan memberi alasan bahwa hari ini akan lembur, tapi tiba-tiba ia melihat Eric—yang juga datang tidak diundang, yang tengah membuka pintu.Bak mendapat angin segar, Kimberly memanfaatkan momen itu dengan bilang kepada Malik bahwa ia akan berkencan dengan Eric.Nanti, Kimberly akan meminta maaf kepada Eric karena ia telah memanfaatkannya.“Kencan?” tanya Malik dengan satu alis terangkat. D
‘Athalleric Erlangga atau yang biasa dipanggil Eric, merupakan calon pemimpin dan ahli waris Erlangga Group. Grup perusahaan ini dikenal sebagai raksasa karena memiliki lebih dari 10 anak perusahaan besar yang tersebar di beberapa negara ASEAN.’Malik mengembuskan napas kasar kala membaca artikel tersebut, lalu menutup laptop dengan gerakan jauh dari kata lembut. Ia menyandarkan punggung ke sandaran kursi dan memijat pelipis yang terasa berdenyut.Kemudian ia mendengus sembari tertawa singkat. Pantas saja Kimberly akan dijodohkan dengan Eric, rupanya Eric bukan orang sembarangan, pikirnya. Eric memiliki latar belakang keluarga yang kuat, yang bisa mengimbangi kekuatan keluarga Ivander.Sementara dirinya hanya anak panti asuhan yang berjuang sendiri dari nol, tanpa privilege dari keluarga.Bukan. Malik bukan insecure tidak bisa menghidupi Kimberly. Ia hanya tidak yakin Archer akan lebih memilihnya ketimbang Eric untuk menjadi pendamping putrinya.Malik mengembuskan napas kasar, ia bera
“Sekarang Papi mengerti kenapa dulu kamu marah saat bertanya sama Papi ‘apa Papi ngizinin kamu menikah dengan pembalap atau nggak’, terus kamu marah karena Papi nggak kasih kamu izin.”Ucapan panjang lebar Archer membuyarkan lamunan Kimberly.Perempuan tinggi semampai itu mengalihkan tatapannya dari layar MacBook yang sudah terkunci karena saking lama ia abaikan, ke arah Archer yang baru saja duduk di depannya. Mereka hanya terhalang oleh meja.“Papi sudah dengar semuanya tentang aku dan... Malik dari Mami?” gumam Kimberly seraya menghela napas panjang. Ia merasa ragu saat menyebutkan nama Malik.“Mm-hm. Sudah.” Pria berjas hitam itu mengangguk.“Papi nggak marah ke aku?”“Mmm… sedikit?”Kimberly mengerucutkan bibirnya. Sudah ia duga ayahnya akan marah meski kemarahannya tidak ditunjukkan di permukaan. Namun Kimberly bisa melihat sorot mata serius dari ayahnya itu.“Papi cukup kecewa saat tahu kamu menyembunyikan semuanya dari Papi dan Mami,” ujar Archer blak-blakan. “Tapi berkat Mami
“Aku nggak pernah berkencan atau tidur dengan Risa! Apa yang kami tunjukkan di depanmu cuma sandiwara.”Kimberly yang sedang berapi-api pun seketika terdiam kala mendengar ucapan tegas Malik tersebut. “Sandiwara?” ulangnya, lalu mendengus pelan. “Apa maksudmu dengan sandiwara?”Malik tak langsung menjawab, ia melihat ke sekeliling dan mendapati beberapa pejalan kaki sedang memperhatikan mereka berdua.“Kita ngobrol di dalam mobil,” ucap Malik seraya menggenggam tangan Kimberly dengan lembut.Kimberly menepisnya kasar.“Please…," pinta Malik penuh permohonan. Ia tak menyerah dan menggenggam tangan Kimberly lagi, kemudian langsung menariknya menuju mobil merah milik perempuan itu.Kimberly didudukkan di kursi penumpang bagian depan, sementara Malik duduk di kursi kemudi. Lalu Malik menyalakan mesin mobil tanpa melajukannya.“Aku rasa nggak ada yang perlu diobrolin lagi, biarkan aku pulang,” ucap Kimberly dengan suara bernada lelah.Kimberly menatap pagar tinggi sebuah bangunan di sebela