Ini bukan pertama kalinya Kimberly menonton motoGP secara langsung, tapi euforianya selalu saja terasa berbeda. Ia duduk di tribun bersama penonton lainnya.Di tengah-tengah euforianya itu terselip rasa khawatir, ketika ia melihat di layar ada salah seorang pembalap yang terpelanting dari motornya, lalu terbanting ke aspal.Kejadian seperti ini memang hal yang biasa di sirkuit, tapi Kimberly selalu saja merasa was-was, lalu ia menghela napas lega ketika tahu bahwa bukan Malik yang kecelakaan itu.Hari ini memang orang lain, tapi tak ada yang bisa menebak di masa depan barangkali giliran Malik? Entahlah. Kimberly tak bisa membayangkan jika kecelakaan itu terjadi kepada Malik, ia hanya berharap Tuhan akan selalu melindungi pria itu di setiap langkahnya.Ketika sesi balapan hari itu selesai, Kimberly menghampiri Malik dan menghambur ke dalam pelukannya. Kimberly mengucapkan terima kasih karena Malik sudah bekerja keras dan berakhir dengan selamat.“Kamu adalah alasanku untuk berakhir di g
Berjarak dengan Kimberly ternyata bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Tidak ada satu orang pun yang tahu bahwa hal itu amatlah menyiksa. Malik ingin menghapus semua jarak tersebut yang terbentang di antara mereka.Maka dari itu, hari ini ia kembali berdiri di sini, di atas marmer putih sebuah rumah mewah yang ada di kawasan elite, di Jakarta.Dua bulan yang lalu, ketika ia berkunjung ke Indonesia dan ingin menemui Kimberly, ia pun sempat mendatangi rumah ini lalu mengobrol dengan Archer. Namun, bukan hanya penolakan yang ia dapatkan dari ayah Kimberly, tapi ia juga mendapat sebuah tantangan.Tantangan yang paling berat yang pernah Malik alami selama hidupnya. Ia harus memilih salah satu di antara dua pilihan yang sama-sama berharga.Malik menghela napas berat kala mengingat hal itu. Kini ia melihat Archer yang sedang menuruni tangga dan berkata, “Ternyata kamu belum menyerah, Malik.”“Saya bukan orang yang pantang menyerah, Om.”Satu sudut bibir Archer terangkat. Malik berdiri, menyap
Kimberly terperangah, merasa tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. “Wedding… organizer?” ulangnya dengan ragu. “Untuk apa?”“Untuk mendiskusikan rencana pernikahanku dengan kekasihku.”“Kekasihmu?” Detik itu juga Kimberly terkesiap, seakan-akan ia baru saja keluar dari kebingungannya. “Maksudmu aku?”“Kamu pikir aku punya kekasih selain kamu?” tanya Malik dengan mata menyipit. Kemudian tertawa kala melihat rona merah menyembul di pipi Kimberly.“Baiklah, biar aku jelaskan mengenai sesuatu.” Tangan Malik yang semula melingkar di pinggang Kimberly, kini menangkup kedua pipi mungil wanita di hadapannya itu, seraya menatapnya dengan lekat. “Setelah aku selesai balapan di musim ini, kamu akan jadi nyonya Malik. Tapi kita harus persiapkan segala sesuatunya untuk pernikahan kita dari sekarang.”Kimberly tertegun. Ribuan kupu-kupu seketika beterbangan di perutnya. “Jadi… barusan kamu bicara sama Papi buat ngobrolin itu?”Malik mengangguk.“Dia kasih kita restu?”Sekali lagi, Malik
Kimberly mengurus rencana pernikahannya tanpa kehadiran Malik. Namun ia tak benar-benar melakukannya sendiri, ada Mami Feli yang selalu menemani dan memberinya saran apa saja yang harus Kimberly lakukan agar persiapan itu berjalan sesuai yang diinginkan.Tak hanya Mami Feli, kedua sahabat Kimberly—Deby dan Nancy, sesekali membantu dan selalu ada di kala Kimberly butuh bantuan mereka. Meski Nancy berada di benua berbeda, ia selalu berkontribusi minimal menjadi pendengar yang baik di saat Kimberly sedang lelah dan butuh teman curhat.Malik tentu tidak lepas tangan begitu saja. Di sela-sela kesibukannya, Malik tidak pernah absen bertanya mengenai perasaan Kimberly, dan dengan sabar Malik mendengarkan keluh kesah Kimberly selama mengurus pernikahan mereka tanpa ditemani olehnya.Tak hanya itu, Malik pun mengutus Edwin, sekretarisnya, untuk mewakili dirinya membantu Kimberly.Sejujurnya Kimberly tidak merasa terbebani melakukan persiapan tanpa kehadiran Malik, karena hampir tujuh puluh per
