‘Dia mencintaimu.’‘Huh?! Dia mencintaiku? Nggak mungkin. Dia bahkan nggak pernah bilang cinta sama aku.’‘Jadi selama ini kamu nggak sadar mengenai perasaan dia ke kamu? Astaga…. Aku saja yang baru bertemu dia tiga kali, sudah bisa melihat dari tatapannya saat menatapmu kalau dia mencintai kamu.’Percakapannya dengan Risa tadi sore kembali terngiang di telinga Kimberly. Ia menatap puluhan lilin—atau mungkin ratusan, di taman itu dengan mata berkaca-kaca. Ia terpana.Sekarang kata-kata Risa sudah terbukti benar. Namun Kimberly masih tak yakin apakah ini nyata atau ia justru sedang bermimpi?Satu hal yang membuat Kimberly seketika sadar jika ini nyata, yaitu debaran jantungnya yang bergemuruh hebat di dalam dada. Sampai-sampai Kimberly takut Malik akan mendengar suara berisik di dalam dadanya itu.“Dulu aku pikir, perasaan asing yang memenuhi hatiku hanya akan singgah sementara saja,” ucap Malik seraya menggenggam tangan Kimberly, membuat tatapan Kimberly seketika beralih dari taman ke
Malik tersenyum, jemarinya mengelus lembut pipi Kimberly. “Aku akan sangat merindukanmu nanti,” bisiknya.‘Aku juga,’ balas Kimberly dalam hati. Namun ia malu menyuarakannya.“Besok, kamu mau mengantarku ke bandara?” tanya Malik, yang dibalas dengan anggukkan cepat oleh perempuan itu.Sekali lagi Malik tersenyum. Tatapannya turun dari mata ke arah bibir Kimberly. Lalu wajahnya maju perlahan-lahan.Kimberly yang sudah mengerti apa yang akan Malik lakukan, seketika memejamkan mata dengan perasaan tak karuan. Napas hangat pria itu terasa menerpa wajahnya.Namun, bunyi pintu gerbang yang dibuka membuat Kimberly spontan mendorong dada Malik jauh-jauh. Malik pun terkejut.Mereka sama-sama menatap ke arah gerbang dan mendapati Archer sedang berdiri sambil bersedekap dada, di gerbang kecil khusus pejalan kaki. Archer memperhatikan mereka dengan tatapan tajam.“Sepertinya aku akan dicap sebagai laki-laki mesum oleh ayahmu.” Malik terkekeh pelan, lalu menghela napas berat.Kimberly meringis. “A
Tak terasa waktu sudah berlalu tiga bulan.Namun bagi Kimberly, tiga bulan rasanya seperti tiga tahun. Menjalani hari-hari tanpa Malik di sisinya bagai sayur tanpa garam. Hambar. Hidupnya terasa ada yang kurang dan kosong.Kimberly tak pernah ketinggalan menonton siaran langsung MotoGP, meskipun tayangnya tengah malam atau dini hari, ia tak akan pernah melewatkannya dan rela begadang.Tak hanya Kimberly, Ernest pun sama, tidak pernah absen menonton tayangan tersebut. Kedua kakak beradik itu selalu menghabiskan waktu bersama di ruang keluarga, hanya untuk menonton balapan profesional itu.Satu bulan yang lalu, Kimberly pernah pergi ke Prancis hanya untuk menonton motoGP, saat seri balapan itu dilaksanakan di sirkuit Le Mans. Dia bertemu Malik, lalu keduanya menghabiskan waktu di Paris selama dua hari. Sebab Malik harus kembali ke rutinitasnya, berlatih untuk seri selanjutnya di negara lain. Pertemuan itu cukup mengobati kerinduan Kimberly kepada Malik yang selalu menyerangnya hampir se
Malik membenamkan wajahnya di pundak Kimberly dan berkata dengan suara teredam. “Aku merindukanmu, Kim. Sangat merindukanmu.”Kimberly terkekeh-kekeh. “Aku juga."“Juga apa, hem?”“Kangen kamu.”Malik tertawa. Ia melepaskan pelukannya hanya untuk menatap wajah Kimberly yang sudah lama tak ia tatap secara langsung. Tidak ada yang berubah dengan wajah kekasihnya itu, selain bertambah cantik dan mempesona.Kekasih?Ya Tuhan… kenapa rasanya geli sekali ketika satu kata itu terlintas di kepala Malik?Bukan. Malik bukan tidak mau berkencan dengan perempuan yang rambutnya sudah sepanjang di bawah bahu itu. Hanya saja Malik ingin Kimberly menjadi lebih dari sekadar ‘kekasih’.Untuk beberapa detik lamanya tak ada yang berbicara di antara mereka. Keduanya saling mentransfer perasaan masing-masing melalui tatapan yang intens dan lekat.Hingga Kimberly tidak sadar, entah sejak kapan bibirnya dengan bibir Malik saling melekat, seakan-akan tengah menumpahkan semua rasa rindu lewat pagutan yang lemb
