‘Eric, kenapa dia ada di sini?’ batin Kimberly seraya memperhatikan Archer dan Eric yang sedang mengobrol di teras. Dilihat dari gelagatnya, sepertinya Eric baru akan pulang.Tatapan Kimberly beralih ke arah tangan Malik yang memegangi kemudi, terlihat pria itu mencengkeram kemudi cukup kuat dan urat-uratnya tampak menonjol. Lalu Kimberly menatap wajah Malik yang tampak mengeras.“Kalian benar-benar dijodohkan dan akan menikah?” Suara Malik terdengar serius, seraya menatap Kimberly.Kimberly ingin menjawab ‘tidak’, tapi rasa marah yang masih bersarang di hatinya membuat ia mengabaikan pertanyaan tersebut.“Terima kasih sudah mengantarku.” Kimberly melepas sabuk pengaman. Ia akan membuka pintu tapi Malik menahan lengannya.Kimberly menoleh. “Kenapa?”“Walaupun kemungkinanku untuk memilikimu sangat kecil, tapi ingat ucapanku baik-baik, Kim. Aku nggak akan menyerah,” tegas Malik dengan air muka serius.Mendengar kesungguhan dalam nada suara Malik, Kimberly pun terdiam. Ia tidak tahu apa
“Eric datang untuk meminta restu dari Papi, dia meminta agar perjodohan kalian tetap dilanjutkan seperti dulu.”“Lalu… gimana tanggapan Papi? Papi nerima dia?”“Sedang Papi pertimbangkan.”“Aku nggak mau dijodoh-jodohin lagi, Papi. Sampai kapan orang-orang seperti kita akan dipaksa menikah cuma demi kepentingan bisnis?!”"Bukan demi kepentingan bisnis, Princess, tapi Papi lakukan demi kamu.""Kalau demi aku seharusnya Papi lebih mementingkan perasaan aku."Kimberly mengembuskan napas panjang ketika ia teringat dengan percakapannya bersama Archer saat makan bersama tadi malam. Sudah ia duga jika Eric akan nekat menemui orang tuanya meski berkali-kali ia tolak.Kemarin sore Kimberly tidak bertemu lagi dengan Eric—yang katanya langsung pulang setelah Malik datang, dan Kimberly pun tidak menemui Malik lagi. Ia berdiam diri di kamar. Setelah Malik pulang usai bermain catur bersama ayahnya, barulah Kimberly keluar dari kamarnya untuk makan malam bersama.Kimberly penasaran apa yang Malik da
Kimberly bimbang. Ia ingin mengajak Malik masuk dan menunggu di dalam mobil saja, tapi sebagian dari dirinya yang lain melarang Kimberly untuk melakukan itu. Ia merasa tak sanggup berada di ruangan yang sama dengan Malik, berdua. Alhasil, Kimberly hanya termenung, menatap jari-jari tangannya yang saling bertaut di atas paha. Sesekali ia melihat ke luar, Malik masih berdiri di tempat yang sama. Bahkan pria itu tidak protes sama sekali dan dengan sabar menunggunya di sana. Kimberly menghela napas berat. Setelah berpikir beberapa saat, ia menurunkan kaca mobil dan melongokan kepalanya sedikit keluar. “Masuk. Tunggunya di sini aja, jangan di situ,” gumam Kimberly, yang membuat perhatian Malik teralihkan dari layar ponsel ke arahnya. Kedua sudut bibir Malik terangkat dengan lembut. Melihat senyuman itu mata Kimberly mengerjap, lalu dengan cepat Kimberly menarik lagi kepalanya ke dalam dan duduk dengan lurus ke depan. “Kalau nunggunya di sini, boleh?” Kimberly berjengit kaget kala men