Malik menatap pantulan dirinya di cermin. Ia sudah memakai baju balapan kombinasi warna hitam dan merah, tanpa helm.Ia terdiam cukup lama. Hari ini adalah hari terakhir ia memakai baju balapan dan terakhir menginjakkan kaki di sirkuit.Berat memang. Melepaskan sesuatu yang dicintai memang tidaklah mudah. Namun, Malik selalu menyadarkan dirinya sendiri, bahwa perlu ada pengorbanan untuk sebuah cinta. Dan ia memilih mengorbankan dunianya demi wanita yang dicintainya.“Hai, boleh aku masuk?”Malik menoleh ke arah pintu yang baru saja terbuka, terlihat Kimberly sedang melongokan kepalanya di celah pintu tersebut.Seulas senyum lembut terukir di bibir Malik. Ia menganggukkan kepala, lalu merentangkan kedua tangan ke samping.Kimberly terkekeh, ia tahu apa maksud pria itu, lalu segera menghampiri Malik dan masuk ke dalam pelukannya. Malik melingkarkan kedua lengannya di punggung Kimberly dan mendekapnya dengan erat.Kimberly dan keluarganya tiba di Valencia tiga hari yang lalu dan mereka s
Sepasang kelopak mata yang dihiasi bulu mata lentik dan tebal itu bergetar. Lalu perlahan-lahan terbuka. Tirai putih dan aroma obat-obatan adalah dua hal pertama yang ia dapati saat matanya terbuka sempurna.“Huh? Dia bangun! Mami, Malik sudah bangun!” seru Kimberly dengan suara yang terdengar bindeng seperti orang flu.Feli segera menutup sambungan telepon, lalu bergegas menghampiri Kimberly di dekat ranjang pasien dan melihat Malik sudah membuka matanya.“Malik, kamu ingat aku? Gimana perasaan kamu sekarang? Kamu merasakan sesuatu yang sakit?” cecar Kimberly diiringi isakan pelan seraya menggenggam tangan Malik yang terbebas dari jarum infus. “Please… katakan sesuatu, jangan diam aja.”“Sayang, Malik baru bangun, dia pasti belum sadar sepenuhnya akibat efek obat bius.” Feli berusaha menenangkan Kimberly dan mengusap punggungnya. “Sebentar, Mami panggil dulu perawat dan dokter,” ucapnya sembari menekan sebuah tombol di dekat ranjang.“Mi, Malik nggak akan hilang ingatan, ‘kan?” Kimbe
“Kamu tahu? Saat ditinggalkan mati sama kelinci yang dia besarkan dari kecil saja, dia sampai merajuk dan nggak mau makan selama tiga hari. Lalu ujung-ujungnya jatuh sakit. Bisa kamu bayangin ‘kan sekacau apa perasaannya sekarang?”Pertanyaan Feli yang terdengar lembut itu membuat Malik terdiam. Malik lantas menatap Kimberly yang terlelap di sofa dengan tatapan lekat. Perempuan itu baru saja tertidur dari sepuluh menit yang lalu.“Kami sudah berusaha membujuk dia supaya istirahat dan mau makan selama kamu dioperasi dan belum sadarkan diri.” Kali ini Archer yang berbicara sembari menghampiri ranjang. “Tapi dia terlalu keras kepala.”“Dia belum makan sejak kemarin?” tanya Malik, terkejut.“Iya,” jawab Archer, “gimana kaki kamu? Sudah dengar dari dokter kalau kemungkinan selama sebulan ke depan kamu belum bisa berjalan dengan baik?”Malik mengalihkan tatapannya dari Kimberly, ke arah kakinya yang dipasangi gips dan dililit perban.“Saya sudah dengar, Om. Tapi saya nggak begitu terkejut.”
Feli menatap Malik dengan tatapan penasaran. Malik lantas menjelaskan kepada Feli bahwa tadi ia sempat cerita mengenai perawat yang membantunya turun dari ranjang dan memapahnya sampai ke sofa, kepada Kimberly. Mendengarnya, Feli merotasi matanya dengan malas, sudah tidak heran jika putrinya itu masih saja bersikap kekanakkan. “Ya sudah, kalian selesaikan masalah kalian berdua, ya. Tante keluar dulu, nggak mau ikut campur urusan anak muda.” Feli terkekeh. Sebelum pergi, ia sempat menatap Malik dan berkata, “Menghadapi Kimberly itu perlu kesabaran yang banyak, Malik. Ayahnya saja sering dia buat kelimpungan kalau lagi merajuk.” Malik tersenyum, mengangguk. Tak lama setelah Feli pergi, Kimberly keluar dari kamar mandi dan berjalan ke arah lemari untuk mengambil sling bag-nya, tanpa menatap Malik sedikit pun. Ekspresinya tampak ketus.“Aaaah…! Sakit sekali,” keluh Malik sembari meringis. Sontak, Kimberly yang akan keluar ruangan pun langsung panik dan bergegas menghampiri Malik di sof