“Besok aku harus kembali lagi.”Ucapan Malik tersebut membuat Kimberly sontak membuka matanya. “Cuma dua hari aja?” tanyanya dengan perasaan tak rela.“Hm. Cuma dua hari aja,” jawab Malik seraya mengelus kepala Kimberly yang sejak tadi rebah di atas pahanya. “Total sama perjalanan jadi empat hari.”“Kenapa cepat sekali?” Kimberly menghela napas kecewa.“Karena aku cuma diberi waktu empat hari, Kim.” Suara Malik terdengar lembut, ia menunduk, menatap mata hazel yang dihiasi bulu mata lentik nan panjang itu dengan lekat. “Aku harus mempersiapkan diri untuk balapan selanjutnya di Belanda.”“Ya udah,” gumam Kimberly pada akhirnya.Sebesar apapun keinginannya untuk menahan Malik agar tidak pergi, tetap saja Kimberly tak bisa melakukannya. Balapan adalah dunia Malik, ia akan mendukung jika memang Malik bahagia dengan dunianya itu.“Maafkan aku, Kim,” gumam pria itu, jemarinya kini mengelus pipi Kimberly dengan lembut.“Maaf untuk?”“Meninggalkanmu lagi.”Kimberly tersenyum, telapak tanganny
Keesokan harinya Malik pun kembali meninggalkan Jakarta di siang hari. Dan Kimberly mengantarnya sampai ke bandara setelah dari pagi mereka menghabiskan waktu bersama di apartemen Malik.Malik tak sempat mengunjungi Bunda Tessa dan Arsya, juga anak-anak panti asuhan. Karena kepulangannya kali ini hanya untuk bertemu Kimberly.Dan setelah sosok Malik hilang dari pandangannya, hari-hari Kimberly kembali terasa sepi dan hampa. Ia merasa seperti kehilangan separuh jiwanya.Namun tak dapat dipungkiri, Kimberly merasa bahagia selama dua hari ini karena meski sibuk tapi Malik tetap menyempatkan diri untuk pulang. Ini bukan perjalanan dekat seperti sesama negara Asean, tapi perjalanan cukup jauh yang memakan waktu hampir 18 jam di udara.Meski terasa hampa dan kosong, Kimberly tetap melanjutkan hidupnya seperti biasa. Bekerja dengan profesional dan menahan rasa rindu yang tak dapat ia buang begitu saja.“Nona, Kim, ada kiriman bunga lagi untuk Anda.”“Lagi?!” pekik Kimberly yang langsung melo
“Arsya Abinaya?”“I-iya. Saya.”“Mari ikut kami.”Sontak, Arsya menggeleng tegas untuk menolak perintah dua pria berpakaian serba hitam, di hadapannya, yang bertamu ke rumahnya siang ini.“Siapa kalian?” tanya Arsya waspada.Salah satu dari dua pria itu merogoh saku jaket kulitnya, lalu menunjukkan kartu namanya. “Saya Rex, Tuan Archer menyuruh saya membawamu ke hadapan beliau.”Arsya terkesiap. “Tu-Tuan Archer?” ulangnya, tergagap. Ia sudah tahu siapa itu pria bernama Archer setelah Malik dan temannya memberitahu.“Nggak! Saya nggak mau ikut! Saya nggak punya salah apa-apa!” tolak Arsya dengan perasaan takut.“Ikut kami! Atau kami obrak-abrik rumahmu?!” ancam pria yang satunya lagi, sorot mata tajamnya membuat lutut Arsya gemetar.Pada akhirnya Arsya mengangguk pasrah. “Ba-baik. Saya ikut kalian.”Tanpa basa-basi, dua pria itu segera mencekal lengan Arsya, tapi Arsya langsung menolak dan ia meminta jalan sendiri tanpa perlu dipegangi. Mereka pun membiarkan Arsya berjalan sendiri di t
Malik tak berhenti menatap layar ponsel, yang memperlihatkan chat room-nya dengan Kimberly. Padahal dua puluh menit lagi ia harus segera bersiap masuk ke sirkuit, tapi ia masih menunggu kabar dari perempuan itu.Sudah menjadi kebiasaan Malik akhir-akhir ini, ia selalu menghubungi Kimberly terlebih dulu sebelum dan sesudah balapan. Baginya, mendengar suara Kimberly—meski hanya melalui telepon, bisa memberi tambahan energi dan membuatnya selalu bersemangat untuk memacu motornya sampai garis finish.Akan tetapi siang ini, Kimberly tak kunjung mengangkat panggilan darinya. Entah ke mana perginya wanita itu.Apakah dia sedang ada pekerjaan? Sepertinya tidak, karena Kimberly selalu memberitahunya lebih dulu jika ia sedang sibuk dan tidak bisa menerima panggilan.Sekali lagi Malik menghela napas panjang. Penampilannya sudah terlihat siap dengan baju balapannya, tanpa helm.Saat akan mengunci layar ponsel, nama Kimberly tiba-tiba muncul di layar. Malik seketika berdiri. Tanpa basa-basi, ia se