Sepasang kelopak mata yang dihiasi bulu mata lentik dan tebal itu bergetar. Lalu perlahan-lahan terbuka. Tirai putih dan aroma obat-obatan adalah dua hal pertama yang ia dapati saat matanya terbuka sempurna.“Huh? Dia bangun! Mami, Malik sudah bangun!” seru Kimberly dengan suara yang terdengar bindeng seperti orang flu.Feli segera menutup sambungan telepon, lalu bergegas menghampiri Kimberly di dekat ranjang pasien dan melihat Malik sudah membuka matanya.“Malik, kamu ingat aku? Gimana perasaan kamu sekarang? Kamu merasakan sesuatu yang sakit?” cecar Kimberly diiringi isakan pelan seraya menggenggam tangan Malik yang terbebas dari jarum infus. “Please… katakan sesuatu, jangan diam aja.”“Sayang, Malik baru bangun, dia pasti belum sadar sepenuhnya akibat efek obat bius.” Feli berusaha menenangkan Kimberly dan mengusap punggungnya. “Sebentar, Mami panggil dulu perawat dan dokter,” ucapnya sembari menekan sebuah tombol di dekat ranjang.“Mi, Malik nggak akan hilang ingatan, ‘kan?” Kimbe
“Kamu tahu? Saat ditinggalkan mati sama kelinci yang dia besarkan dari kecil saja, dia sampai merajuk dan nggak mau makan selama tiga hari. Lalu ujung-ujungnya jatuh sakit. Bisa kamu bayangin ‘kan sekacau apa perasaannya sekarang?”Pertanyaan Feli yang terdengar lembut itu membuat Malik terdiam. Malik lantas menatap Kimberly yang terlelap di sofa dengan tatapan lekat. Perempuan itu baru saja tertidur dari sepuluh menit yang lalu.“Kami sudah berusaha membujuk dia supaya istirahat dan mau makan selama kamu dioperasi dan belum sadarkan diri.” Kali ini Archer yang berbicara sembari menghampiri ranjang. “Tapi dia terlalu keras kepala.”“Dia belum makan sejak kemarin?” tanya Malik, terkejut.“Iya,” jawab Archer, “gimana kaki kamu? Sudah dengar dari dokter kalau kemungkinan selama sebulan ke depan kamu belum bisa berjalan dengan baik?”Malik mengalihkan tatapannya dari Kimberly, ke arah kakinya yang dipasangi gips dan dililit perban.“Saya sudah dengar, Om. Tapi saya nggak begitu terkejut.”
Feli menatap Malik dengan tatapan penasaran. Malik lantas menjelaskan kepada Feli bahwa tadi ia sempat cerita mengenai perawat yang membantunya turun dari ranjang dan memapahnya sampai ke sofa, kepada Kimberly. Mendengarnya, Feli merotasi matanya dengan malas, sudah tidak heran jika putrinya itu masih saja bersikap kekanakkan. “Ya sudah, kalian selesaikan masalah kalian berdua, ya. Tante keluar dulu, nggak mau ikut campur urusan anak muda.” Feli terkekeh. Sebelum pergi, ia sempat menatap Malik dan berkata, “Menghadapi Kimberly itu perlu kesabaran yang banyak, Malik. Ayahnya saja sering dia buat kelimpungan kalau lagi merajuk.” Malik tersenyum, mengangguk. Tak lama setelah Feli pergi, Kimberly keluar dari kamar mandi dan berjalan ke arah lemari untuk mengambil sling bag-nya, tanpa menatap Malik sedikit pun. Ekspresinya tampak ketus.“Aaaah…! Sakit sekali,” keluh Malik sembari meringis. Sontak, Kimberly yang akan keluar ruangan pun langsung panik dan bergegas menghampiri Malik di sof
Feli melangkah memasuki kamar, ia lihat suaminya tengah berdiri di depan jendela besar, sedang memandang ke arah laut di luar sana. Pria tampan itu terlihat gagah dengan tuksedo hitamnya.“Kenapa melamun? Kamu sedang mikirin sesuatu?” tanya Feli seraya memeluk Archer dari belakang.Archer tak langsung menjawab. Helaan napasnya terdengar berat. Ia memutar badan, menatap Feli dan balas memeluk pinggangnya.“Aku masih merasa kalau hari ini adalah mimpi, Sunshine,” ucap Archer dengan suara rendah.Feli berjinjit, mengecup bibir Archer, terkekeh. “Gimana? Sudah bangun dari mimpinya sekarang?”Archer tertawa. Lalu memeluk Feli dan menumpukan dagu di bahu perempuan yang memakai dress hitam berlengan panjang itu.“Rasanya baru kemarin aku pulang ke rumah dan disambut anak kecil, yang manja dan selalu merajuk kalau aku nggak kasih apa yang dia mau,” ujar Archer, mengenang masa lalu yang berlalu begitu cepat.“Sekarang anak kita sudah dewasa dan akan membangun rumah tangganya sendiri,” timpal F