Ponsel Kimberly berdenting.Air muka perempuan itu seketika berubah agak cerah, buru-buru ia menaruh bindex ke dalam lemari arsip. Lalu merogoh ponsel dari saku blazer dan wajahnya kembali lesu begitu melihat notifikasi itu bukan dari orang yang dia harapkan.“Memangnya siapa yang aku harapkan?” gumam Kimberly, bermonolog, lalu mendengus kasar dan mengunci kembali ponselnya. Itu hanya notifikasi dari grup alumni sekolah SMA-nya.Kimberly menghela napas berat, lalu menggeleng pelan dan kembali bergumam, “Aku sama sekali nggak mengharapkan telepon atau chat dari dia.”Tok! Tok! Tok!Mendengar pintu ruangannya diketuk, Kimberly terkesiap, lalu dalam sekejap mata dia membalikkan badan untuk melihat siapa yang datang.“Oh, Papi?” Kimberly menghilangkan kesan formal di antara mereka karena jam kerja sudah habis.Archer masuk dan menatap Kimberly dengan alis terangkat. “Kamu sedang menunggu seseorang?”“Ng-nggak!” sanggah Kimberly dengan cepat. “Kenapa Papi bisa nanya begitu?”“Kelihatan dar
Selama dua hari terakhir ini Malik disibukkan dengan pekerjaannya di Neverland yang akan ia tinggalkan. Bahkan ia hanya pulang ke rumah saat tengah malam, lalu pergi lagi ke kantor saat pagi menjelang.Kesibukan membuatnya nyaris lupa makan dan ia tidak sempat menghubungi Kimberly. Padahal jauh di dalam hati ia sangat merindukan perempuan itu.Setelah barusan pekerjaannya di kantor selesai, ia langsung pergi ke rumah Archer. Mobilnya berhenti di depan gerbang rumah mewah tersebut.[“Aku ada di depan rumah kamu, Kim. Bisa mengobrol sebentar?”]Malik mengirimkan pesan tersebut. Pesannya langsung terbaca beberapa detik kemudian. Malik mengulum senyum, ia berharap Kimberly mau memenuhi permintaannya.Namun, hingga dua puluh menit kemudian, tak ada tanda-tanda kemunculan Kimberly. Pesannya menganggur begitu saja, tak ada balasan.Malik menghela napas berat. Ia pikir wanita itu masih marah kepadanya dan enggan menemuinya. Malik menyesal telah mengabaikan Kimberly dua hari terakhir, padahal
‘Dia mencintaimu.’‘Huh?! Dia mencintaiku? Nggak mungkin. Dia bahkan nggak pernah bilang cinta sama aku.’‘Jadi selama ini kamu nggak sadar mengenai perasaan dia ke kamu? Astaga…. Aku saja yang baru bertemu dia tiga kali, sudah bisa melihat dari tatapannya saat menatapmu kalau dia mencintai kamu.’Percakapannya dengan Risa tadi sore kembali terngiang di telinga Kimberly. Ia menatap puluhan lilin—atau mungkin ratusan, di taman itu dengan mata berkaca-kaca. Ia terpana.Sekarang kata-kata Risa sudah terbukti benar. Namun Kimberly masih tak yakin apakah ini nyata atau ia justru sedang bermimpi?Satu hal yang membuat Kimberly seketika sadar jika ini nyata, yaitu debaran jantungnya yang bergemuruh hebat di dalam dada. Sampai-sampai Kimberly takut Malik akan mendengar suara berisik di dalam dadanya itu.“Dulu aku pikir, perasaan asing yang memenuhi hatiku hanya akan singgah sementara saja,” ucap Malik seraya menggenggam tangan Kimberly, membuat tatapan Kimberly seketika beralih dari taman ke
Malik tersenyum, jemarinya mengelus lembut pipi Kimberly. “Aku akan sangat merindukanmu nanti,” bisiknya.‘Aku juga,’ balas Kimberly dalam hati. Namun ia malu menyuarakannya.“Besok, kamu mau mengantarku ke bandara?” tanya Malik, yang dibalas dengan anggukkan cepat oleh perempuan itu.Sekali lagi Malik tersenyum. Tatapannya turun dari mata ke arah bibir Kimberly. Lalu wajahnya maju perlahan-lahan.Kimberly yang sudah mengerti apa yang akan Malik lakukan, seketika memejamkan mata dengan perasaan tak karuan. Napas hangat pria itu terasa menerpa wajahnya.Namun, bunyi pintu gerbang yang dibuka membuat Kimberly spontan mendorong dada Malik jauh-jauh. Malik pun terkejut.Mereka sama-sama menatap ke arah gerbang dan mendapati Archer sedang berdiri sambil bersedekap dada, di gerbang kecil khusus pejalan kaki. Archer memperhatikan mereka dengan tatapan tajam.“Sepertinya aku akan dicap sebagai laki-laki mesum oleh ayahmu.” Malik terkekeh pelan, lalu menghela napas berat.Kimberly meringis. “A
