“Arsya Abinaya?”“I-iya. Saya.”“Mari ikut kami.”Sontak, Arsya menggeleng tegas untuk menolak perintah dua pria berpakaian serba hitam, di hadapannya, yang bertamu ke rumahnya siang ini.“Siapa kalian?” tanya Arsya waspada.Salah satu dari dua pria itu merogoh saku jaket kulitnya, lalu menunjukkan kartu namanya. “Saya Rex, Tuan Archer menyuruh saya membawamu ke hadapan beliau.”Arsya terkesiap. “Tu-Tuan Archer?” ulangnya, tergagap. Ia sudah tahu siapa itu pria bernama Archer setelah Malik dan temannya memberitahu.“Nggak! Saya nggak mau ikut! Saya nggak punya salah apa-apa!” tolak Arsya dengan perasaan takut.“Ikut kami! Atau kami obrak-abrik rumahmu?!” ancam pria yang satunya lagi, sorot mata tajamnya membuat lutut Arsya gemetar.Pada akhirnya Arsya mengangguk pasrah. “Ba-baik. Saya ikut kalian.”Tanpa basa-basi, dua pria itu segera mencekal lengan Arsya, tapi Arsya langsung menolak dan ia meminta jalan sendiri tanpa perlu dipegangi. Mereka pun membiarkan Arsya berjalan sendiri di t
Malik tak berhenti menatap layar ponsel, yang memperlihatkan chat room-nya dengan Kimberly. Padahal dua puluh menit lagi ia harus segera bersiap masuk ke sirkuit, tapi ia masih menunggu kabar dari perempuan itu.Sudah menjadi kebiasaan Malik akhir-akhir ini, ia selalu menghubungi Kimberly terlebih dulu sebelum dan sesudah balapan. Baginya, mendengar suara Kimberly—meski hanya melalui telepon, bisa memberi tambahan energi dan membuatnya selalu bersemangat untuk memacu motornya sampai garis finish.Akan tetapi siang ini, Kimberly tak kunjung mengangkat panggilan darinya. Entah ke mana perginya wanita itu.Apakah dia sedang ada pekerjaan? Sepertinya tidak, karena Kimberly selalu memberitahunya lebih dulu jika ia sedang sibuk dan tidak bisa menerima panggilan.Sekali lagi Malik menghela napas panjang. Penampilannya sudah terlihat siap dengan baju balapannya, tanpa helm.Saat akan mengunci layar ponsel, nama Kimberly tiba-tiba muncul di layar. Malik seketika berdiri. Tanpa basa-basi, ia se
Ini bukan pertama kalinya Kimberly menonton motoGP secara langsung, tapi euforianya selalu saja terasa berbeda. Ia duduk di tribun bersama penonton lainnya.Di tengah-tengah euforianya itu terselip rasa khawatir, ketika ia melihat di layar ada salah seorang pembalap yang terpelanting dari motornya, lalu terbanting ke aspal.Kejadian seperti ini memang hal yang biasa di sirkuit, tapi Kimberly selalu saja merasa was-was, lalu ia menghela napas lega ketika tahu bahwa bukan Malik yang kecelakaan itu.Hari ini memang orang lain, tapi tak ada yang bisa menebak di masa depan barangkali giliran Malik? Entahlah. Kimberly tak bisa membayangkan jika kecelakaan itu terjadi kepada Malik, ia hanya berharap Tuhan akan selalu melindungi pria itu di setiap langkahnya.Ketika sesi balapan hari itu selesai, Kimberly menghampiri Malik dan menghambur ke dalam pelukannya. Kimberly mengucapkan terima kasih karena Malik sudah bekerja keras dan berakhir dengan selamat.“Kamu adalah alasanku untuk berakhir di g
Berjarak dengan Kimberly ternyata bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Tidak ada satu orang pun yang tahu bahwa hal itu amatlah menyiksa. Malik ingin menghapus semua jarak tersebut yang terbentang di antara mereka.Maka dari itu, hari ini ia kembali berdiri di sini, di atas marmer putih sebuah rumah mewah yang ada di kawasan elite, di Jakarta.Dua bulan yang lalu, ketika ia berkunjung ke Indonesia dan ingin menemui Kimberly, ia pun sempat mendatangi rumah ini lalu mengobrol dengan Archer. Namun, bukan hanya penolakan yang ia dapatkan dari ayah Kimberly, tapi ia juga mendapat sebuah tantangan.Tantangan yang paling berat yang pernah Malik alami selama hidupnya. Ia harus memilih salah satu di antara dua pilihan yang sama-sama berharga.Malik menghela napas berat kala mengingat hal itu. Kini ia melihat Archer yang sedang menuruni tangga dan berkata, “Ternyata kamu belum menyerah, Malik.”“Saya bukan orang yang pantang menyerah, Om.”Satu sudut bibir Archer terangkat. Malik berdiri, menyap