Kimberly menunggu kedatangan Malik dengan perasaan tak karuan. Di satu sisi ia ingin segera bertemu dan menghabiskan waktu dengan pria yang sudah menjadi suaminya itu. Namun di sisi lain, Kimberly merasa malu dan salah tingkah setiap kali ada di hadapan Malik.Acara baru selesai satu jam yang lalu. Malik langsung membawanya ke vila ini yang dikhususkan untuk mereka berdua. Kimberly sudah selesai mandi dan memakai pakaian tidur, tapi Malik masih belum kembali ke kamar setelah dipanggil Papi Archer untuk mengobrol.Untuk menghilangkan rasa bosan, Kimberly rebahan di kasur sembari mengecek ponsel. Banyak pesan masuk ke berbagai sosial medianya, berisi ucapan selamat atas pernikahannya dengan Malik.Dari sekian banyak notifikasi, hanya satu yang sangat menarik perhatian Kimberly; Malik ‘menyebutnya’ di postingan terbarunya!“Aaack!” pekik Kimberly, langsung terbangun, duduk.Luar biasa bahagianya saat ia melihat postingan terbaru Malik di instagramnya, yaitu foto candid Kimberly sedang te
Entah sejak kapan, suara deburan ombak tidak lagi menarik bagi Kimberly. Atau lebih tepatnya, ia lupa akan segala hal. Perhatian dan fokusnya tersita habis oleh lelaki di atasnya yang kini tengah menjelajahi bibirnya dengan liar.Kimberly memeluk punggung Malik, dan Malik membalasnya dengan dekapan erat seraya memperdalam pagutannya.Andai saja Malik tak ingat mereka membutuhkan oksigen untuk bernapas, ia tak akan pernah memberi jeda pada tautan bibir mereka.“Boleh aku melakukannya sekarang, Sayang?” bisik Malik dengan napas terengah, menempelkan dahinya di dahi Kimberly.Kimberly menelan saliva. Ia tentu tahu ke mana arah pertanyaan Malik. Jemarinya mencengkeram punggung pria itu dan menjawab lirih, “Aku takut.”“Apa yang kamu takutkan, hem?”“Nggak tahu.”Malik terkekeh pelan. Ia menatap bibir Kimberly yang sedang digigit bagian bawahnya, terlihat sekali jika perempuan itu sedang gugup.Lantas Malik menunduk, mengecupnya hingga Kimberly berhenti menggigit bibirnya sendiri. “Nggak a
Kimberly memekik saat ia turun dari ranjang. Itu membuat Malik—yang baru saja memejamkan mata, sontak terbangun dan duduk.“Kenapa? Ada sesuatu?” tanya Malik, khawatir. Lenyap sudah rasa ngantuk yang semula menyerangnya.“Aku mau jalan ke kamar mandi, tapi kenapa rasanya itu aku sakit sekali?” keluh Kimberly sembari meringis.Malik menatap Kimberly dengan penuh rasa bersalah, tangannya menyingkap helaian rambut Kimberly yang beberapa saat lalu sempat dibanjiri keringat.“Maafkan aku ya,” tutur Malik, lembut. “Gara-gara aku kamu jadi sakit, tapi cuma sekarang saja kok, besok-besok sakitnya akan hilang.”“Ng-nggak! Kamu jangan meminta maaf karena kamu nggak bersalah. Sekarang antar aku ke kamar mandi,” rajuk Kimberly seraya mengangkat kedua tangannya, memberi kode agar Malik memapahnya.Malik tersenyum dan mengerti apa keinginan istrinya itu. Dengan sigap ia turun dari ranjang.“Aaah…! Pakai dulu celana kamu!” pekik Kimberly seraya memalingkan wajah ke arah lain, pipinya seketika beruba
Nyatanya, penampilan seperti perempuan tomboy tidak menghilangkan kecantikan alami Kimberly.Banyak pasang mata para lelaki yang menatapnya lebih dari dua kali. Dan sebagai sesama lelaki, Malik tahu apa arti tatapan mereka.Maka dari itu Malik tidak melepaskan tangannya yang merangkul pinggang Kimberly dengan posesif selama mereka berjalan menyusuri pantai. Seolah-olah Malik ingin menegaskan kepada siapapun yang melihat mereka, bahwa perempuan berambut pirang sepanjang dada itu adalah miliknya.Sesekali Malik mengecup puncak kepala Kimberly. Lalu menutupi kepala perempuan itu dengan kupluk hoodie-nya.“Begini lebih terlindungi.” Dari pandangan pria lain, lanjut Malik dalam hati sembari tersenyum miring.“Iya, kamu bener, anginnya ternyata cukup kencang kalau sore. Kupluk ini lumayan bisa melindungi kepala aku,” celoteh Kimberly sambil menendang-nendang pasir yang ia lewati.Wajah kecilnya tenggelam dalam kupluk yang agak besar itu, membuat Malik tersenyum geli melihat istrinya yang be