Tak terasa waktu sudah berlalu tiga bulan.Namun bagi Kimberly, tiga bulan rasanya seperti tiga tahun. Menjalani hari-hari tanpa Malik di sisinya bagai sayur tanpa garam. Hambar. Hidupnya terasa ada yang kurang dan kosong.Kimberly tak pernah ketinggalan menonton siaran langsung MotoGP, meskipun tayangnya tengah malam atau dini hari, ia tak akan pernah melewatkannya dan rela begadang.Tak hanya Kimberly, Ernest pun sama, tidak pernah absen menonton tayangan tersebut. Kedua kakak beradik itu selalu menghabiskan waktu bersama di ruang keluarga, hanya untuk menonton balapan profesional itu.Satu bulan yang lalu, Kimberly pernah pergi ke Prancis hanya untuk menonton motoGP, saat seri balapan itu dilaksanakan di sirkuit Le Mans. Dia bertemu Malik, lalu keduanya menghabiskan waktu di Paris selama dua hari. Sebab Malik harus kembali ke rutinitasnya, berlatih untuk seri selanjutnya di negara lain. Pertemuan itu cukup mengobati kerinduan Kimberly kepada Malik yang selalu menyerangnya hampir se
Setelah hampir empat jam mengasuh putra dan putrinya, Malik akhirnya bisa bernapas lega saat bertemu lagi dengan Kimberly. Raut muka istrinya itu tampak lebih cerah dan ceria. Sepertinya Kimberly sudah tidak badmood lagi gara-gara Malik berfoto dengan Yoana tadi.“Gimana anak-anak? Mereka rewel nggak?” Kimberly mengambil alih anak perempuan berpipi chubby dari pangkuan Malik.“Rewel sih nggak, tapi yah… cukup membuatku berkeringat.” Malik tersenyum dan mengedikkan bahu.Kimberly mengamati suaminya sesaat, lalu tertawa karena penampilan pria itu tampak acak-acakan. Ia mengecup pipi Malik dan berkata, “Terima kasih udah kasih aku waktu buat me time.”Malik mengerjap dan memegangi pipinya sambil bergumam, “Kita harus pulang sekarang, Sayang.”“Kenapa? Kan belum beli susu buat Timur di supermarket.”“Malam ini kita titipin anak-anak di Mami sama Papi aja, ya? Besok kita ambil lagi mereka pagi sebelum aku—Oke oke! Nggak jadi, aku cuma bercanda,” ralat Malik dengan cepat saat Kimberly mencub
Empat tahun kemudian.“Eh? Bukannya dia mantan pembalap itu, ‘kan?”“Iya, Jeng, yang kemarin ramai dibahas sama hampir semua orang tua murid itu, Jeng.”“Anaknya beneran sekolah di sini?”“Iya.”“Yang bener? OMG! Kita bakalan ketemu dia terus dong! Ganteng banget ya Tuhan.”“Itu kalau setiap hari dia antar jemput anaknya.”“Eh! Emang setiap hari tauk! Kalian berdua aja yang baru lihat. Pagi dan siang dia selalu antar jemput.”“Duh, suami idaman banget sih…. Beruntung banget yang jadi istri dia. Udah ganteng, kaya, perhatian sama anak, lagi. Ya Tuhan, mau yang begini satu aja, please.”Malik menghela napas berat. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan tiga atau empat wanita—entah yang pastinya berapa orang karena Malik tidak begitu memperhatikan—yang sedang membicarakan dirinya, tapi suara mereka terlalu jelas di telinga Malik, sehingga mau tidak mau ia harus mendengarkan dirinya menjadi bahan gosip ibu-ibu.Sudah satu minggu Timur masuk sekolah ke playgroup. Setiap hari Malik selalu