Kimberly terperangah, merasa tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. “Wedding… organizer?” ulangnya dengan ragu. “Untuk apa?”“Untuk mendiskusikan rencana pernikahanku dengan kekasihku.”“Kekasihmu?” Detik itu juga Kimberly terkesiap, seakan-akan ia baru saja keluar dari kebingungannya. “Maksudmu aku?”“Kamu pikir aku punya kekasih selain kamu?” tanya Malik dengan mata menyipit. Kemudian tertawa kala melihat rona merah menyembul di pipi Kimberly.“Baiklah, biar aku jelaskan mengenai sesuatu.” Tangan Malik yang semula melingkar di pinggang Kimberly, kini menangkup kedua pipi mungil wanita di hadapannya itu, seraya menatapnya dengan lekat. “Setelah aku selesai balapan di musim ini, kamu akan jadi nyonya Malik. Tapi kita harus persiapkan segala sesuatunya untuk pernikahan kita dari sekarang.”Kimberly tertegun. Ribuan kupu-kupu seketika beterbangan di perutnya. “Jadi… barusan kamu bicara sama Papi buat ngobrolin itu?”Malik mengangguk.“Dia kasih kita restu?”Sekali lagi, Malik
Kimberly mengurus rencana pernikahannya tanpa kehadiran Malik. Namun ia tak benar-benar melakukannya sendiri, ada Mami Feli yang selalu menemani dan memberinya saran apa saja yang harus Kimberly lakukan agar persiapan itu berjalan sesuai yang diinginkan.Tak hanya Mami Feli, kedua sahabat Kimberly—Deby dan Nancy, sesekali membantu dan selalu ada di kala Kimberly butuh bantuan mereka. Meski Nancy berada di benua berbeda, ia selalu berkontribusi minimal menjadi pendengar yang baik di saat Kimberly sedang lelah dan butuh teman curhat.Malik tentu tidak lepas tangan begitu saja. Di sela-sela kesibukannya, Malik tidak pernah absen bertanya mengenai perasaan Kimberly, dan dengan sabar Malik mendengarkan keluh kesah Kimberly selama mengurus pernikahan mereka tanpa ditemani olehnya.Tak hanya itu, Malik pun mengutus Edwin, sekretarisnya, untuk mewakili dirinya membantu Kimberly.Sejujurnya Kimberly tidak merasa terbebani melakukan persiapan tanpa kehadiran Malik, karena hampir tujuh puluh per
Malik menatap pantulan dirinya di cermin. Ia sudah memakai baju balapan kombinasi warna hitam dan merah, tanpa helm.Ia terdiam cukup lama. Hari ini adalah hari terakhir ia memakai baju balapan dan terakhir menginjakkan kaki di sirkuit.Berat memang. Melepaskan sesuatu yang dicintai memang tidaklah mudah. Namun, Malik selalu menyadarkan dirinya sendiri, bahwa perlu ada pengorbanan untuk sebuah cinta. Dan ia memilih mengorbankan dunianya demi wanita yang dicintainya.“Hai, boleh aku masuk?”Malik menoleh ke arah pintu yang baru saja terbuka, terlihat Kimberly sedang melongokan kepalanya di celah pintu tersebut.Seulas senyum lembut terukir di bibir Malik. Ia menganggukkan kepala, lalu merentangkan kedua tangan ke samping.Kimberly terkekeh, ia tahu apa maksud pria itu, lalu segera menghampiri Malik dan masuk ke dalam pelukannya. Malik melingkarkan kedua lengannya di punggung Kimberly dan mendekapnya dengan erat.Kimberly dan keluarganya tiba di Valencia tiga hari yang lalu dan mereka s
Sepasang kelopak mata yang dihiasi bulu mata lentik dan tebal itu bergetar. Lalu perlahan-lahan terbuka. Tirai putih dan aroma obat-obatan adalah dua hal pertama yang ia dapati saat matanya terbuka sempurna.“Huh? Dia bangun! Mami, Malik sudah bangun!” seru Kimberly dengan suara yang terdengar bindeng seperti orang flu.Feli segera menutup sambungan telepon, lalu bergegas menghampiri Kimberly di dekat ranjang pasien dan melihat Malik sudah membuka matanya.“Malik, kamu ingat aku? Gimana perasaan kamu sekarang? Kamu merasakan sesuatu yang sakit?” cecar Kimberly diiringi isakan pelan seraya menggenggam tangan Malik yang terbebas dari jarum infus. “Please… katakan sesuatu, jangan diam aja.”“Sayang, Malik baru bangun, dia pasti belum sadar sepenuhnya akibat efek obat bius.” Feli berusaha menenangkan Kimberly dan mengusap punggungnya. “Sebentar, Mami panggil dulu perawat dan dokter,” ucapnya sembari menekan sebuah tombol di dekat ranjang.“Mi, Malik nggak akan hilang ingatan, ‘kan?” Kimbe