“Sayang! Gimana kondisi kamu? Apanya yang sakit?!” tanya Malik dengan raut muka menegang sambil berlari menghampiri ranjang yang ditempati Kimberly. “Perut aku sakit… pinggang aku juga panas.” Kimberly meringis kesakitan. Namun ada yang berubah dalam sorot matanya, ia seolah-olah merasa lega dan aman setelah melihat kedatangan suaminya. Malik merundukan badan, memeluk Kimberly dan mengecup keningnya berkali-kali. Ia berbisik, “Sabar, ya. Maaf aku terlambat.” “Bau!” Malik terkejut saat Kimberly mendorong dadanya. “Eh? Kenapa? Siapa yang bau?” “Kamu,” jawab Kimberly seraya menggigit bibir bawah, menahan rasa sakit yang kembali menyerang dan rasanya tak tertahankan. “Kamu bau debu.” “Ah, ini….” Malik menggaruk tengkuk dan menghidu tubuhnya sendiri. “Barusan aku naik motor, Sayang. Soalnya di jalan macet banget, nggak mungkin bisa sampai dengan cepat kalau aku tetap pakai mobil,” jelasnya sambil menggenggam tangan sang istri. “Apa perlu aku ganti baju dulu? Tapi aku nggak bawa baju c
7 bulan kemudian.“Kakak, jangan lupakan aku. Aku juga adik kamu, adik yang paling ganteng!”“Diam!” Kimberly menjauhkan wajah Ernest dari hadapannya. “Kamu ngehalangin pemandangan aku tahu nggak?”Ernest cemberut.Kemudian Kimberly tersenyum lebar pada bayi berusia 4 bulan yang baru saja membuka mata, di atas kasur yang ia dan Ernest duduki.“Selamat siang Cheryl! Adiknya Kakak yang paling cantik! Nyenyak banget tidurnya ya?” goda Kimberly dengan nada bicara khas anak-anak.Cheryl tersenyum. Dia berguling sendiri hingga tengkurap.“Ugh! Jangan percaya sama kelembutan kakak kita, Dek, aslinya dia itu cerewet dan galak. Kamu kalau sudah besar nanti pasti jadi bahan omelan dia—auwh!” Ernest tiba-tiba mengaduh saat Kimberly menjewer telinganya.“Diam,” bisik Kimberly dengan kesal. “Jangan meracuni otak bayi dengan omongan kamu yang negatif itu ya!”“Aku ‘kan bicara apa adanya,” gumam Ernest sembari mengusap-usap telinga.Kimberly mendelik pada Ernest, lalu kembali tersenyum lebar pada Ch
“Gimana perasaan kamu?” bisik Malik seraya mengelus pipi Kimberly dengan lembut.Kimberly terdiam. Harusnya ia yang bertanya seperti itu kepada Malik.Detik berikutnya, Kimberly tersenyum lebar, tangannya mengusap-usap perut dan berseru riang, “Anak kita sepertinya senang banget, Babe! Dia bikin perasaan aku jadi makin bahagia setelah lihat kamu ngendarain motor balap barusan!”“Benarkah?” Malik ikut tersenyum lebar.Kimberly mengangguk cepat. Ia langsung melompat ke pelukan Malik, melingkarkan tangan di leher pria yang masih memakai baju balapan yang dulu sering dia pakai. Malik terlihat tampan sekali dengan baju itu, mengingatkan Kimberly akan kebersamaan mereka sebelum menikah.“Terima kasih, ya! Aku jadi rindu nonton kamu balapan.” Kimberly terkekeh, suaranya terdengar teredam karena bibirnya terbenang di pundak Malik. “Kalau kamu? Gimana perasaan kamu sekarang?”“Perasaanku?” ulang Malik.“Hm-hm. Apa barusan bisa mengobati kerinduan kamu sama balapan?”“Iya.” Malik bergumam dan m
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.25 waktu Andorra. Kimberly merebahkan tubuhnya di kasur berseprai abu tua. Matanya menatap plafon putih dengan penerangan lampu warm white.Mereka baru saja tiba di Andorra pukul 18.30 waktu setempat. Perjalanan ini atas inisiatif Kimberly yang mengidam ingin tidur di kamar Malik, di rumahnya yang ada di Andorra. Setelah mendengar keinginan istrinya, Malik langsung memesan tiket pesawat.“Ternyata begini rasanya ada di kamar kamu.” Kimberly terkekeh dan melirik Malik yang baru saja selesai memindahkan semua pakaian mereka dari koper ke dalam lemari.Tadi Kimberly berniat membantu, tapi Malik melarangnya dan malah menyuruhnya untuk istirahat.“Gimana rasanya? Aneh?” Malik melepas kaos putihnya dan menghampiri ranjang.“Nyaman banget!” Kimberly meringis, ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menyambut Malik yang baru saja menaiki ranjang dan memeluknya. Tangan Kimberly mengalung di leher Malik.Ia sempat menahan napas dengan jantung berdebar-deb
“Tunggu! tunggu! Mami nggak salah dengar, ‘kan? Kamu… hamil?”Kimberly mengangguk cepat berkali-kali sembari tersenyum lebar.Feli tercengang. Ia dan Archer saling tatap satu sama lain dengan tatapan terkejut. Lalu detik berikutnya keduanya sama-sama menghela napas lega dan tertawa.“Ya Tuhan, terima kasih… Mami senang sekali dengarnya, Sayang!” ucap Feli dengan mata berbinar-binar dan memeluk Kimberly. “Pantas saja akhir-akhir ini Mami ngerasa ada yang berbeda sama kamu.”“Oh ya? Mami bisa ngelihat perubahan aku? Kok aku nggak?”“Mami ini ibu kamu, Kim. Selama dua puluh satu tahun tinggal bareng-bareng, masa Mami nggak bisa menyadari sesuatu yang berbeda sama kamu?” Feli terkekeh kecil, tangannya menepuk-nepuk punggung Kimberly. Ekspresi wajahnya terlihat cerah, secerah langit siang ini di luar sana. Walau air matanya tampak menggenang, tapi itu adalah tangis kebahagiaan.“Mami kok nangis?” tanya Kimberly sesaat setelah pelukannya terlepas. Ia cemberut seraya menangkup pipi sang ibu.
Gimana kalau sekarang Malik sedang mencari kesenangan di luar karena keadaan di rumah tidak membuatnya nyaman?Satu pertanyaan itu tiba-tiba membuat Kimberly menegakkan punggung. Wajahnya menegang. Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir saat membayangkan Malik melampiaskan kekesalannya dengan menghabiskan waktu bersama wanita lain.“Kamu jahat!” Kimberly menangis sambil membenamkan wajah di atas lutut. “Kamu main pergi begitu aja tanpa memikirkan perasaanku!”Setelah cukup lama menangis sendirian hingga ruangan kamarnya berubah gelap karena sudah memasuki malam, Kimberly akhirnya mandi supaya pikirannya lebih jernih.Dua puluh menit kemudian, ia sudah berganti pakaian dan tubuhnya terasa segar, tapi pikirannya tetap saja kacau. Kimberly mencoba menghubungi Malik lagi, tapi berakhir sia-sia.“Non Kimmy, mau makan malam, Non? Makanannya sudah siap di meja,” ujar Bik Nining yang menghampiri kamar Kimberly.Kimberly menggeleng lesu. “Aku nggak lapar, Bik. Nanti saja makannya.”“No
“Sayang, aku pulang!”Mendengar seruan Malik, secara spontan Kimberly terbangun dan menaruh remote di meja. Lalu ia bergegas menyongsong Malik ke pintu utama dengan langkah-langkah cepat.“Kamu bawa nasi lemaknya?” tanya Kimberly dengan mata berbinar-binar.“Bawa dong. Nih!”Kimberly tersenyum lebar saat Malik menunjukkan bingkisan di tangannya. Ia langsung merebut bingkisan tersebut. “Terima kasih!” serunya, ceria.Tepat saat Malik akan mengecup bibir Kimberly—sesuatu yang selalu Malik lakukan setiap kali pulang ke rumah, Kimberly tiba-tiba melesat pergi, membuat bibir Malik tidak punya tempat untuk berlabuh.“Hey! Kenapa pergi begitu aja?” protes Malik, yang tak ditanggapi Kimberly. Malik hanya menghela napas pasrah, lalu melangkah masuk mengikuti sang istri.Kimberly terlihat sedang menghidu aroma nasi lemak yang masih terbungkus. Malik tersenyum, lalu mengambil piring bersih dan menaruhnya di meja.“Ini pasti kerjaan kamu nih, Mama kamu senang banget cuma dapat nasi lemak doang,”